Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Babad Topeng Ireng - Getih Puputan

Perjalanan Kisah Ludruk topeng ireng masih berlanjut meneror trah para Rojo.

Kelanjutan dari kisah :

JEJAKMISTERI - Cerita ini merupakan kelanjutan dari Santet balung Ireng dengan narasumber Mas Arjuna. kisah ini kembali melompat ke latar setelah Toha dikalahkan oleh kesepuluh Rojo...


Pesan dari Narasumber :
Tolong anggap cerita ini sebagai hiburan saja. Jangan pernah berharap memiliki ingon seperti di cerita ini atau bahkan untuk tujuan tidak baik.

Mengingat sudah ada beberapa pembaca yang mendapat gangguan saat membaca cerita kiriman beliau.

Getih Puputan - Rai Lembu

(Sudut pandang Pujo)
Di tengah derasnya hujan aku berlari sekuat tenaga meninggalkan sebuah tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman untukku.. Rumah Waras.

Suara tawa berbagai makhluk seolah memastikanku tidak akan lolos dari ancaman tempat ini.
Benar saja, tepat bersama hembusan angin yang tak beraturan tiba-tiba muncul sosok bayangan hitam besar menghadangku.

Aku tidak mungkin lupa sosok itu, itu adalah sosok Buto yang menghabisi lek Giman. Seandainya benar sosok Buto itu adalah ingon keluarga Rojo, seharusnya Bapak sudah mengurungnya.. namun mengapa ia bisa muncul di tempat ini.

Aku setengah mati mengatur nafasku, entah apa yang harus aku lakukan? sementara dari belakang sudah ada berbagai demit alas yang sebelumnya telah berhasil mendaratkan teluh dan berbagai serangan ke tubuhku. Di sisi lain sosok panglima Projo sudah bersiap menyerangku dari jauh..

Tanpa adanya Bapak, entah apakah aku bisa selamat dari semua hal ini. Suara langkah makhluk yang seharusnya tak kasat mata itu bahkan menimbulkan gempa saat bersiap menghabisiku secara bersamaan…

***

“Mas, pasar sudah mau tutup mas,” ucap seorang Bapak tua yang membuka lapak di sebuah pasar desa yang kusinggahi untuk membangunkanku.

“Oh, nggih pak.. maaf dan terima kasih sudah diijinkan istirahat di sini,” balasku.

“Terima kasih opo to mas? Wong masnya cuma numpang nyender di gerobak saya. Oh iya, dagangan saya ada sisa sedikit, mas bawa saja buat bekal masnya,” ucap Bapak itu sembari menyerahkan beberapa kue-kue pasar padaku.

“Wah pak, nggak usah repot…”

“Sudah, bawa saja.. lebih bermanfaat kalau dibawa sama masnya daripada saya bagi-bagi ke tetangga, sepertinya perjalanan masnya masih panjang,” ucapnya.
Aku melihat raut muka ikhlas dari wajahnya dan memutuskan untuk menerimanya.

***

Akupun berpamitan dan kembali mengenakan capingku untuk berangkat ke rumah Kamituo.
Kamituo adalah sebutan untuk kepala desa di desa ini. Sebuah desa yang pernah muncul di mimpiku.

Dibalik indahnya dan ramahnya warga desa ini, aku merasakan dengan jelas ada sesuatu hal yang besar yang mengintai desa ini.
Belum sempat berjalan cukup jauh meninggalkan pasar, tiba-tiba terdengar suara kepanikan dari salah satu rumah.

‘’Gusti! kamu kenapa le? Kok tiba-tiba jadi begini?” teriak Mbok Parni pemilih rumah asal suara tersebut.
Mendengar teriakan itupun warga desa segera mendekat mengerumuni rumah Mbok Parni.

Seketika keadaan berubah menjadi ramai setelah warga melihat apa yang terjadi sebenarnya.
‘’Ya ampun Gusti kok iso le awakmu koyo ngene’’ (Ya ampun Gusti, kok bisa kamu sampai kayak begini) ucap seorang warga merespon kejadian itu.

‘’Kejadian seperti ini lagi..” ucap seorang Bapak yang sepertinya cukup disegani di desa. Ia segera mencari posisi di sebelah Gusti dan memeriksanya.

“Lagi? maksud Bapak?” tanya Mbok Parni.

“Sudah beberapa tahun ini terjadi kejadian serupa. Apalagi akhir-akhir ini semakin parah.. semakin banyak yang terkena serangan seperti ini, Gusti adalah yang ke kelima dalam sebulan ini” jelas Bapak itu.

“Terus piye pak?” (terus gimana pak?) ucap Mbok Parni lirih.

“Tulungono Gusti..” (Tolonglah Gusti)
Bapak itu merespon permintaan Mbok Parni dan menyuruh salah seorang warga memanggil seseorang.

“’Sek, tenang dulu Mbok kita biar tunggu Mbah Nur” ucap Bapak itu coba menenangkan warga.

Setelah menunggu beberapa lama, munculah seseorang berpakaian khas kejawen dengan wajahnya yang teduh mendekati sekumpulan warga.

“Pak, Mbah Nur teko..” (Pak Mbah Nur datang) ucap salah seorang warga.

Warga yang berkerumunpun segera membukakan jalan untuk seseorang yang dipanggil dengan nama Mbah Nur itu. Dari perawakanya, sepertinya Mbah Nur memang sudah terbiasa menangani permasalahan seperti ini.
Mbah Nurpun memeriksa kondisi Gusti yang semakin aneh.

Tubuhnya kaku dan terlihat kesakitan, kadang wajahnya berubah marah, dan kadang menangis tak tentu. Dengan sigap Mbah Nur membacakan doa-doa untuk menenangkan Gusti untuk melepaskanya dari rasa sakitnya, namun sayangnya setiap doa dan kalimat yang ia ucapkan hampir tidak berpengaruh untuk Gusti.
Mbah Nurpun berusaha semakin keras sembari menggunakan beberapa pusaka pegangan miliknya untuk menenangkan Gusti.

Keringat semakin bercucuran dari wajah Mbah Nur seolah ia memang kesulitan menghadapi sosok yang berada di dalam tubuh Gusti.
Sayangnya, setelah cukup lama Mbah Nurpun meninggalkan posisinya dengan lemas dan menggelengkan kepalanya menandakan ia tidak mampu menangani sosok itu.

Sontak Mbok Parni menangis histeris. Mbah Nur satu-satunya harapan yang bisa menolong Gusti di desanya bahkan tidak mampu berbuat apa-apa.
Warga yang melihatnya hanya terdiam, merekapun tak tahu lagi harus berbuat apa?

“Mbah.. Gusti gimana mbah? Tolong mbah, Jangan biarkan ia seperti ini,” lirih Mbok Parni.

Sayangnya Mbah Nur memang sudah tidak mampu berbuat lebih jauh lagi.
Aku yang tak tega melihat raut wajah Mbok Parni mencoba mendekat mencari tahu lebih dalam tentang apa yang terjadi.

“Kulonuwun pak, iki ono opo yo pak?” (Permisi pak, ini ada apa ya pak?) Tanyaku pada salah seorang warga yang berkerumun.

“Itu mas, Gusti.. sepertinya ia mendapat kiriman teluh” jawabnya.

Tepat saat aku melangkah, tiba-tiba rasa sakit terasa di ujung kakiku. Seketika aku berteriak secara spontan dengan wajah yang meringis dan membuat seluruh warga menoleh ke arahku.

“Mas… a..ada apa mas?” tanya salah seorang warga yang kaget dengan teriakanku.

Aku menatapnya dengan geram, entah bagaimana aku harus berbicara. Aku hanya bisa memintanya menatap ke bawah.

“Sikilku mas, mbok injek.. iki loro lho mas,” (Kakiku mas, kamu injak… ini sakit lho mas) balasku kesal menerima injakan seorang warga yang mengenakan bakiak kayu.

“Nga...ngapunten, maaf mas.. nggak sengaja” ucap orang itu meminta maaf.

Wargapun hanya menghela nafas sembali menggelengkan kepala melihat kejadian singkat tadi, tapi tidak dengan Mbah Nur.

Ia menatapku dengan serius seolah mencoba mengenaliku dengan keringatnya yang masih bercucuran semakin deras.

“Minggir, beri jalan untuk pemuda itu” perintah Mbah Nur tiba-tiba.

Mendengar perintah Mbah Nur, wargapun kaget. Namun mereka tetap memberi jalan kepadaku yang tetap berjalan sembari meringis menahan rasa sakit di jempol kakiku, walau begitu aku tetap berjalan merunduk berusaha sesopan mungkin.

Tepat saat mendekati Gusti aku merasakan kekuatan yang sangat mengerikan dari dalam tubuhnya. Wajar saja Mbah Nur sampai berkeringat sederas itu saat menanganinya.
Akupun bersiap dan membaca doa dalam hati sebelum memutuskan untuk membuka topi capingku.

“Ini bukan teluh biasa” ucapku.

Dan benar, tepat saat aku membuka topi capingku sosok di dalam tubuh Gusti mulai merasa tidak nyaman. Tubunya yang sebelumnya terbaring kaku seketika terbangun dengan mata yang melotot.

“So..sopo kowe?!” (Siapa kamu?!) ucap Gusti sembari menunjuk ke arahku.
Melihat kejadian itu warga desa, Mbok Parni, dan Mbah Nur merasa heran.

‘’Nami kulo Pujo, sinten asmane panjenengan?’’ (Nama saya Pujo, siapa nama anda) balasku berusaha sesopan mungkin.

‘’Dudu urusanmu! Ojo wani golek perkoro ikut campur neng kene, atau giliranmu berikutnya’’ (Bukan urusanmu! Jangan berani-berani mencari perkara dengan ikut campur di sini, atau giliranmu berikutnya) ancam sosok tersebut.

Tepat seuasi melontarkan ancaman itu tiba-tiba tubuh Gusti duduk bersila dengan tangan mengatup dan bibir yang bergerak seolah sedang merapal mantra. Seketika itu juga Mbah Nur merasakan bahaya dan berteriak memperingatkan.
“Awas!!”

Tapi terlambat, beberapa anak-anak warga yang ikut dikerumunan terjatuh tak sadarkan diri dengan kondisi sama seperti Gusti sebelumnya. Mbah Nurpun terkulai lemas melihat kejadian itu.

“Ono opo iki mas?” (ada apa ini mas?) tanya Mbah Nur yang semakin bingung.

Kepanikan pun menjadi-jadi saat mulai terdengar teriakan histeris dari orangtua yang anaknya tak sadarkan diri.
Sayangnya kejadian itu bukan hal yang paling mengerikan untukku saat ini. Tanpa sadar air matakupun menetes saat mengetahui sosok makhluk yang menguasai tubuh Gusti.

Bukan demit atau setan..
Tubuh Gusti dikuasai oleh seorang dukun, aku tahu karena tidak ada demit yang bisa merapal mantra. Tapi yang membuat tubuhku bergetar adalah ketika aku mengetahui bahwa mantra yang sedang dirapal itu adalah milik salah satu anggota keluargaku.

Seseorang yang dikenal masyarakat sebagai Rai Jaran (Wajah kuda) seseorang yang dipercaya sebagai pemilik Tombang kuning.. Lek Giman.

Tidak ada jalan lain, aku harus mengambil tindakan atas kejadian ini. Dengan singkat aku menoleh pada Mbah Nur untuk meminta persetujuan yang segera diiyakan olehnya.
Akupun mengambil sebuah benda dari tasku. Sebuah keris yang dibalut kain merah.

Dengan perlahan aku membuka lilitan kain itu, secara bersamaan sosok dukun yang merasuki tubuh Gusti mulai bereaksi.

“Akhirnya! Akhirnya panjengengan muncul juga Kang Mas!” Teriak sosok lain di tubuh Gusti.
Akupun terkejut, aku selalu berharap kecurigaanku salah.

Tapi suara yang terdengar dari tubuh Gusti seolah membenarkan dugaanku. Suara yang sangat akrab yang selama bertahun-tahun menjadi temanku dalam belajar ilmu kanuragan.

Itu adalah suara dari salah satu anggota keluarga kami, Yono.. sang keturunan terakhir dari Paklekku yang diselamatkan dari pembantaian Cah Buto, Ingon keluarga mereka.

“Opo karepmu?” (Apa maumu?) Tanyaku tegas.

“Balas dendam! Aku menuntut atas kematian orang tua kami! Orang tua kami mati karena ingon kami mendapat perintah dari Sang Hanoman!” teriak sosok Yono dari dalam tubuh Gusti.

“Sang Hanoman?” tanyaku bingung.

“Tidak usah pura-pura Bodoh! Sang Hanoman yang tidak lain adalah Ayahmu sendiri!” Balasnya.

Bersamaan dengan itu tubuh Gusti terkulai lemas, awan memekat dan gerimis mulai turun tiba-tiba seorang warga beteriak, “Gerbang desa! Ada sosok aneh yang muncul di gerbang desa!”

Seketika tangiskupun pecah saat keluar dan melihat sosok yang hadir di sana.

Mereka muncul di sana, aku bisa melihatnya dengan jelas. Mereka adalah semua keturunan terakhir dari saudara-saudara Bapak yang telah meninggal. Mereka membawa ingon dari keluarganya masing-masing.

Namun ada yang berbeda...
Topeng hitam, aku tidak akan pernah melupakan wujud topeng itu..
Mereka semua mengenakan topeng yang digunakan oleh “orang itu”.
Warga desa terlihat kebingungan, mereka tidak mengerti dengan apa yang akan terjadi setelah ini.

Namun salah satu dari mereka maju dan menunjuk ke arahku.
“Persiapkan dirimu sebaik-baiknya saudaraku!” ucap salah satu dari mereka.

“Aku yang bergelar Rai lembu akan kembali untuk menghabisimu! Kita buktikan siapa diantara kita yang paling pantas mendapat gelar itu... Gelar ‘Sang Putra Agung’”
Jantungku berdegup keras mendengar kalimat itu. Ini bukanlah hal yang selama ini aku harapkan.

Sayangnya setelah menyampaikan pesan itu merekapun perlahan menghilang.
Seiring menghilangnya sosok-sosok itu tiba-tiba Gusti dan anak-anak yang kehilangan kesadaranya kembali pulih. Tangisan histeris berubah menjadi tangis haru.

Merekapun satu persatu mengucapkan terima kasih pada Mbah Nur dan padaku. Mbah Nur hanya menanggapinya dengan senyuman, tapi tidak denganku. Aku hanya meratapi kejadian tadi di tengah hujan yang mulai turun sekaligus menyamarkan air mataku.

Mbah Nurpun mendekat kearahku, ia ingin mencari tau tentang apa yang terjadi barusan.

“Raden, perkenalkan saya Nur dan ini Kamituo desa ini namanya Pak Darwis, bagaimana kalau kita bicarakan di rumah Kamituo saja?” ajak Mbah Nur yang seketika semakin sopan terhadapku.

Akupun mengusap air mataku dan mengiyakan ajakan Mbah Nur.

Setelah menunggu sebentar kamipun disuguhkan teh hangat dan singkong rebus yang seharusnya menjadi hidangan kesukaanku, tapi tidak untuk kali ini.

Melihatku yang terus terdiam Mbah Nur mencoba menyapaku..

“Le, kenapa tidak coba kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sosok itu? dan mengapa mereka begitu mengenalmu?”

Aku menghela nafas mencoba menenangkan diriku.

“Mereka.. mereka masih saudara saya Mbah” Jawabku terbata-bata, namun aku berusaha untuk menceritakan ini semua.

“Mereka telah lama mencari saya untuk menuntut balas atas kematian keluarga mereka, pemimpin trah mereka mati tak lama setelah tragedi besar di kampung halaman kami.
Bahkan sampai sekarang bau darah dari tragedi itu masih tercium hingga sekarang”

Mbah Nur dan Kamituo saling bertatapan, sepertinya mereka sudah mengerti bahwa ini adalah hal yang serius. Akupun melanjutkan ceritaku...

“Lalu.. mengenai ancaman mereka tadi, Saya takut akan terjadi pertumpahan darah di desa ini. Sebuah tragedi yang bisa memakan korban, bahkan seluruh warga desa.”

Sontak Kamituo mengernyitkan dahinya dan menatap ke arahku.

“Tunggu Nak Pujo, kenapa harus di desa ini? Memangnya apa salah warga desa?” Tanya Kamituo.

Aku sadar ke khawatiran Kamituo dan segera meninggalkan tempat dudukku dan bersimpuh di hadapanya.

“Sakdurunge kulo sepurane pak,” (Sebelumnya saya meminta maaf pak) ucapku mencoba berhati-hati dalam menjelaskan.

“Saya sama sekali tidak bermaksud mencelakai desa ini, bukan hanya mereka.. tapi entah bagaimana takdir bisa menuntun saya dan mereka untuk sampai di desa ini.. Ini diluar kuasa saya” Jelasku.

Kamituwo masih tidak terima, ia menatap ke arah Mbah Nur.

“Benar Pak, keanehan-keanehan itu sudah terjadi bahkan sebelum kedatangan Nak Pujo. Saya yakin mereka tidak bisa melawan takdir, begitu juga kita dan warga desa” wejang Mbah Nur.

Kamituwopun menghela nafas, sepertinya ucapan Mbah Nur bisa membuat Kamituo mengerti.

Iapun menatap mataku dan aku melihat amarahnya mulai mereda.

“Baik kalau begitu, saya akan mencoba membantu kamu le.. apalagi ini ada hubunganya dengan nyawa dan keselamatan warga di desa ini” ucapnya.

Mendengar ucapan itu akupun segera bereaksi, “Sepurane mbah, mbah tidak harus ikut menanggung urusan ini. Biar ini menjadi masalah saya pribadi, apalagi ini bukan pertarungan atau duel antar pendekar biasa” Mbah Nurpun terlihat semakin khawatir mendengar ucapanku.

“Maksudmu opo le?” (Maksudmu apa nak?)
Mau tidak mau aku harus menjelaskan semuanya..

“Ini adalah pertempuran antar saudara, pertempuran tanpa belas kasihan, tanpa negosiasi yang bahkan bisa menghabisi warga desa maupun warga yang tak kasat mata di desa ini” jelasku.

Belum sempat Kamituo menanggapi aku melanjutkan penjelasanku.

“Ini adalah pertempuran yang memperebutkan sebuah gelar, gelar yang bahkan mampu mengusik dunia alam lain, gelar yang hanya bisa diwariskan setelah meminum darah saudaranya sendiri.
Gelar yang menghasilkan seorang pemenang yang pantas dipanggil sebagai.. ‘Putra Agung’ “ jelasku.

Mendengar penjelasanku Kamituo menahan rasa penasaranya. Mereka terdiam dan berkeringat sembari menahan nafas membayangkan kengerian apa yang akan terjadi.

“Kapan le? Kapan pertempuran itu akan terjadi?” tanya Mbah Nur.

Aku menoleh ke arah Mbah Nur untuk menjawabnya.

“Pertempuran ini hanya bisa dilakukan di satu malam, satu malam dimana sang rembulan tertelan oleh sang batara kala. Sebuah pertempuran yang disebut dengan nama.. Getih Puputan.”

***

Getih Puputan - Sang Hanoman

Aku tidak punya pilihan lain selain menerima tantangan dari saudara-saudaraku. Saat ini aku berjalan mengelilingi desa menyapa beberapa warga yang kutemui sembari memasang pagar ghaib yang semoga saja bisa melindungi mereka.

Bukan tanpa alasan, aku merasa harus mencari tempat untuk menyendiri terlebih dahulu untuk mempersiapkan diri di pertempuran itu.

‘’Mbah Nur saya ijin terlebih dahulu untuk melakukan tirakat. Seluruh desa sudah saya pagari, mungkin Mbah Nur juga bisa meminta bantuan kepada warga yang juga memiliki ilmu kanuragan untuk melindungi warga desa” pintaku kepada Mbah Nur.

Mbah Nur terlihat terdiam memandang lekat wajahku. Sepertinya ia membaca ketakutan yang ada dalam diriku.

“Memangnya, kengerian seperti apa yang akan datang Le? Sampai-sampai kita harus meminta tolong warga lain?” tanya Mbah Nur.

Aku menghela nafas sembari menengadah ke salah satu arah langit.
“Mereka akan datang layaknya wedus gembel yang mematikan datang dari arah timur” jelasku singkat.

Mata Mbah Nur seolah tidak percaya, namun ia tidak punya pilihan lain setelah melihat kejadian kemarin. Iapun segera bergegas berpamitan meninggalkanku untuk segera memanggil para tetua adat yang juga memiliki kemampuan yang sama.

Mereka akan berkumpul untuk berdiskusi mengenai kejadian ini dan melakukan tirakat.

***

Langit terasa tidak tenang, namun suara gemericik air dan serangga hutan menemani tirakatku dalam mencari petunjuk atas pertarungan ini.

Pikiranku gelisah, badanku tak berhenti bergetar, sebuah penglihatan kembali muncul di ingatanku terkait masa lalu keluargaku yang pernah kualami.
Mayat... mayat bergelimpangan di sebuah rumah yang mirip dengan Rumah Waras yang kutinggali sejak kecil.

Aku tidak bisa menahan emosiku saat melihat kembali mayat dengan kondisi tercabik-cabik dengan dada yang berlubang. Jantung dari mayat itu sudah tidak ada lagi ditempatnya. Akupun bergidik ngeri melihat pemandangan itu.

“Ini adalah peristiwa tragis yang menimpa Rai Jaran, Paklekmu Giman” ucap sosok Ki Syailendra yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

Penglihatanku sampai di pendopo utama rumah waras. Di depan mataku sudah terlihat lima mayat yang mati dengan tragis di sana.

Bule Nar istri paklek Giman, Rahmat anak tertua, Karti anak ke dua, Arum anak ketiga, dan Murji anak ke empat. Aku semakin tak mampu menahan emosi ketika mendengar suara dari luar yang sedang diselimuti amarah.

“Opo maksute iki kabeh Buto?” (Apa maksud ini semua Buto?)Teriak Paklek Giman.

“Seko jaman mbiyen tekan sak lahire trah iki, ra ono sijipun abdi sing wani karo ndorone! Bojoku... anak-anaku mati karena ulahmu!”

(Dari jaman dulu sampai lahirnya trah ini, tidak ada satupun abdi yang berani dengan tuanya! Istriku.. anak-anakku mati karena ulahmu!)
Wajah amarah Lek Giman terlihat tak terbendung, ia masih mencoba mencari tahu siapa dibalik semua ini.

“Sopo?! Sopo sing ngelakoni iki Buto?!!” (Siapa?! Siapa dalang atas semua ini Buto?!)

Sosok besar yang selama ini menjadi pelindung keluarga Lek Giman itu mendekat merespon amarah Lek Giman.

“Kulo njaluk pangapura raden.. hahaha! Panjenengan wis ra pantes neh urip, ra pantes neh mikul gelar Rai Jaran iku.. Hahahaha”
(Saya minta maaf raden.. hahaha! Anda sudah tidak pantas lagi hidup, tidak pantas lagi memikul gelar Rai Jaran itu.. Hahaha)

Tawa Sang buto menggelegar meledek empunya itu.

Buto yang menggunakan topeng hitam itupun meneruskan seranganya pada Lek Giman. Bukan tidak mampu melawan, Lek Giman berusaha mencari kesempatan yang tepat untuk menyerangnya.

Keputusan Lek Giman tepat, ia mendapat kesempatan untuk menusukkan tombak kuning pusaka andalan miliknya tepat di dada Buto. Butopun berteriak tidak karuan dan tak terkendali memukul sekitarnya.

Tidak membuang kesempatan, Lek Giman merapal mantra yang ia percaya mampu untuk mengurung Sang Buto. Tapi.. tak disangka muncul sosok manusia dari arah belakang. Giman mengenal sosok itu dan mulai merasa lega.

“Kang mas, tulungaken Yono.. Gowo Yono nang Rumah Waras” (Kak, tolong yono.. bawa yono ke rumah waras) pinta Lek Giman.

Sayangnya sosok yang ia temui itu hanya mengangguk tanpa beranjak dari tempatnya.

Lek Giman heran mengapa sosok tersebut tidak merespon ucapanya sama sekali. Sebaliknya sosok itu malah ikut merapal mantra yang mengakibatkan api muncul di dada Sang buto. Api itu menutupi luka yang ada di dada sang buto dan menyembuhkan lukanya.

Perlahan tubuh buto itu mulai ditumbuhi bulu berwarna merah. Lek Gimanpun heran dengan apa yang terjadi. Tak cukup sampai di situ, dari tubuh buto munculah ekor kera bercabang dua.

Saat itulah Lek Giman sadar dengan apa yang terjadi. Iapun kembali menoleh ke sosok manusia yang sedari tadi hanya diam.

***

“Aku wis ngertos kang mas” (Aku sudah mengerti kang mas)
Ucap Lek Giman berusaha menenangkan dirinnya.

“Aku wis ngertos opo maksud iki kabeh.. Panjenengan ternyata wis buta! Buta oleh kekuasaan!” (Aku sudah mengerti maksud ini semua, kau sudah buta! Buta dengan kekuasaan!)

Orang itu hanya memperhatikan dari jauh tanpa mau merespon umpatan Lek Giman.

“Ambisi menjadikan Trah Mangkubirawa sebagai Trah yang terkuat membuatmu bahkan menggunakan ilmu yang telah dilarang turun temurun oleh leluhur kita!” Teriak Lek Giman dengan histeris.

“Kau melakukan itu kan? Kau melakukan tirakat seratus delapan puluh hari.. bukan untuk menyelamatkan keluarga kita, melainkan untuk membuka “Ilalang” dan mendapatkan Roh Kera terkutuk itu!!

Kera biadab yang penuh dengan dendam yang bahkan menghabisi seluruh kaumnya tanpa tersisa hingga seluruh tubuhnya menjadi merah darah demi mendapatkan wujud makhluk hitam itu..
Dan sekarang kau senang? Kau senang bisa menguasai sosok terkutuk itu.. sosok kera merah Sang Hanoman?!”

Lek Giman meneteskan air matanya. Ia benar-benar tidak menyangka kakaknya yang sangat ia kagumi sebagai pemimpin trah selanjutnya justru adalah orang yang akan menghabisi dirinya.
Karjo..

Ya orang itu adalah Karjo, ayahku sendiri yang entah mengapa bisa tersesat di jalan itu.
Bapak yang sedari tadi hanya diampun akhirnya mulai berbicara..

“Sepurane le, nek kowe wis ngerti ojo ngelawan meneh.. kowe ra iso menang” (Maaf le, kalau kamu sudah mengerti jangan melawan lagi.. kamu tidak bisa menang)
Semakin deras air mata Lek Giman mendengar ucapan Bapak.

“Ilmumu belum sempurna, kamu harus memusnahkan semua saudaramu terlebih dahulu lalu memakan jantung mereka satu persatu dalam ritual ‘Gedang Pembayun’. Artinya saat ini masih ada kesempatanku untuk menghentikan kegilaanmu!” Ucap Lek Giman.

“Percuma, tidak ada lagi yang dapat kau lakukan saat ini” bantah Bapak.

‘’Opo koe wes lali kang mas, kenopo kulo di juluki Rai Jaran???’’ (Apa kamu lupa kang mas? Kenapa aku bisa dipanggil Rai Jaran?)

Lek Giman duduk bersila sambil merapal mantra, saat itu juga tiba-tiba muncul kabut tipis menyelimuti Giman dan merubah sosoknya menjadi manusia berwajah Kuda Semar.
Pertarungan sengit terjadi diantara ketiga orang itu yang hampir merobohkan pendopo.

Aku gemetar melihat pertarungan itu, namun tanpa sengaja aku melihat sosok anak kecil yang berlari menuju ruang rahasia Lek Giman dan membawa seorang anak yang lebih muda darinya untuk menjauhi pendopo.

Lek Giman mulai babak belur menahan semua serangan dari roh kiriman Bapak. Iapun tidak dapat lagi menghindari serangan dari pusakanya sendiri yang terebut dan mengujam perutnya.

Seketika darah bermuncratan dari perut dan mulut Lek Giman. Iapun perlahan kembali menjadi manusia biasa.
Setidaknya, serangan-serangan Lek Giman tadi berhasil membuat sang buto terkapar, makhluk itupun mendapatkan sedikit kesadaranya.

Dengan kebatinan, merekapun mencoba untuk saling berkomunikasi.
“Raden, sepurane.. seburane kulo wis gawe bolo” (Raden ampuni saya, ampuni saya sudah membawa bencana) Sang buto meminta maaf karena ketidak berdayaanya menahan pengaruh topeng hitam itu.

Sosok itu berjanji akan menjaga satu-satunya sosok keturunan Lek Giman yang masih hidup.
Sebaliknya, Bapak yang melihat Lek Giman yang masih memiliki setitik nyawapun mendekat.

“Kau benar-benar pantas dengan julukan itu.. Jaran, seekor kuda adalah simbol keperkasaan dan ambisi..” ucap Bapak.

Sayangya ucapan itu hanya pujian semata, apa yang Bapak lakukan setelahnya membuatku tak mampu lagi memandang mereka.

“Kulo minta maaf sang Rai Jaran, tombak kuning dan jantungmu tak ambil yo le..” (Aku minta maaf Rai Jaran, tombak kuning dan jantungmu saya ambil..)
Ucap Bapak yang menghabisi Lek Giman tanpa belas kasihan..


~SEKIAN~
close