Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 58)


“Kau harus paham, Bulan. Demi hubungan baik kita, dan demi kelangsungan adat istiadat kita. Siapa lagi yang akan menjaga, melaksanakannya, dan melestarikannya. Kitalah, Nak. Bak paham perasaanmu. Tapi sebagai anak semata wayang, apa pesan Bak dan Mak-mu, patut kau pertimbangan. Ini demi kebaikanmu, dan kebaikan kita semua. Yakinlah, tidak ada orang tua yang ingin anaknya menderita. Bak ingin kamu bahagia, Nak.” Suara Bak, ayah Putri Bulan lembut menekan. Sementara Mak hanya diam saja di sudut ruang sambil menahan air mata yang hendak jatuh.

Beliau jadi ingat ketika masa lajangnya dulu. Dirinya sudah punya pilihan hati, seorang pemuda berasal dari bukit Tabalagan. Saat ini pemuda pilihannya tersebut menjadi kepala suku di salah satu rompok bukit barisan di bumi Rafflesia. Saat itu, Mak merasakan dunianya kiamat, ketika kedua orang tuanya memaksanya menikah dengan ayah Putri Bulan sekarang, tanpa dilandasi cinta sedikit pun. Bahkan ingin rasanya saat itu ia mengakhiri hidupnya. Dia anggap orang tuanya adalah makhluk terkejam yang ia temui. Hingga sekarang, jika mau jujur, hatinya masih terpaut dengan lelaki yang dia cintai itu. Apa yang dia jalani hidup bersama Riu Saputra, Bak Putri Bulan hanya sekadar menjalankan kewajiban karena telah diikat tali pernikahan. Berulang kali dia mencoba untuk menerima kenyataan, menyadarkan diri jika dirinya telah menjadi istri Riu Sapura, kepala suku di bawah kekuasaan kerajaan Datuk Ratu Samban di gunung Bungkuk. Sudah tak terhitung, ia mencoba menumbuhkan perasaan cinta untuk Riu Sapura, bahkan sampai kini masih terus berusaha belajar menyintainya, bahkan Putri Bulan telah tumbuh menjadi gadis cantik dan dewasa hasil dari masa pencahrian itu, tapi masih juga gagal. Cinta itu tidak pernah tumbuh sempurna. Kadang merasa bersalah, dan berdosa. Namun tetap saja kalah. Mak tidak menemukan jalan untuk ke luar dari rongrongan batin yang gila itu. Akhirnya ia jalani hidup bersama Riu Sapura, ayah Putri Bulan dengan perasaan datar saja. Sekarang kejadian yang sama nampaknya akan terjadi pada putri tunggalnya, Putri Bulan.

“Yaa Allah…mengapa luka hatiku harus kembali terkoyak dan dialami oleh anakku, Putri Bulan?” Akhirnya Mak tak mampu membendung air mata. Serupa mata air, terus mengalir bahkan tubuhnya terguncang-guncang sesegukan. Bertahun-tahun pula dirinya menyembunyikan perasaan di hadapan Riu Sapura. Ia tunduk dan berusaha mejadi istri yang setia. Tapi jauh di lubuk hati ada cinta yang tak pernah mati meski berulang kali membunuhnya. Mak berusaha menekan perasaannya hingga urat-urat tangannya menegang. Pikirannya pun seperti melayang ke alam lain. Betapa berat menahan perasaan yang satu ini. Puluhan tahun dia coba mengubur masa lalunya, berusaha melupakannya. Sekarang seperti pintu berkarat terkuak kembali, bergegas mencari sinar matahari. Semakin terang. Mak menahan dadanya. Tiba-tiba terasa sesak dan hendak meledak.

“Bak, aku paham keinginam Bak. Aku hargai keinginan Bak. Orang tua mana yang menginginkan anaknya menderita. Pasti ingin anaknya bahagia. Tapi Bak, apa Bak yakin ketika aku menjadi istri Darang Kuning, aku akan bahagia? Dari sisi mana Bak katakan aku akan lebih baik? Sementara aku tidak kenal sama sekali dengan sosok yang hendak Bak jodohkan itu padaku. Bulum tentu pula dia menerima dan menyintai aku.” Jawab Putri Bulan dengan nada tenang. Dia berusaha menahan gejolak di hatinya. Meski Baknya terkenal tegas dan bengis, namun Putri Bulan tidak gentar. Dia berusaha membuka cakrawala baru pada Baknya. Baknya harus tahu bahwa orang lain juga punya keinginan, punya rencana, dan yang penting punya perasaan yang tidak sama dengan dirinya.

“Ah! Perasaan itu bisa berubah setelah kamu bersatu, Bulan. Lihat Bak dan Makmu.” Ujar Bak lagi. Akhirnya dengan pelan Putri Bulan menyatakan masih ada waktu untuk berpikir jernih sebelum memutuskan. Jangan buru-buru. Putri Bulan membujuk Baknya dengan lembut sambil memegang lengannya manja. Akhirnya orang tua itu luluh juga. Melihat anaknya lembut dan tidak keras melawannya Bak tidak bisa bicara apa-apa. Malah manggut-manggut sambil berkata datar, dan berpesan agar jangan lama-lama, karena orang tua Darang Kuning menunggu jawaban mereka. Putri Bulan mengangguk sambil tersenyum manis. Selanjutnya minta izin ke dalam. Ketika berbalik badan, tanpa minta izin lagi, Putri Bulan meluncur ke tepi sungai Air Putih sambil berurai air mata. Dia menangis sepuas-puasnya. Apa yang disampaikan Bak hendak menjodohkannya pada Darang Kuning seperti petir di siang hari. Bagaimana mungkin Baknya tega memaksanya, menerima lamaran orang tua Darang Kuning, padahal Baknya tahu jika Macan Kumbang beberapa kali bertemu dengannya, mengenalkan diri, dan dari bahasa tubuhnya sebenarnya pahamlah Bak jika Macan Kumbang tidak hanya sekadar ingin kenal. Apa yang harus dia ceritakan jika Macan Kumbang tahu? Demi mengingat ini Putri Bulan kembali menangis. Mengapa selama ini Baknya seakan memberikan peluang dan menerima Macan Kumbang? Mengapa Bak seakan merestui dan selalu mengizikan jika mereka bertemu atau pergi berdua? Mengapa Bak seakan menerima kehadirannya Macam Kumbang untuk mengisi hari-hari anaknya? Mengapa tidak dari awal Bak melarang Macan Kumbang agar menjauhi anaknya atau mengingatkan dirinya agar tidak dekat dengan Macan Kumbang? Berbagai pertanyaan ‘mengapa’ di benak Putri Bulan seakan percikan api berpendar-pendar hendak membakar. Tidak ada yang bisa dilakukan Putri Bulan selain rasa perih yang teramat dalam. Rasa takut kehilangan Macan Kumbang, rasa takut melawan Bak dan Maknya, rasa takut hidup bersama orang yang belum dikenalnya, rasa takut memaksakan diri harus mengalihkan perasaan cintanya, dan lain sebagainya membuat Putri Bulan seakan tidak menginjakkan kaki di alam bunian lagi. Tapi seperti melayang di awang-awang tanpa mengerti harus kemana. Akhirnya Putri Bulan telungkup di atas batu besar, menangis sepuasnya.

“Tuhan! Izinkan aku menentukan nasibku sendiri. Izinkan aku melabuhkan cintaku sesuai dengan anugerah rasa yang Engkau berikan, Yaa Rabb…!” Putri Bulan berteriak sekencang-kencangnya. Suara Putri Bulan yang diiringi dengan tenaga dalamnya justru membuat batu dan air sungai bembuncah, memercik ke sana kemari. Batu pun berhamburan, mengagetkan semua satwa yang ada di sekitar sungai.

“Hei! Beraninya kau mengganggu tidurku perempuan kuntil. Kurang ajar!!” Sosok ‘antu banyu’ menyembul dari salah satu lubuk sungai. Putri Bulan kaget bukan main. Dia tidak menyangka jika teriakannya akan membuat batu dan air membuncah dan mengganggu tidur salah satu makhluk sungai yang tengah tidur.

“Maafkan aku Paman, aku tidak menyangka teriakanku mengganggu tidur Paman.” Ujar Putri Bulan sambil menyeka air mata. Ternyata makhluk asral dari air itu tidak terima apa pun alasan Putri Bulan. Dia masih marah. Lalu melakukan penyerangan pada Putri Bulan. Karena merasa bersalah, Putri Bulan berusaha tidak memberikan perlawanan, Putri Bulan hanya menghindar ke sana ke mari. Melihat Putri Bulan hanya menghindar, Antu Banyu merasa diremehkan, dan membuatnya semakin marah.

“Mengapa kamu hanya menghindar saja perempuan kunti. Hayo lawan aku. Aku paling benci diajak bermain-main. Jangan salahkan aku jika kau celaka atau mati!” Antu Bayu semakin gencar melakukan penyerangan. Beberapa kali pukulannya mengenai semak belukar. Hasilnya semuanya menjadi hancur-lebur. Belum lagi tebasan ekor dan tubuhnya yang seperti ular itu, mengibas-ngibas cepat dan memiliki kekuatan luar biasa. Sejenak wilayah sungai riuh seperti hutan yang terbakar. Bunyi berderak-derak kadang seperti letupan memekakkan telinga. Putri Bulan paham kemarahan Antu Banyu ini, tapi saat ini dirinya sungguh tidak ingin bertempur. Makanya dia tidak melakukan pembalasan sedikit pun. Akhirnya Putri Bulan memutuskan melarikan diri dari serangan Antu Banyu untuk menghindari pertempuran. Putri Bulan enggan melayani berbagai macam pertarungan saat ini. Masih banyak hal yang harus dia selesaikan terutama mengendalikan perasaannya seperti ditimpa ratusan gunung itu.

“Maafkan aku Paman, aku enggan bertarung denganmu.” Putri Bulan melesat meninggalkan sisi sungai Air Putih, membiarkan Antu Banyu ngamuk sendiri. Dia hapus jejaknya agar Antu Banyu tidak mengejarnya.

Dalam pelarian, Putri Bulan sambil berpikir mencari tempat yang aman untuk membaca nasib dan perjalanan hidupnya. Selama ini dirinya berusaha menjadi anak tunggal yang patuh, karena kepatuhannya pula sehingga Datuk Ratu Agung percaya padanya dan diangkat sebagai salah satu hulubalang kerajaan Gunung Bungkuk. Hanya dia perempuan termuda yang menguasai hampir seluruh ilmu kebatinan yang diwariskan Datuk Ratu Agung. Karena kebersihan hatinya, membuat Ratu Agung sangat percaya dan menyayanginnya. Putri Bulan salah satu orang kepercayaan Ratu Agung. Tapi ketika berhadapan dengan perasaan seperti ini, sungguh Putri Bulan merasa dirinya tidak berguna sama sekali. Tidak ada artinya ilmu kebatinan yang dia miliki. Sungguh tidak perdampak pada perasaan cinta dengan berbagai macam problemnya. Putri Bulan kembali menitikkan air mata sembari terus berlari ke arah yang tidak jelas. Sementara Mak, usai pertemuan dengan Bak masuk ke dalam melampiaskan tangisnya yang tersisa. Dia pun berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat Bak jika dia menangis. Biarlah dia saja yang tahu, jika perasaan hancur hatinya masih tersimpan hingga kini. Setelah menyeka air mata, dan mengubah air mukanya, Mak ke luar kamar dan berusaha tersenyum mencari Putri Bulan. Mak sudah berkeliling mencari Putri Bulan. Hampir setiap sudut rumah sudah dicarinya. Namun Putri Bulan belum terlihat batang hidungnya. Mak berusaha ke luar lalu mencari tempat berbagai kemungkinan kira-kira Putri Bulan berada. Sengaja Mak tidak bertanya pada orang -orang yang ditemuinya. Setelah sekian lama mencari, belum juga ada tanda-tanda keberadaan Putri Bulan, baru Mak berusaha membatin memanggil Putri Bulan. Berkali-kali beliau melakukannya, namun tetap gagal. Putri Bulan tidak bisa dihubungi. Mak mulai risau. Apa yang harus beliau jawab kalau Bak bertanya tentang keberadaan Bulan? Akhirnya Mak duduk sambil menyimpan perasaan khawatirnya. Beliau berharap Putri Bulan bisa bersikap dewasa dan terbuka. Lalu berharap Bak berubah lalu menyadari sikapnya untuk tidak memaksakan kehendak. Zaman sudah berubah. Terlalu naib mempertahankan adat dan keturunan sementara hak azazi seseorang ditepisnya sama sekali. Sampai kapan kebiasaan mengekang anak perawan dengan alasan orang tua selalu memberikan yang terbaik? Bukannya sampai saat ini Mak tidak merasakan hal yang terbaik kecuali terpaksa menjalaninya dan berpura-pura tidak ada masalah dan menerima? Padahal semua karena terpaksa. Sampai kapan hidup ini penuh kepuraan-puraan? Pura-pura mau? Pura-pura menerima sementara di dalam batin, dia kubur segala keinginan. Membiarkan batin menjerit karena tak mampu berbuat apa-apa. Ini bukan persoalan adat! Adat hanya dikambinghitamkan untuk mewujudkan keinginan pribadi. Keinginan orang tua, yang memandang persoalan hati dengan sebelah mata. Terlalu remeh mengagap perasaan bisa diubah. Padahal jika ditanya satu-satu di antara orang yang mengalami nasib sama seperti Mak, mungkin jawabannya sama. Menderita!!

Mak jadi ingat bagaimanan pertama kali kenal dengan Bak di pelaminan. Rasa bersalah dan penghianat membelenggu batinnya hingga kini. Berapa lama dia dipresi karena tak kuat menghadapi kenyataan. Dia paksakan diri mematuhi kehendak orang tuanya. Alasannya sama persis seperti disampaikan Bak pada Putri Bulan. “Ingin anaknya bahagia.”

“Aku tidak ingin Putri Bulan mengalami hal yang pernah kualami.” Mak membatin. Akhirnya Mak berpikir bagaimana caranya meyakinkan Bak agar tidak memaksakan kehendaknya. Jika Putri Bulan menolak, apakah masih harus dipaksa? Mak harus bicara. Sekarang muncul lagi perasaan risau Mak. Tidak seperti biasanya Putri Bulan tidak bisa dihubungi. Naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi. Meski Putri Bulan tetap tersenyum manja, lalu menjawab dengan nada datar seakan tiada beban, namun Mak merasakan di dalam dada Putri Bulan menyimpan gejolak yang tidak bisa orang lain rasakan. Apalagi selama ini Mak tahu betul melihat bahasa tubuhnya Putri Bulan dan Macam Kumbang memiliki perasaan yang sama. Mereka saling menyimpan perasaan itu dengan cara mereka sendiri. Sikap mereka berdua sangat dewasa, bahkan terlihat akrab seperti bersaudara. Tapi Mak tahu, pandangan mata ke duanya mengisyaratkan perasaan mereka. Ah! Mak menepis analisa perasaannya. Rasanya Mak kembali ke masa puluhan tahun yang lalu. Air matanya kembali merembes tak mampu dihalangi. Mak berdiri di sisi jendela rumah bubungan lima warisan orang tua Bak. Rumah yang cukup besar dibandingkan dengan rumah yang ada di sekitarnya. Apakah ada jaminan rumah yang besar ini penghuninya bahagia? Mak melempar pandang jauh ke lembah. Ingin rasanya menyusup ke lembah sedalam-dalamnya menyembunyikan perasaannya kembali.

“Ada apa, Delima? Andung perhatikan dari tadi dirimu resah. Ada masalah apa?” Suara Andung pengasuh dirinya dan Putri Bulan sejak kecil, tiba-tiba berdiri di belakangnya. Mak segera menyusut air matanya.

“Ah tidak ada apa-apa, Andung. Aku hanya memperhatikan lembah. Rasanya ingin sekali turun ke sana.” Suara Mak menyembunyikan perasaannya. Andung menghampiri dan memegang pundak Mak.

“Kamu jangan membohongi, Andung, Nak. Andung paham dirimu sejak kecil, demikian juga Putri Bulan. Andung paham siapa kalian. Jadi jangan bohongi Andung.” Suara Andung lembut. Mak terperanga. Andung memang seperti orang tuanya sendiri. Beliau adalah pengasuh dirinya sejak beliau masih kecil, hingga Putri Bulan pun ikut diasuhnya. Oleh sebab itu beliau sudah seperti orang tua sendiri. Andung dianggapnya sebagai pengganti almarhum ibunya. Mak langsung memeluk Andung menumpahkan perasaannya.

“Andung masih ingat bagaimana ketika aku dipaksa Bak menikah dengan Riu Sapura? Andung yakin pada waktu itu aku bahagia? Andung yakin sekarang pun aku bahagia menjadi istri Riu Sapura?” Tanya Mak beruntun. Mendengar itu Andung terbengong. Dadanya ikut bergetar. Beliau masih ingat bagaimana dia berusaha membujuk Dahlia agar menerima nasibnya dengan ikhlas. Meyakinkan Dahlia bahwa perjodohan itu adalah takdirnya, sudah digariskan Allah. Bagaimana dia ikut menangis ketika melihat Dahlia jatuh sakit dan ingin bunuh diri. Bayangan duka itu ikut mempengaruhi jiwa Andung. Dia sangat tahu perasaan Dahlia perempuan yang diasuhnya sejak orok. Wanita tua itu seperti patung tak mampu berkata apa-apa. Ditatapnya wajah Mak dengan penuh tanda tanya.

“Andung berharap kamu baik-baik saja, Nak…” Suara Andung lirih. Dibiarkannya Mak menumpahkan tangis di pangkuannya. Tangan tuanya mengelus-ngelus punggung Mak dengan penuh kasih sayang.

Andung seperti di bawa puluhan tahun silam ketika Dahlia mengalami peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, Andung berusaha menyalurkan perhatian dan kasih sayangnya dengan cara mengelus dengan penuh kasih sayang punggung Dahlia. Menenangkannya, mendengarkan keluh kesahnya. Persis seperti sekarang.

“Aku tidak ingin Putri Bulan mengalami nasib sepertiku, Andung. Cukup aku saja yang merasakan betapa menderita hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai. Betapa beratnya hidup berpura-pura. Meski kata Andung belajarlah menerima takdir, sudah kucoba, Andung. Tapi aku gagal. Aku berpura-pura menerima takdir, padahal hati tidak. Aku mencoba menyintai Riu Sapura, tapi hingga kini aku tidak paham apakah sudah tumbuh rasa cinta itu atau tidak? Aku tidak pernah tahu, Andung. Aku tidak pernah merasakan getar rindu atau apalah namanya padanya. Hingga kini, Andung. Aku tidak pernah bisa meski Putri Bulan kini sudah tumbuh dewasa. Aku lelah Andung menyimpan perasaan pura-puraku. Aku merasa berdosa.” Tangis Mak meledak.

Andung mengajak Mak masuk ke kamarnya lalu menguncinya. Dibiarkannya Mak menangis sepuasnya hingga sarung bantal basah semua.

“Mengapa masa lalu itu kau ungkit lagi, Nak. Bukannya Andung selalu berpesan jangan pernah berhenti untuk belajar. Belajar menerima kenyataan. Belajar untuk menakhlukan kehendak hati, dan belajar menerima takdir. Jangan sesali apa yang sudah terjadi. Tapi berusahalah mengisi hari ini dengan sesuatu yang lebih baik,” ujar Andung pelan setengah berbisik. Meski perasaannya pun berat, tapi Andung selalu berusaha untuk menjadi penasehat anak yang telah diasuhnya sejak kecil ini. Hingga kini Andung tetap berada di garda paling depan meluruskan jika ada hal yang kurang tepat. Dirinya semacam konselor bagi Dahlia. Perempuan anggun pendiam dan lembut dalam bertutur di matanya. Perempuan yang selalu tersenyum, yang meneduhkan banyak orang. Andung baru menyadari jika di balik kelembutan itu ada luka yang disembunyikannya diam-diam. Oh! Dahlia!

***

Malam ini aku baru saja selesai mengerjakan tugas kimia, dan fisika. Rencananya besok pagi aku latihan teater di pantai Jakat. Semoga tidak hujan. Soalnya dua hari yang lalu kami batal latihan di pantai karena gerimis. Beberapa hari ini Bengkulu sering kali hujan mendadak. Langit selalu terlihat mendung.

Sambil bersenandung aku merapikan buku menyiapkannya untuk sekolah besok. Aku mencari-cari naskah teater yang harus kuhafal. Sudah bolak-balik tetap tidak kutemukan. Aku garuk-garuk kepala, bingung. Perasaan buku itu selalu kuletakkan di atas rak buku selain mudah mengambilnya, setiap waktu aku bisa baca sambil menghafal dialog-dialognya. Tapi ini tidak ada. Aku jadi ingat ketika aku kehilangan buku puisiku, ternyata A Fung, bocah keturunana Tionghoa mengambilnya, membawanya ke alam gaib, lalu teriak-teriak membaca puisi-puisi di dalamnya. Buku itulah menjadi media terjalinnya rasa sayang dan rindu padanya A Fung. A Fung bocah kelahiran 1955 itu minta diakui sebagai adikku. Apakah mungkin naskah teaterku ada yang iseng membawanya ke alam gaib? Lalu aku memfokuskan diri mencoba mencarinya. Siapa tahu dugaanku benar. Baru saja aku hendak memejamkan mata, tiba-tiba ada suara memanggilku. Suara itu terdengar sedikit tergesah-gesah.

“Selasih…Selasih…kamu di mana?” Suara lembut Putri Bulan. Aku menajamkan telinga. Aku heran mendengar desah nafasnya tidak seperti biasanya. Ada apa dengan Putri Bulan?

“Bulan….Bulan. Kemari, aku ada di rumah” Panggilku. Aku menunggu dengan perasaan sedikit cemas. Ada apa dengan Putri Bulan. Tidak lama aku merasakan angin berhembus lembut dan membawa harum bunga. Sosok Putri Bulan sudah berdiri di hadapanku. Aku kaget melihat wajahnya. Tidak seperti biasanya. Kemana wajah cantik dan lembutnya selama ini? Aku melihat awan buram menyelubungi wajahnya. Rambutnya dibiarkannya tergerai dan sedikit acak-acakkan, bahkan dibiarkan menutupi sebagian pipinya. Dan mata itu, merah, sedikit sembab. Melihat kondisinya Aku tidak berani bertanya. Usai menyalami dan memeluknya aku hanya menatapnya. Kubiarkan dia tidur di atas kasurku menghadap ke dinding. Lama kutatap punggungnya. Di dalam hati muncul berbagai pertanyaan. Ada apa gerangan? Mengapa Putri Bulan nampaknya sangat sedih? Apakah ada masalah dengan Macan Kumbang? Atau masalah lain? Kembali aku membatin. Aku tidak berani untuk mengetahui masalah apa yang tengah melanda Putri Bulan yang kukenal hebat ini. Tak lama aku mendengar suara tangis pelan sekali. Putri Bulan sesegukan. Akhirnya aku memilih duduk diam. Masih menatap punggungnya, membiarkannya menangis. Mendengar suara tangisnya yang sangat pilu, muncul pula rasa sedihku. Terasa jika batin Putri Bulan tengah menghadapi masalah berat. Aku tertunduk mendengarkan tangis pilunya.

“Ada apa Putri Bulan, tangismu begitu pilu. Ada masalah apa?” Tanyaku pelan setelah tangisnya agak reda. Putri Bulan membalikkan badan menghadapku. Masya Allah, wajahnya basah. Matanya semakin merah dan sembab. Aku menatapnya penuh tanya. Muncul rasa kasihan. Aku bingung harus bicara dan menolong apa. Jika Putri Bulan diserang orang karena pertempuran, aku bisa membalasannya. Tapi kalau sudah urusan perasaan apa yang bisa aku lakukan? Aku salah tingkah harus berbicara apa dan mulai dari mana tidak tahu.

Kupegang tangan Putri Bulan. Kuelus dengan lembut. Kutatap matanya dalam-dalam.

“Ada masalah apa, Bulan? Ada yang bisa kubantu?” Suaraku pelan. Lama aku menunggu, tidak ada jawaban yang kulihat air mata mengalir dari mata indah Putri Bulan. Pelan-pelan Putri Bulan bangkit, aku membantunya sambil menahan pundaknya. Tubuhnya sangat layu. Aku mencoba menambahkan energi padanya.

“Tidak usah kau transfer energimu Selasih. Energimu tidak akan bisa membantu menyelesaikan masalah.” Ujar Putri Bulan pelan. Dia raih tanganku. Kami bertatapan.

“Aku hendak dijodohkan oleh Bakku dengan Darang Kuning, Selasih. Lelaki yang tidak kukenal. Anak salah satu Temenggung dari Bukit Putri Hijau, Muko-Muko. Orang tuanya saudara jauh Bak,” air mata Bulan kembali merebes.

“Dijodohkan?”Tanyaku kaget. Aku langsung terbayang Macan Kumbang. Bagaimana dengan Macan Kumbang jika kehilangan Putri Bulan? Hatiku tiba-tiba ikut perih. Aku tidak ingin Macan Kumbang kembali sedih. Jika Macan Kumbang dan Putri Bulan benar memiliki perasaan yang sama, artinya untuk ke dua kalinya Macan Kumbang menyintai wanita. Sekarang wanita itu hendak dijodohkan dengan orang lain. Duh! Aku pun tak sanggup membayangkan perasaan Macan Kumbang.

Sejenak hati dan pikiranku ikut kacau. Rasanya aku tidak rela melihat Macan Kumbang kecewa.

“Kapan kalian akan menikah?” Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur saja dari bibirku. Putri Bulan menggeleng. Dia sampaikan jika permintaan orang tuanya belum dia jawab. Dia masih minta waktu.

“Bakku bukan orang yang gampang diajak berbicara rasional, Selasih. Dia pasti terus ngotot dengan dalih demi menjaga hubungan keluarga, adat istiadat dan lain sebagainya. Aku yakin, beliau pasti masih hendak menjodohkan aku” Ujar Putri Bulan lagi.

“Lalu apa yang bisa kita lakukan? Putri Bulan tidak mau dijodohkan, bukan?” Aku sekan-akan mendukung penolakannya.

“Aku tidak mau dijodohkan, Selasih. Aku ingin memilih sendiri pendamping hidupku. Aku sudah punya pilihan sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa hidup bersama orang asing yang tidak kita kenal sama sekali sebelumnya. Berumah tangga bukan sementara, tapi untuk selamanya. Aku mungkin sama dengan perempuan lainnya, ingin hidup bersama dengan orang yang kita cintai tanpa paksaan dari siapa pun.” Lanjut Putri Bulan.

Akhirnya aku juga ikut berpikir mencari solusi dan berbagai macam kemungkinan agar perjodohan itu batal.

“Sudah, jangan menangis terus. Aku jadi ikut sedih melihatmu menangis. Mari kita pikirkan bersama-sama jalan keluarnya. Jika aku bisa menolong, maka akan aku lakukan. Kan masih ada waktu untuk berbuat. Lamaran itu belum diiyakan oleh Bakmu. Artinya kita masih ada waktu” Ujarku memberi semangat. Wajah Putri Bulan agak berubah. Aku mulai berpikir langkah apa yang harus aku atau Putri Bulan lakukan. Aku harus ikut berjuang demi Macan Kumbang, bagaimana pun Macan Kumbang tidak boleh frustasi ke dua kalinya. Tapi ketika aku sadar, apakah Putri Bulan dan Macan Kumbang saling menyintai? Aku belum tahu keseriusan mereka. Bagaimana kalau pilihan Putri Bulan yang sebenarnya bukan Macan Kumbang?

“Putri Bulan, Tolong jawab dengan jujur, agar aku bisa menentukan langkah. Apakah pilihan hidup yang engkau maksud adalah hidup bersama Macan Kumbang?” Aku mencari jawaban di sinar mata Putri Bulan. Putri Bulan menatapku lembut sekali. Meski matanya masih merah, tapi aku bisa membaca lembab matanya. Sebelum Putri Bulan mengangguk, aku tahu sinar matanya tidak bisa berbohong. Dia menyintai Macan Kumbang.

“Demi kalian berdua, aku akan lakukan apa yang bisa kulakukan. Tolong beri tahu aku di mana tempat tinggal Darang Kuning.” Ujarku bersemangat. Rencananya, aku akan menemui Darang Kuning dengan segera. Semula Putri Bulan melarang. Dia tidak ingin aku ikut campur dan terlibat dalam urusannya. Namun aku berusaha meyakinkan Putri Bulan, siapa tahu karena campur tanganku perjodohan itu bisa dibatalkan. Aku berusaha menyakinkan Putri Bulan, aku akan lakukan dengan caraku.

Akhirnya kuketahui, Darang Kuning tinggal di Bukit Putri Hijau Muko-Muko. Daerah perbatasan provinsi Bengkulu dengan Sumatera Barat. Tak sulit bagiku untuk mencarinya. Yang penting aku tahu suku dan namanya. Akhirnya aku berjanji pada Putri Bulan, tidak perlu lama aku akan sampaikan hasilnya padanya. Putri Bulan nampak kembali optimis. Wajahnya yang buram sedikit berseri. Kembali dia bertanya apa yang akan aku lakukan. Aku hanya mejawabnya dengan senyum.

“Rahasia perusahaan, tidak ada yang boleh tahu. Termasuk paduka Tuan Putri, tidak boleh tahu” Aku mencoba menggodanya. Dadaku lega ketika sekilas melihat senyumnya.

Suasana hening sejenak. Aku berpikir langkah-langkah yang akan aku lakukan. Sebenarnya aku belum pernah ke Bukit Putri Hijau. Mendengarnya juga baru sekarang. Misiku bertemu dengan Darang Kuning. Aku merancang-rancang pertanyaan apa yang akan kulontarkan ketika bersua dengannya. Semuanya kusimpan dalam hati. Sementara Putri Bulan kembali merebahkan badan, sembari memandang langit-langit kamar.

“Aku pulang dulu, Selasih. Nanti Mak khawatir karena aku pergi tidak pamit dengan beliau. Aku tunggu kabarmu.” Ujar Putri Bulan bangkit. Secara tersirat pahamlah aku, jika Putri Bulan pada dasarnya mengharapkan bantuanku.

“Bukit Putri Hijau, Darang Kuning” Aku membatin menyebut nama daerah dan nama lelaki yang hendak dijodohkan dengan Putri Bulan. Putri Bulan baru saja pulang. Paling tidak dia pulang membawa harapan baru. Ah! Semoga Putri Bulan tak sepelik bayangannya menghadapi Baiknya yang tegas itu. Aku berdoa dalam hati.

Usai salat isya aku mencoba membaca dengan batin arah mana Bukit Putri Hijau. Seperti apa daerah itu? Indah sekali namanya? Oh, ternyata masih jajaran bukit barisan yang berbukit-bukit, berhutan, dan bersungai. Aku melihat banyak sekali sungai meliuk-liuk dan sambung-menyambung, baik sungai besar mau pun kecil. Aku kembali membuka mata. Bangkit dari sajadah, merapikan kamar lalu bergegas mengganti baju.

“Selasih, pakailah baju yang diberikan nenek Putri Kuning, pakaian itu ciri sukumu,” Kakek Andun mengingatkan. Oh! Rupanya aku tidak boleh sembarangan pakai baju? Batinku. Kembali kakek Andun mengatakan, dalam misi yang berbeda maka berbeda pula pakaian yang harus kekenakan. Akhirnya aku mengenakan pakaian yang pernah kupakai ketika melawan tiga dukun dari pulau Jawa, di perbatasan Lampung dulu. Aku heran, pakaian ini kukenakan ketika aku masih kecil ternyata masih muat hingga kini? Apakah tubuhku yang tidak besar-besar, atau pakaian ini yang bisa menyesuaikan diri? Yang jelas aku sangat nyaman memakainya. Aku segera memecah diriku mejadi dua sebelum pergi.

Kueratkan pengikat kepalaku. Rambutku yang panjang kujalin dua. Aku segera membaca mantra angin. Secepat kilat aku meluncur ke arah utara. Sengaja aku berangkat sendiri. Malam ini aku harus bertemu dengan Darang Kuning. Akan kucari dia. Bila perlu akan kuculik dia agar aku bisa berbicara empat mata padanya.

Aku melintas di atas bukit yang berjajar. Tenggorokanku terasa kering ketika melihat sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan tanah tandus ditumbuhi pohon kelapa sawit yang masih remaja. Aku memperkirakan luasnya ratusan bahkan mungkin ribuan hektar. Lagi-lagi batinku kecewa melihat kulit bumi yang rusak.

“Sisi mana Ya Allah kulit bumi ini tidak ditumbuhi oleh pohon-pohon serakah ini?” Batinku. Aku terus meluncur dengan perasaan sedih. Di beberapa titik hutan yang baru ditebang kayu besar dan kecil melintang pukang. Beberapa alat berat berjajar di tengah hutan. Timbul isengku. Aku turun sejenak. Rupanya di dekat alat-alat berat itu berdiri tenda para pekerja. Lalu sebagian lagi mereka ada yang tidur di atas pohon, membuat semacam rumah pohon. Ada sekitar dua belas orang pekerja. Aku benci sekali melihat alat-alat mereka. Mesin pemotong kayu dengan mata gergaji dari yang berukuran kecil sampai yang besar. Belum lagi mesin pengeruk tanah, dan lain sebagainya. Aku mencari di antara mereka siapa yang mengendalikan alat-alat berat ini. Kubuat separuh tubuhnya kaku, tidak bisa digerakkan. Lalu yang bertugas menebang kayu pun tak ketinggalan, ada tiga orang, kubuat tangan mereka tidak bisa bergerak, ada yang tangan kiri, ada yang tangan kanan. Selanjutnya kusapukan kabut di mata mereka. Biar semuanya menjadi rabun, lama kelamaan aku berharap mereka akan buta ayam. Kudekati alat-alat berat itu. Semua kuncinya kulebur agar tidak berfungsi lagi.

“Mampus kalian!” Ujarku geram. Lalu aku meluncur ke atas kembali, sebenarnya aku ingin menaburkan racun agar mati sawit-sawit yang telah ditanam ini. Tapi seketika aku ingat jika yang hidup di sana bukan hanya pohon sawit, ada semut, serangga, ular, dan hewan lainnya akhirnya kuurungkan. Aku turun kembali.

“Mengapa tidak jadi anak gadis? Kami bersyukur jika sawit-sawit ini mati.” Tiba-tiba dua sosok nenek gunung berdiri di hadapanku. Aku menatap keduanya.

“Maafkan saya Paman, siapa kalian?” Tanyaku sedikit curiga.

“Kenalkan namaku Muning Kriya dan ini Udai Satra. Sejak tadi kami memperhatikanmu Gadis. Nampaknya engkau datang dari jauh. Kami melihat engkau marah dengan pekerja-pekerja itu. Kalau boleh tahu, siapa namamu Gadis, dan apa hubunganmu dengan bangsa manusia itu?” Tanya Muning Kriya dengan logat bahasa daerah yang sangat kental. Aku segera mengenalkan diri. Lalu kusampaikan jika aku sedih melihat ribuan hektar hutan telah rata menjadi kebun sawit. Aku marah melihat pohon-pohon tinggi melintang pukang di mana-mana. Makanya ketika melihat alat berat berada di hutan ini, dan melihat para pekerja ada di sini, kurusak dan kubuat mereka semua lumpuh tangan, lumpuh kaki, lumpuh separuh badan dan rabun. Lalu kusampaikan juga sebelumnya aku hendak meracuni sawit-sawit ini, tapi ketika ingat ada makhluk hidup di sekitarnya, niat itu kubatalkan.

Aku menyalami keduanya. Dua lelaki kira-kira berusia tiga puluhan ini bertubuh tidak terlalu tinggi. Rambut keduanya lurus. Rahang keduanya agak menonjol sehingga wajah keduanya nampak tegas. Keduanya bercerita, mereka tinggal tidak jauh dari sini. Kampung mereka dekat telaga alam yang berliku di lereng bukit. Aku menatap ke arah yang mereka tunjuk. Bagian bukit yang melandai. Jadi perkampungan mereka ada di sana? Di kelilingi kebun sawit ini? Aduh! Aku membayangkan pasti pemukiman mereka ikut hancur, lalu apa mata pencaharian mereka? Sebagian lagi bangsa nenek gunung ini hijrah ke pedalaman, ke bukit-bukit lindung membuat dusun baru di sana. Kehidupan mereka makin terdesak? Wajar saja jika beberapa satwa, ada nenek gunung, gajah, ngamuk hingga masuk ke dalam pemukiman manusia, mereka telah kehilangan hutan hunian tempat mereka berlindung dan mencari makan. Belum lagi rusa, kijang, kambing hutan, dan lain sebagainya, mereka juga kehilangan tempat berlindung, lalu diburu.

Selanjutnya Muning Kriya dan Udai Satra bertanya aku hendak ke mana. Akhirnya aku ceritakan jika aku hendak ke bukit Putri Hijau hendak menemui seseorang.

“Bukit Putri Hijau? Di mananya itu? Lalu siapa yang hendak kamu temui Putri Selasih?” Tanya Udai Satra. Dari beliau aku tahu, jika di sana ada beberapa suku hidup berdampingan. Ada nenek gunung bersuku Serawai, Suku Minang, Suku Kerinci dan pedalaman Jambi, ada juga suku Rejang. Aku terperangah. Banyak sekali suku di sana. Sementara aku tidak tahu pasti Darang Kuning dari suku mana? Benarkah suku Rejang seperti kata Putri Bulan yang menduga-duga.

“Banyak sekali suku di sana, Paman. Aku kira hanya suku dari Bengkulu saja, Serawai dan Rejang. Aku tidak tahu pasti orang yang kucari dari suku mana. Namanya Darang Kuning.” Ujarku sedikit berpikir. Aku juga belum tahu seperti apa wajah Darang Kuning. Bagaimana jika ada dua Darang Kuning? Kemungkinan yang tidak terpikir olehku sebelumnya.

“Darang Kuning? Apa tidak salah Selasih? Apa tidak salah hendak bertemu dengan Darang Kuning?” Kata Udai Satra seperti tidak percaya. Aku membaca nada bicaranya.

“Paman Udai kenal dengan Darang Kuning?” Tanyaku.

“Siapa yang tidak kenal dengan Darang Kuning. Ayahnya Temenggung salah satu suku di sana. Hampir semua daratan Utara ini tahu siapa Darang Kuning.” Sambungnya lagi. Aku sedikit lega. Artinya tidak sulit mencari Darang Kuning. Banyak orang yang kenal dirinya. Dalam hati aku mengira-ngira, pasti Darang Kuning ini orang yang hebat. Anak seorang Temenggung. Artinya dia dari keluarga orang terhormat. Ah! Tidak penting bagiku anak siapa Darang Kuning. Mau anak Temenggung, anak rakyat jelata, anak raja, anak antu belau pun terserah. Yang penting aku ingin bertemu. Lalu menyampaikan sesuatu padanya.

“Pikirkan sekali lagi jika hendak bertemu Darang Kuning, Selasih” Ujar Muning Kriya. Aku kaget. Apa maksudnya pikirkan sekali lagi? Memangnya ada apa dengan Darang Kuning? Aku menatap wajah Muning Kriya penuh tanda tanya. Batinku mengatakan kedua nenek gunung ini jujur dan baik. Mereka polos. Pernyataan mereka membuatku ingin tahu siapa Darang Kuning sebenarnya.

“Ada apa dengan Darang Kuning, Paman?” Tanyaku penasaran.

“Setahu kami, Darang Kuning selain terkenal anak seorang Temenggung yang berilmu tinggi. Tapi sikapnya agak sombong. Selanjutnya hal yang yang tidak baik padanya ialah gemar kawin, entah berapa orang janda Darang Kuning di kampung itu. Darang juga suka berjudi” Sambung Muning Kriya. Aku baru tahu jika di alam manusia harimau ada juga yang suka kawin cerai dan berjudi. Sungguh baru kali ini aku mendegarnya. Selama ini yang kuketahui permasalahan nenek gunung umumnya berkaitan dengan kehidupan mereka diganggu bangsa manusia. Jarang sekali aku menemukan persoalan sesama mereka. Dan jika mereka bergesekan dengan manusia, pasti ada sebabnya. Mereka tidak bisa hidup sesuka mereka, jika menggigit atau makan manusia saja maka mereka akan dikejar sampai dapat dan akan dihukum adat. Hukuman mati! Di tanah Besemah belum pernah aku mendegar nenek gunung yang jabalan gemar berjudi dan kawin cerai. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya. Kiranya inilah makna pepatah itu.

“Ada perlu apa dirimu hendak menemuinya Putri Selasih? Jika tidak terlalu penting, batalkan saja. Apalagi untuk menemui beliau konon tidak akan bisa ditemui di rumahnya, dia pasti ada di gelanggang. Sementara di sana orangnya kasar-kasar semua. Paman khawatir ketika mereka melihatmu. Seorang gadis belia, bisa jadi mereka melecehkanmu. Mereka itu jahat dan bengis. Selama ini tidak ada yang mau berurusan dengan Darang Kuning dan kawan-kawannya. Sebab pasti akan berbuntut panjang… ” Ujar Muning Kriya agak khawatir. Aku memahami kekhawatiran mereka. Artinya jika ke sana, sama saja seperti masuk ke sarang serigala. Tapi aku tidak takut. Justru aku ingin tahu seperti apa gelanggang itu?

“Ada hal sangat penting untuk kubicarakan langsung pada Darang Kuning, Paman. Makanya walau bagaimana pun aku harus bertemu dengannya. Karena ini berkaitan dengan masa depan seseorang.” Ujarku.

Ketika kami masih asyik berbicara, para pekerja perusahan sawit itu ada yang terbangun dan berteriak histeris membuat yang lain terbangun. Tak lama semuanya Berteriak panik dengan kondisi masing-masing. Suasana menjadi gaduh. Kuning Kriya dan Ubai Satra memandangku heran.

“Mereka telah kubuat lumpuh, Paman. Ada yang tidak bisa bergerak sama sekali, ada yang tangannya saja, ada kaki, ada juga separuh badan. Sesuai dengan berat dan ringan tugas mereka. Mata mereka juga telah kubuat rabun,” ujarku sambil tersenyum puas. Muning Kriya dan Udai Satra ikut tersenyum bahagia. Itu terlihat dari air Muka keduanya. Selama ini mungkin mereka enggan untuk melakukan protes seperti aku. Mereka masih sangat menjaga etika atau lebih memilih mengalah.

“Biarkan mereka, Paman. Mari kita pergi dari sini. Aku minta izin untuk melanjutkan perjalanan.” Ujarku bergerak hendak pergi.

“Tunggu Putri Selasih. Kamu mau berangkat sendiri? Bahaya, Selasih” Ujar Ubai Satra. Begitu juga Kuning Kriya. Matanya menatap khawatir padaku. Akhirnya kusampaikan aku tetap harus bertemu apapun resikonya. Akhirnya Muning Kriya dan Ubai Satra berembuk sejenak. Lalu keduanya sepakat menemaniku. Akhirnya kami bertiga melaju menuju bukit Putri Hijau.

Tak perlu waktu lama, sampailah kami bertiga ke wilayah bukit Putri Hijau. Aku melihat perumahan bangsa manusia di mana-mana. Aku mengerutkan kening, ternyata bukit Putri Hijau ini sebuah perkampungan manusia. Lalu dimana letak pemukiman suku-suku nenek gunung itu? Aku berjalan beriringan sembari mengamati perumahan-perumahan transmigrasi yang menyebar di jalan beraspal kasar. Lampu-lampu pijar menyala di halaman depan beberapa rumah. Tak lama Ubai Satra dan Kuning Kriya mempercepat langkahnya. Aku berusaha mengimbangi keduanya. Beberapa sungai kulihat berair keruh. Sungai-sungai ini adalah huluan sungai yang mengalir di bukit barisan. Sebagian mengalir ke sungai-sungai kecil dan besar hingga bermuara ke sungai Musi. Sebagian lagi bermuara ke laut Bengkulu, ke Samudera Hindia. Tak lama kami sampai pada puncak bukit yang berlembah landai. Benar kata Ubai Satra, di sini banyak sekali perkampungan nenek gunung dengan rumah panggung yang memiliki khas masing-masing, sesuai dengan sukunya. Aku tidak banyak bertanya tentang perkampungan yang tersebar di beberapa titik itu. Aku hanya mengamati rumah-rumah tiap kampung dengan bubungan yang berbeda. Beberapa mata mengawasi kami bertiga. Aku sapa mereka dengan melempar senyum.

“Inilah kampung Darang Kuning, Selasih. Arah utara belok ke kiri rumah Tamanggung.” Ujar Kuning Kriya padaku. Aku mengangguk sembari memerhatikan beberapa pohon tinggi, mirip dengan pohon kenari. Di selatan, bentangan sawah yang baru di garap hampir mirip dengan di kampungku. Pauknya lebar dan berair tenang, bukit-bukit mengalirkan air yang mereka alirkan dengan bambu-bambu menjadi pancuran. Berderet tapi di pinggir pauk yang tenang tempat mereka mandi dan mencuci. Di hilir, ada bilik-bilik kamar kecil tempat membuang hajat. Kampung nampak sepi. Hanya beberapa orang saja terlihat berjalan di gang antara rumah. Ubai Satra nampak berbincang-bincang dengan beberapa orang masyarakat di sana. Sesekali tangannya menunjuk ke arah bukit.

“Mari kita naik ke atas bukit. Di sanalah gelanggang tempat perjudian itu. Mereka bilang Darang Kuning ada di sana” kata Ubai Satra. Baru saja kami hendak naik, ada dua orang lelaki berwajah beringas dengan parang terselip di pinggang. Rambut kusut tak terurus, wajah berkerut, mata menyala seperti ada api, menghadang kami.

“Mau kemana sanak?” tanyanya sambil menatap padaku dengan pandangan penuh nafsu. Aku jijik melihatnya. Ingin sekali menghantam wajahnya.

“Maafkan kami, sanak. Kami dari dusun seberang. Kebetulan mengantarkan tamu kita ini dari jauh, beliau hendak menemui Darang Kuning.” Kata Muning Kriya lembut dan sopan menggunakan bahasa daerah.

“Hmm…apakah sudah ada janji?” Ujar kawannya sinis. Yang satu ini lebih menjijikan lagi wajahnya. Tak hanya memiliki mata mesum, tapi air mukanya meremehkan sekali. Apakah memang orang kampung ini tidak ada yang paham sopan santun? Aku membatin. Mengapa wajah mereka serem semua?

Muning Kriya dan Ubai Satra masih memperlihatkan sikap sopannya. Sementara tanganku sudah terkepal ingin sekali menghantamnya. Entahlah mengapa emosiku serasa mendidih sejak melihat dua makhluk sombong ini. Baru anak buahnya sudah membuatku sebel, apalagi jika berhadapan dengan Darang Kuning. Aku mencoba tersenyum pada mereka ketika keduanya menatapku seperti hewan lapar. Lewat tatapan yang kusipitkan kuserang mereka diam-diam.

“Aduh!” Keduanya kaget. Aku pura-pura tidak tahu. Keduanya mencari-cari siapa yang menyerang. Saat mereka berdua menoleh ke sana ke mari, kupelorotkan celana keduanya. Tali celana mereka sengaja kuputuskan. Mereka berdua saling pandang. Aku melihat wajah mereka seperti udang panggang. Aku masih pura-pura tidak tahu. Dalam hati aku ingin tertawa. Apalagi celana keduanya melorot sampai mata kaki. Saat mereka nungging buru-buru hendak menaikan celana, kutahan sejenak. Keduanya panik. Kulihat Muning Kriya dan Ubai Satra sama sepertiku memegang perut menahan tawa. Aku membuang muka saat melihat bagian terlarang keduanya yang gelap.

Busyet!!!

***

Kedua nenek gunung berwajah serem kembali berpandangan. Mereka sibuk memegangi pinggang celana. Kami bertiga diam tak berani menatap wajah keduanya.

“Sana cepat naiklah!!” Ujar salah satu mereka mengusir kami. Muning Kriya dan Udai Satra membungkuk memberi hormat. Aku sengaja berjalan di belakang mereka. Kutoleh dua penjaga yang masih berdiri menatap kami. Tangan mereka masih memegang erat ujung pinggang celana. Kuberi mereka kedipan mata dan lambaian. Keduanya terbelalak dengan mulut menganga. Setelah agak jauh Udai Satra dan Muning Kriya baru melepaskan tawa sampai terduduk di tanah. Aku juga ikut-ikutan terpingkal-pingkal tidak bisa menahan lucu.

“Nyaris aku tak sanggup menahan tawa ketika celana mereka melorot. Terus mereka nungging menarik celana, celananya sangkut di kaki, haduuuh adegan porno itu benar-benar lucu. Satu sisi kasihan, sisi lain membuat hendak tertawa.” Kata Muning Kriya nyaris tidak selesai bercerita karena tawanya yang meledak-ledak.

“Selasih membuang muka gegara rudalnya siap menembak ke arahnya!” Sambung Udai Satra. Tawa kami bertiga kembali berderai.

“Tunggu dulu, mengapa celana mereka bisa melorot. Itu yang membuatku tak habis pikir. Berbarengan lagi. Kenapa bukan salah satu dari mereka, kalau salah satu, kan bisa bantu memegangkan. Tapi ini dua-duanya melorot, kompak sekali . Siapa yang harus ditolong siapa yang mau menolong? Akibatnya dua-duannya serempak nungging, sama-sama pula memegang ujung celana,” lanjut Muning Kriya lagi. Kami kembali tertawa sepuasnya. Ketika kuceritaka jika akulah yang memelorotka celana keduanya Kuning Kriya dan Udai Satra membelalak. Mereka tidak menyangka jika aku seiseng itu. Bahkan Muning Kriya sampai menggeleng-geleng tidak percaya.

“Sebenarnya aku ingin menyuruh angin melepaskan celana mereka lalu melayangkan celananya jauh-jauh. Tapi tidak jadi, aku khawatir isengku ketahuan. Habis aku jijik sekali melihat mata cabul mereka.” Ujarku di sela tawa yang masih tersisa.

Akhirnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Kami mulai meredakan tawa sejenak. Kami mulai serius kembali menaiki bukit. Di jalan kami bertemu dengan nenek-nenek tengah mencari kayu. Aku menyapa sambil membantunya membawa kayu bakar. Mengantarkan sampai ke pondoknya.

“Mau kemana anak gadis? Nampaknya kau bukan salah satu suku di jajaran bukit ini. Tak elok kampung ini untuk anak perawan sepertimu. Meski kamu bukan makhluk bangsa kami sepenuhnya, tapi tidak menjamin daerah ini akan aman untukmu.” Ujarnya memegang tanganku. Aku menyambutnya dengan senyum. Aku sampaikan jika aku dari suku Besemah Gunung Dempo. Aku sangat maklum dengan kekhawatirannya. Ketika kusampaikan bahwa aku hendak bertemu dengan Darang Kuning si Nenek bukan main kagetnya.

“Jangan nak Gadis, untuk apa bertemu dengan makhluk satu itu. Wajah dan tampangnya saja dia itu bangsa manusia harimau, tapi wataknya seperti iblis! Di atas bukit itu, sarang maksiat. Haram kaki kita menginjaknya. Batalkan saja niatmu, nak Gadis” Ujar Si nenek memengelus-ngelus tanganku. Aku sangat memaklumi kekhawatiran si Nenek. Semakin yakinlah aku siapa Darang Kuning, Ternyata dia adalah makhluk bajingan yang semena-mena. Karena anak Temenggung dan berilmu tinggi, tidak ada yang berani menegurnya. Bahkan hukum adat pun dilangkahinya. Tak sedikit bangsanya yang tidak setuju mati mendadak, dibunuhnya. Tiap kali dia berkehendak, maka harus dapat saat itu. Bahkan ayahnya sendiri tunduk padanya.

“Kalau begitu biarlah aku yang memberi pelajaran padanya, Nek.” Ujarku singkat.

“Jangan, nak Gadis. Dia anak kesayangan Temenggung. Pewaris suku satu-satunya.” Lanjut Nenek lagi. Bahkan Munir Kuning dan Ubai Satra disuruhnya membujukku untuk membatalkan naik bukit.

“Berulang kali bukit ini hendak melongsorkan diri. Dia sudah sangat gerah melihat kelakuan bangsa manusia harimau di sini. Bahkan iblis, setan, hantu belau pun ikut berpesta pora di sana,” sambung si Nenek meyakinkan aku. Tapi justru mendengar cerita si nenek, aku semakin penasaran hendak tahu dan mengukur sedalam apa ilmu yang dimilikinya? Akhirnya aku mohon pamit dengan si Nenek dan minta doanya. Si nenek hanya dapat menatapku tanpa suara. Kami bertiga meninggalkan si nenek sendiri di ladangnya.

Tak lama sampailah kami di tempat terbuka. Namun tempat ini dipagar gaib berlapis-lapis. Aku melihat banyak sekali makhluk asral bertampang jelek, besar kecil menjaga keliling pagar. Kami bertiga mencari pintu masuk. Tak lama aku bersama Muning Kriya dan Udai Satra sudah berada lurus di depan pintu gelanggang. Dari jarak yang agak jauh aku melihat banyak sekali kerumunan orang yang sedang bergembira. Suara lelaki semua. Terdengar juga suara gemerincing seperti koin yang di lempar. Lalu serupa suara lebah bergumam seakan ada sesuatu yang membuat mereka terpukau.

“Apakah masih dirimu masih hendak masuk, Putri Selasih? Kau lihat, di dalam kerumunan lelaki kasar semua. Dan penjaga-penjaga di sini semuanya makhluk-makhluk sebangsa jin yang tunduk pada Darang Kuning. Benar kata sang Nenek, tempat ini benar-benar tempat yang panas.” Ujar Muning Kriya. Aku tetap menyatakan tetap akan menemui Darang Kuning. Selanjutnya mereka berdua tidak kuizinkan ikut masuk. Mereka kusuruh menunggu di luar saja. Bila perlu kembalilah di tempat Nenek. Selamatkan Nenek, jika Darang Kuning macam-macam, maka tempat ini akan kubarak-abrik. Kuning Kriya dan Udai Satra bertatapan. Mereka ragu antara percaya dengan tidak.

“Paman, kalian berdua sudah sangat Baik sekali menemani aku hingga ke sini. Aku tidak ingin Paman terlibat jauh dengan urusanku satu ini. Ingat Paman punya keluarga, punya saudara, punya kampung yang berdekatan dengan suku ini. Jangan sampai gara-gara aku, terjadi perang suku nantinya, Paman. Bisa jadi karena Paman sebagai penunjuk jalan, Darang Kuning dan pengikutnya balas dendam. Muning Kriya dan Udai Satra terdiam sejenak. Tak lama keduanya memandangku. Aku tersenyum Berharap mereka setuju dengan saranku.

“Kalau boleh tahu, mengapa kau begitu nekad menemui Darang Kuning, Putri Selasih?” Sambung Udai Satra. Akhirnya kuceritakan selintas tentang orang tua Darang Kuning hendak melamar gadis, salah satu kepercayaan kerajaan Gunung Bungkuk. Dan aku berniat membatalkan lamaran itu. Karena gadis itu tidak mau dijodohkan. Sungguh, orang tua sahabatku itu tidak tahu sama sekali siapa Darang Kuning. Keduanya menggangguk paham.

“Tapi, Selasi. Apakah pantas kami membiarkanmu sendiri di sini? Menghadapi serigala lapar sendiri. Kamu perempuan Putri Selasih.” Suara Udai Satra cemas. Secepatnya kupotong, kukatakan jika aku bisa menjaga diri. Setelah berulang kali kuyakinkan, akhirnya dengan berat hati Udai Satra dan Muning Kriya turun kembali. Setelah mereka lenyap dari pandanganku, aku berbalik menghadap pintu gerbang. Aku berjalan menghampiri dua penjaganya.

“Assalamualaikum Paman, aku Putri Selasih, hendak bertemu dengan Darang Kuning, tolong sampaikan pada beliau” Ujarku. Kedua penjaga menatapku heran. Mata mereka menyapuku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Siapa kau perempuan. Bangsa peri, jin, siluman, manusia harimau, atau bangsa manusia. Mengapa kamu naik ke bukit ini? Darang Kuning tidak bisa diganggu. Berani sekali anak gadis datang kemari? Darimana dirimu?” Ujar salah satu mereka dengan nada tidak percaya. Matanya melihat-lihat ke sana kemari seakan hendak memastikan aku datang dengan siapa.

“Siapa yang Paman cari, aku ke mari sendiri. Izinkan aku masuk, atau panggil Darang Kuning kemari.” Ulangku. Kedua penjaga itu kembali Mengatakan Darang Kuning tidak boleh diganggu.

“Sebaiknya kamu tunggu saja sampai beliau berhenti bermain. Kalau tidak lebih baik kamu pulang saja!” Ujar penjaga lagi. Aku kembali mendesak keduanya. Tapi lagi-lagi mereka melarang, bahkan sampai mengusirku.

“Baik kalau tidak boleh, aku sendiri yang akan memanggilnya.” Ujarku. Selanjutnya aku memanggil Darang Kuning dengan mengerahkan tenaga dalamku.

“Darang Kuning, berhentilah sejenak aku ingin bertemu!” Teriakku. Sengaja teriakanku kubesar-besarkan agar semua yang ada di gelanggang ini mendengar panggilanku. Lalu sekali lagi kuulangi memanggilnya. Tak lama aku mendengar suara dengusan. Rupanya beberapa makhluk siluman pengawal Darang Kuning ke luar sengaja menemuiku.

“Hei! Kepinding kasur, berani sekali kau teriak-teriak memanggil junjungan kami. Siapa kau. Hmmm.. perempuan muda dan cantik. Sengaja mengantarkan diri untuk Darang Kuning. Darang Kuning pasti sangat bahagia menerima kehadiranmu. Siapa namamu. Biar aku sampaikan pada atasan kami,” ujar di antara mereka dengan liur meleleh.

“Sampaikan pada atasanmu, aku Putri Selasih ingin bertemu!” Ujarku lantang. Aku kembali berteriak memanggil Darang Kuning.

“Hei! Jangan teriak-teriak. Junjungan kami sedang main. Kau bisa mati dibunuhnya kalau menganggu beliau!” Sambung penjaga lagi. Aku hanya tersenyum sinis menatap mereka seperti mendewakan Darang Kuning. Sebenarnya aku bisa saja menerobos penjagaan yang tak seberapa kuat ini. Tapi aku sengaja ingin Darang Kuning berhenti bermain lalu mememuiku.

“Siapa yang berani memberhentikan permainan dengan menyebut-nyebut namaku. Lancang sekali!” Suara berat bertenaga membalas teriakanku. Aku sudah mempersiapkan diri dengan berbagai kemungkinan.

Aku mendengar langkah halus sekali menuju gerbang gelanggang. Kuakui yang punya langkah pasti memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. Tak lama aku melihat sosok lelaki kumal nyaris seluruh tubuhnya bercat seperti ukiran. Kuamati sekali lagi. Oh! Rupanya bertato. Sekali lagi aku membatin, rupanya bangsa nenek gunung ada juga yang bertato? Sekali lagi baru kali ini kutemui di alam gaib. Seperti bangsa manusia saja.

“Kamu yang teriak-teriak memanggil namaku? Hmmm…” Matanya mengamati aku tajam. Kuberikan dia senyuman terlebih dahulu.

“Benar Dang Darang Kuning, mohon maafkan kelancanganku. Sebab kalau tidak dengan cara itu, aku yakin tidak akan bisa melihat langsung seorang Darang Kuning yang terkenal hebat di negeri ini. Sekali lagi mohon maaf, Dang. Aku tahu, tidak mudah untuk berjumpa Dang Darang. Ibarat emas, Dang Datang itu harus di cari di perut bumi yang paling dalam. Sangat sulit sekali. Butuh perjuangan yang luar biasa. Semua itu karena besarnya nama Dang Darang Kuning.” Ujarku rasa mau muntah. Bagaimana tidak, aku berbicara tidak sesuai dengan hati. Aku merasa jijik sendiri. Iih!

Mendengar punjianku yang selangit Darang Kuning senyum-senyum simpul. Aku tidak tahu apakah senang betulan atau pura-pura. Aku mencoba membaca hatinya. Oh! Rupanya dia memang senang dipuji. Akhirnya aku mengubah strategi. Aku akan puji-puji makhluk satu ini

“Kau benar, tidak ada yang tidak kenal Darang Kuning di sepanjang bukit ini. Siapa yang tidak bergetar dadanya ketika mendengar nama Darang Kuning, putra semata wayang Temenggung yang memiliki kekuasaan dan paling berpengaruh di sepanjang bukit ini. Tidak ada yang mampu menandingi ilmuku, tak mempan semua senjata, lidahku bisa berubah menjadi ular, dan yang penting adalah pandai menakhlukan hati wanita” Darang Kuning terbahak memperlihatkan giginya yang kuning diikuti oleh pengikutnya yang mengacungkan jempol sambil memujinya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil melempar senyum semanis-manisnya. Aku ikut bertepuk tangan namun di dalam hati tak tahan ingin menghantamnya.

“Aah, siapa namamu anak manis, melihat pakaianmu, nampaknya kamu bukan dari jajaran bukit sekitar ini. Ada apa gerangan? Angin apa yang mengantarmu ke mari? Apakah engkau ingin kukawini?” Darang Kuning tertawa kembali sambil mengercingkan mata seakan menyelidiki maksud kedatanganku, atau sengaja gayanya seperti itu sembari memperhatikan aku dalam-dalam?

“Aku Putri Selasih. Aku berasal dari Tanah Besemah Gunung Dempu. Sengaja datang ke mari hendak bertemu dengan Dang Darang Kuning yang terkenal, hendak bertanya dan menyampaikan sesuatu pada Dang Darang, empat mata saja, Dang.” Ujarku tetap menyelipkan pujian untuknya dengamn gaya sok akrab memanggil ‘Dang’. Mendengar kata empat mata saja, beliau kembali tertawa.

“Pucuk dicintai ulam tiba, berdua saja? Baiklah Putri Selasih akan kuluangkan waktuku demi kamu manis.” Ujarnya mulai genit.

“Apa kataku, perempuan yang mencariku. Tak perlu aku payah-payah mencarinya. Kuakui nyalihmu perempuan. Tak mudah makhluk mana pun naik ke mari.” Darang Kuning tetap berbicara dengan gaya sombong. Akhirnya beliau mengajakku masuk ke area gelanggang. Aku mengusir rasa canggungku. Dadaku berdegup kencang karena sekilas semua yang ada di sini lelaki. Melihat aku masuk mata mereka tertuju padaku.

Mungkin karena aku berjalan dengan Darang Kuning saja membuat mereka tidak berani jahil.

Aku pura-pura tidak melihat mereka yang terbengong. Sementara Darang Kuning berjalan seperti robot menampakkan keangkuhannya. Aku menahan sakit perut karena muak dan ingin muntah melihat gayanya.

Di dalam area gelanggang kulihat ada tiga lapis pagar pengurung. Aku juga merasakan kekuatan-kekuatan gaib yang dimiliki oleh setiap makhluk yang ada di sini. Semuanya berilmu tinggi. Bau anyir dan busuk sangat menyengat ke luar dari tubuh-tubuh makhluk asral ini. Aku menatap pagar gaib yang melengkung. Entah apa maksudnya sampai pagar gaibnya berlapis seperti ini. Sambil berjalan aku menakar kekuatan pagar gaibnya. Di sudut, aku melihat semacam penjara, tapi isinya semua perempuan. Perempuan-perempuan itu dipoles bedak tebal layaknya make up. Ada dua banci yang menata mereka. Meski sudah di make up tebal namun tak sedikit aku melihat mata mereka tanpa ruh. Siapa mereka? Mereka adalah sukma para manusia yang mereka culik. Perempuan-perempuan itu semunya nyaris telanjang. Duduk bersandar tiang-tiang jeruji. Ketika bertatapan denganku, batinku mengatakan mereka minta tolong. Akhirnya diam-diam aku mencari tahu siapa mereka. Dari dialog batin yang kuterima dengan salah satu mereka, puluhan perempuan ini adalah perempuan-perempuan yang dijadikan pemuas nafsu para penjudi. Mereka adalah barang taruhan. Jika para bajingan ini menang, maka salah satu bonusnya mereka bisa memilih perempuan-perempuan yang ada di sini. Lalu kuketahui juga mereka adalah perempuan-perempuan yang diculik, dari bangsa manusia dan jin. Melihat ini, Aku makin gatal ingin menghancurkan tempat ini.

Di dalam masih berlangsung perjudian. Tawa para penjudi kadang meledak kadang hening.

“Ayooo semangat! Semangat Datok!” Aku menoleh ketika mendengar suara perempuan. Setelah kuawasi ternyata lelaki! Lagi-lagi banci!! Ada beberapa lelaki bergaya perempuan di area judi.

“Hei Lusi, Arma, lihat sini. Ini ni perempuan betulan. Kalau kalian perempuan jadi-jadian. Cantik mana?” Darang Kuning menyebut dua lelaki seperti perempuan yang bernama Lusi dan Arma. Keduanya menoleh sambil tetap tertawa. Aku melihat tawa keduanya seperti seringai harimau lapar. Keduanya siluman harimau memang. Tapi setelah beradu tatap denganku mereka membuang muka.

“Yeiiii Darang Kuning punya gandengan baru ya, tega betul. Semudah itukah kau meninggalkanku, Kanada,” ujar salah satu lelaki yang berdandan seperti wanita lagi. Matanya kedap-kedip genit. Bedak tebalnya mirip pocong berbalut kain kafan. Lelaki berotot tapi melambai.

Kami masih berjalan menyisir jalan yang dibuat sedemikian rupa. Ada tempat yang luas di kelilingi pagar kayu melingkar. Di dalamnya ada batu ceper seperti meja. Aku melihat kurang lebih ada lima kerumunan. Seperti ini rupanya tempat berjudi itu. Mereka taruhan uang dengan melemparkan koin. Makanya dari tadi kudengar gemerincing. Puluhan orang asyik berdiri melingkari beberapa batu ceper mirip meja itu.

Diam-diam aku menakar kemampuan Darang Kuning. Dari cara berjalan kuakui beliau memiliki ilmu yang tinggi. Para pengawalnya disuruhnya pergi.

“Apa maksud kedatanganmu? Apakah engkau hendak aku lamar? Kalau kau berkenan jadi istriku, maka kau yang akan paling aku sayang.” Ujarnya dengan ekspresi dibuatnya semanis mungkin.

“Bukan, Dang. Aku datang ke mari justru ingin bertanya apakah benar orang tua Dang Darang Kuning hendak menjodohkan Dang dengan Putri Bulan?” Ujarku pelan.

“Benar! Dia adalah calon istriku yang kesekian. Aku tidak bisa menghitung berapa jumlah biniku. Putri Bulan Anak Riu Sapura kan? Iya, aku minta Bakku segera melamarnya.” Ujarnya Darang Kuning bangga. Ekspresinya sangat yakin seperti akan meraih Putri Bulan sekarang juga.

“Aku sahabat Putri Bulan, datang ke mari minta Dang batalkan! Karena Putri Bulan belum mau menikah.” Ujarku sudah tidak sabar menyampaikan maksud kedatanganku. Dari tadi aku pura-pura bersikap manis. Perbuatan pura-pura yang paling kubenci.

Mendengar aku berkata batalkan, wajah Darang Kuning berubah seketika. Dia berhenti berjalan.

“Apa maksudmu melarangku?” Nadanya tidak senang.

“Tidak ada yang berani menentang keinginanku! Kecuali mencari masalah padaku!” Ujarnya lagi. Aku melihat perangai aslinya. Kasar dan bengis. Berubah sembilan puluh derajad dari sebelumnya.

“Karena Dang sudah tua dan punya puluhan istri, berhenti memaksakan kehendak. Aku hanya minta Dang batalkan melamar Putri Bulan. Carilah perempuan lain. Bukan Putri Bulan!” Ujarku kencang.

“Hei! Siapa kamu mengarut-ngatur aku. Kamu belum tahu siapa Darang Kuning rupanya. Tidak ada yang berani menentang keinginan Darang Kuning” Matanya merah menatapku.

“Akulah yang akan menghalangimu melamarnya. Karena aku tidak ingin sahabatku dipaksa menikah apalagi dengan Darang Kuning lelaki kanji, banyak bini, tukang berjudi.” Ujarku terus memancingnya. Benar saja, Darang Kuning langsung menggeram. Tatapannya padaku mulai liar. Dia hentamkan kakinya, tiba-tiba bumi bergetar. Aku meringankan tubuh agar tak terjatuh.

“Rupanya engkau mencari mati. Tidak ada satu pun yang berani menghalangi keinginanku. Sekali terucap maka jadilah. Termasuk engkau akan kukawini dirimu anak kecil, lalu kubiarkan engkau menjadi pemuas nafsu kawan-kawanku seperti perempuan-perempuan dalam kurungan itu.” Darang Kuning kembali tertawa lepas.

“Kau boleh koar-koar di sarangmu lelaki bermental banci!! Aku akan sampaikan pada orang tua Putri Bulan siapa dirimu. Kau lelaki bejat, buruk rupa, tukang kawin!” Ujarku sengaja menyulut emosinya.

Aku mulai mengencangkan zikirku dalam hati. Kuajak daun tanah batu, kayu, dan semua makhluk ciptaan Allah di sekitar sini untuk berzikir.

“Apa yang kau lakukan hei anak manusia!” Darang Kuning menutup telinganya. Semua makhluk yang tengah asyik bejudi ikut menjerit menutup telinga bahkan ada yang berguling-guling. Mendengar batu, tanah, pohon, kayu yang berzikir, bukit di sekitar gelanggang ini pun ikut menyuarakan tasbih. Dalam sekejab area bukit seperti dihuni jutaan lebah, zikir yang dilantunkan menggema hingga ke lembah-lembah.

“Terimakasih bukit, dan alam semesta” Aku membatin. Ternyata bukit dan seisinya ikut merespon dengan semangat.

“Hentikan! Hentikan kataku perempuan sundal, kurang ajar! Kau mencari mati melawan Darang Kuning.” Darang Kuning seperti kebakaran jenggot. Aku tidak peduli dengan himbauannya. Semakin kencang gema zikir semakin membuat semua makhluk di area ini meliak-liuk seperti cacing kepanasan. Suara mengerang, minta ampun dan menjerit panas seperti berlomba dengan zikir yang terus menggema. Aku tidak tahu suara-suara zikir makin lama makin ramai. Hampir dari seluruh penjuru serupa air terus mengalir, mengumpul di area bukit maksiat ini.

“Bagaimana Darang Kuning? Apakah engkau masih memaksakan kehendak untuk menyunting Putri Bulan?” Tanyaku di tengah jerit kawan-kawannya yang berusaha melawan suara zikir.

“Darang Kuning, perempuan ini membawa petaka untuk kita. Dialah yang membawa suara-suara aneh yang membuat kawan-kawan kita seperti terbakar.” Ujar salah satu makhluk yang bertubuh besar tinggi mirip anak raksasa. Mendengar itu aku tertawa sembari mengerahkan tenanga dalam. Kuserang mereka lewat tawaku yang menggelegar.

“Pantas kau berani masuk ke sarang harimau ini perempuan sialan. Rupanya kau ingin pamer ilmu. Kau jangan menyesal jika kau jadi pemuas nafsu kawan-kawanku itu. Sekali masuk ke mari, kau tidak akan bisa ke luar. Lihatlah, area ini telah kami pagar. Jangankan makhluk sepertimu, bayi semut saja tidak akan bisa ke luar. Rasakan olehmu sundel!” Ujar Darang Kuning sembari menghantamkan kaki memyerangku.

Aku segera melesat mundur. Jarak kami sekitar dua puluh meter. Serangan Darang Kuning benar-benar terasa dasyat. Baru hantaman kakinya saja tubuhku rasa terdorong. Kuakui Darang Kuning berilmu tinggi. Apa yang disampaikannya dan cerita orang bukan hisapan jempol. Aku mulai waspada. Kuhimpun segala kemampuan menjadi satu. Menghadapi makhluk-makhluk jahat ini perlu kecermatan, tenang dan tidak boleh emosi. Aku mulai membaca mantra-mantra. Kupanggil angin dari timur dan halilintar.

Hiiiiaaaat!!! Saat Darang Kuning agak lengah, kuhantam beberapa meja batu tempat gelanggang judi para ‘jabalan’ . Dalam sekejap batu-batu ceper itu hancur berkeping-keping. Sebagian lagi pecahannya menyerang para makhluk yang masih bertahan memegang telinga. Ada yang langsung tewas, ada yang terluka, ada juga yang sempoyongan menerima seranganku.

Mata Darang Kuning menyala seperti api demi melihat aku menghantam gelanggang mereka. Tanpa bertanya lagi, dia lakukan seragan menghantamku bertubi-tubi. Beberapa kali hantaman dasyatnya nyaris mengenai tubuhku. Melihat kawan-kawannya turut membantu menyerangku kulemparkan sabukku lalu kuubah menjadi seorang perempuan cantik. Semua makhluk terbelalak. Mereka terpukau melihat perempuan cantik gemulai melakukan perlawanan pada mereka. Sabukku yang menjelma menjadi seorang perempuan cantik itu dengan lincah meliuk-liuk melakukan perlawanan pada makhluk-makhluk yang semula hendak menyerang aku. Pertarungan terpecah menjadi dua. Ketika aku mengubah diriku menjadi empat sosok, Darang Kuning tertawa semakin jadi.

“Permainan seperti ini hendak dipamerkan padaku?”, Ujarnya. Lalu aku melihat puluhan banyangan pecah dari tubuhnya. Aku kaget melihatnya. Luar biasa! Sementara aku hanya mampu maksimal enam sosok!

“Enam sosokmu sama dengan enam ratus pasukan hebat, Selasih. Ribuan bayangan yang dimiliki Darang Kuning hanya tipu daya serupa sihir.” Suara Kakek Njajau terasa sangat dekat. Mendengar suara kekek Njajau aku semakin semangat. Kusapukan cahaya biru dari telapak tanganku, seketika ribuan bayangan Darang Kuning tersedot semua. Lagi-lagi Darang Kuning terbelalak. Nampaknya dia baru sadar jika dia terlalu meremehkan aku dari awal.

Empat sosok bayanganku tengah melakukan perlawanan pada makhluk-makhluk asral anak buah Darang Kuning. Entah darimana asalnya mereka menderu seperti angin. Sementara sabukku yang menjelma menjadi putri cantik dengan lincah menyapu-nyapukan ujung bajunya menghantam lawan yang rata-rata tangguh. Dalam sekejap bukit ini bukan lagi menjadi gelanggang judi. Tapi menjadi gelanggang pertempuran. Suara menjerit, menggeram, kesakitan, dan kematian menjadi satu. Berkali-kali aku mendengar bayanganku mengehetamkan kaki sembari bertakbir “Allahu Akbar”. Beberapa tubuh tumbang dan sebagian kulihat ada yang lebur, hangus terbakar.

Demi melihat tempatnya porak poranda, Darang Kuning semakin naik pitam. Apalagi ketika ribuan bayangannya dengan mudah kusapu dengan cahaya biru mustika di telapak tanganku. Kali ini aku melihat ada tiga sosok ke luar dari tubuhnya lengkap dengan senjata andalan mereka. Rata-rata tiga sosok itu berwajah seram mengerikan. Di antaranya ada yang memiliki tiga mata. Belum lagi makhluk-makhluk yang bertubuh hewan, namun berkepala manusia dengan macam-macam raut.

Samar-samar aku mendengar suara perempuan seakan memimpin zikir agar terus berkumandang. Aku tidak sempat berpikir untuk memastikan suara siapa itu. Yang jelas suara zikir itu telah banyak membantuku. Ada energi yang terasa terus mengalir padaku lalu kutransfer pada empat sosok bayanganku. Tiga makhluk yang ke luar dari tubuh Darang Kuning, serentak menyerangku. Pukulan-pukulan mematikan mereka nyaris mengenaiku. Mereka bebar-benar tidak memberikan sela padaku. Untuk menarik nafas saja seperti tidak ada kesempatan.

Hiiiiiiaaaat!!
Aku mengembangkan selendangku lebar-lebar. Ujungnya kuhantamkan pada ketiga makhluk jelmaan Darang Kuning. Benturan dasyat terjadi. Senjata mereka berusaha menebas selendangku yang yang berkelit menyerang ke sana-kemari. Melihat ke tiga sosok pecahan tubuhnya seperti kehilangkan kekuatan karena beberapa kali serangannya meleset, Darang Kuning mengeluarkan ajian pamungkasnya. Lidahnya berubah mejadi ular, menjalar-jalar hendak mematukku. Semburan racunnya beberapa kali meluncur seperti semprotan air dengan kecepatan tinggi. Aku tetap bertahan menghindar, belum tahu harus melakukan apa untuk melawan lidahnya yang berubah mejadi ular.

Kini aku menghadapi empat sosok. Darang Kuning dan tiga pecahannya serentak memasang kuda-kuda. Nampaknya mereka akan melakukan serangan berbarengan. Aku segera membaca mantra siap dengan bola api dan badaiku. Tiba-tiba, belum selesai aku membaca mantra, Darang Kuning dan makhluk aneh jelmaannya serentak menyerangku dengan angin yang mengandung jarum panjang seperti sapu lidi. Aku terkesiap dibuatnya. Baru kali ini aku melihat senjata seperti ini. Secepat kilat kusapukan selendangku. Jarum-jarum panjang itu berserakan seperti pijar api.

Cressss! Salah satu jarum meluncur cepat persis mengenai betisku. Aku terasa lumpuh. Secepat kilat kutotok bagian yang tertancap jarum. Jarumnya kucabut laku kulemparkan ke arah lawan. Dan blep!! Lemparanku mengenai mata salah satu jelmaan Darang Kuning. Dia menjerit sembari melompat ke sana ke mari menahan sakit.

Meski betisku telah kutotok, namun rasa sakit dan berdenyut masih terasa. Akhirnya rasa sakit itu hilang juga kala aku kembali fokus pada serangan Darang Kuning dan jelmaannya yang bertubi-tubi. Aku melanjutkan membaca mantra badai dan bola apiku. Tanganku berputar di atas kepala. Bola api berputar seperti gasing. Semakin cepat aku bergerak, maka semakin cepat pula dia berputar. Angin badaiku sudah mendengung siap untuk kuhantamkan. Aku tidak saja melihat ular menjalar dari lidah Darang Kuning, namun tiba-tiba Darang Kuning bersayap. Dua jelmaannya mengahantamkan senjata mereka bertubi-tubi. Darang Kuning menyerangku dari atas. Melihat serangan dari arah yang berlainan, akhirnya kubuyarkan angin badaiku. Seketika Darang Kuning dan dua jelamaannya digulung angin badaiku. Sementara yang satu orang masih memegang bola matanya. Kuseret tubuhnya. Kali ini angin badaiku kukendalikan dengan ujung jari. Kubuat pusarannya berporos makin lancip hingga pusaran angin berubah menjadi cahaya putih. Darang Kuning dan tiga jelmaannya ada di dalamnya. Pelan-pelan, kusalurkan energi bola api. Pusaran angin semula berwarna putih, makin lama seperti tembaga. Tiga makhluk jelmaan Darang Kuning semakin lama semakin kecil suaranya, ketiganya lebur. Angin badaiku mengeluarkan bau gosong. Tiba-tiba prak!..prak! Kepakan sayap Darang Kuning seperti kipas menghantam bola panas dan anginku. Terjadilah ledakan berkali-kali hingga mengeluarkan kilatan api. Langit yang gelap seketika menjadi terang. Bola apiku melesat ke sana ke mari mengejar tubuh Darang Kuning. Garang kuning masih bergerak dengan sayap dan lidah ularnya. Racun yang disemburkannya berwarna biru pekat kutangkap dengan selendangku lalu kusalurkan racun ular pemberian kakek Njajau dan Putri Ular. Kutambahkan energi untuk mendorong bisa ular melawan racun Darang Kuning. Dua bisa ular bergumul jadi satu seperti saling makan. Aku mendengar suara “Ceeeeessssttt” persis seperti air bertemu api. Rupanya usahaku tidak sia-sia. Energi yang kusalurkan mampu melumpuhkan racun Darang Kuning. Bersamaan dengan itu, hantaman ujung selendangku mematahkan satu sayap Darang Kuning. Tubuhnya seketika meluncur ke bumi menimbulkan suara berdebum dan bergetar. Tak lama Datang Kuning kembali bangkit. Sayapnya lenyap seketika. Tak lama ia melingkarkan tangannya ke atas, lalu seperti membuat tanda bintang ke langit. Tak lama langit yang suram seperti nyala api berwarna jingga. Nyala itu seperti menyorot tubuh Darang Kuning. Tiba-tiba Darang Kuning berubah mejadi ular naga. Ular naganya tak saja berkaki, namun juga mempunyai sayap. Kakinya yang pendek, ternyata memiliki tumpuan yang kuat.

Grrrrhhhtt! Suara berat sang Naga mendengus buas. Taringnyseperti gerigi gergaji. Tajam dan runcing. Melihat gerakannya yang lincah, yakinlah aku jika Darang Kuning memang hebat. Beberapa kali serangannya diarahkannya padaku. Ular naga jelamaan Darang Kuning tak hanya mampu menyerang sambil terbang, namun juga mampu menghisap apa saja yang ada didekatnya. Melihat keganasannya, aku semakin cepat mengibaskan selendang sehingga selendangku berubah menjadi perisai. Hantaman demi hantaman memekakkan telinga. Ditambah jeritan lawan putri cantik jelmaan sabukku dan pasukan lawan bertarung dengan bayanganku. Suara zikir sungguh sangat membantu. Tanpa bertarung sebagian besar makhluk asral menjadi lumpuh, terbakar, dan mati.

***

Tiba-tiba rasa nyeri di betisku kembali menyerang. Kulihat sekitar bekas jarum yang tertancap berwarna hitam. Aku nyaris kehilangan keseimbangan. Sementara naga jelmaan Darang Kuning terus mendesakku. Aku keluarkan pedang. Secepat kilat kukibaskan ke arah ular naga yang menggeram. Cahaya biru yang dikeluarkan pedangku kadang seperti perisai, kadang seperti tali, kadang berubah seperti ujung tombak. Cahayanya yang panas kerap kali mengenai naga diiringi jeritan yang menggema memekakkan telinga.

Di sela pertempuran sengit tersebut, kulihat salah satu bayanganku berhasil membuka kunci kurungan para perempuan yang ditahan. Entah darimana asalnya aku melihat dua sosok putih seperti bayangan membantu membuka mantra pintu tahanan itu. Para perempuan yang terkurung berhamburan ke luar. Mereka berusaha menyelamatkan diri kabur dari area gelanggang melalui pintu yang sudah tak berpenjaga. Sebagian lagi bayanganku berusaha melabrak pagar gaib yang dibangun Darang Kuning. Lagi-lagi kelebatan dua bayangan itu membantu. Tak lama, pagar yang dibangun berlapis itu nyaris kehilangan kekuatannya. Semakin kencang zikir yang dilantunkan dua sosok itu semakin membuatnya tipis dan sebentar saja dinding itu buyar. Benar saja, tak lama kemudian, pagar gaib itu koyak, lama kelamaan lenyap berganti menjadi asap hitam membumbung tinggi. Sementara beberapa makhluk asral yang hendak kabur, dikejarnya sambil diserang oleh putri jelmaan sabukku.

Ah!! Gedebuk!! Seperti nangka jatuh, tiba-tiba aku terduduk. Rasa sakit di betisku sudah tak mampu kutahan meski energi telah kupusatkan pada bagian yang sakit. Aku kembali mencoba menotoknya sembari berguling menghindari serangan naga jelmaan Darang Kuning. Hantaman angin dari dengusan si naga membuat lubang di beberapa tempat. Aku berusaha bangkit dan membaca kembali mantra angin lalu dengan cepat angin seperti meraih tubuhku menghindari serangan-serangan naga yang semakin ganas. Aku seperti sudah kehabisan tenaga. Meski sudah kutotok ternyata jarum yang menancap di betisku menjalarkan racun. Aku tak sempat mengobati diri sendiri.

Di tengah situasi yang genting, aku mencoba melawan serangan naga dengan pukulan petir. Hantaman kilatan api mengarah pada naga. Namun seperti yang disampaikannya, ternyata Darang Kuning memang kebal. Pukulanku meski mengenai tubuhnya namun seperti tidak dirasakannya. Aku jadi berpikir, mengapa tadi sayap Darang Kuning bisa patah? Harusnya kalau dia kebal, sayapnya tidak akan patah. Oh! Mungkin hari ini adalah hitungan pantangannya. Maka setinggi apa pun ilmu yang dimilikinya akan “talu” juga. Aku jadi makin semangat! Aku memusatkan pikiran membaca kekuatannya kembali. Aku jadi ingat pesan nek Kam. Ilmu kebal yang dimiliki seseorang itu hanya sebesar lingkaran koin. Benda itulah yang melindungi setiap bagian yang kena sabetan, pukulan, atau bacokan. Ketika aku melihat titik hitam di tubuh sang naga, dengan cepat kuarahkan telapak tanganku, kusedot ilmu kebalnya. Naga terpekik. Suaranya melengking kesakitan dan marah seperti hendak membelah langit. Erangannya yang panjang mengisi ruang perbukitan hingga ke lembah.

Putri cantik sabukku selesai dengan tugasnya. Kawan-kawan Darang Kuning sebagian besar tewas. Lalu ada beberapa melarikan diri. Aku meraih putri cantik lalu kuubah menjadi ular naga. Seketika putri yang cantik berubah menjadi naga yang sama besar dengan jelmaan Darang Kuning. Sekarang naga melawan naga. Saat ke duanya bertempur, aku mencoba duduk. Kaki kiriku kuselonjorkan. Aku mencoba mengobati betisku yang terluka. Dengan susah payah dan menahan sakit luar biasa, aku mencoba membersihkan racun yang menghitam seperti lingkaran. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Meski sedikit terasa racunnya tetap mengalir di aliran darahku. Aku kembali menyalurkan energi, berusaha mengobati diri sendiri. Namun rasa sesak menghalangi tenagaku. Entah datang darimana, aku merasakan ada tangan menempel di punggungku lalu dihentakkannya. Aku muntah. Dari mulutku ke luar seperti dahak menggumpal hitam. Anehnya gumpalan seperti dahak itu bergerak seperti benda hidup. Wow! Dasyat sekali racunnya.

Aku menoleh hendak mengetahui siapa yang menolongku. Oh, seorang perempuan berpakaian serba putih berusaha memulihkan energiku.

“Terimakasih Nenek…” Bisikku. Nafasku kembali lega. Lingkaran hitam dibetisku makin lama makin pudar. Sekarang berubah menjadi merah sedikit bengkak mirip bisul. Aku menyapunya sembari menyalurkan energi kembali. Sekarang aku tidak merasakan rasa nyeri lagi. Si nenek yang menolongku lenyap entah kemana. Aku kembali fokus menatap naga jelmaan Datang Kuning dan jelmaan sabukku. Beberapa bagian tubuh naga Darang Kuning terluka. Ilmu kebalnya telah pudar. Aku segera menghimpun kekuatan badai kukombinasikan denga bola es. Deru angin kembali seperti hendak menggulung semua yang ada di area gelanggang ini. Dua kekuatan badai dan bola es kuhantamkan ke arah naga jelmaan Darang Kuning. Tiba-tiba tubuh Darang Kuning berubah mejadi manusia harimau kembali. Tubuhnya menggigil kedinginan. Lama kelamaan membeku. Kubaca mantra agar Darang Kuning tak mati beku. Cukuplah bola es ini membalutnya. Tiba-tiba aku merasakan bukit ini seperti bergoyang. Lama-kelamaan tanahnya retak makin lebar. Aku segera melesat ke atas. Beberapa anak buah Darang Kuning terperosok ke dalam tanah yang melekang. Tak lama kemudian, suara gemuruh seperti hujan lebat menderu membuat suasana sedikit mencekam. Entah kekuatan darimana tiba-tiba bukit area gelanggang seperti di dorong, longsor. Tanah yang longsor menggerus semua yang ada. Aku segera mengangkat tubuh Darang Kuning yang beku. Kalau tidak, tubuhnya yang beku akan ikut terkubur hidup-hidup.

Melihat tanah bergerak, lalu lebih separuh bukit membelah diri, membuatku makin takjub. Masya Allah, betapa semua makhluk di muka bumi ini jika marah sudah pada puncaknya, maka akan melahirkan pemandangan yang mengerikan. Dalam sekejap, bukit yang semula tinggi menjulang, kini tinggal separuh. Selebihnya telah membuat dataran baru di lembah. Setelah semuanya hening, aku turun ke lembah. Bayanganku kembali menyatu. Nagaku kembali menjadi sabuk. Tubuh Darang Kuning tergeletak di tanah. Sejenak aku berpikir akan aku apakan makhluk satu ini. Akhirnya tetap dalam posisi beku, kusedot semua energi Darang Kuning. Sekarang dia tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Aku segera duduk timpuh. Mengiringi zikir yang masih terdengar lirih. Makin lama- makin lirih. Hembusan angin terasa sangat lembut. Buminterasa damai kembali. Aku serasa baru selesai menyapu bagian rumah yang kotor. Sekarang bisa bernafas lega. Kucoba berinteraksi dengan Putri Bulan sejenak. Kusampaikan semuanya termasuk saat ini Darang Kuning sedang kutawan dengan bola esku. Beberapa kali aku mendengar Putri Bulan mengucapkan rasa syukur.

“Putri Selasih, misimu sudah selesai bukan?” Tiba-tiba di hadapanku berdiri tiga sosok berpakaian serba putih, satu perempuan, dua orang laki-laki. Merekalah yang telah membantuku di akhir-akhir pertempuran. Aku jadi ingat, suara perempuan yang memimpin zikir, apakah perempuan itu nenek yang ada di hadapanku ini? Aku sujud pada ketiganya.

“Terimakasih Nenek dan kakek telah membantu ku.” Ujarku sembari merunduk. Ketika makhluk ini patut kuhormati. Wajah mereka menggambarkan raut orang-orang suci.

“Bagaimana keadaanmu, Putri Selasih. Sudah membaikkah?” Kata si Nenek. Oh! Aku baru sadar yang membantu mengeluarkan racun di tubuhku pasti Nenek ini juga. Siapakah mereka ini sebenarnya? Aku segera menjawab aku merasa lebih baik setelah beliau bantu mengeluarkan racun dalam tubuhku.

“Maafkan aku yang lancang ini, Kakek, Nenek? Aku telah membuat keributan di sini” Ujarku masih menunduk. Aku merasa tak sanggup menatap wajah mereka yang bercahaya.

“Sudah terlalu tuakah kami Selasih? Sebelumnya kami disapa paman sekarang berubah menjadi kakek?” Aku makin kaget. Suara paman Udai Satra!!

“Paman Udai Satra?” Aku mengangkat kepala. Lalu di sampingnya kutatap juga, pasti Paman Muning Kriya. Aku langsung duduk dan membungkuk kembali pada ke tiganya.

“Mohon beritahu saya, siapa gerangan Nenek, dan Paman yang baik hati ini? Terimakasih sudah banyak membantuku Nenek, Paman. Ampunkan aku jika tidak sopan.” Ujarku sedikit bergetar. Aku jadi terbayang puyangku dari Bukit Marcawang. Hampir sama seperti mereka, berbaju putih, wajahnya bercahaya teduh, aura mereka benar-benar mendamaikan. Sama-sama berdiam di perut bukit menjadi ahli zikir.

“Yang membantumu sejak awal adalah nenek Siti Abdillah, beliau petapa di bukit sebelah barat gunung Kerinci. Tidak jauh dari sini. Beliaulah yang kita temui di lembah tadi. Dan yang kau panggil paman Udai Satra berdiam di bukit Halimun sebelah timur. Dan saya, terdiam di bukit dekat telaga Kecil sebelah selatan tempat kita berdiri. Sudah lama kami menunggu manusia damai sepertimu, untuk menjadi penyambung lidah dan perpanjang tangan bangsa kami. Sebab tanpa campur tangan manusia, masalah kemaksiatan di alam kami belum tentu selesai dengan mudah. Terimakasih Selasih, kamu sudah membantu kami.” Aku benar-benar kaget mendengar uraian Paman Muning Kriya. Tidak menyangka perjalananku malam ini akan berjumpa dengan orang -orang soleh dan soleha ini.

“Kami sudah lama tahu siapa dirimu, Putri Selasih. Makanya aku minta izin leluhurmu, Puyang Pekik Nyaring untuk menggiringmu sampai ke mari. Jadi ada campur tangan leluhurmu juga hingga kau bisa sampai ke mari.” Ujar nenek Siti Abdillah sembari tersenyum. Aku hanya bisa mengangguk-angguk terpukau.

Selanjutnya aku bertanya akan diapakan Darang Kuning yang masih membeku. Apakah kubawa ke hadapan orangtuanya? Bagaimana jika orang tuanya marah? Apa yang harus kujawab?

“Bawalah dia kehadapan orang tuanya. Berikan dan ceritakan. Termasuk juga tujuanmu ke mari. Sudah lama Temenggung Sonang Alam bapaknya hendak menakhlukan anaknya yang telah mencoreng nama suku dan leluhurnya ini. Tapi selalu gagal. Anak ini sangat melawan dengan orang tua. Bahkan Bapaknya berdoa agar Darang Kuning segera mati. Berapa banyak anak perawan yang dia culik lalu dijadikannya budak nafsunya dan kawan-kawannya. Mereka yang telah kau bebaskan tadi adalah bangsa kami dan bangsamu yang mereka tawan sejak lama.” Beber Muning Kriya. Aku makin tak percaya ada anak sedurhaka itu pada orang tuanya. Akhirnya aku sepakat membawa Darang Kuning ke hadapan Temenggung Sonang Alam.

Ketiga resi, Nenek, Udai Satra dan Muning Kriya sudah lenyap dari hadapanku. Sejenak aku memandang bukit yang tinggal seperempat. Tanah merah, bongkahan batu dan pohon yang tumbang seakan tawa puas bumi setelah mengubur segala atribut maksiat di kulitnya. Darang Kuning yang berbalut es masih tergeletak di tanah. Akhirnya aku membentang selendangku. Kupindahkan Darang Kuning ke atasnya. Aku terbang menuju rumah Temenggung, Bapaknya.

“Assalamualaikum, bisakah saya bertemu dengan Temenggung Sonang Alam?” Aku berdiri di anak tangga paling bawah. Ada lelaki tua berkain sarung duduk di beranda.

“Sayalah Sonang Alam. Siapa kamu anak Gadis?” Matanya menatapku heran setelah menjawab salamku. Aku kenalkan diri. Lalu kusampaikan darimana Asalku. Termasuk tujuanku mencari Darang Kuning. Tanpa menunggu naik atau duduk, aku ceritakan semuanya pada beliau.

“Maafkan jika aku lancang Temenggung. Aku telah mengombrak abrik bukit itu setelah memohon pada Darang Kuning untuk membatalkan niatnya mempersunting Putri Bulan. Apalagi setelah aku tahu siapa Darang Kuning sebenarnya. Sekali lagi mohon maaf, sekarang bukit maksiat itu sudah tidak ada, lebih separuh bukit longsor dan rata ke lembah” Ujarku singkat.

“Masya Allah! Jadi kamu menakhlukan Darang Kuning anak gadis? Benarkah? Jadi suara gemuruh kadang seperti petir kadang seperti angin dan hujan itu berasal dari bukit itu? Kalian bertarung?” Mata Temenggung Sonang Alam terbelalak. Aku sedikit heran, barangkali baru kali ini aku melihat seorang ayah tidak khawatir dengan kondisi anaknya. Malah wajahnya nampak berseri-seri.

“Alhamdulilah, Nak Gadis, apakah Darang Kuning ikut terkubur di dalamnya? Dia itu seperti punya sepuluh nyawa. Sulit sekali menakhlukannya. Belum ada yang berani melawannya. Dan kau gadis belia mampu menakhlukannya. Aku akan segera ke Gunung Bungkuk. Akan kutemui Riu Sapura adik sepupuku. Akan kubatalkan lamaranku. Akan kuceritakan siapa Darang Kuning sebenarnya?” Ujar Temenggung Sonang Alam dengan ekspresi gembira. Dari beliau juga diketahui jika beliau hampir mati dihajar Darang Kuning ketika dia memaksa melamar Putri Bulan untuknya.

Ketika kusampaikan jika yang berbalut es ini Darang Kuning, Temenggung Sonang Alam malah menyuruhku membuangnya ke sungai atau menguburnya.

“Jangan Temenggung, Darang Kuning masih hidup. Aku telah membalutnya dengan es beku ini. Ilmunya telah kucabut semua. Kini Darang Kuning tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Bagaimana pun dia adalah anak Temenggung. Maafkanlah dia Temenggung” Aku memohon pada Temenggung. Beliau terdiam cukup lama.

“Masih ada waktu untuk mengubah wataknya, Temenggung. Anggaplah Darang Kuning bayi polos yang perlu diajari berbagai macam hal. Ajari dia agama, Temenggung.” Ujarku lagi.

Temenggung Sonang Alam masih terdiam. Nampaknya beliu berat sekali mempertimbangkan permintaanku. Barangkali karena beliau sudah sangat kecewa dan trauma.

“Aku sudah sangat malu karena perbuatannya, nak Gadis. Nyaris tidak ada tempat untukku menghadapkan wajah pada semua bangsa kami sepanjang bukit ini. Terlalu banyak orang yang dia rugikan dan permalukan” Suara Temenggung Sonang Alam seperti tersekat di tenggorokan. Timbul rasa kasihanku pada beliau.

“Selasih, serahkan Darang Kuning pada raksasa. Biarkan Raksasa yang menggemblengnya.” Suara Puyang Pekik Nyaring. Aku langsung menjawab setuju. Akhirnya kusampaikan pada Temenggung Sonang Alam bagaimana kalau Darang Kuning kubawa ke gunung Dempu untuk digembleng belajar agama di sana. Temenggung Sonang Alam makin tak percaya. Matanya makin membesar menatapku.

“Apa yang harus aku ucapkan padamu nak Gadis. Kau sudah menakhlukan anak bejat itu saja aku sudah bersyukur dan bahagia. Ratusan kali aku mendoakannya agar dia segera mati. Sekarang malah kau juga memberikan solusi untuknya.” Mata Temenggung Sonang Alam berair. Akhirnya aku segera konsentrasi memanggil paman raksasa. Tak lama angin berhembus kencang. Pelan-pelan sosok paman Raksasa berdiri di hadapanku.

“Assalamualaikum, Paman! Apa kabar” Paman raksasa menyambarku. Aku mengelus-ngelus wajahnya rindu. Akhirnya kusampaikan pada paman Raksasa untuk menitipkan Darang Kuning putra Temenggung Sonang Alam. Kuceritakan sekilas siapa Darang Kuning. Paman Raksasa menyambut dengan gembira. Selanjutnya Darang Kuning yang masih berbalut es diboyongnya ke gunung Dempu.

Setelah paman Raksasa pergi, aku juga mohon diri pada Temenggung. Temenggung kaget dan baru sadar jika kami berbicara sambil berdiri beliau di atas rumah sementara aku di jenjang tangga paling bawah.

“Nak Gadis, maafkan sampai lupa mengajakmu naik dan masuk ke dalam rumah.” Temenggung turun tangga lalu memegangku mengajak naik. Dengan lembut kutolak ajakannya. Aku segera minta izin untuk pulang. Nampak sekali beliau masih keberatan melepaskan aku pergi. Kusampaikan suatu saat jika umur panjang, pasti akan bertemu.

Aku kembali melintas di atas bukit-bukit gundul yang telah ditumbuhi sawit-sawit muda. Kecepatan angin yang membawaku sedang saja. Tanpa menoleh kiri kanan lagi aku fokus menuju pusat kota bumi Raflesia. Sebelum tiba, dari jauh terlihat gunung Bungkuk. Aku merasa lega, karena di sana ada gadis lembut, selembut cahaya bulan dan tengah berbahagia karena batal di lamar. Aku senyum sendiri, mestinya orang yang dilamar bahagia, tapi ini justru sebaliknya. “Ah! Ada-ada saja, masalah jodoh pun harus diurusi, Selasih….Selasih.” Aku membatin ketika tiba di kamarku. Seperti biasa, menahan kantuk menunggu subuh.

Bersambung…
close