PENAKLUK KERAJAAN JIN GANTARAWANG
JejakMisteri - Adalah penamaan tempat yang hingga kini dianggap angker dan berhubungan dengan kisah penaklukan Raja Jin oleh seorang Kyai sakti yang dikenal dengan nama Haji De'eng.
Konon Gantarawang adalah nama Kerajaan Jin yang letaknya berada di Petir, Serang. Secara fisik area yang disebut Gantarawang ini adalah sebuah bukit diantara hamparan pesawahan yang luas. Di seberang sawah ada sebuah daratan menjorok, orang sunda menyebutnya Bojong, yang konon dahulunya banyak ditumbuhi pohon Menteng. Itulah Bojong Menteng, kampung tempat berdirinya pondok pesantren (kobong) Haji De'eng.
Dalam kesehariannya, Haji De'eng adalah Kyai yang memiliki banyak santri. Di pondoknya ia mengajarkan ilmu syari'at, hikmat hingga tasyauf. Konon, sang Kyai awalnya adalah murid dari tiga orang ulama Penyiar Islam di Banten yang wafat di Petir. Pemakaman ketiga Ulama bergelar Syaikh itu berada di sebuah perbukitan yang dinamai Kodon di Kampung Trahan.
Gantarawang berada ditengah antara Bojong Menteng dan Trahan. Secara metafisik Gantarawang adalah sebuah perkampungan astral bahkan dipercaya sebagai pusat dari Kerajaan Jin yang ramai dan besar. Konon, asal mula raja raja Jin di Pulau Jawa berasal dari keturunan Raja Jin di Gantarawang ini.
Saking luasnya Nagari Gantarawang, salah satu pintu gerbangnya berada di atas Gunung Karang, gerbang itu disebut "Lawang Taji" yang diyakini oleh masyarakat setempat sebuah Gua yang tembus ke Gantarawang Petir. Oleh warga disana Lawang Taji juga disebut Gantarawang.
Selain di Gunung Karang, gerbang lainnya konon berada di Ujung Kulon. Gerbang itu disebut Lawang Saketeng.
Lalu, siapakah Haji De'eng sang Penakluk itu?
Banyak orang yang salah sangka tentang Haji De'eng dan berpikir negatif bahwa beliau adalah Raja Jin di Gantarawang. Cerita ini perlu saya luruskan karena Insya Allah saya adalah salah satu dari sekian banyaknya keturunan beliau, dari nasab Almarhum Kakek, KH. Kartawijaya, berasal dari Trahan, Petir Serang.
Haji De'eng sebenarnya bukan nama asli, tapi sebutan dari orang-orang yang mengenalnya. De'eng berasal dari kata "Deng-deng". Sebutan itu melekat dikarenakan Haji De'eng selain seorang Kyai, kesehariannya adalah pembuat Dendeng Ikan Gabus dibantu santri santrinya. Konon dari usaha dendeng ikan itu pula Haji De'eng bisa berangkat menunaikan ibadah haji, dan bahkan ia membawa dendeng ikan ke Mekah dan menjualnya disana.
Itulah musabab panggilan beliau Haji De'eng alias Haji Dengdeng, Kyai yang menaklukan Raja Jin di Gantarawang, pembuat dengdeng.
Nama asli Haji De'eng adalah Bagus Yali lahir di Banten dengan nama Pangeran Yali, sejak kecil beliau mondok di Petir dan dititipkan kepada Ulama dari Timur Tengah yang ditempatkan oleh Sultan Banten di Petir untuk syiar Islam, yaitu Syaikh Ahmad Rifa'i dan Syaikh Ahmad Mantasi.
Di pondok para Syaikh itu santrinya banyak dari kalangan keluarga Istana Kesultanan Banten, salah satunya adalah Bagus Yali. Mungkin karena itulah nama kampung itu disebut Trahan yang berasal dari kata Trah.
Bagus Yali atau dikenal juga H. Ali diurus oleh keluarga Kyai Ahmad Wahum, kelak ia dinikahkan dengan putri Kyai Ahmad Wahum dan berketurunan di Bojong Menteng.
Berdasarkan penelusuran data, Bagus Yali atau Pangeran Yali adalah putera Sultan Abul Mafakir Muhammad Alliyudin (1773 - 1799).
Pendapat dari keluarga lain menyatakan bahwa Yali atau Ali adalah putera Kyai Ahmad Wahum yang nasab teratasnya ke Panembahan Maulana Yusuf dari putrinya yang ke 10, yaitu Ratu Manis.
Perbedaan silsilah itu tentu hal wajar dan tidak perlu dipersoalkan, karena setiap orang tua berceritanya lewat lisan atau "tuturan" dan mungkin belum ada yang mencatatnya secara runut, termasuk almarhum Kakek saya. Ini mungkin saatnya saya menuliskan tentang sejarah keluarga sendiri agar tidak simpang siur dan dapat terabadikan.
Adapun kisah penaklukan Raja Jin di Nagari Gantarawang, sesuai cerita Kakek sebagai berikut :
Alkisah. Setiap hari Haji De'eng dan beberapa santrinya rutin memasang Bubu pada sore hari setelah shalat Asyar di aliran sungai dan cerukan sawah yang tergenang. Bubu yang dipasang pun berjumlah belasan, kadang 20 lebih, tergantung banyak tidaknya lokasi yang bisa dipasangi. Setiap pagi, para santri mengambil ikan yang terjebak didalam Bubu, hanya ikan Gabus berukuran tertentu yang diambil untuk dibuat Dendeng Ikan di Pondok.
Namun, selama satu minggu belakangan, tiap hari mereka tidak dapat satu ekor ikan pun. Awalnya dianggap biasa saja, namun bila sampai seminggu tidak mendapat seekor ikan pun tentu membuat Haji De'eng keheranan, padahal selama ini ikan gabus di areal sana selalu melimpah. Apakah ada pencuri?
Demi menjawab rasa herannya itu, Haji De'eng dan beberapa santrinya memutuskan untuk mengintip dikala hari gelap dari balik rumpun perdu. Malam terus bergerak, tapi tak ada satu pun orang yang yang datang mencuri ikan dalam Bubu yang di pasang. Santri yang ikut mengawasi tak mampu menahan kantuk, mereka terlelap seperti terkena ajian sirep.
Haji De'eng sadar ada yang tidak beres dan ia bertahan untuk terjaga dibalik rimbunnya perdu yang mulai basah oleh titik embun. Tak lama kemudian, tepatnya menjelang waktu tahrim, beberapa sosok mahluk berperawakan macam macam turun dari sebuah bukit, sambil bersenda-gurau mereka mengambil dan mengumpulkan ikan dari tiap bubu. Saking banyaknya ikan yang diperoleh mereka membawanya dalam beberapa tanggungan.
Haji De'eng geram, ia terus mengawasi gerak gerik mereka. Ketika mereka beranjak pergi, Haji De'eng pun membuntuti sambil terus menjaga jarak. Ia ingin tahu, mau dibawa kemana ikan ikan itu. Setelah berjalan beberapa lama, ternyata mahluk mahluk itu menuju Gantarawang. Selama ini Haji De'eng tahu bahwa di bukit Gantarawang ini adalah kerajaan Siluman, namun baru kali ini berani mengganggu dan mencuri miliknya.
Setelah sampai ditengah perkampungan ghaib Haji De'eng menampakan diri dan menghentikan rombongan siluman pencuri, lalu menghajar mereka satu persatu. Terjadilah pertarungan, Haji De'eng dikeroyok oleh sekelompok siluman Gantarawang, namun semuanya tumbang ditangan Haji De'eng dan memohon ampun. Karena merasa belum selesai urusannya, Haji De'eng menantang Raja Siluman Gantarawang untuk bertarung satu lawan satu.
Raja Siluman mendengar soal tantangan itu, dengan marah dia menghampiri Haji De'eng dan menyerangnya. Konon, Haji De'eng dan Raja Siluman itu bertarung hingga tujuh hari tujuh malam di lembah Gantarawang, bekas bertarungnya hingga kini menjadi sebuah cekungan besar dan masih bisa dijumpai.
Pada hari ke tujuh, Raja Siluman akhirnya dapat dikalahkan. Ia bertekuk lutut dan memohon ampun kepada Haji De'eng. Awalnya Haji De'eng akan mengusir mereka semua dari Gantarawang, namun Raja Jin itu memohon agar tetap berada disana dan berjanji tidak akan mengganggu manusia di daerah sana lagi.
Sang Raja bercerita bahwa ia dan semua rakyatnya sudah sejak lama, bahkan sebelum adanya manusia, sudah menempati tempat itu. Semua bangsa Siluman yang tersebar di Pulau Jawa berasal dari Nagari ini. Mungkin ia bisa dikatakan maharaja bangsa siluman di daratan Pulau Jawa.
Raja Jin Gantarawang memberi tahu nama semua raja-raja Siluman termasuk dimana saja tempatnya, bila ada manusia yang tahu nama nama raja itu maka ia dianggap sudah menundukan mereka.
Permohonan Raja Jin Gantarawang itu tidak dikabulkan semuanya oleh Haji De'eng, ia menganggap bahwa populasi Siluman di Gantarawang terlalu banyak melebihi jumlah manusia yang ada di wilayah Petir, sehingga harus dikurangi.
Haji De'eng sejak masuk ke perkampungan itu melihat bahwa ada tujuh lapis perkampungan siluman sekeliling bukit Gantarawang dengan susunan rumah yang padat, oleh karenanya ia meminta agar setengah dari jumlah penghuni Gantarawang dipindahkan dari sana. Selain itu Raja Jin harus menjamin bahwa tidak akan mengganggu bangsa manusia lagi, terutama para santri.
Raja Jin menyanggupi hal itu, bahkan ia bersumpah bahwa dirinya dan seluruh bangsa siluman dibawah kekuasaannya akan tunduk kepada Haji De'eng dan takan pernah berani menyentuh dan berurusan dengan anak keturunan Haji De'eng.
Selama sehari, setengah penduduk Nagari Gantarawang berbondong bondong meninggalkan tempat itu, dikawal oleh pasukan kerajaan menuju sebuah tempat di ujung barat pulau Jawa. Konon sebagian menempati pulau pulau di sepanjang Selat Sunda.
Sejak saat itu, kehidupan di sana kembali normal, tidak lagi ada gangguan dari bangsa siluman, bahkan mereka hidup berdampingan dengan damai dengan manusia. Interaksi antara Haji De'eng dengan bangsa siluman tidak berhenti sampai disini, beberapa Jin dari Gantarawang malah memilih masuk Islam lalu menjadi santri di Pondok Haji De'eng.
Raja Siluman Gantarawang konon sering mengirimkan utusannya yang menyerupai sepasang Kakek dan Nenek, entah pesan apa yang disampaikan, hanya mereka yang tahu. Namun, menurut bocoran, sepasang utusan itu adalah siluman paling berpengaruh di Nagari Gantarawang (Maaf, namanya tidak bisa saya sebutkan).
Dibiliknya, setiap kali datang utusan itu, Haji De'eng mengambil pena bulu angsanya yang dicelupkan ke tinta Japaron. Ia menulis satu persatu nama-nama Raja Siluman diatas lembaran daluang, sesuai dengan nama yang disebutkan oleh kedua utusan Raja Jin Gantarawang itu.
Kedua utusan itu juga menceritakan asal muasal mereka ada disana dan mengapa dinamakan Gantarawang. Bagi orang yang memiliki mata batin atau "thrid eyes", pada waktu tertentu, tepat dari tengah puncak bukit akan terlihat garis cahaya vertikal tembus melewati awan di langit, cahaya itu kadang berwarna perak, kadang kuning keemasan. Itu adalah tangga menuju "Gantara" yang dirajai oleh leluhur mereka yang bermarga "Awangga". Gantara adalah sebuah tempat di angkasa, berada ditengah antara langit dan bumi, di atas cakrawala dan awan, tapi berada di bawah langit semesta. Oleh karenanya disebut Gantarawang.
Selain menulis tentang itu, Haji De'eng pun menulis silsilah Raja Jin Gantarawang dalam lembar daluang yang lain, sayang tulisan yang itu dicuri oleh sahabat Haji De'eng yang bersahabat dengannya sejak kecil, Sulton. Sulton tahu bahwa apabila hapal silsilah raja Siluman maka siapa pun manusianya akan memiliki kekuasaan untuk meminta apa pun kepada Raja siluman.
Apakah Haji De-eng tidak tahu soal hal itu? Tentu saja dia tahu, dia biarkan hal itu terjadi sebagai ujian keimanan sahabatnya
Godaan itu tak bisa ditepis oleh Sulton, ketika pada suatu masa Haji De'eng menghilang dari Bojong Menteng, raib bagaikan ditelan bumi. Sulton mulai tergoda untuk datang ke Istana Gantarawang dan meminta apa yang ia inginkan kepada Raja Jin. Sebenarnya Haji De'eng pernah beramanat pada Sulton, bahwa apabila suatu hari ia tergoda untuk meminta kepada bangsa siluman, maka ia dan anak keturunannya akan mati muda.
Sejak saat itu, secara turun-temurun anak cucu Sulton kabarnya menjadi perantara manusia yang bersedia bersekutu dengan bangsa siluman di Gantarawang, mulai dari urusan cinta, jabatan, popularitas, sampai tempat pemujaan.
Lalu dimanakah Haji De'eng setelah hilang dari Bojong Menteng?
Ada yang beranggapan bahwa Haji De'eng telah meninggal dunia dan dimakamkan di belakang pondok Bojong Menteng.
Namun ada pula yang meyakini bahwa ia belum meninggal. Konon setelah sirna dari Petir ia muncul di Gunung Karang, tepatnya di Lawang Taji. Disana ia mendirikan Pondok dan menjadi Kyai dengan nama yang sama, Haji De'eng. Di Gunung Karang ia pun memiliki keluarga. Dalam waktu tertentu ia pulang ke Petir melalui Gua Lawang Taji yang tembus ke Gantarawang.
Sementara itu, praktek perdukunan Sulton yang bersekutu dengan Raja Jin makin ramai dan meresahkan. Nilai ketauhidan manusia sedang dipertaruhkan. Haji De'eng anggap bahwa Raja Jin sudah melanggar perjanjian, walau pun Haji De'eng sadar bahwa Jin dan Setan memang diciptakan Allah untuk menjerumuskan umat manusia pada kesesatan hingga tibanya kiamat kelak.
Suatu hari Haji De'eng datang lagi ke Istana Gantarawang, ia menegur keras sang Raja bahkan memberikan hukuman. Raja Jin dikurung di dalam sebuah Gua batu yang ada disana dengan kaki terikat rantai besi yang hanya bisa dilepaskan oleh Haji De'eng dan salah satu keturunannya.
Oleh karena itu, Haji De'eng beramanat pada anak keturunannya bahwa, mereka dilarang menginjakan kaki di Gantarawang, kecuali ilmu ketauhidannya sudah cukup, agar tidak tergoda oleh bujuk rayu Raja Jin yang dapat memberikan apa saja yang dipinta oleh keturunan Haji De'eng demi dilepaskan dari kurungan itu.
"Untuk membuktikan amanat, mungkin sekitar 10 tahun lalu saya injakan kaki untuk pertama kali di Gantarawang. Kedatangan saya kesana setelah menerima kabar bahwa disana ada praktek pemujaan, saya perlu mengecek kebenarannya walau pun pihak keluarga merasa risih. Terbukti memang diatas bukit Gantarawang ada sepasang pohon beringin besar, sepintas seperti sepasang manusia sedang berpelukan. Tepat dibawah kedua pohon itu ada ruang terbuka dan tumpukan batu, bekas perdupaan dan darah yang mengering diatas batu, mungkin bekas ritual. Konon, sekitar seminggu setelah itu, kabarnya salah satu pohon beringin roboh dan ritual pemujaan pindah ke area lain."
Kembali ke Haji De'eng. Setelah beberapa tahun tinggal di Gunung Karang, pada suatu hari ia dikabarkan meninggal tapi tidak diketahui dimana mayatnya. Sebelum dikabarkan hilangkonon pernah ada seorang pemuda berpakaian seperti seorang Pangeran yang datang menemui Haji De'eng ke Pondokan.
Haji De'eng pernah mengatakan bahwa yang datang menemuinya adalah putera Sinuwun Banten Maulana Hasanudin, yang suatu saat kelak akan menjadi Sultan di Banten. Dibawah titah Pangeran itu kelak Banten akan meraih kejayaannya kembali. Hal seperti ini memang disilokakan juga dalam Uga Kebantenan.
"Bila dikaji perkataan itu, tentu bisa kita perkirakan bahwa keadaan Banten waktu itu tidak sedang baik-baik saja. Atau bisa jadi saat itu adalah masa akhir dari Kesultanan Banten yang resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan Muhammad dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten."
Catatan: nama Sulton, hanyalah nama rekaan penulis, bukan nama sebenarnya.
Setelah menghilang dari Lawang Taji Gunung Karang, dikabarkan beliau sering terlihat berada di pesisir selatan Ujung Kulon bersama seorang pemuda, Pangeran yang pernah menemui Haji De'eng di Pondok Gunung Karang, dialah Pangeran Aryadilah.
Pangeran Aryadilah adalah tokoh kontroversi, ada yang menganggap bahwa benar ada; ada juga yang menganggap hanya tokoh mitos. Terlepas dari itu, konon Aryadilah adalah putera Sinuwun Maulana Hasanudin dari Nhay Kandita, Ratu penguasa laut selatan, wilayah kekuasaannya mulai dari Ujung Kulon sampai Pelabuhan Ratu. Oleh karenanya wajar bila Pangeran Aryadilah dan Haji De'eng sering terlihat di sepanjang pesisir selatan.
Kedua orang itu seringkali berpindah pindah tempat, pernah di Mantiung, Tanjung Cariang, Air Mokla, Ranca Pinang, Cipangeran, Batu Hideung, Gunung Tilu, Gunung Honje, Sanghyang Sirah dan terakhir di Leuweung Tari Kolot. Di wilayah sana ia lebih dikenal dengan sebutan Kyai Pelen, Ki Pelen atau Abah Pelen.
Di Tari Kolot itulah ada sebuah makam yang konon makam Ki Pelen. Selain di Tari Kolot, dibeberapa tempat lain pun ada makam Ki Pelen, salah satunya di Kebon Cau Pandeglang. Untuk yang di Kebon Cau ini kemungkinan terkait perjalanan beliau saat di Gunung Karang.
Demikianlah kisah Haji De'eng, perjalanannya penuh misteri dan sulit diterima oleh nalar orang awam.
Apa yang saya tulis ini sebagaimana tutur yang saya dengar selama bertahun-tahun dari Kakek dan narasumber lain. Kembali saya ingat ingat dan ditulis agar tersimpan baik untuk pengetahuan keluarga dan siapa saja yang ingin mengetahui. Terlepas benar atau tidaknya kisah ini, hanya Allah yang tahu, Wallahu'alam bishawab.
Harapan saya, setelah ditulisnya kisah Haji De'eng ini ada pelurusan stigma masyarakat terhadap peran beliau yang dicap oleh sebagian orang awam sebagai tokoh yang menakutkan, seperti Raja Jin, pembawa malapetaka, atau sejenisnya. Padahal yang sebenarnya beliau adalah seorang Ulama kharismatik yang memiliki karomah mampu menundukan Raja Siluman di Gantarawang.
Bila ada jalan cerita atau alur yang berbeda tentang perjalanan Haji De'eng ini, terutama dari pihak satu keturunan, mohon tidak perlu mempersoalkannya. Bila kita tak mampu mengikuti jejak keulamaan Haji De'eng, setidaknya jangan angkuh dan sombong, tirulah sikap sederhana dan ketawadhuan beliau.
~~SEKIAN~~