Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 59)


Aku setengah berlari menyisir teras sekolah. Sahabat yang biasa pulang bareng kutinggalkan tanpa pamit. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 Wib. Usai maghrib aku harus sudah berada di gunung Bungkuk. Pak Uncu Deram, adik bungsu Bak Putri Bulan akan menjemputku. Jantungku sedikit bergetar, artinya malam ini aku akan bertemu dengan Bak dan Umak, orang tua Putri Bulan. Aku merasa tidak enak karena berani ikut campur urusan perjodohan tempo hari. Bahkan calon pengantin pria sudah kukirim ke gunung Dempu.

“Selasih…” Aku menoleh. Ternyata ada Eyang Kuda berjalan di belakangku. Aku berhenti sejenak. Tumben, ada apa Eyang menyusulku? Aku membatin.

“Kenapa buru-buru? Kayak dikejar hantu saja?” Candanya. Aku tertawa.

“Apa iya aku takut dikejar hantu Eyang? Bukankah hantu yang takut denganku? Karena tampangku lebih serem dari mereka,” ujarku balik bercanda. Akhirnya aku dan Eyang berjalan pelan menuju simpang kampung Bali tempat biasa aku menunggu angkot. Sampai di sana ternyata aku tidak diizinkan Eyang menunggu angkot. Aku malah diajak terus berjalan.

“Berjalan lebih cepat sampai daripada angkot, hayoo.” Eyang menarik tanganku. Aku kembali tertawa. Eyang seperti lupa jika saat tertentu aku ingin menjadi manusia biasa. Berjalan, naik angkot, hidup sewajarnya, merasakan duduk berdesakan, menikmati aroma tubuh manusia, kadang harus menahan nafas karena aroma manusia yang bermacam-macam, mendengar teriakan penumpang minta berhenti, atau teriakan supir yang bertanya pada penumpang, atau pada calon penumpang, suara deru mobil, bau asap kendaraan, dan lain sebagainya. Kalau harus selalu menggunakan kemampuan, kapan aku bisa menikmati hidup sebagai manusia? Tapi tak apalah kali ini aku mengalah. Eyang bermaksud mengantarku karena aku memang buru-buru.

“Malam ini aku akan ke gunung Bungkuk, Eyang. Nanti usai salat magrib aku akan dijemput pak Uncu Deram, pamannya Putri Bulan.” Ujarku diperjalanan.

“Iya, Eyang tahu. Kamu habis bertempur dengan Darang Kuning kan?” Ujar Eyang Kuda. Aku kaget.

“Kok Eyang, tahu?” Eyang kuda tertawa ringan. Lalu beliau berkata, mulai aku berangkat sampai aku pulang, aku selalu di bawah pengawasannya. Ketika betisku tertancap jarum beracun, katanya beliau ingin sekali segera menolong, tapi akhirnya diurungkannya, beliau ingin melihat bagaimana aku mengatasi masalah. Dalam hati aku gemes juga. Masak aku dibiarkan terluka? Eyang kejam juga, batinku.

“Bukan kejam, tapi kamu memang harus tahu mengatasi masalah dalam situasi sempit bagaimana pun. Tapi akhirnya Nyai Siti Abdillah membantumu,” ujar Eyang membaca pikiranku. Aku menatap Eyang Kuda. “Eyang kenal nenek Siti Abdillah?” Tanyaku.

“Siapa yang tidak kenal perempuan suci itu. Hampir sepanjang pulau Sumatera kenal beliau. Beliau adalah perempuan solehah yang kerap diundang mengkaji agama di alam bunian. Muridnya banyak. Beliau perempuan sufi yang sepanjang hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.” Sambung Eyang Kuda. Aku hanya bisa manggut-manggut. Bersyukur sekali aku bisa berjumpa dengan beliau.

Dalam waktu singkat aku dan Eyang Kuda sudah sampai di rumah. Eyang duduk sebentar di sudut ruang tamu. Tak lama aku melihat Eyang Kuda berlari ke ujung rumah. Entah apa yang dilakukannya. Ternyata Eyang mengejar makhluk asral yang berusaha mengintip aku. Kukira siluman ular yang suka duduk di mangga depan. Ternyata makhluk lain dari rawa-rawa belakang . Tak lama Eyang kuda seperti bergerak memagari kembali area rumah.

“Eyang ikut ke gunung Bungkuk, tunggu Eyang ya, Eyang akan salat magrib di masjid Jamik dulu.” Tiba-tiba Eyang Kuda menghilang. Seperti biasa beliau seketika sebelum aku menjawabnya. Aku buru-buru mandi lalu langsung memakai kostum yang biasa kupakai untuk pergi. Usai salat magrib aku sudah siap menunggu pak Uncu Deran dan Eyang Kuda.

Nyaris aku terjatuh ketika tiba-tiba Eyang Kuda menepuk pundakku. Saking tinggi ilmu meringankan tubuhnya, kerap kali angin yang mendesir tak terasa olehku. Tak berapa lama, angin berhembus. Aku sudah menduga pasti pak Uncu Deran datang. Aku belum kenal beliau. Aku baru tahu namanya dan sapaannya saja ketika Putri Bulan memberitahuku.

“Assalamualaikum Putri Selasih, apakah sudah siap? Aku disuruh Putri Bulan menjemputmu.” Suara lembut pak Uncu Deran dari luar. Beliau tidak berani masuk. Ternyata beliau lelaki gagah yang lembut. Aku mengangguk, sekaligus kusampaikan Eyang Kuda juga akan ikut ke sana mendampingiku. Uncu Deran tersenyum dan menyalami Eyang kuda. Mereka berkenalan lalu sejenak berbincang-bincang.

“Aku sudah sering mendengar nama Datuk, sering juga Datuk disebut-sebut Tuanku Ratu Agung. Datuk tunggangan sang Pahlawan Nasional itu bukan? Baru kali ini bisa betatap muka. Inilah hikmah aku disuruh menjemput Putri Selasih, rupanya untuk berjumpa dengan Datuk.” Sapa Uncu Deran ramah menyapa Eyang Kuda dengan sebutan Datuk. Aku tak menyangka, Ternyata Eyang tenar juga di alam gaib. Akhirnya kami bertiga berangkat. Kami melayang sejajar. Aku diapit Eyang Kuda dan pak Uncu Deran.

Ketika kami baru melintas dua tiga sungai, tiba-tiba aku melihat cahaya api seperti bola menggelinding ke sana ke mari di bumi. Dan itu tidak hanya satu, tapi beberapa. Aku tertarik ingin tahu.

“Pak Uncu, Eyang, lihat itu. Aku ke sana sebentar!” Teriakku. Tanpa persetujuan keduanya aku langsung meluncur turun untuk memastikan mengapa bola api itu menggelinding ke sana ke mari membakar setiap benda yang dilaluinya. Api kulihat menyala menjadi beberapa titik dan melebar. Angin berhembus kencang. Aku melihat ada mkhluk yang meniup api agar menyala. Sementara Sumber api seperti menyedot angin membuat pohon-pohon yang dilaluinya rebah. Memang sudah beberapa hari ini bumi Rafflesia tidak turun hujan. Aku melihat padang ilalang di sela-sela hutan kecil ini kering. Api dengan mudah melalapnya.

Otakku langsung berpikir kebakaran ini disengaja! Aku melihat makhluk api sengaja menggelinding ke sana kemari agar api melebar. Setengah emosi, tanpa bertanya-tanya lagi, bola api yang lincah itu kuhantam dengan pukulan halilintarku.

DuuuaRRR! Api makin tinggi membumbung. Bola api tak lagi menggelinding, namun seperti bola mantul di tempat. Selanjutnya kuangkat tanganku tinggi-tinggi. Kupanggil bai hujan (ibu hujan), kutambahkan kekuatan es-ku, lalu kusemai pada api yang menjalar. Api mengecil seketika. Tidak semuanya mati. Aroma hangus daun yang terbakar lalu tersiram air menguap khas.

“Kurang ajar! Ada anak kadal rupanya berani mematikan apiku.” Tiba-tiba aku melihat beberapa sosok seperti api. Wajah mereka rata-rata keriput dan bermata merah, bertelinga lancip, dan bertanduk. Melihat gelagat mereka, sekilas membuatku berpikir, ternyata kebakaran di muka bumi ini ada campur tangan makhluk asral juga. Hal ini terlihat langsung bagaimana mereka mengubah diri mejadi bola api lalu menggelinding ke sana ke mari untuk membuat api cepat menjalar.

Tanpa bertanya dan minta izin Eyang Kuda dan Pak Uncu Deran lagi, aku langsung menyerang pasukan makhluk berupa api itu. Sengaja aku tidak menggunakan pukulan badai. Kuangkat tanganku ke atas kepala, kuhimpun kekuatan hujan dan es. Dalam sekejab, bumi yang semula berapi kini nampak seperti bara. Melihat hujanku mulai menggulung, sosok api mulai menyerangku. Kuhantamkan hujan berbarengan dengan es. Suara berdesis di mana-mana. Sebagian ada yang kena hantam dan tubuh mereka terbelah-belah, ternyata pecahan-pecahan tubuh mereka berubah wujud menjadi titik api-titik api kembali. Aku segera meningkatkan pukulan hujan esku. Benturan-benturan kembali terjadi. Makhluk api ini ternyata dasyat juga. Latupan-letupan bara yang mereka simpan di bawah tanah adalah strategi kelicikan makhluk aneh ini. Akhirnya aku melesat ke sisi api dengan cepat kugulung bara yang tersimpan di bawah tanah. Dalam sekejab gulungan tanah berupa bara membukit. Kudorong hingga ke sisi. Sosok-sosok api itu berusaha melawan untuk membentangkan kembali bara yang kudorong. Ternyata Eyang Kuda tidak sabar, ketika sosok-sosok itu berusaha menghalangi gulungan tanah yang berapi dengan cepat beliau menghantamkan pukulan yang membekukan para sosok asral. Tenyata tidak sampai disitu, Eyang Kuda menggerak tangannya seperti mengais tanah lalu jadilah sebuah lubang yang menganga. Sekali sapu makhluk-makhluk asral itu beliau seret jadi satu ke dalam lubang. Melihat mereka telah beku aku hantamkan kembali bola esku sehingga mereka berbalut jadi satu. Eyang kuda kembali menutupnya dengan tanah. Sementara gulungan bara telah berubah menjadi tanah kembali.

Yakin semua api telah mati, kami segera melanjutkan perjalanan.

“Jeli sekali matamu, Selasih. Kukira tadi kenapa kamu kok langsung meluncur saja ke arah itu.” Ujar pak Uncu Deran. Aku hanya tersenyum. Kukatakan, tiap kali melihat cahaya api tubuhku pasti bergetar. Partama terbayang ketika ruko Bapakku yang terbakar, api membumbung di depan mata, ke dua, aku benci sekali melihat api yang telah membumihanguskan hutan, terutama hutan yang diubah manusia menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Baru kutahu, ternyata tidak selamanya kebakaran lahan disebabkan oleh manusia. Tetapi ada juga campurtangan bangsa jin dan iblis. Eyang Kuda membenarkan. Tidak hanya kebakaran, banjir dan gempa bumi pun ada juga campurtangan makhluk asral. Ada yang bernilai positif namun ada juga yang negatif. Yang negatif seperti yang kita lihat tadi, sengaja membuat kehancuran di muka bumi, sedangkan yang positif seperti yang dilakukan sebagian gunung, bukit, laut, hingga saat ini masih menahan diri untuk tidak murka. Mengapa mereka masih menahan diri tidak lain karena masih ada makhluk yang ikhlas, khusuk beribadah dan berdoa. Karena masih ada makhluk tua renta rajin ibadah, selanjutnya karena masih ada bayi-bayi yang netek pada ibunya. Hal itulah di antaranya yang menghalangi murka Allah dan murka alam semesta. Aku diam menelaah apa yang disampaikan Eyang Kuda. Persis seperti yang pernah disampaikan mualim guru ngajiku. Maka bersyukurlah jika masih ada orang tua rentah yang ahli ibadah, bayi-bayi yang menyusu pada ibunya. Karena merekalah murka Allah itu bisa ditahan. Duh! Dalam sekali kajian Eyang Kuda. Wajar saja jika kakek-kakekku kerap kali berpesan, berzikir teruslah berzikir untuk melatih batinmu menuju Allah. Maksudnya, agar kita jangan putus untuk mengingat yang Maha Kuasa setiap waktu. Bahkan dalam hentakan nafas pun iringi degan zikir.

Gunung Bungkuk sudah didepan mata. Aku jadi ingat bagaimana ketika aku hendak ke mari, memilih jalan yang melingkar biasa dilalui oleh para pendaki, lalu bertemu dengan nenek-nenek, nyatanya seorang laki-laki yang menyamar. Datuk Sarik, sahabat Eyang Kuda yang kocak dan jahil membuat aku batal ke puncak gunung Bungkuk kala itu. Kalau teringat itu aku mau tertawa. Karena dengan bangga Datuk Sarik mengatakan senang bisa mengelabui aku. Sampai-sampai Eyang pun tahu jika aku suka lalai, kerap mengganggap remeh instingku. Aku tidak sadar kalau dikibuli datuk Sarik kala itu.

Huf! Kami bertiga serentak turun persis di pintu gerbang bagian timur. Dua nenek gunung menyambut kedatangan kami. Ke dua telapak tangan mereka di arahkannya ke masing-masing tubuh kami, mirip seperti mendeteksi benda aneh. Kecuali pak Uncu Deran yang tidak diperiksa. Tak lama keduanya memberi hormat, menyuruh kami masuk.

Seperti pintu gerbang-pintu gerbang perkampungan alam gaib lainnya, pintu gerbang di gunung Bungkuk pun memiliki ciri khas juga. Dari pak Uncu Deran kuketahui jika ini pintu gerbang ke dua di puncak. Untuk sampai kemari, ada dua pintu gerbang, satu pintu gerbang di lembah, yaitu sisi barat dan timur, lalu di puncaknya pun demikian ada dua pintu gerbang di barat dan timur. Aku terkagum-kagum melihat pahatan tiang pintu gerbang. Motif daun pakis dan rebung, semua terbuat dari emas. Lalu di tengah tiang ada sebuah lempengan bulat besar di tengahnya ada motif mirip pedang lalu di sisinya bertulisan arab gundul mirip seperti huruf yang tertuang di batik-batik khas Bengkulu, yaitu batik besurek. Aku memperkirakan ini adalah lambang kerajaan. Sisi kiri dan kanan sama persis.

Masih di dekat pintu gerbang, pak Uncu Deran mengarahkan kami untuk mencuci kaki terlebih dahulu. Aku dan Eyang menuju pancuran kecil yang berderet seperri tenpat wudu. Lagi-lagi aku terkagum-kagum. Pancuran-pancuran ini semuanya berwarna emas. Melihat airnya bening dan terasa dingin, aku tidak hanya membasuh kaki. Tapi aku langsung wudu agar terbasuh semuanya. Baru setelah itu kami berjalan menyisir jalan yang licin dan bersih. Di bangian tengah jalan ditanam rumput kecil yang terpelihara. Di sisi kiri kanan jalan tumbuh pohon-pohon berdaun kecil mirip daun pohon asam dan kelor. Lalu jarak beberapa meter ada tempat duduk menyerupai perahu. Semuanya ditata sedemikian rupa. Indah sekali. Selanjutnya di sisi pohon hamparan kebun anekah buah, lalu di seberangnya terbentang sawah. Siapa sangka jika dilihat dengan kasat mata daerah ini hanya lempengan batu besar dan hitam berdiri kokoh, berundak-undak dan licin, ditumbuhi pohon-pohon tak seberapa lebat dengan akar-akarnya yang kokoh menggapai tanah. Ternyata, di alam tak kasat mata di atas batu ini membentang sebuah wilayah yang kaya dan berwibawa. Baru pintu gerbangnya saja terlihat betapa agung dan kayanya kerajaan gaib ini. Bagaimana jika masuk ke istananya? Masya Allah, aku berdecak kagum dibuatnya.

Tak berapa lama, kami memasuki perkampungan. Lagi-lagi aku berdecak kagum. Di sepanjang jalan aku melihat rumah panggung berjajar rapi, berandanya berdinding papan pilihan yang diukir, tangga tiap rumah dibuat melengkung lebar di bawah. Semakin ke atas semakin kuncup seluas pintu masuk yang berpintu. Rata-rata setiap beranda ada kursi tamu yang bentuknya minimalis dan santai. Lampu hias tergantung di tengah-tengah beranda. Asri sekali. Di sisi tangga ada tempayan berisi air untuk para tetamu ataupun siapa yang naik mencuci kaki terlebih dahulu. Aku melihat beberapa orang lalu-lalang tanpa alas kaki. Jadi wajar saja jika di dekat tangga disediakan tempayan tempat air. Jendela rumah berdaun lebar sisi kiri dan kanan. Sementara di bawah rumah panggung, aku melihat alat menenun tergantung rapi. Beberapa kain tenun terbentang di bawah rumah. Kuamati sejenak motifnya, ada motif lepus, bungo jinten, bungo cino, semuanya nampak mengkilap karena ditenun dengan benang emas. Motif-motif ini kerap kulihat pada songket palembang. Tapi setelah kupikir, perbauran budaya bukan hanya di alam nyata saja, tekhnologi dan budaya di alam gaib pun sama. Apalagi Bengkulu baru berapa tahun menjadi provinsi, sebelumnya Bengkulu adalah salah satu Kabupaten di bawah pemerintahan Daerah Sumatera Selatan. Jadi wajar jika di kampung ini songket dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Sama persis dengan masyarakat suku Melayu Palembang.

“Itu rumah Putri Bulan. Nampaknya ramai. Rupanya mereka sudah menunggu kita.” Ujar pak Uncu Deran. Beliau sedikit berteriak mengucapkan salam ketika masih di pangkal tangga. Lalu mencuci kaki dan menggesurnya pada keset yang sudah disediakan. Aku dan Eyang Kuda ikut mencuci kaki persis seperti yang pak Uncu Deran lakukan. Lalu menaiki anak tangga. Di sebelah kiri ada lelaki yang menyambut pak Uncu Deran dan Eyang Kuda. Pak Uncu Deran langsung menyarungkan kain yang disodorkan lelaki yang menyambut kami dengan ramah. Selanjutnya yang perempuan, menyambutku dengan kain dan tengkuluk. Aku jadi ingat ketika aku pulang ke dusun Puyang Pekik Nyaring. Di sini sama, aku dipakaikan kain. Bedanya kain yang kupakai kain lasem lengkap dengan tengkuloknya. Setelah berpakaian lengkap baru kami diizinkan masuk.

Sebelum masuk selintas aku melihat tempat duduk perempuan dan laki-laki berbeda. Para lelaki diruang depan, setelah beranda, sedangkan perempuan memasuki satu pintu lagi, lantainya lebih tinggi dari lantai sebelumnya, di ruang ini yang duduk perempuan semua. Antara penghubung ruang laki-laki dan perempuan ada ruang lagi yang terbuka, lantainya tinggi dengan lantai para perempuan, di sana duduk beberapa orang sepuh, nampaknya Bapak Putri Bulan dan sesepuhnya yang lain mungkin juga para Datuknya, duduk beralas bantal warna -warni. Aku terpukau dengan rumbai-rumbai yang menghiasi dinding dan jendela. Warna dan motifnya mirip dengan motif minang kabau dihiasi manik-manik aneka warna. Terlihat sangat meriah.

Dalam hati aku berpikir, ini acara kenduri atau apa? Mengapa ramai dan harus pakai kain segala? Ketika aku dan Eyang Kuda masuk semua tamu yang ada berdiri dan memberi hormat. Aku kikuk dibuatnya. Apakah berjabatan tangan atau tidak?

“Maaf para sanak, Bak, Datuk, Pak Uncu, Ingah, Mak Dang, dan lain-lain, apakah saya harus sujud satu-satu?” Tanyaku dengan sapaan daerah yang serampangan. Sebab aku takut dibilang tak beradat. Aku lupa bertanya pada pak Uncu Deran sebelumnya.

“Tidak juga tidak apa, Putri Selasih. Silakan langsung masuk ke tengah.” Seseorang sepuh menyilakan aku masuk ke tempat perempuan. Akhirnya aku langsung masuk disambut Putri Bulan dengan pelukan haru. Lama sekali Putri Bulan memelukku. Aku tahu Putri Bulan tak mampu berkata-kata untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya karena aku dianggap telah berjuang untuknya. Aku tahu matanya basah, namun ditahannya. Akhirnya aku hanya mendengar lirih ucapan terimakasih ke luar dari mulutnya berulang-ulang. Putri Bulan melonggarkan pelukan. Kami bertatapan. Sama tersenyum. Hanya hati kami yang sibuk bercerita masing-masing tentang banyak hal yang belum sempat diungkap.

***

Aku memang belum bercerita banyak dengan Putri Bulan bagaimana perjalananku malam itu hingga akhirnya Darang Kuning kutawan dan dibawa paman Raksasa. Yang jelas Putri Bulan seperti lepas dari cengkraman serigala lapar. Wajahnya telah berubah ceria. Aku menghampiri Mak dan sujud padanya. Ketika berpelukan dengan Mak, ternyata beliau lebih terharu lagi. Saking bahagia atau mungkin dorongan rasa syukurnya, si Mak malah balik sujud padaku. Aku kaget bukan main. Kuangkat tubuhnya lalu kupeluk beliau erat-erat.

“Terimakasih Selasih. Tanpa campur tanganmu, tak mungkin Bulan selamat dari kehancuran. Temenggung Sonang Alam telah bercerita semuanya pada Mak dan Bak” Ujar Mak menatapku.

Aku jadi terharu dengan sikap Mak yang berlebihan. “Mak, apa yang aku lakukan karena Sang Khalik yang menggerakkan. Aku sayang dengan Putri Bulan. Semula aku hanya ingin bertanya langsung dengan Darang Kuning tentang kebenaran perjodohan itu. Dan aku akan minta Darang Kuning membatalkannya. Tapi ternyata justru beralih menawannya setelah tahu siapa Darang Kuning sebenarnya. Aku seperti dituntun harus bertemu dengan orang-orang hebat, Mak,” ujarku. Mak semakin erat memelukku. Sambil sedikit terisak. Kembali beliau mengatakan, beruntung sekali Putri Bulan mempunyai sahabat sepertiku. Ah Mak tidak tahu jika aku pernah diselamatkan Putri Bulan dari cengkraman pasukan Banyuwangi.

“Aku ingin melihat Putri Bulan bahagia. Mak. Apa yang kulakukan hanyalah sebuah ikhtiar.” Ujarku masih memeluk Mak.

“Sekali lagi terimakasih Selasih, kamu telah menyelamatkan anakku Putri Bulan. Aku tahu Putri Bulan tidak suka perjodohan itu. Dan Mak juga tidak setuju. Mak ingin memberi kebebasan Putri Bulan untuk memilih,” sambung Mak menyusut air mata seolah-olah menyuarakan isi hatinya. Beberapa perempuan yang hadir kulihat iku terharu tanpa tahu persoalan sebenarnya. Apalagi perempuan sepuh yang duduk di sebelah Putri Bulan. Baru saja aku hendak meletakkan pantat untuk duduk, tiba-tiba aku mendengar salam dari bawah rumah. Sepertinya aku mengenal suara berat itu. Lalu serentak yang mendengar di dalam rumah menjawabnya. Aku ikut menongolkan kepala. Ternyata Temenggung Sonang Alam bersama rombongan datang. Aku tanya pada Putri Bulan, dalam rangka apa mereka ramai-ramai ke rumahnya malam ini? Rupanya malam ini ada acara tolak balak dan tepung tawar. Tolak balak bersyukur karena Putri Bulan batal dilamar Darang Kuning. Rupanya, Setelah mendengar penuturan langsung Temenggung Sonang Alam siapa Darang Kuning, telah membuka pikiran Riu Sapura. Beliau merasa seperti luput dari maut. Hampir saja dia menjerumuskan anaknya sendiri dalam mulut buaya. Atas dasar itulah, maka malam ini beliau menggelar tolak-balak. Selanjutnya karena di awal Temenggung Sonang Alam meski sepupunya sendiri secara tersirat dianggap berniat jahat, tidak terbuka dan bercerita dari awal, siapa dan bagaimana anaknya Darang Kuning, dianggap Temenggung Sonang Alam sengaja menyembunyikan sesuatu dan itu kesalahan besar. Untuk itulah beliau kembali datang secara adat, minta maaf dan mengakui kesalahannya. Untuk menetralisir hubungan kekeluargaan, agar tidak muncul rasa dendam, maka diadakanlah tepung tawar sebagai lambang berdamai. Setelah Temenggung Sonang Alam duduk di tempat khusus berdekatan dengan Riu Sapura ayah Putri Bulan, akhirnya tetua adat angkat bicara. Beliau menyampaikan tujuan pertemuan malam ini dengan bahasa daerah.

Aku memperhatikan apa yang disampaikan dengan seksama. Intinya seperti yang diceritakan Putri Bulan. Selanjutnya dilakukan doa tolak balak dipimpin oleh salah satu tokoh agama. Pada acara tepung tawar yang dipimpin oleh tetua adat. Tetua adat menyampaikan beberapa petuah tujuan tepung tawar dan nasihat untuk dua keluarga besar kedua belah pihak. Selanjutnya Riu Sapura dan Temenggung Sonang Alam disuruh duduk berhadapan. Tepung tawar yang terbuat dari beras tumbuk ditambahkan air lalu dengan daun sedingin yang sudah disiapkan, Temenggung Sonang Alam menyapukan cairan tepung tawar ke lengan kanan Riu Alam lalu dibalutkannya sampai rata, kemudian dilanjutkan lengan kiri, sama persisis seperti yang dilakukan di tangan kanan. Selanjutnya gantian Temenggung Sonang Alam membalur lengan kanan lalu lengan kiri Riu Sapura. Usai saling balur keduanya bersalaman dan berpelukan. Aku tertegun dibuatnya. Sebuah tradisi damai di tanah Sumatera yang patut dipelihara.

“Andung, apa maksud tepung tawar dan daun sedingin itu?” Tanyaku ingin tahu pada Andung yang kuanggap sesepuh di antara perempuan yang hadir.

“Tepung beras bermakna putih simbol suci, artinya bersih, kembali ke titik nol. Apa pun masalah yang pernah terjadi dihapus, makanya dikembalikan dengan warna putih beras. Mengapa harus beras? Bagaimana jika diganti dengan tepung gandum misalnya. Untuk di daerah kita, karena beras adalah sumber makanan pokok masyarakat Sumatera, sifat kental tepung kanji yg dihasilkan beras dianggap sebagai pengikat antara satu dengan lainnya.” Urai Andung meyakinkan aku. Ketika kutanya mengapa harus ditambahkan air? Selanjutnya beliau jelaskan karena air sebagai sumber kehidupan, juga mengambil sifat alam pada air, yaitu menyejukkan. Di tambah dengan daun sedingin, sesuai dengan sifatnya daun sedingin itu lunak, tebal dan dingin, sebagai simbol kedamaian agar suasana kembali adem, tidak ada marah-marahan, tidak ada lagi saling upat, saling mencurigai, dan lain sebagainya. Wah! Aku menjadi makin paham. Ternyata apa yang kulihat di dimensi ini tidak jauh berbeda dengan tradisi di alam manusia. Di sukuku ada juga tradisi tolak balak, ada juga acara tepung tawar untuk berbagai macam kasus. Usai doa selamat, dan acara ditutup, ternyata orang tua Putri Bulan menyediakan makan untuk para tetamu. Para tamu tetap duduk di tepat masing-masing. Lalu dari ruang tengah diulurkan dengan cara estafet nasi yang sudah dimasukkan di tiap pinggan. Masing-masing tamu meletakkan sepinggan nasi di hadapan mereka masing-masing. Selanjutnya menyusul lauk. Pun di muat dalam piring-piring kecil. Lauk-lauk itu diberikan pada tamu secara estafet. Agak berbeda dengan di Besemah. Kalau di kampungku makan bersama dengan membuat hidangan bulat, tiap hidangan diisi untuk sepuluh orang tapi di sini aku melihat lauk dan nasi berserak tak tertata. Aku melihat-lihat sejenak bagaimanan cara makan. Di hadapanku ada sepiring nasi, ada pendap khas Bengkulu semacam pepes ikan selengek ditambah bumbu dapur yang digiling halus ditambah dengan parutan kelapa muda. Ada lauk ikan dan lema bersantan kental. Lema itu rebung yang dipotong dadu hasil fermentasi. Aroma dan rasanya sedikit asam. Melihat warna dan mencium aromanya yang khas mengundang banjir liurku. Belum mencicipinya saja tapi rasa nikmatnya telah memancing selera. Ada sambal petai goreng dengan ikan teri, ada lalap timun dan daun kemangi.

“Ciciplah ini, Selasih. Andung yang masak.” Ujar andung menyodorkan sepiring gulai bersantan di hadapanku. Kuamati, lauk apa ini. Ternyata umbut rotan yang dipotong-potong agak panjang, sepanjang ibu jari. Kucicip sedikit, ternyata lunak dan guri. Semua masakan khas Bengkulu ini cocok di lidahku. Ada daging yang dimasak malbi tidak kusentuh sama sekali. Aku lebih memilih pendap, umbut, lema dan sambal petai campur ikan teri. Aroma pandan nasi yang masih hangat memancing selera makan ingin nambah. Sambil makan, mataku mencari-cari Eyang Kuda. Kemana beliau? Mengapa tidak ada di antara orang yang makan? Sambil menyuap-nyuap aku mencari-cari beliau. Padahal tamu yang lain ada semua.

“Mencari Eyang?” Tanya Putri Bulan. Aku mengangguk sembari butuh jawaban.

“Eyang di sudut beranda itu. Di sana disediakan makanan untuk beliau dan tamu yang tidak makan nasi dan lauk seperti kita.” Ujar Putri Bulan.

“Lalu Eyang makan apa?” Tanyaku sedikit heran. Putri Bulan menjelaskan jika Eyang dan beberapa tamu yang hadir ada yang makan kembang dan kemenyan. Aku baru paham. Selama ini aku tidak pernah berpikir tentang makanan Eyang Kuda. Kupikir beliau sama makanannya dengan makhluk asral yang lain sebangsa manusia harimau. Ternyata berbeda.

“Aku mendengar kau berkelahi seru melawan Darang Kuning, Putri Selasih. Bagaimana kau mengetahui kalau Darang Kuning gemar kawin cerai, gemar berjudi sampai kau hancurkan sarang mereka?” Tanya Mak setelah para tamu sudah banyak pulang. Selintas kuceritakan apa adanya. Termasuk jika aku tidak bekerja sendiri. Ada nenek Siti Abdillah, paman Ubai Satra dan paman Muning Kriya yang membantuku. Mata Mak berbinar-binar cerah.

“Mak tidak bisa bayangkan bila punya menantu seperti Darang Kuning. Mendengar Putri Bulan dijodohkan saja, dunia Mak serasa kiamat.” Ujar Mak. Aku tersenyum mendegarnya. Terasa sangat kasih sayang seorang ibu. Kuakui, insting seorang ibu sangat tajam. Usai berbincang-bincang dengan keluarga Putri Bulan, aku dan eyang Kuda berniat hendak izin pulang. Tapi dihalangi Putri Bulan alasannya ingin mengajakku dan eyang Kuda keliling kampungnya. Aku menatap eyang Kuda. Beliau mengangguk setuju.

Akhirnya kami bertiga turun dari rumah panggung Putri Bulan. Kain dan tengkuluk sudah kulepas. Kuberikan pada Putri Bulan. Pakaian adat ini semacam koleksi keluarga. Beberapa orang menegur kami bertiga yang berjalan pelan menyisir jalan yang menghubungkan ke lapangan hijau yang luas. Kukira lapangan bola kaki seperti di alam manusia. Rupanya lapangan yang tidak jauh dari rumah Putri Bulan ini semacam alun-alun tempat berkumpul dan menjadi pusat kegiatan adat. Jauh di seberang lapangan aku melihat menara masjid dari jauh. Ada beberapa masjid yang menaranya sangat indahnya. Ada yang tetap bertahan seperti bubungan lima, ada juga seperti kuba masjid pada umumnya.

“Itu masjid-masjid pekampungan sekitar sini. Masjid agungnya tidak jauh dengan istana. Luas masjid agung dua kali lipat dari lapangan ini.” Ujar Putri Bulan menjelaskan. Aku berdecak kagum. Suatu saat aku ingin salat di dalamnya. Tanpa kuminta, Putri Bulan menjelaskan kalau hendak ke istana Datuk Ratu Agung, turun sedikit di belakang masjid pertama, selanjutnya naik ke atas bukit, di sana istana berdiri.

“Jika kita berada di sudut gunung sebelah selatan, maka kita bisa melihat sedikit bagian istana dari sana.” Ujar Putri Bulan. Iya, aku jadi ingat ketika aku hendak pulang ke tanah Besemah bersama Macan Kembang, aku dan Macam Kumbang singgah sejenak kemari setelah dipanggil Putri Bulan. Bubungan Istana terlihat dari sudut jalan hendak pulang. Istana yang agung berwarna emas.Kali ini kami bertiga membelok ke kiri. Beberapa anak kecil kulihat berlari-lari saling kejar antara mereka. Canda tawa kanak-kanak membuat aku berhenti sejenak menikmati keceriaan mereka. Selebihnya aku dan eyang Kuda menikmati rumah-rumah panggung yang berdiri di bawah pohon-pohon besar, mirip lukisan. Ketika sampai di ujung jalan, aku melihat rumah panggung sebelah kiri ada perempuan-perempuan berkumpul tengah menenun. Melihat aku mereka tersenyum ramah. Menurut Putri Bulan mereka tahu jika aku bukan dari bangsa mereka. Hampir sama dengan di Besemah, mereka menyebutku manusia damai. Artinya golongan manusia yang memiliki ikatan batin dengan alam mereka. Aku mengangguk-angguk memahami. Sebenarnya ingin sekali melihat dengan dekat perempuan penenun itu. Tapi aku lebih tertarik dengan bangunan kecil yang ada di pojok kampung.

“Bangunan apa itu Putri Bulan?” Tanyaku ingin tahu. Lalu Putri Bulan menjelaskan bangunan mirip sebuah ruang itu sebenaranya adalah pintu yang menghubungkan kampungnya ke istana kerajaan gunung Bungkuk dan kerajaan-kerajaan kecil ke arah barat daya, kerajaan-kerajaan kecil putra-putri Datuk Ratu Agung. Oh! Ternyata ini adalah jalan pintas. Dari Putri Bulan juga kuketahui tempat sepertinya ini bukan satu-satunya. Tapi ada di beberapa kampung. Yang boleh lewat sini hanya orang-orang tertentu saja. Selain raja dan penggawanya, juga harus soleh dan soleha, bersih lahir batinnya, dan tingkat kedekatannya pada sang Maha tak bisa diragukan. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan di salah satu sudut masjid agung dekat istana, ada lorong yang kerap dilalui Datuk Ratu Agung dan beberapa resi gunung dan oramg soleh soleha untuk melakukan perjalanan ke Makkah. Salat Jumat, atau salat wajib berjamaah pada waktu-waktu tertentu.

Mendengar penjelasan itu, Aku makin terpukau dibuatnya. Sulit sekali untuk kutafsirkan dan diterima dengan akal lahiria. Puyang dan kakek-kakekku juga konon kerap salat ke Makka. Hanya saja aku belum pernah melihat pintu seperti ini untuk menuju tanah suci itu.

“Eyang Kuda juga konon sering ikut para pahlawan nasional itu salat di tanah suci kan?” Tanyaku sambil menarik tangan Eyang. Beliau senyum simpul.

“Banyak sekali tokoh-tokoh di negeri kita ini yang tingkat kedekatannya pada sang khalik tidak bisa diragukan lagi, Selasih. Bahkan raja-raja yang moksa, orang-orang pilihan yang dulu semasa hidupmu malang melintang berjuang membela agama Din, dan negeri kesatuan ini, tidak sedikit qorim mereka melakukan salat berjamaah tidak hanya salat Jumat saja, namun salat lima waktu.” Ujar Eyang Kuda. Lagi-lagi aku terpukau. Akhirnya kami bertiga duduk di taman sisi dusun. Di sana ada kursi jati berukir rapat menghadap ke lembah. Ternyata itu adalah lembah nyata di huni oleh manusia. Kami mengasoh sebentar sambil terus bercerita menurutku tentang keajaiban-keajaiban alam gaib.

Masih asyik bercerita, tiba-tiba aku mencium bau anyir dan uap hitam membumbung tidak jauh dari taman. Asalnya dari lembah. Padahal sebelumnya wangi bau bunga menyegarkan sejak aku masuk kampung ini. “Darimana bau anyir dan asap hitam itu, Bulan?” Tanyaku heran.

“Paling bangsa manusia yang tengah memberikan sesembahan di lembah, di kaki tempat kita berpijak ini. Mereka membuat semacam sedekahan.” Jelas Putri Bulan.

“Sedekahan? Maksudnya?” Tanyaku penasaran.

“Ya bangsa manusia mungkin juga punya hajat, bernazar, tapi bukan minta pada Allah SWT. Mereka meyakini tempat itu tempat keramat. Bisa mengabulkan apa saja yang mereka minta. Padahal yang membantu mereka adalah bangsa dedemit, setan, jin, iblis yang memanfaatkan kebodohan mereka. Padahal mereka mengakunya beragama. Tapi bukan minta pada Tuhan mereka.” Papar Putri Bulan. Dari beliau juga aku tahu, ketika kutanya mengapa tidak dihalangi, lagi-lagi Putri Bulan menjelaskan mereka memiliki keterbatasan yang tidak sama dengan alam manusia. Untuk langsung menghalangi atau menghancurkan, sama saja dengan menunjukan sikap arogan yang bisa mengakibatkan perang. Seperti kehidupan alam manusia, makhluk-makhluk asral yang di lembah itu semacam makhluk yang nakal, tak kenal agama, dan pemalas. Pekerjaannya menyesatkan manusia. Saat ini mereka Tengah pesta-pora menikmati sedekahan yang disembahkan oleh manusia. Bisa jadi ada yang akan bermalam di sana. Semedi, dengan tujuan tertentu. Tanpa minta persetujuan eyang Kuda dan Putri Bulan aku melompat turun melintasi tebing batu curam yang licin sisi gunung Bungkuk. Benar saja, setelah sampai di lembah aku melihat ratusan mahkluk asral tengah berpesta. Rupanya aroma busuk berasal dari tubuh-tubuh mereka. Selanjutnya asap hitam yang membumbung berasal dari kemenyan yang mereka bakar di atas pedupaan. Sementara kulihat dua sosok manusia duduk sambil melakukan posisi menyembah menghadap ke sisi batu gunung Bungkuk yang agak menjorok ke dalam mirip gua.

Di antara makhluk asral itu aku melihat ada yang agak berbeda penampilannya. Memakai mahkota, bertaring, ada tanduk satu di keningnya. Tubuhnya besar tinggi, rambutnya panjang dan kasar seperti ijuk. Sambil mengangkat kaki dia sedang menikmati santapan yang dipersembahkan manusia. Melihat itu aku jijik sekali. Sementara dua manusia itu bergumam entah apa yang diucapkannya. Makhluk asral tertawa puas sambil terus menyemangati pasukannya yang sedang makan sepuasnya. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Tanpa bertanya lagi kuhantam raja dan pasukannya. Kugempur mereka dengan pukulan-pukulan halilintar lalu kuhempaskan tangan ke bumi mengunci semuanya. Dalam sekejap aku melihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh parajurit raja batu itu banyak yang terpotong-potong. Sebagian mereka tewas, gosong! Hanya beberapa sosok kulihat masih berdiri tegak termasuk sang raja yang kaget menerima seranganku.

“Siapa kamu kutu babi! Berani sekali menghancurkan sarangku dan membunuh pasukanku!” Sang Raja langsung naik pitam. Kakinya yang besar melangkah seperti menghantam-hantam bumi. Bumi terasa bergetar.

“Aku Putri Selasih. Ingat Putri Selasih! Agar jika kau mati tidak mati penasaran iblis!” Ujarku tak kalah geram. Tanpa bicara lagi kami langsung saling serang mengirimkan pukulan-pukulan mematikan. Aku yang sedikit emosi melihatnya tak kuberi kesempatan untuknya bisa mendekat. Hantaman demi hantaman yang kuselingi dengan api sekaligus menghancurkan singgasana yang dia duduki. Mendengar gaduh, dari lorong batu-batu yang sempit itu aku melihat ratusan sosok ke luar. Mereka adalah pengawal-pengawal kerajaan makhluk ini nampaknya. Mereka serentak menyerangku. Aku tak ingin berlama-lama, kusapukan selendangku sekaligus menyedot energi mereka. Mereka terkapar serentak. Sang Raja kembali marah.

“Kurang ajar, kau sudah membunuh ribuan pasukanku. Kau harus mati!” ujarnya sambil mengirimkan hantaman yang maha dasyat lagi. Aku menghindar. Terkena anginnya saja aku terjerengkang. Hiiiiaaaat!!! Hap! Hap!! Tiga gerakan silang kulakukan. Kakiku masih menancap di bumi. Kulihat raja batu siap-siap pula dengan pukulan mautnya. Pukulan kami beradu dan saling dorong, kuhadang dengan ajian gunung. Kudorong hingga si raja mundur beberapa langkah. Kuhentamkan kakiku. Seranganku kena telak menghantam tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya terhempas mengenai rumah batunya. Bukan raja jin namanya kalau mudah kalah. Sang raja kembali bangkit. Dia mengeluarkan ajian barunya. Aku melihat seluruh tubuhnya seperti berbalur api. Mirip robot berjalan ke arahku. Dengan sigap kupanggil bai hujan, kubaca ajian badai. Dua kekuatan itu kuhantamkan berbarengan. Tubuh sang raja sempoyongan. Api tubuhnya mati seketika. Namun kekuatan apinya seperti menyedot tenagaku.

Nafasku jadi engos-engosan. Aku terkesima ketika sang raja mengangkat tangannya tiba-tiba langit berubah gelap. Angin kencang seakan menumbangkan semuanya. Tiba-tiba sang Raja mengeluarkan senjata mirip tongkat dengan ujungnya berkepala tengkorak manusia. Sekali ayun aku merasakan serangan anginnya. Nyaris aku tak sempat membaca mantra karena menahan dorongan anginnya yang sangat kencang ke luar dari kepala tengkorak yang di arahkannya padaku. Aku kembali membaca ajian badai, kuhentakan dengan ujung selendangku. Ujung selendang dan ujung tongkat sang Raja berbenturan. Tiba-tiba bumi bergoyang seperti gempa. Kuputar selendangku hingga melilit tengkorak tongkat sang Raja. Energi kami berdua lewat senjata masing-masing. Aku tidak lewatkan kesempatan, kuisap energi sang Raja. Mengetahui aku menghisap energinya, sang Raja berusaha melepaskan diri. Akibatnya terjadi ledakan-ledakan seperti petir namun tak mengeluarkan api. Ach!! Brakkk!! Satu pukulan sang Raja telak mengenai perutku. Aku terhempas menimpa pohon-pohon di belakangku. Beberapa pohon besar tumbang saking dasyatnya.

“Kutu air! Siapa kau sebenarnya? Darimana kau dapatkan ilmu pelebur sukma dan penarik ilmu lawan?” Nampaknya sang Raja kaget. Sambil menyeringai matanya bersinar liar. Aku melihat ada rasa takut yang disembunyikannya.

“Untuk apa kau tahu Raja jahat. Aku tidak sudi memberitahumu.” Jawabku. Selendangku kembali mengembang. Kali ini kubiarkan seperti kipas dengan kekuatan matahari. Sang Raja makin kaget. Dia mundur cukup jauh ke belakang.

“Apa hubungannya dirimu dengan Pekik Nyaring, kutu air!” Teriaknya. Melihat seperti agak takut aku terbahak.

“Jangan kabur hei Raja jahat! Pekik Nyaring adalah Puyangku. Mengapa? Kau takut?” Ujarku. Mimiknya yang serem memang tidak bisa disembunyikan. Mendengar nama Pekik Nyaring sang Raja memang nampak takut. Secepat kilat sang Raja berputar lalu menghilang. Tinggalkan asap seperti kabut lalu lenyap juga di tiup angin.

Aku serasa ingin tertawa. Sebab di alam gaib, aku menemukan makhluk yang hilang lenyap ke alam gaib juga. Persis seperti yang pernah kualami, di dalam mimpi aku bermimpi.

“Sudah jangan dikejar!” Eyang Kuda mengingatkan. Aku memang tidak berniat mengejarnya. Yang jadi pertanyaan mengapa dia seperti takut ketika melihat kekuatan yang kukeluarkan dan mendengar nama puyang Pekik Nyaring? Kali ini, mataku tertuju dengan dua orang manusia yang masih duduk khusuk mencari wangsit. Dia tidak tahu kalau jin yang mereka sembah telah kabur. Termasuk pasukannya yang tersisa. Rongga batu ini kosong. Kuhancurkan semua sedekahan yang terdapat di sini. Lalu kubuang jauh-jauh. Dua sosok manusia yang tengah semedi kutendang ke arah rawa kebun kopi penduduk di lembah. Paling mereka ketakutan syukur-syukur otaknya jadi agak miring. Batinku.

“Ayo naik lagi!” Eyang Kuda menarik tanganku diiringi Putri Bulan.

“Makin lama kamu kayak preman! Melakukan apa-apa main tinggal saja. Tidak ada pamit-pamitnya lagi. Sebelumnya sudah bertarung dengan raja api. Seakan lupa tujuan utama memenuhi undangan Putri Bulan. Barusan juga sama tanpa pamit dah memporak-porandakan kerajaan orang. Iiihh…ayooo belajar sabar. Apa guna hatimu yang selalu berzikir itu.” Eyang Kuda sedikit marah. Aku menyambutnya dengan senyum. Beliau tidak tahu kalau aku ingin semua pekerjaan cepat tuntas. Dan tidak mau membiarkan bangsaku kembali ke zaman jahiliyah.

Langit kembali terang. Kabut tebal berasal dari kemenyan, lenyap seketika. Yang ada harum bunga yang ke luar dari tubuh Putri Bulan. Menyegarkan. Suara mengaji terdengar dari menara masjid-masjid di gunung Bungkuk. Aku dan Eyang Kuda mohon pamit segera. Tidak terasa, sebentar lagi langit gelap akan berubah menjadi terang, menyibak fajar, menumbuhkan matahari.

Bersambung…
close