Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 57)


Aku membuka sepatu dan kaos kaki setelah ke luar dari hutan lembab. Celana panjang kusingkap sampai betis. Beberapa ekor pacat masih menempel di betis, tumit, dan sela jari kaki. Darah mengalir deras. Beberapa teman menjerit-jerit geli tidak berani melepaskan pacet yang nempel. Sebagian lagi sibuk mengusap pacet dengan tembakau, ada juga menyongkel-nyongkelnya menggunakan trekking pole. Pacet mengeliat-liat ketika dipaksa lepas lalu bersembuyi kembali di bawah daun-daun yang lembab.

Sejak pagi, aku bersama teman-teman yang tergabung di Ratu Samban Heaking Club menyisir rimba Gunung. Gunung itu nama bukit di Liku Sembilan Bengkulu, jajaran bukit yang menghubungkan Kepahyang, Kabupaten Rejang Rebong dengan kota Bengkulu. Mengecek sisi bukit cagar alam yang biasa ditumbuhi bunga rafflesia arnoldii yang akan mekar. Cagar alam idealnya tetap rimbun, ternyata hanya terlihat dari sisi jalan lintas saja. Ketika masuk ke dalam, sebagian besar rimbanya sudah berubah menjadi kebun rakyat. Kebun kopi. Baik yang sudah besar, maupun yang baru ditanam. Beberapa titik kami lihat asap membumbung tinggi. Hutan di bakar. Pantas jarang sekali terdengar siamang berteriak menyambut matahari. Kemana mereka? Lalu beberapa bulan ini tidak terdengar lagi cerita orang melihat harimau tidur di jalan ketika kendaraan hendak melintas. Lari kemana makhluk-makhluk itu?

Hasil ekspedisi hari ini, kami menemukan empat titik bakal bunga rafflesia mekar. Kami memberi tanda dan pagar seadanya agar tidak dirusak oleh hewan atau tangan manusia yang iseng. Medan yang kami lalui cukup sulit, bakal bunga rafflesia kali ini tumbuh di bibir-bibir tebing. Tempat yang agak sulit dijangkau, dan jaraknya terpisah-pisah agak jauh ke dalam.

“Alhamdulilah…meski kaki berdarah-darah, akhirnya terobati juga. Ekspedisi kita hari ini tidak sia-sia. Menemukan empat titik tumbuh rafflesia meski jaraknya agak berjauhan sungguh memuaskan.” Ujar bang Adi yang berperan pemandu ekspedisi kali ini. Aku ikut manggut-manggut menyatakan setuju. Padahal, kalau tidak dibantu oleh penghuni hutan ini mustahil kami menemukan titik tumbuh rafflesia arnoldii. Aku mencoba berinteraksi dengan beberapa nenek gunung penghuni rimba, ketika hampir setengah hari menjelajah namun belum menemukan titik tumbuh flora langka ini. Si kembar Gandi dan Ganda salah satu kerabat kepala suku di lembah Munuk Liku Sembilan sempat berkenalan denganku. Mereka manusia harimau, dua saudara kembar kira-kira berusia enam belas tahun. Wajah mereka sangat ganteng. Berhidung mancung, tinggi, bertubuh atletis sangat ideal, rambutnya ikal kemerah-merahan. Mereka berdualah yang mengarahkan aku menuju tiap titik diikuti oleh kawan-kawanku. Tidak ada yang tahu jika kedua kembar ini yang mengarahkan aku. Aku beruntung sekali berjumpa dengan dua saudara kembar yang ramah ini.

“Kapan kemari lagi, Dang? Kalau kemari, temui kami ya Dang. Dang Selasih harus singgah ke dusun kami,” ujar Ganda memanggilku dengan sebutan Dang penuh keakraban. Panggilan kekerabatan untuk saudara yang paling tua. Keduanya langsung menganggap aku kakak tertua mereka. Kami berpisah di perbatasan hutan. Mereka kembali ke dusunnya. Beberapa kali Susi sahabatku bertanya aku berbicara dengan siapa ketika sesekali dia mendengar aku berbicara sendiri. Aku hanya menjawabnya dengan tawa. Susah juga mau menjelaskan padanya. Khawatirnya ketika aku jelaskan dia atau kawan yang lainnya merasa takut.

Sebenarnya aku nyaris tidak ikut ekspedisi hari ini. Pasalnya kemarin sore Guntoro menemuiku dan berniat mengajak aku jalan-jalan petang ini ke pantai Panjang. Entah mengapa tiba-tiba aku menolaknya. Muncul rasa enggan berjalan ke pantai dengannya. Aku lebih memilih menjelajah hutan bersama club-ku. Maka berangkatlah aku pagi ini menyingkirkan mimpi yang pernah kubangun dalam angan-angan berdua saja dengan Guntoro sejak dulu. Aku tahu, Guntoro agak kecewa ketika mendengar aku sudah ada janji bersama club pencinta alamku.

“Aku tidak akan sering ke Bengkulu ini, Dek. Lusa aku akan pulang ke Pagaralam. Entah kapan kita akan bertemu lagi.” Ujarnya. Apa yang dikatakannya benar. Entah kapan kami akan bertemu. Meski aku pulang ke Pagaralam, belum tentu aku bisa bertemu dengannya. Aku hanya menjawab, bila Allah berkehendak suatu saat kita akan bertemu. Jika tidak, maka maafkanlah semua kesalahanku. Aku menyalaminya. Entahlah, egoisku muncul tiba-tiba. Jiwaku tiba-tiba protes. Sejak aku jatuh dari motor, lalu kakiku patah, sampai akhirnya aku pindah kota ke Bengkulu, Guntoro tidak pernah mengabariku. Apalagi menemuiku. Alasan itulah membuat aku menolak ajakannya jalan-jalan bersamanya petang ini. Sebenarnya aku berusaha agar tidak ada rasa benci tumbuh di hatiku. Jika hendak berkata jujur, aku masih menyintainya. Hingga kini, mungkin juga sampai nanti. Guntoro tetaplah cinta pertamaku. Orang yang pertama kali menyentuh hatiku. Tak akan tertukarkan. Biarlah dia selalu baik di mataku.

“Hei! Jangan melamun! Mikirin apa? Pandangnya jauh sekali..” Ujar Bang Arief menepuk pundakku. Aku sedikit terperanjat. Aku tidak bisa membohongi hatiku. Meski hari ini aku berhasil menolak kebersamaan dengan Guntoro, tapi jauh di lubuk hati, rasa rindu dan ingin bersamanya masih juga menghentak-hentak dada.

Ah! Begini rupanya cinta. Kayak bola bekel. Sedikit saja terhentak maka akan melambung ke sana kemari.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sebelum pulang, bang Adi brefing terlebih dahulu, menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan ekspedisi hari ini. Termasuk rencana beberapa minggu ke depan kami akan datang ke mari untuk melihat perkembangan bunga langka itu. Usai berdoa bersama, menyebutkan yel-yel salam lestari, kami segera menuju jalan lintas tempat kendaraan yang sudah menunggu untuk membawa kami pulang ke kota.

Aku selonjoran meluruskan kakiku yang terasa penat. Bersandar di ransel dan terguncang-guncang. Angin kencang menerpa karena mobil pick up terbuka yang kami kendarai justru membuat mata lepas memandang. Aku memilih duduk di sudut. Meski terguncang-guncang memudahkan aku melihat kiri kanan jalan. Dari kejauhan gunung Bungkuk terlihat berdiri kokoh di antara lembah yang hijau. Beberapa kali Susi membidikkan kameranya. Aku hanya menatap gunung Bungkuk dengan perasaan rindu. Aku masih merasa kesal karena beberapa waktu lalu gagal mendaki untuk menemui Putri Bulan. Hmm…Putri Bulan. Mungkin saat ini dia sedang bersama Macan Kumbang. Aku membatin. Rasa curigaku membayangkan mereka selalu berdua membuatku tidak terlalu antusias untuk menemuinya. Mereka sudah lupa padaku. Aku tekan perasan sedihku.

Ah! Aku kembali ingat Guntoro. Harusnya petang ini aku duduk di pantai bersama Guntoro, menatap laut, menikmati ombak, memainkan pasir, sambil bercerita, atau saling mengungkapkan perasaan yang selama ini hanya kami pendam di dada. Halah! Kalau masih membayangkan hal yang indah-indah, mengapa kemarin aku menolak ketika dia mengajakku? Aku kembali menggurui batinku. Akhirnya aku mengalihkan perhatianku mendengarkan Ari bernyanyi sambil memetik okulele, menyanyikan lagu-lagu tentang alam. Sesekali aku juga ikut bernyanyi dengan suara dua, mengimbangi suara Ari yang merdu.

“Selasih, malam nanti Kumbang akan menjemputmu. Kau harus pulang sebentar ke Besemah.” Suara kakek Njajau halus sekali. Pulang? Ada apa ya? Adakah sesuatu yang sangat penting sehingga aku harus pulang? Tanyaku membatin. Kakek Njajau menjawab, kalau disuruh pulang artinya ada sesuatu yang penting. Aku kembali bertanya kira-kira hal apa yang sangat penting tersebut? “Jangan cerewet!” Jawab Kakekk Njajau. Mendengar itu kembali aku bertanya.

“Kapan kek aku diberi kesempatan untuk pacaran kalau harus pulang melulu. Aku ingin punya pacar kek!” Ujarku iseng.

“Apa?” Nada kakek Njajau tinggi.

“Sejak kapan kamu pandai menyangkal kakek? Tidak boleh pacar-pacaran! Nanti kakek akan carikan untukmu. Yang paling cucok, dan paling segalanya. Tunggu kamu dewasa.” Ujar kakek Njajau. Mendengar itu tawaku meledak sampai lupa kalau aku tidak sendiri dan tidak berhadapan dengan kakek Njajau. Semua kawanku kaget dan mata mereka tertuju padaku.

“Ada apa si Dek? Kamu dari tadi bicara sendiri, sekarang tertawa sendiri. Kesambet ya?” Ujar Susi serius. Mendengar kata kesambet aku tertawa. Wajar saja kawan-kawanku bingung. Mereka tidak ada yang tahu kalau aku dapat berinteraksi dengan makhluk-makhluk tak kasat mata. Kalau aku juga punya leluhur tak kasat mata. Hanya Bang Adi dari sekian kawanku yang kulihat memiliki kepekaan batin. Tapi dia tidak bisa menembus dan berinteraksi dengan makhluk dimensi lain. Akhirnya aku diam membatin mengiyakan perintah kakek Njajau tanpa tahu masalahnya. Ah! Apa ada orang seperti aku selalu sibuk siang malam, dan semua harus ditangani? Aku mendongak ke hutan sepanjang jalan. Pohon-pohon seperti berkejaran. Aku melambaikan tangan ketika melihat nenek gunung nenek gunung duduk-duduk di hutan pinggir jalan. Ada terselip bahagia ketika melihat tak hanya nenek gunung dalam bentuk makhluk asral, tapi juga harimau liar berdiam di hutan-hutan meski semakin terdesak karena penebangan hutan.

“Selasih, di mana?” Suara halus sekali. Aku masih diam, kembali memerhatikan warna suara yang menyebut namaku. Angin kencang dan suara mobil pick up yang tengah berjalan menyulitkan aku untuk segera mengenali suara itu.

“Selasih…kamu di mana?” Kembali suara itu. Eyang Kuda!

“Aku masih di Gunung, Liku sembilan, Eyang. Masih di atas kendaraan menuju pulang.” Kataku buru-buru. Aku kembali bertanya ada apa? Tidak biasanya Eyang Kuda mengajakku berinteraksi kalau tidak ada hal yang penting atau ketika beliau melihat ada sesuatu hal yang akan terjadi padaku. Baru saja aku berpikir demikian, aku melihat bus yang sarat penumpang berjalan oleng di tikungan tajam, persis berhadapan dengan pick up yang kutumpangi. Aku segera menahan bus dan pick up, menghentikannya mendadak. Jeritan kaget penumpang dari dua kendaraan nyaris bertabrakan itu mengisi ruang hutan yang mulai sepi. Wajah-wajah cemas kawan-kawanku nyaris tak mampu membuat mereka bersuara. Sejenak semua panik. Setelah agak reda kembali kulepas kunci ke dua kendaraan, bus dan pick up dengan batinku. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Sementara bus masih berhenti di tengah jalan. Rupanya ban depan dan belakangnya pecah mendadak. Itulah penyebab bus oleng sementara jalan menikung tajam dan sulit untuk dikendalikan. Untung jalanan sepi. Jika tidak, bisa saja terjadi tabrakan beruntun. Kawan-kawanku sibuk mengekspresikan kejadian barusan. Kejadian mendadak nyaris mencelakakan dua kendaraan yang sama-sama sarat penumpang memang mengerikan. Mungkin karena kejadian inilah Eyang Kuda bertanya tentang keberadaanku. Secara tidak langsung beliau mengingatkanku. Beberapa makhluk asral melintas dan melihat. Beruntung mereka tidak sejahat makhluk asral yang pernah kutemui di tebing Lematang Pagaralam. Makhluk -makhluk di sana menunggu tebing dan tingkungan, siap untuk mencelakakan manusia. Mereka makhluk-makhluk haus darah. Aku berulang-ulang mengucapkan rasa syukur.

Jelang magrib aku sudah sampai di rumah. Usai mandi dan salat aku menunggu Macan Kumbang dengan perasaan harap-harap cemas. Mungkinkah Macan Kumbang datang bersama Putri Bulan? Atau nanti ketika melintas di gunung Bungkuk, Macan Kumbang mengajak singgah ke tempat Putri Bulan? Berbagai pertanyaan muncul. Aku sengaja tidak berinteraksi dengan Macam Kumbang dan juga kakek Njajau. Biarlah, saat aku dijemput baru aku pergi.

Menjelang sholat isya Madi kawanku yang rumahnya dekat gang masuk ke arah rumahku datang bersama adiknya. Kukira ada keperluan apa. Ternyata hanya sekadar main dan meminjam buku pelajaran.

Aku heran menatap kawanku satu ini. Mengapa dia terlihat sedikit berbeda? Atau selama ini aku tidak terlalu memperhatikannya? Madi tidak satu sekolah denganku. Aku kenal dengannya karena dia satu kampung dengan Khairul teman sekelasku. Kebetulan “tun jang” (sebutan suku Rejang) ini sering datang ke rumahku. Kadang dia datang untuk sekadar bertanya tentang pelajaran-pelajaran tertentu. Sambil ngobrol aku memperhatikannya mencoba mengetahui lebih dalam apa yang membuat aku aneh melihatnya. Ternyata memang ada sesuatu yang berbeda padanya. Aku melihat setitik benda aneh yang menempel di wajahnya. Ada mantra-mantra yang ditanamkan lalu mantra tersebut mampu mengubah pandangan orang padanya. Untuk apa? Batinku. Oh! Rupanya semacam pengasihan agar dia terlihat ganteng, sehingga semua orang simpati padanya. Pantas jika dia tersenyum terlihat begitu manis dan tidak bosan-bosan menatapnya. Tapi sebelumnya aku sudah bertanya-tanya dalam hati, wajahnya mulus. Bahkan sangat mulus untuk ukuran seorang laki-laki. Tapi jika melihat tangannya, penuh dengan kurap, semacam biang keringat brutul-brutul dan sangat rapat memenuhi lengan hingga punggung telapak tangannya.

Muncul isengku. Aku yakin Madi tidak menyadarinya jika mantra yang ditanamkan itu kubuang. Sambil ngobrol aku konsentrasi sejenak, kucabut mantra pengasihan itu dari wajahnya. Tak lama aku melihat sosok nenek tua marah padaku. Dengan bahasa Rejang, si nenek mengatakan jika mantra yang ditanamkan ke wajah Madi adalah warisan leluhurnya, turun temurun. Lalu mengapa aku berani membuangnya? Kukatakan, Madi tidak perlu diberi pengasihan segala, dan mantra itu tidak memberikan kebaikan padanya. Madi tidak menyadari jika mantranya kubuang. Sebab aku melihat pengasihan yang diberikan kadang membuat Madi seperti perempuan. Dan salah satu efek pengasihan leluhurnya ini, kurap halus yang memenuhi tangannya. Si nenek tidak terima. Dia berusaha menyerangku. Terpaksa aku melayaninya. Kusuruh dia pergi dan meninggalkan tubuh Madi. Ketika hendak pulang, Madi terlihat lemas. Meskipun dia tidak berbicara, aku tahu tubuhnya gering. Kucoba mentransfer energi jarak jauh padanya. Berharap besok Madi tidak lagi manis seperti perempuan. Tapi Madi yang berperawakan jantan. Selanjutnya Sang nenek tua berurusan denganku. Dia tidak bisa lagi masuk ke tubuh Madi. Aku berharap kurap halus yang tumbuh di tangannya lambat laun hilang.

Baru saja Madi melangkah pulang, angin berdesir pelan. Sosok Macan Kumbang sudah berdiri di hadapanku.

“Pacaran ya…” Macan Kumbang menggodaku. Kujawab dengan cibiran mencium tangannya, lalu kutinggalkan masuk ke dalam. Rupanya dia sendiri.

“Mana Putri Bulan? Biasanya berdua” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Ada, nanti kita jemput atau panggil sekarang?” Ujar Macan Kumbang. Ada nada bahagia pada suaranya. Perasaan Macan Kumbang benar-benar tengah berbunga-bunga. Mendengar itu kujawab terserah mau dijemput atau suruh datang kemari. Yang lebih penting bagiku adalah mengapa kakek Njajau menyuruhku pulang malam ini?

“Selasih, Eyang ikut boleh?” Suara Eyang Kuda.

“Eyang tahu kalau aku mau ke tanah Besemah?” Ujarku tidak percaya. Sejenak aku ragu, tujuan aku disuruh pulang untuk apa? Urusan apa? Apakah pantas datang bersama Putri Bulan dan Eyang? Apakah tidak ada hal yang berkaitan dengan adat, tradisi, dan lain sebagainya mungkin tidak ingin diketahui oleh orang banyak apalagi berbeda adat dan tradisinya. Aku sudah bertanya dengan kakek Njajau, tapi belum juga terhubung dengan beliau. Entah mengapa. Akhirnya kujawab saja iya. Instingku mengatakan ada sesuatu yang cukup besar, berkaitan dengan kehidupan manusia jika Eyang Kuda hendak ikut. Beliau paham betul dengan hal-hal yang akan terjadi dan menghadangku. Secara tidak langsung, beliau mengawasi dan mejagaku seperti puyang dan kakek nenekku.

Aku salat sunat, lalu berzikir sejenak. Macan Kumbang lebih dulu salat dan zikir. Belum bangkit dari sajadah. Cahaya kuning kadang ungu dan biru seperti fatamorgana membalut tubuh Macan Kumbang. Usai salat aku berusaha fokus memusatkan diri pasrah pada Sang Khalik, menghilangkan segala ego. Aku menarik nafas pelan lalu melepasnya dengan penuh pasrah. Kuikuti sesuai dengan hentakan dan aliran darah tanpa mendorong daya dalam diri. Entah berapa lama aku hanyut dalam suasana yang indah itu. Aku merasakan tubuhku makin ringan ketika suara halus Eyang Kuda memanggilku.

“Sudah Selasih…mari kita ikut Macan Kumbang” katanya.

Ternyata setelah aku membuka mata, Macan Kumbang sudah duduk dekat Eyang Kuda. Aku tidak menyadarinya.

Macan Kumbang melemparkan pakaianku. Aku disuruh ganti baju. Akhirnya aku ganti dan mata Eyang Kuda terbelalak.

“Asli yang ada di hadapanku ini gadis Besemah tanah Sumatera. Luar biasa. Kau nampak cantik, gagah, Selasih. Pikir Eyang, kamu akan pakai kemben.” Eyang Kuda menggodaku. Tuk!! Aku mencoba menyerangnya dengan ujung jari.

“Hup!!” Eyang Kuda menangkis seranganku dengam cepat, lalu balik menyerangku. Aku menghindar dengan memutar serangannya kembali.

Tas!! Tas!! Eyang Kuda seperti memutuskan seranganku dengan mudah. Kuakui, orang tua ini luar biasa. Padahal beliau baru memainkan jari-jari tangannya saja.

“Sudah, berhenti main-mainnya. Ayo berangkat!” Ujar Macan Kumbang bangkit dari duduknya. Akhirnya aku baring lalu memisahkan diri dengan jasadku. Kupecahkan diriku meninggalkan satu sosok untuk menjaga rumah. Aku memeluk leher Macan Kumbang. Sementara Eyang mengubah dirinya menjadi kuda putih yang gagah, berbulu lebat, besar dan tinggi. Dalam waktu singkat kami bertiga telah melesat meninggalkan kota Rafflesia, menyusur angin di atas hutan dan bukit Barisan.

***

Di perjalanan aku bertanya pada Macan Kumbang, mengapa tidak jadi menjemput Putri Bulan? Katanya Putri Bulan sedang ada urusan, kalau sudah selesai beliau menyusul. Akhirnya aku diam saja. Eyang Kuda nampak sangat menikmati perjalanan ini. Ekspresinya sangat serius. Diam tanpa banyak bicara. Beberapa kali aku menoleh padanya. Beliau hanya melemparkan senyum kecil. Melihat punggung eyang Kuda yang kekar, muncul keinginanku untuk merasakan berada di punggungnya. Tidak terbanyangkan, betapa gagahnya Sentot Alibasya berada di punggung Eyang Kuda. Pahlawan Nasional kesayangan Pangeran Dipenogoro, tidak hanya muda dan cakap, namun juga berjiwa bersih dan gagah. Wajar kalau beliau memiliki kuda tunggangan yang hebat dan soleh seperti Eyang.

“Kita ke Seberang Endikat ya, Kumbang? Menemui kakek Njajau?” Tanyaku sekilas setelah melintas di atas anak sungai Musi Lintang. Kumbang menggeleng.

“Kita ke Kerajaan Pekik Nyaring. Menemui Puyang Pekik Nyaring.” Ujarnya. Aku jadi bertanya-tanya. Mengapa bukan Puyang Pekik Nyaring yang memanggilku pulang? Mengapa kakek Njajau? Ah siapapun yang memanggilku semoga nenek Kam, kakek Andun ada di sana. Aku sudah sangat rindu.

“Yang ada nenek Ceriwis, rindu ingin mencubitku,” kata Macan Kumbang menjawab pikiranku. Ingin rasanya mejitak kepalanya. Tapi ingat kalau beliau lebih dewasa dariku, akhirnya kuurungkan. Macan Kumbang tertawa kecil mendengar aku mencibir dan mendengus tidak suka.

“Eyang, ini tanah lahirku!” Ujarku pada Eyang Kuda ketika kami sudah dekat dengan gunung Dempu. Langit sedikit berawan. Hamparan kebun kopi dan aroma kembangnya tercium sangat menyegarkan. Sungai terlihat berkelok-kelok. Beberapa pondok terlihat menyelip di antara rimbun kebun. Sebagian lagi hamparan sawah yang masih hijau. Ladang kol dan tomat tumbuh subur di atas tanah berbukit yang semakin landai. Kami berjalan rendah. Terlihat beberapa satwa malam melintas di jalan bersemak. Aku bersyukur masih bisa melihat gerombolan babi hutan mencari makan, burung hantu, dan gugu meringkuk di ujung kayu besar di tepi sungai.

Kota Pagaralam nampak kecil. Penduduknya memang belum terlalu ramai. Kerlap-kerlip lampu yang menghiasi jalan kota nampak seperti kunang-kunang. Aku mengira-ngira posisi rumah kami yang terbakar dulu. Selintas terbayang masa kecilku di kota ini hingga menamatkan SMP yang terhambat.

Tak lama hamparan kebun teh mulai terlihat. Di lembah, beberapa sosok nenek gunung baik yang asral maupun tidak, melintas riang di antara pohon teh yang menghampar. Rumah-rumah pekerja kebun dan pabrik teh nampak berjajar di tangsi satu maupun ke tangsi dua. Pencahayaannya seperti lampu buram karena berbalut kabut gunung yang turun. Aku yakin, udara pegunungan kampung lahirku ini masih sangat dingin.

Aku memperhatikan beberapa jalan pelintasan nenek gunung terlihat lengang. Ada tangga yang bertingkat-tingkat, lalu ada pula jalan lebar dan bersih dari lembah sampai ke puncak Dempu. Jalan-jalan ini merupakan jalan para nenek gunung jika hendak pergi ke lembah, di luar kawasan gunung Dempu. Pohon rindang berjajar di tepi jalan. Pohon mirip dedap itu sedang berbunga. Beberapa bunganya jatuh ke badan jalan. Di tengah remang, aku masih dapat melihat beberapa nenek gunung kecil berlari riang. Kadang di badan jalan, lalu bersembunyi lagi di balik pohon yang tinggi. Sejenak aku pusatkan perhatianku. Siapa tahu aku melihat ada A Fung di antara anak-anak lucu itu. Oh tidak ada. Yang bermain di sana anak-anak nenek gunung perempuan semua. Mereka sebaya kira-kira berusia sembilan dan sepuluh tahun.

Aku menoleh ke barat. Bagian puncak gunung Dempu ini terhampar tanah berbatu kuning dan putih diselingi kayu panjang umur seperti peta. Ada yang bertumpuk, ada yang kosong sama sekali. Di tengah-tengah ada telaga gunung Dempu terlihat tenang dan sedikit mengeluarkan asap. Hampir tiap sisi aku melihat rumah-rumah panggung yang kokoh. Aku mencari-cari kampung yang mana pernah kusinggahi bersama nenek Kam dulu. Ternyata dari atas, baru terlihat dusun para nenek gunung, manusia harimau sangat luas. Tiap dusun dihubungkan jalan yang lebar. Jalan-jalan yang sisi kiri dan kanan ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Hamparan sawah sebagian sudah ada yang kuning.

Di tengah-tengah bangunan rumah panggung yang berjajar ada istana berwarna kuning lebih mencolok daripada yang lain. Begitu juga masjid agungnya, tempat aktivitas keagamaan mereka. Ternyata di dalamnya sangat ramai. Mungkin ada kajian agama atau apa. Aku melihat para jamaah mengenakan pakaian berwarna putih. Beberapa warna hitam. Jika dilihat dari atas, pantulan cahaya lampu yang berwana emas, lalu sosok-sosok lalu lalang serasa melihat para jamaah yang ada si masjidil haram.

Di mata biasa, di puncak gunung Dempu ini manusia hanya akan melihat hamparan hutan kayu panjang umur, dan dataran puncak gunung Dempu menghampar bebatuan dan perdu kekucing. Padahal di situ ada sawah dan perkampungan dimensi para manusia harimau. Aku kagum melihatnya. Subur dan rapi. Dari atas aku seperti melihat lukisan alam yang ditata sedemikian rupa. Menakjubkan.

Macan Kumbang memperlambat langkah dan mulai turun rendah. Setelah mengijak tanah, dirinya dan Eyang Kuda mengubah diri seperti manusia. Kami berjalan bertiga. Aku di tengah, diapit Eyang Kuda dan Macan Kumbang. Di hadapan kami pintu gerbang berdiri kokoh, tinggi dan luas.

Masih seperti dulu. Rumah-rumah panggung seperti menempel di sisi tebing, tertata rapi. Puncak istana kecil di sisi gunung Dempu, kerajaan Pekik Nyaring terlihat dari jauh. Eyang Kuda menoleh ke sana kemari menikmati pemandangan yang berbeda dengan dusun-dusun yang pernah ditemuinya. Sesekali lidahnya berdecak-decak lagu.

“Eyang, jauh di balik gunung ini, Samudera Hindia Bengkulu Selatan bisa terlihat. Pulangnya aku ingin lewat sana.” Ujarku tanpa jelas ditujukan pada siapa. Pada Macan Kumbang apa pada Eyang Kuda. Keduanya diam saja.

Sampai di pintu gerbang, dua penjaga pintu gerbang menatap kami dengan pandangan curiga. Mungkin karena penampilan Eyang Kuda yang berbeda. Membuat mereka nampak aneh. Meski terlihat ramah, namun kedua penjaga itu nampak tegas. Aku berjalan lebih maju. Demi melihat aku, keduanya langsung menyambut ramah.

“Putri Selasih!” Ujar salah satu mereka menyalamiku dengan sangat sopan. Aku kenalkan Eyang Kuda pada keduanya. Sementara Macan Kumbang sudah sangat mereka kenal, dia bebas ke luar masuk perkampungan satu ini. Kami berdua diiringi oleh dua orang penjaga lagi.

“Masya Allah, indah sekali kampung ini Selasih. Jadi kamu berasal dari sini?” Tanya Eyang Kuda. Aku mengangguk. Kukatakan jika aku keturunan kerajaan kecil ini. Puyangku raja Pekik Nyaring. Eyang Kuda mengangguk-angguk kecil. Meski berkain wiron dan sandal ceper, tidak membuat Eyang Kuda susah berjalan. Hanya saja penampilan beliau memang agak mencolok dibandingkan yang lain. Dan sangat mudah membedakan beliau dengan tamu lain. Apalagi dengan manusia harimau dari sumatera.

“Beliau datang dari Jawa ya Putri Selasih?” Tanya salah satu yang mengiringi kami. Mungkin karena melihat pakaian Eyang Kuda. Kukatakan iya, beliau berasal dari Jawa Tengah. Tepatnya Daerah Istimewa Jogyakarta. Beliau ada hubungan kekerabatan dengan keraton Jogja.

“Saya mah cuma abdi dalem. Cuma pembantu. Bukan siapa-siapa,” Eyang Kuda merendah.

“Bahkan sudah ratusan tahun saya tidak pulang-pulang ke seberang. Saya sudah jadi makhluk sumatera.” Sambungnya lagi. Eyang Kuda memang rendah hati. Beliau tidak pernah membanggakan diri atau memuja-muja junjungannya. Meski banyak orang yang tahu jika junjungannya yang pahlawan itu, sangat dikagumi hingga kini. Sama halnya dengan Pangeran Diponegoro, yang masih ada hubungan kekerabatan juga dengan Sentot Alibasya itu.

“Eyang, padahal Eyang Kuda dan Eyang Sentot orang hebat loh. Luar biasa. Memiliki ilmu tinggi, dan juga soleh. Tapi Eyang selalu merendah. Aku suka itu” Ujarku.

“Iya Eyang, untung yang hebat itu Eyang Kuda. Kalau Putri selasih yang hebat, bisa sombong dia Eyang. Bisa melalak dia Eyang.” Kata Macan Kumbang. Tinjuku langsung mendarat di bahunya. Aku tahu Macan Kumbang bercanda. Eyang Kuda tertawa mendengarnya.

“Melalak..melalak.. Apa artinya Macan Kumbang” Suara Eyang Kuda sambil menggeser blangkonnya.

“Melalak itu identik dengan sombong, Eyang.” Ujar Macan Kumbang. Beliau kembali tertawa sambil menatapku. Aku hanya tersenyum sambil mencibir ke arah Macan Kumbang.

Kira-kira berjalan dua ratus meter, kami di suruh berhenti. Di hadapan kami ada anak gadis menghadang sambil membawa sesuatu. Aku bertanya-tanya, ada apa ini. Apa yang akan diberikan pada kami? Ternyata aku di beri selendang rembang untuk kupakai menjadi tengkuluk dan kain sarung batik.

Aku dibantunya memakai kain dan mengikat tengkuluk ke kepalaku. Dalam hati aku bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Mengapa aku harus pakai busana adat? Macan Kumbang juga disiapkan kain tanjung yang dipakai di dalam baju kokonya di atur sedemikian rupa di atas dengkul. Selanjutnya aku berpisah dengan Macan Kumbang dan Eyang Kuda. Kami dikawal oleh pengantar khusus masing-masing. Eyang Kuda dan Macan Kumbang didampingi lelaki yang mengiring kami dari pintu gerbang, sedangkan aku bersama gadis yang membantuku memakai kain dan tengkuluk.

“Namamu siapa, adik, ayuk, kakang?” Tanyaku sembari mengawasi wajahnya untuk menakar usianya.

“Namaku Dahlia, Selasih. Aku lebih muda darimu.” Ujarnya tersenyum ramah. Sambil berjalan aku bertanya ada acara apa gerangan sehingga aku disuruh pulang? Kami berjalan di jalan setapak yang diapit rumah panggung. Sisi kiri halaman luas berumput rendah diselingi pohon-pohon rindang dan bunga mawar putih. Aroma bunga mawar tercium menyegarkan.

Aku dan Dahlia masih berjalan. Kali ini berjalan di alam terbuka. Pohon kemuning berderet di sisi jalan. Pun berbunga, harumnya menyebar hingga ke lembah. Rupanya bunga kemuning yang tercium menyegarkan sejak tadi selain bunga mawar. Dari kejauhan aku mendengar salawatan mengisi sebuah ruang yang menghubungkan dua rumah panggung. Aku diantar menuju rumah itu. Dari kejauhan Eyang Kuda dan Macan Kumbang juga menuju rumah yang sama, tapi pintu masuknya yang berbeda.

“Ada acara apa Dahlia, ada salawatan? Kita menuju rumah siapa?” Tanyaku penasaran. Sebab rasanya aneh betul aku pulang tapi tidak paham mengapa aku disuruh pulang. Tidak ada yang menjelaskan sebelumnya.

“Kita menuju taman belakang istana Pekik Nyaring, Selasih. Puyang dan beberapa kerabat lainnya sudah sejak tadi menunggumu. Sengaja kalian diajak melalui jalan ini agar mudah sampai ke taman belakang istana. Tidak melalui pintu gerbang istana yang kamu lihat mubungannya tadi. Sebentar lagi akan ada acara angkanan antara Paman Rimbe Calicah cucu Puyang Pekik Nyaring keturunan ke tiga, dengan Paman Rimbo Calicah dari Kerinci. Oh pahamlah aku. Rupanya akan ada upacara adat angkan-angkanan antara dua keluarga, Rimbe dan Rimbo karena namanya dianggap sama. satu bernama Rimbe artinya rimba bahasa Besemah. Dan Rimbo, artinya juga rimba bahasa Kerinci Sama-sama bernama rimba, satu Rimbe Calicah satu lagi Rimbo Calicah.

Aku baru tahu kalau aku punya kerabat dari kerjaaan pekik Pekik Nyaring bernama Rimbe Calicah. Dan bakal bertambah pula satu kerbat bernama Rimbo Calicah dari Gunung Kerinci. Karena nama mereka dianggap sama inilah maka dua keluarga mengakui dua-duanya sebagai anak, akan menjadi bagian keluarga masing-masing. Maka pertemuan hari ini akan diadakan upacara adat yang berkaian dengan mengangkat orang lain dari suku yang berbeda, menjadi anak yang disebut anak angkat. Peristiwa pengangkatan itu disebut angkan-angkanan. Mengapa dirayakan? Intinya supaya orang tahu kalau dua keluarga meski dari suku yang berbeda, namun menjadi satu keluarga. Nama yang sama telah mengikat dua keluarga menjadi keluarga besar. Sebuah tradisi adat yang indah menurutku. Cara menjaga silaturahmi dan kekerabatan dalam kehidupan bersosial yang patut dipertahankan.

Kali ini aku dan Dahlia menaiki anak tangga yang lebar. Beberapa perempuan menyambutku dengan ramah. Sebelum aku melangkahkan kaki ke pintu, aku dicegat terlebih dahulu. Ada beras kunyit dihamburkan ke dekat kakiku. Kembali aku bertanya, apa maksudnya? Mengapa aku disiram dengan beras kunyit? Rupanya cara ini adalah salah satu penghormatan pada tamu yang dianggap penting. Dalam hati aku berpikir begitu pentingnya aku sehingga mereka menyambutku demikian? Aku merasa kikuk diperlakukan berlebihan. Di kejauhan aku melihat beberapa perempuan yang pakaiannya sama persis dengan yang kupakai. Tengkuluk rebang dan kain sarung batik bermofif bunga kecubung. Bunga yang paling banyak tumbuh di lembah gunung ini. Selebihnya kulihat perempuan berpakain baju kurung dan kain batik pun memakai selendang rebang tapi dengan motif yang berbeda. Dahlia mengajakku terus berjalan menuju area paling depan ruangan yang luas. Kami telah sampai persisi di belakang istana rupanya. Di sebelah barat tamu lelaki duduk bersila. Sementara saat ini aku di posisi utara, para perempuan tua muda duduk rapi, pun di lantai. Di bagian ruang agak bawah, ada semacam panggung yang luas. Aku melihat ada beberapa perempuan duduk di sayap kiri dan kaum lelaki di sayap kanan. Di tengah panggung ada ambal tebal di tengahnya ada senampan makanan nasi lengkap dengan gulainya yang disebut dulang. Rupanya aku diantar ke atas panggung oleh Dahlia. Bergabung dengan para perempuan yang lebih dulu duduk di sana.

Baru saja aku naik tangga panggung, mataku tertuju pada lelaki berbaju gamis, bersorban, meski sudah sepuh namun tetap terlihat gagah. Beliau adalah Puyang Pekik Nyaring. Melihat aku datang beliau berdiri dan berjalan mendekati. Aku segera menuju beliau. Aku sujud padanya. Bukan main bening wajahnya. Puyang Pekik Nyaring memelukku erat sekali. Aku tahu semua mata tertuju padaku. Ada pula Puyang Ulu Bukit Selepah, kakek Andun, kakek Njajau, dan beberapa nenek gunung yang pernah kutemui di tanah Besemah. Aku sujud pada mereka satu-satu. Selanjutnya aku menuju tempat duduk para perempuan. Nenek Kam, nenek Ceriwis dan beberapa perempuan menyambutku dengan tangan terbuka. Aku memeluk nenek Kam erat-erat sembari menitikan air mata. Rasa rindu bertemu fisik sudah lama kuimpikan. Aku melihat kebahagian terpancar di wajah nenek Kam. Aku segera duduk di sampingnya setelah menyalami perempuan yang bekain sama dengan yang kupakai. Sudah bisa dipastikan mereka adalah kerabat dekatku meski tidak semuanya aku tahu.

Suasana panggung dan bagian belakang istana ini sebenarnya adalah taman terbuka. Lalu sengaja diberi atap dengan desain khas Besemah. Ukiran kayu dan dekor dari akar kayu panjang umur justru membuat suasana klasik tapi unik. Salawatan masih menggema mengisi suasana. Tak lama hening. Nampaknya cara angkan-angkanan akan segera dimulai. Pembawa acara menyampaikan tujuan jamuan malam ini sebelum dua Rimba Calicah berdiri berdampingan.

Puyang Pekik Nyaring maju ke depan podium. Setelah menyampaikan salam beliau menyampaikan ucapan terimakasih pada sanak keluarga telah hadir, selanjutnya beliau menyampaikan tujuan acara malam ini sekaligus cerita singkat bagaimana mulanya bisa dua rimba yaitu Rimbe dan Rimbo bertemu, akhirnya kedua orang tua mereka sepakat untuk menjadikan kedua anak ini menjadi anak mereka bagian keluarga mereka. Sehingga hubungan kekerabatan semakin kental. Selanjutnya dilanjutkan dengan acara suap-suapan. Kedua Rimba di suruh duduk bersebelahan. Orang tua Rimbe mengambil dulang yang sudah disediakan, lalu menyuapi Rimbo. Sebaliknya ke dua orang tua Rimbo menyuapi Rimbe. Selanjutnya. nasi dulang dalam nampan dibiar berada di hadapan keduanya. Tak lama doa berlangsung. Aku melihat kakek Andun yang bertugas memimpin doa. Usai berdoa, para tetamu disuruh makan di hidangan dalam ruang teras istana

Di sana telah disiapkan puluhan hidagan untuk para tamu. Aku melihat Eyang Kuda berpelukan dengan beberapa tamu. Mungkin kenalannya. Lalu bersama mereka menuju hidangan yang telah disediakan. Eyang Kuda agak kerepotan duduk bersila seperti yang lain karena kain wiron yang beliau pakai. Aku tersenyum melihatnya. Akhirnya Eyang duduk menyamping seperti pengantin.

Lagu-lagu kasidah berkumandang mengiringi para tamu santap malam. Dua rimba makan berdua. Nasi dulang yang disuapkan pada mereka berdua tadi mereka lanjutkan santap bersama. Aku masih asyik ngobrol dengan Nek Kam dan nenek Ceriwis. Kusampaikan jika sebentar lagi aku akan libur sekolah, maka aku akan pulang ke Seberang Endikat. Senyum nenek Kam mekar bahagia. Bagaimanapun keinginan untuk bersama, siang malam bersama, masuk hutan bersama, malam-malam petualang ke rimba-rimba adalah impian yang sempat terlontar berdua. Kami serupa anak kecil membangun angan-angan. Apalagi jika teringat Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Rinduku semakin buncah.

“Nenek, nanti pulang dengan siapa?” Tanyaku di sela-sela obrolan. Biasanya beliau bersama Macan Kumbang, tapi tadi Macan Kumbang bersamaku. Rupanya nenek Kam sudah tiga hari di sini. Dan akan pulang tiga hari lagi. Ketika kukatakan kalau begitu aku juga mau tingal tiga hari di sini, tidak mau pulang dulu, nek Kam melarang. Alasannya aku harus sekolah. Dan tidak baik untuk diriku kelamaan meninggalkan jasad di tanah orang. Berbeda dengan beliau, jasadnya bisa ikut hadir di sini tanpa was-was. Karena ini wilayah kelahirannya dan banyak yang menjaganya.

Malam makin larut. Para tetamu sudah banyak yang pulang. Dua Rimba ikut bincang-bincang padaku. Mereka adalah saudara sepupuku. Demikian kata Puyang Pekik Nyaring. Kakek Andun meraihku duduk di sampingnya. Aku bergelayut manja di bahunya yang wangi. Beliau bincang-bincang banyak hal dengan Eyang Kuda. Kukenalkan Eyang Kuda dengan Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah.

“Eyang Kuda, tidak bisa berbohong ya misalnya mengaku orang Cina, atau orang Kalimantan.” Kata Kakek Njajau.

“Kenapa Kek?” Tanya Eyang Kuda balik bertanya.

“Ya bagaimana mau mengaku orang Cina atau orang Kalimantan, orang penampilan Eyang dengan busana Jawa? Ditambah bahasa Eyang, dialek jawanya medok!” Sambung kakek Njajau. Semua yang duduk di sana yang mendengar ikut tertawa.

“Idak, sayo lah jadi orang Bengkulu. Bajunyo ajo pakaian orang Jawa.” Canda Eyang Kuda pakai bahasa Bengkulu tapi logat Jawa. Semua yang hadir semakin jadi tertawanya.

Secangkir kopi panas telah lama habis. Bajik gemuk manis, dan gunjing yang dihidangkan sebagai makanan selingan pun sudah habis kumakan beberapa biji. Tapi obrolan para sesepuh tak juga ada putusnya. Ada saja bahan cerita mereka. Termasuk membahas tentang kerajaan-kerajaan kecil di lembah yang menghadap ke Samudera Hindia, lalu pengikutnya banyak yang nakal dan sengaja menghasut manusia agar mereka yakin jika yang sering mencelakakan manusia adalah manusia harimau, nenek gunung. Nenek gunung selalu mereka fitnah. Tidak banyak yang tahu jika kita adalah mahluk beradat dan beradab. Mereka selalu menganggap negatif tentang kita. Ujar salah satu di antara nenek gunung. Tapi sekali lagi, puyang Pekik Nyaring mengatakan sabar, dan jangan pedulikan. Biar Allah saja yang balas semuanya. Kita makhluk hidup akan mati, pengadilan Allah akan menghakimi setiap makhluknya yang jahat.

Aku memanfaatkan waktu yang singkat mencari A Fung. Tak lama A Fung ke luar dari kerumuman orang yang masih berdiri. Aku dan A Fung berpelukan. Seperti pertemuan tempo hari, A Fung terlihat lebih dewasa dengan pakaian gamisnya. Rupanya dia sudah melihatku dari tadi. Namun karena dia bertugas melantunkan syalawat, dan al barjanji dia hanya bisa menatap aku dari jauh. Aku kembali memeluknya. Bangga dan bahagia.

Jelang subuh, Eyang Kuda mengajakku pulang. Aku mencari-cari Macan Kumbang. Selama sesepuhku ngobrol, Macan Kumbang tidak ada di antara mereka. Kemana dia?

“Nek, Macan Kumbang kemana tidak kelihatan batang hidungnya sejak tadi” Tanyaku pada nenek Kam dan nenek Ceriwis. Keduanya menyatakan tidak tahu. Aku coba membatin mencari keberadaannya. Oh! Rupanya Macan Kumbang dan beberapa gadis sedang asyik duduk di bangku taman. Di antara gadis itu ada Putri Bulan. Kapan dia datang? Nampaknya Putri Bulan sangat akrab ngobrol dengan gadis dusun ini. Mereka sudah saling kenal rupanya. Aku meminta Dahlia untuk memanggil Macan Kumbang dan Putri Bulan agar masuk menemui Puyang Pekik Nyaring untuk pamit pulang. Tak lama keduanya datang. Akhirnya aku, Eyang Kuda, dan Putri Bulan mohon izin pulang.

Seperti biasa perpisahan adalah hal terberat dalam hidup. Meski setiap waktu aku bisa mengontak semuanya, namun akan berbeda jika berkumpul dan tatap muka seperti ini. Tapi perpisahan tetap harus ada diakhir pertemuan. Malam itu aku bersama Eyang Kuda, Macan Kumbang dan Putri Bulan menembus kabut gunung kembali ke tanah Rafflesia.

Keinginanku untuk pulang menyisir pantai batal. Kami harus mengatarkan Putri Bulan terlebih dahulu. Aku memeluk leher Macan Kumbang dengan erat. Eyang Kuda dan Putri Bulan berada di sampingku. Sebenarnya aku hendak memakai selendangku, tapi dilarang Macan Kumbang. Alasannya kenapa tidak dari tadi. Akhirnya aku pasrah dan patuh menunggangnya, Membiarkan angin menerpa kami berempat, menikmati elusannya yang kencang.

Alam masih hening. Belum terlihat aktivitas bangsa manusia. Kecuali kesibukan di dimensi lain seakan bergegas karena sebentar lagi akan muncul fajar. Saatnya mereka pulang istirahat, lalu berganti pula giliran manusia yang beraktivitas. Aku menguap sesekali pertanda sudah mengantuk dan lelah. Aku jadi berpikir, kapan aku menikmati malam dengan wajar? Jika malam dan siangku nyaris sama? Hidup yang aneh. Aku heran pada diriku sendiri.

Bersambung…
close