Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 60)


Ibu baru saja sampai dari Seberang Endikat bersama Bapak. Seperti biasa aku akan bertanya detil tentang Kakek Haji Yasir, lalu lanjut ke kakek Haji Majani, nenek Kam, kebun kopinya, dan sebagainya. Termasuk apakah masih utuh pancuran bambu tempatku bermain air bersama kakek Haji Majani dan kakek Haji Yasir. Seperti biasa sambil kular-kilir beres ini beres itu, kerja ini kerja itu, ibu terus nyerocos bercerita panjang lebar tentang apa saja yang kutanyakan. Termasuk buah ghukam di kebun kakek belum sempat dipetik tapi sudah habis dicuri anak-anak kampung.

Suatu hari kata Ibu, ketika anak-anak kampung itu pelan-pelan masuk kebun membawa karung hendak mencuri ghukam, diam-diam Bapak sembunyi di rimbun pohon kopi. Ketika anak-anak itu sudah naik semua, pelan-pelan Bapak ke luar sambil menyapa mereka dengan ramah berusaha agar anak-anak itu tidak merasa takut. Bapak malah menyuruh mereka mengambil sebanyak-banyaknya sembari menunjuk-nunjuk buah ghukam yang sudah matang. Anak-anak polos itu tidak menyadari kalau sebenarnya mereka dijebak Bapak. Setelah karung mereka penuh, Bapak malah membantu mereka menurunkannya. Setelah mereka turun Bapak pegang tangan mereka lalu Bapak ikat di pohon ghukam. Ketiga anak itu minta ampun bahkan menangis dalam keadaan terikat. Terus Bapak biarkan mereka berjam-jam di pohon sambil menjerit-jerit minta tolong. Bahkan ditakut-tajuti Bapak kalau di hutan kecil seberang kebun kita ada beruang madu. Kalau dia datang, pasti kalian bertiga dicabik-cabiknya. Ke tiga anak itu makin menjerit. Lalu Bapak tinggalkan membersihkan rumput di sekitar itu. Setelah bosan baru bapak hampiri, lalu ditanya apakah masih akan mencuri? Ketiganya berjanji tidak akan mencuri lagi dan meminta ampun.

Maksud Bapak, ketika mereka dilepas, buah ghukam yang mereka ambil disuruh bawa pulang, tidak tahunya pas lepas mereka berlari ketakutan. Dipanggil-panggil Bapak malah lari makin kencang. Mendengar cerita itu aku tertawa terpingkal-pingkal. Tidak terbayang bagaimana perasaan mereka. Pasti mereka merasa sangat cemas dalam keadaan terikat itu. Ketika kutanya, siapa saja mereka. Ibu menjelaskan anak si anu, anak sianu. Ternyata mereka masih tergolong cucu-cucu Bapak, karena orang tua mereka umumnya keponakan Bapak. Aku makin terpingkal-pingkal.

“Kalau aku di sana, Bu, akan kuplorotkan celana mereka ketika mereka mau naik” Ujarku. Giliran ibu yang tertawa.

“Itu tuuu, Bu. Ceritakan Ibung Idi ketika dia pulang dari bukit.” Ujar Bapak. Aku penasaran. Memangnya cerita apa? Ibung itu sapaan lain untuk bibi. Sementara Idi nama anaknya yang tentua. Beliau saudara sepupu kakek Haji Yasir dan Haji Majani.

“Oo…ceritanya bengini. Waktu ibung Idi pulang dari kebun kopinya di bukit hulu makam puyang Kedum Tengah Laman, seperti biasa kinjagh beliau penuh berisi kopi yang baru dipetik dan jamur gerigit yang beliau dapatkan di kebunnya. Terus di jalan beliau kebelet pipis. Hari sudah petang. Sementara jalan yang harus di lalui curam. Tidak ada tempat untuk meletakkan bawaannya yang berat atau mencari tempat untuk buang air kecil. Sementara desakan pipis sudah tidak bisa ditahan.

Akhirnya, merasa di jalan itu dia sendiri, tidak ada orang lain dari atas tebing sambil duduk meleprok di tanah, bukannya jongkok, beliau angkat kain sarungnya, terus dikucurkannya. Baru separuh pipis, tiba-tiba dari bawah mendongak Wak Bedus hendak naik tebing. Beliau melihat air mengalir kencang dari atas, kencing Ibung Idi. Bayangkan! Ibung Idi bukan main malu dan kagetnya. Mau dihentikan tidak bisa, buang air kecilnya belum selesai. Sambil menarik kain sarung untuk menutup-tutupi kemaluannya, ibung Idi bicara, “Aiii Bedus kenapa kamu lewat, aku belum selesai kencing. Akhirnya kamu ketiban sial kan melihat barang nenek-nenek,” cerita Ibu sambil terpingkal. Mendengar cerita ibu, belum selesai ibu bercerita aku sudah guling-guling membayangkan nenekku yang kocak itu. Setahuku Wak Bedus juga sudah berumur, bukan anak muda. Dan beliau bukan orang asing, tapi masih tergolong saudara nenek Idi.

“Lalu mengetahui nenek Idi pipis dari atas tebing, apa kata Wak Bedus, Bu?” Tanyaku. Kata ibu wak Bedus menegur sambil menahan tawa dan malu juga.

“Adak ngape sangka dengah tekemeh di tengah jalani, Bindu (Kenapa sampai pipis di tengah jalan, Bindu).” Kata Wak Bedus sambil menahan senyum. Nenek Idi terpingkal-pingkal sendiri sampai Wak Bedus lewat. Mungkin lepas dari tempat nenek Idi, Wak Bedus juga tertawa sendiri. Bapak yang mendengar cerita ibu ikut tertawa tidak bisa berkata-kata. Ada-ada saja cerita dari kampung. Aku jadi ingat, dulu aku juga pernah kencing di celana gara-gara kebelet, nek Kam lambat membuka pintu pondoknya, terus Macan Kumbang terus mengajak becanda. Ya sudah deh, akhirnya kukucurkan beneran meleber di lantai beranda pondok nek Kam.

Malam ini aku makan lahap sekali. Ibu masak daun ubi kayu, dicampur dengan jengkol. Pakai santan kental. Lalu ada sambel goreng, dan ikan asin kecil-kecil tipis digoreng garing. Ibu memang jago kalau soal masakan kampung. Kata ibu, agar daun ubi lunak dan enak rasanya, kalau digulai santan, maka gilinglah beras barang sejumput untuk ditambahkan ke bumbu dapurnya. Ada kunyit, lengkuas, cabe ala kadarnya supaya warnanya terlihat cantik, serei, daun salam, ketumbar, bawang putih dan bawang merah. Semuanya dihaluskan. Supaya kuahnya kental dan aromanya khas maka ikan teri sebaiknya digiling halus juga. Untuk asamnya pakailah tomat anggur atau asam kandis. Kata ibu.

Meski berulang kali ibu mengajariku, tapi tetap saja bumbu-bumbu itu tidak lengket dalam ingatanku. Kalau aku yang masak pasti kelupaan salah satu bumbu tidak masuk, atau keenceran, atau banyaknya sayur tidak seimbang dengan bumbu. Kadang rasanya pahit, mungkin kebanyakan lengkuas atau serai. Sudah capek masak ternyata tidak laku. Akhirnya, sejak itu kalau tidak beli lauk, aku cukup ceplok telur. Resep yang tidak perlu dihafal.

Usai makan, terasa sangat kenyang. Sampai bega gara-gara dua kali nambah, terus nambah sayurnya paket jumbo.

“Nafsu banget si, mentang-mentang ada jengkol.” Suara Selasih lirih. Aku tersenyum sinis padanya. Malas menanggapinya. Sudah lama kami tidak berantem. Aku lupa kapan terakhir saling ejek dengan Selasih.

“Dek, besok Wak Lidin mau pulang ke Selatan. Katanya mau ziarah. Kamu mau ikut tidak. Beliau ngajak Ibu dengan Bapak.” Kata Bapak menawarkan aku untuk ikut Wak Lidin tetangga belakang rumah. Beliau berasal dari Bengkulu Selatan. Katanya, Lidin mau merantau ke Bogor, jadi sebelum berangkat mereka punya tradisi ziarah ke makan leluhurnya. Makam yang dikeramatkan oleh keturunannya.

“Kok rame-rame, si Pak? Pakai ngajak tetangga segala?” Tanyaku.

“Iya, katanya mau potong kambing di sana” Ujar Ibu. Aku sejenak berpikir. Mau ziarah apa mau makan-makan? Kok potong kambing di makam? Usut punya usut ternyata tradisi di kapung Wak Lidin, kalau punya nazar, punya hajat, dan lain-lain ziarah ke makam keramat terlebih dahulu, lalu di sana dipimpin oleh sesepuh atau orang yang disepuhkan dari jurai tua. Sesepuh inilah nanti yang memimpin ritual, pertama menghamburkan beras kunyit, baru dilanjutkan membakar kemenyan kemudian memanggil, menyebut-nyebut nama leluhur yang dikeramatkan itu. Tidak lupa menyiapkan punjung. Punjung ini semacam sajen berisi bubur putih, bubur abang, kopi pahit, air putih, sirih lengkap dengan pinang dan kapur sirihnya, rokok kretek dan rokok nipah beberapa batang, telur ayam rebus, diletakkan dalam nampan. Lalu sebagai pelengkap di dalam bakul disediakan juga lemang pulut putih dan pulut hitam beberapa ruas kecil dan harus utuh, tidak boleh diiris atau dikeluarkan dari ruas bambu.

Punjung ini disebut sedekahan. Lalu sesepuhnya akan membaca mantra, terus bicara-bicara menyampaikan hajat dan tujuan, misalnya minta supaya yang punya hajat merantau selamat dan sukses, minta dijaga dan didampingi. Selanjutnya bisa juga bernazar, jika tercapai cita-cita dan keinginan mereka maka akan kembali memotong kerbau atau sapi, bisa juga kambing sesuai janjinya. Usai sedekahan, dilanjutkan dengan menyembelih hewan di sekitar makam, lalu dimasak untuk dimakan bersama.

Aku duduk sejenak, tercenung. Baru beberapa hari yang lalu aku bertempur dengan bangsa jin yang sengaja menyesatkan manusia di kaki gunung Bungkuk. Bahkan orang yang mencari wangsit di situ kutendang hingga masuk rawa di lembah. Sesembahan mereka kusapu bersih. Bahkan sarang jinnya kuhancurkan. Sekarang Wak Lidin mengajak Ibu dan Bapak. Kukira ritualnya kurang lebih sama. Aku berpikir bagaimana cara menghalangi agar Bapak dan Ibu tidak ikut. Meski alasan Bapak dan Ibu katanya belum pernah pergi ke Bengkulu Selatan, lalu ingin melihat adat istiadat di sana.

Keesokan harinya, aku pura-pura demam. Badanku kubuat panas tinggi. Sambil sedikit menggigil agar Ibu cemas. Lalu kaki Bapak kubuat kram tidak bisa berjalan. Akhirnya sandiwaraku berhasil. Bapak dan Ibu batal ikut Wak Lidin pulang ke kampungnya. Ketika Wak Lidin dan rombongan sudah pergi, kusembuhkan kaki Bapak. Beliau kaget kok bisa sembuh secepat itu. Aku pun tidak demam lagi. Ibu terbengong-bengong. Padahal beliau hendak memanggil mantri dekat rumah untuk memeriksa aku dan Bapak.

“Dosa tahu, ngerjain orang tua.” Selasih protes. Kujawab, bukan ngerjain tapi menghalangi demi kebaikan.

“Demi kebaikan apa, pas Wak Lidin pulang sore nanti, dilihatnya Bapak sehat, kamu juga sehat. Apa kata Wak, Bapak Ibu dibilang pembohong!” kata Selasih lagi. Aku kaget. Iya juga ya. Mengapa tidak terpikir olehku?

“Nah…nah..tuuu mau nyari akal lagi untuk berbohong. Nanti kalau Wak pulang, seisi rumah mau dibuat sakit? Jahat kamu, Dek!” Sambung Selasih. Waduh! Akhirnya aku tepuk jidat. Tumben Selasih kali ini cerewet dan cerdas juga. Dia balas bisikan batinku dengan mencibir dan preeet!!

“Benar, Ibu. Bahkan sampai sekarang masih terserakan beras kunyit dan tanah di dekat pintu rumahnya. Sengaja tidak disapunya dengan maksud mau nyari orang pintar dulu. Nyari dukun.” Aku mendengar suara Yuk Beso di pinggir jalan. Dalam hati aku bertanya, beliau sedang bercerita dengan siapa? Oh! Rupanya bercerita dengan ibu. Aku pasang telinga untuk mencari tahu rumah siapa yang beliau maksud. Beras kuning dan tanah? Dihambur depan pintu? Apa maksudnya?

“Sekarang Karnak sekeluarga masih di rumah itu apa pergi?” Tanya Ibu. Terus dijawab Yuk Beso, masih di rumah itu. Tidak ngaruh. Cuma tidak disapunya saja. Ibu manggut-manggut tidak bisa memberikan solusi. Hanya saja, mendengar beras kunyit dihambur depan pintu, kejadiannya malam-malam, menurut Ibu mistik juga itu. Kalau bukan ada tujuan dan unsur sengaja mengapa ada beras kunyit berserakan? Akhirnya keduanya terlibat obrolan-obrolan berkaitan ke alam gaib. Ibu yang semula pegang sapu lidi menyapu halaman, sapu lidi diletakkannya di tanah, beliau pindah berdiri di pinggir pagar melanjutkan obrolan. Melihat keduanya asyik, datang pula Ayuk Nur, orang Rejang yang rumahnya persis di seberang rumahku. Cerita pun makin seru. Hampir sepanjang gang mendengar suara dan tawa ketiganya. Matahari sudah sepenggalah, tapi obrolan tetap asyik tak ada sudahnya.

Buk!! Buk!!

Kujatuhkan dua mangga tua di halaman. Ketiganya kaget lalu berlari mencari mangga yang jatuh. Akhirnya ibu suruh bawa satu untuk Yuk Nur satu lagi untuk Yuk Beso. Obrolan tamat, ibu melanjutkan menyapu halaman lagi.

Aku masuk kamar, lalu mencoba melihat rumah kak Karnak yang menurut Yuk Beso ada beras kunyit dan tanah. Sesampai di sana aku melihat sosok pocong dan makhluk-makhluk aneh yang berkeliaran di depan rumah dan bengkel kecil usahanya. Melihat aku, Pocong lelaki ini rada-rada ketakutan tapi masih nyengir sambil mengeluarkan suara tertawa. Kutanya apa keperluan mereka kemari? Melihat mereka seperti hendak menyerangku, kusapu mereka dengan selendangku

Sekali gerak saja mereka terikat dan tak bisa lepas. Lalu kembali kutanya. Setengah berlomba mereka berteriak jika mereka disuruh. Pengakuan salah satu makhluk asral ini mereka sengaja disuruh dukun untuk menutupi usaha kak Karnak. Agar tidak ada orang yang datang servis mobil ke bengkelnya. Oh! Aku baru paham. Sebelumnya aku hanya tahu jika beberapa tokoh dan warung yang kutemui di pasar-pasar pakai penglaris, dengan macam-macam media. Bahkan pernah ketika aku hendak makan, melihat nenek-nenek tua berjalan-jalan di antara tamu yang datang. Pas dekat denganku, matanya terbelalak tidak suka. Ujung tongkat jeleknya yang dia pakai nutul setiap makanan kutangkap dan kupatahkan. Si nenek pun kuikat. Lalu kulempar ke dasar sungai. Yang lebih menjijikan lagi, ketika aku hendak makan di sebuah warung, tercium bau jin. Kucari dimana jinnya. Ternyata, sumbernya dari garam yang berasal dari air liur jin. Jadi garam itulah dicampurkan ke tiap makanan. Akhirnya garamnya kunetralisir. Dan kekuatan gaibnya kuobrak-abrik. Nah sekarang giliran bengkel sederhana kak Karna, sengaja ditutupi seseorang agar usah bengkel kak Karna tidak didatangi orang. Hmmm.. jahat.

“Katakan siapa yang menyuruh kalian?” Ujarku.

“Kami tidak boleh memberitahu siapa yang menyuruh kami.” Ujar makhluk asral bertubuh kecil tapi wajahnya tua. Dari penuturannya, jika mereka memberitahu siapa yang menyuruh mereka akan disiksa dukunnya. Mendengar itu, kasihan juga pikirku. Ya udah kalian masuk ke sini aja, kuarahkan telunjukku mereka lebur jadi satu.

Aku berdiri di depan rumah semi permanen. Rumahnya bagus menurutku. Meskipun rumah ini letaknya strategis, namun nampak suram. Tidak ada cahaya. Aku langsung masuk. Kulihat si dukun tengah komat-kamit di depan dupa dan kembang rupa warna. Di sisinya benda-benda pusaka berjejer di balut kain hitam. Kuamati, ternyata dukunnya masih muda. Dalam pikiranku sebelumnya, yang namanya dukun pasti aki-aki atau nenek tua. Ketika dia membaca mantra memanggil semua makhluk laut, langit, bumi, kuhalang-halangi. Mantranya tidak sampai-sampai. Tiba-tiba beliau mengetahui jika aku menghalanginya. Dia hantamkan pukulannya padaku. Aku menghindar. Sekali ayun, kuhancurkan sesembahan dan beberapa benda ritual di kamarnya. Si dukun muda makin ngamuk. Beberapa kerisnya ikut terbang menyerang. Dalam hati aku salut juga dengan dukun muda ini. Senjata pusakanya serentak membantu. Kuayunkan selendangku, keris-kering itu terbang ke sana kemari menghindar sambil mengirimkan energi mematikan.

Aku mencoba menarik energinya. Beberapa keris bisa kutangkap. Wow! Luar biasa! Energi panasnya seakan membakar seluruh tubuhku. Kusalurkan energi dingin untuk melawan energi panas tersebut. Permata biru di telapak tanganku sontak mengeluarkan cahaya, seperti ikut menghisap hawa panas dari keris-keris yang telah kugenggam. Selanjutnya aku salurkan energi matahari. Keris-keris itu kuremuk. Dalam sekejap, lebur seperti abu.

Huf!!!! Brak!!!

Satu hantaman ke bumi, kukunci tubuh si dukun hingga beliau terjerengkang dan tak bisa bergerak lagi. Anak buahnya langsung kutarik dengan selendangkku pun kulakukan hal yang sama, meleburnya menjadi abu. Sang dukun mengerang seperti naga kehilangan gigi. Suara dengusnya mirip kuda yang berlari jauh. Kubiarkan beberapa saat dia setengah mampus. Aku melihat beberapa bayangan kabur meninggalkan ruang ritual. Keris yang semula bergoyang, serentak berhenti.

“Matilah kau iblis…mati kuuuu” Sang dukun masih sempat menyumpah-nyumpahiku kuarahkan telunjukku dengan geram. Kuambil semua energi dan kekuatannya. Beberapa makhluk asral yang semula patuh dengan si dukun kuperintahkan menyiksanya.

“Ayoooo sini para iblis. Lihat tuan kalian, dia tidak bisa lagi memberi makan kalian. Malah dia menyumpah-nyumpahi dan menyebut kalian supaya mati.” Ujarku. Kali ini aku pandai mengadu domba. Jin peliharaan sang dukun ramai-ramai menyerang tuannya. Aku tertawa sambil melenggang pergi. Kubawa satu sosok pocong, akan kuletakkan dihadapan orang yang sudah berniat jahat dengan Kak Karnak. Biar dia juga merasakan bagaimana diteror makhluk asral. Aku ingin lihat. Lalu dia akan berobat ke dukun juga tentunya. Akan kuhajar lagi dukunnya sampai setengah mati.

***

Malam ini bulan terlihat baru separuh. Meski langit tidak terlalu bersih, di balik awam masih terlihat bintang kelap-kelip seperti mata gadis kelilipan. Aku sengaja duduk di teras mencari angin. Jalan nampak sepi. Hanya dari beberapa rumah kulihat pintunya terbuka, dan suara musik lagu daerah dari kos-kosan mahasiswa UNIB.

Selintas pandanganku tertuju pada beberapa makhluk asral dengan berbagai bentuk. Ada yang duduk diam di seberang parit yang mirip sungai kecil depan rumahku. Ada juga di antara mereka mengintip, ada yang berjalan, ada juga seperti bercengkrama dan saling kejar seperti hendak berkelahi. Aku hanya memperhatikan pola mereka. Beberapa kuntilanak ada yang sok ramah tertawa-tawa melihat padaku. Kecuali nenek-nenek bau sirih hilir mudik di jalan samping rumah, sambil melirik-lirik padaku. Perawakannya dekil, rambutnya kusut. Aku malas menegurnya. Apalagi dia suka mengganggu anak kecil yang sedang bermain dengan dalih menjaga cucu. Sering membuat nangis balita. Pikirnya wajahnya lucu, padahal tampangnya serem, kulitnya bukan berkerut lagi, tapi berlipat. Mulutnya selalu mengunyah sirih sampai mulutnya merah belepotan kayak darah. Terus suka membuang ludah sembarangan. Sering pula penampakan diri, membuat balita-balita yang terlihat padanya takut. Apalagi kuntilanak, rambut panjang, baunya apek, suka sekali mendekati anak-anak yang sedang bermain sendiri, atau sedang tidur.

Saat sedang asyik melihat tingkah laku makhluk-makhluk asral itu tiba-tiba ada suara nenek Kam.

“Dek, pergi ke rumah dukun itu. Suruh pergi jin-jin yang menyiksanya dia sudah tidak mampu apa-apa lagi, kok kamu suruh peliharaannya menyiksanya.” Ujar nenek Kam.

“Dia jahat Nek, masih muda suka membuat orang sengsara. Bahkan dengan ringannya membunuh orang dengan ilmu santetnya” Ujarku. Langsung dijawab nenek Kam, bukan tugasku menyiksanya. Biarlah sang Maha saja memberikan ganjaran yang setimpal sesuai perbuatannya. Akhirnya aku berangkat melihat sang dukun muda.

Sampai di lokasi, aku melihat sang dukun antara mati dan hidup. Para jin peliharaannya kuusir pergi sesuai pesan nenek Kam. Sebagian mereka ada yang melawan tidak mau pergi dari tubuh si dukun, menghisap darah dan sum-sum tulang belakangnya. Akhirnya aku berkelahi dengan makhluk asral itu. Kebanyakan jin-jin pembantunya ini diambil dari laut dan kuburan. Sebagian lagi berasal dari benda-benda pusakanya. Ada tiga penghuni pusakanya berupa harimau tua. Melihat sikapnya, kasar dan ganas aku tidak berani melepasnya begitu saja. Mereka mengaku berasal dari pulau Jawa. Satu dari Sunda, Ki Sudanak namanya. Lalu dua dari Banyuwangi, Mbah Kusno dan Mbah Parmin. Energi mereka sangat kuat. Ketiga-tiganya minta makan.

“Kau membawa apa kemari, anak manusia. Mana makanan untuk kami? Kami lapar. Kalau tidak, kami akan mencari darah.” Ujar di antara mereka berbahasa Osing.

“Hei! Aku bukan dukun, bukan pula budak kalian. Jika kalian ingin makan, bekerja! Bangsa kami jika hendak makan harus bekerja terlebih dahulu. Bukan seperti kalian!” Ujarku marah. Apalagi mendengar ancamannya. Mencari darah? Maksudnya hendak mencelakakan manusia. Mendengar nada suaraku tinggi, salah satu harimau melompat tinggi hendak menerkamku. Aku lawan dengan hantaman telapak tanganku. Kudorong dengan mustika biru kakek Andun. Tubuh besarnya terpental. Rupanya sudah terpental sekali, dia tidak berani menerkam lagi. Matanya saja nanar.

“Dengar Aki, Mbah-mbah, aku bisa membuat kalian lumpuh seperti dukun kalian. Aku ambil semua energi kalian” Ancamku melihat wajah mereka menyeringai siap-siap hendak menyerang.

“Kami tidak takut!” Ujar salah satu mereka lagi. Ya, wajar saja mereka mengatakan tidak takut. Karena mereka memang petapa-petapa dan berilmu tinggi, rata-rata usianya ratusan tahun.

“Baik, kalau kalian hanya akan membuat resah kehidupan manusia, aku akan habisi kalian.” Ujarku mulai bergerak. Kusapukan selendangku untuk menangkap tubuh ketiganya. Ketiga harimau penghuni keris Sang dukun mulai mengatur posisi. Mereka hendak menyerang berbarengan. Kuku tajam mereka mencakar-cakar menghasilkan suara mengerikan. Begitu juga suara menggeram mereka. Berat dan mengancam. Dalam sekejap ketiganya melompat berbarengan.

Das!!! Das!!! Hug!!!

Tubuh mereka beradu dengan ujung selendangku. Benturan dengan kekuatan tiga harimau siluman ganas ini menghasilkan suara-suara yang terdengar oleh bangsa manusia.

“Suara apa ini, kok gemuruh. Rumah kita panas dan berisik. Apa ada gempa?” Istri sang dukun yang tengah menjaga suaminya cemas.

“Aba…bangun Bah. Banguuuuun. Rumah kito koh nak roboh. Bangun Bah!” Si ibu menggoyang-goyang tubuh sang Dukun. Tapi Sang dukun diam saja. Tak lama dia ambil air lalu dituangkannya di dalam gelas. Kemudian dibaca-bacanya mantra.

Aku melihat beberapa makhluk asral mendekat dan menghirup air yang dibacai mantra oleh istri Sang dukun. Air yang semula bening, berubah menjadi keruh. Lalu air itu hendak diusapkannya ke tubuh Sang dukun dengan maksud mengobati. Istri dukun mungkin tidak tahu jika air itu justru akan menyiksa Si dukun. Makhluk-makhluk asral itu justru akan menjilati dan menghisap darah Sang dukun. Akhirnya dari jauh kupecahkan gelas berisi air yang dipegang istri dukun. Dia kaget melihat gelas pecah dan air tumpah di lantai. Matanya nanar ke atas memandang langit-langit ruangan yang tak seberapa. Dikuat-kuatkannya batinnya sambil mengambil lap dan mengepel lantai.

Sementara tiga siluman harimau masih berniat mengeroyokku. Aku belum berhasil menangkapnya.

“Siapa kau harimau kecil? Dukun darimana kau? Kecil-kecil berani sekali kau menantang kami.” Ujar salah satu siluman harimau sambil menahan kakinya yang sakit kena pukulanku.

“Dengar Aki, dan Mbah-mbah. Agar kalian tidak mati penasaran, akan kuberi tahu kalian. Namaku Putri Selasih. Aku dari tanah Besemah gunung Dempu. Aku bukan dukun seperti tuan kalian.” Ujarku. Mendengar gunung Dempu mereka sedikit terbelalak.

“Apa? Dari Besemah? Gunung Dempu? Kembaranku ada di sana.” Ujar mbah Kusno. Keningku berkerut mendengar kata ada kembarannya di gunung Dempu? Jangan-jangan makhluk ini mengaku-ngaku saja.

“Sungguh Putri Selasih, kembaranku ada di gunung Dempu. Dia dipegang seseorang di gunung itu. Aku sudah sangat rindu ingin jumpa.” Suaranya agak memelas. Aku membaca hatinya. Benar, beliau memang rindu saudaranya. Dalam hati aku mendapat angin segar ini. Makhluk satu ini bisa kutakhlukan dengan mudah.

“Aku bisa membantu mbah ketemu kembaran mbah di sana. Tapi dengan syarat mbah ikut aku dan tidak melakukan kejahatan lagi. Tidak merusak organ tubuh manusia, berhenti mencelakakan manusia. Berhenti suka minum darah.” Mendengar tawaranku si Mbah malah menangis. Terus di tengah tangisnya mengatakan mau ikut aku dan minta tolong dipertemukan dengan saudara kembarnya. Hilang garangnya.

Sementara dua harimau lainnya ki Sudanak dan Mbah Parmin, melihat mbah Kusno menangis malah marah dan menyerang. Melihat mereka hendak mencelakakan mbah Kusno, kuhalangi dengan satu pukulan. Mbah Kusno langsung kutarik ke dekatku dan kutotok agar beliau tidak menyerangku.

“Jangan cengeng Kusno. Percuma kau jadi petapa dan berilmu tinggi. Baru mendengar nama daerah saja sudah menangis,” ujar Ki Sudanak. Tangis Mbah Kusno makin jadi. Dia tidak peduli dengan ucapan Ki Sudanak.

“Kalian tidak usah marah-marah dengan mbah Kusno. Setiap makhluk punya persoalan masing-masing. Mengapa kalian marah karena mbah Kusno rindu dengan saudara kembarannya?” Ujarku sembari melindungi mbah Kusno. Aku khawatir dua makhluk ini menyerang mbah Kusno lagi. Mereka anggap mbah Kusno penghianat.

Benar saja serangan dari jauh kembali dilancarkan dua harimau tua ke arahku dan mbah Kusno. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus melindungi mbah Kusno aku hantamkan kembali selendangku. Kutambahkan pusaran angin untuk menggulung mereka berdua. Dalam waktu singkat, keduanya bergumul dengan anginku. Serangan Ki Sudanak di tengah angin yang bergulung seperti hantaman badai menghasilkan suara menderu. Lampu yang tergantung di rumah Sang dukun bergoyang-goyang seperti hendak jatuh. Istri si Dukun menjerit-jerit ketakutan. Lalu beliau ambil tongkat yang dari tadi bergerak-gerak di sudut ruangan. Aku melihat ada makhluk besar tinggi di dalamnya dari tadi dia hanya mengintip, tidak mau ke luar. Istri dukun mengangkat tongkat lalu mengacung-ngacungkannya ke atas seakan menghalangi angin yang menderu. Aku tertawa melihatnya. Apa-apaan istri dukun ini. Padahal dia tidak paham fungsi tongkat dan tidak pula tahu jika ada makhluk yang bersemayam di dalamnya.Yang beliau tahu tongkat itu ada kekuatan. Angin masih terus menderu. Bahkan beberapa alat ritual si dukun banyak yang jatuh berantakan. Aku masih berusaha menangkap dua siluman harimau yang nampak kalap melihat kawannya kuambil. Energi-energi yang berada di ruangan ini saling berbenturan membuat rumah semakin gaduh namun tak kasat mata. Istri Sang dukun tidak tahu kalau makhluk peliharaan suaminya sedang perang denganku.

Haaaap!
Hiiiiiaaaaat!! Aku memutar selendangku. Hantaman dua siluman harimau mampu membuyarkan anginku. Tapi tak urung tubuh mereka jatuh persis seperti nangka masak jatuh dari pohon. Kulihat mbah Parmin tidak bergerak-gerak lagi. Beliau pingsan. Aku langsung mengarahkan telunjukku, kusedot kemampuannya. Melihat aku melumpuhkan kawannya, ki Sudanak kembali menyerangku. Kali ini serangannya lebih dasyat dari tadi. Entah ilmu apa yang dia keluarkan. Namun hantamannya luar biasa. Aku seperti membentur puluhan ribu batu karang. Beberapa kali aku nyaris terjerengkang.

Menghadapi kekuatan Ki Sudanak, aku segera membaca mantra kekuatan menghadang gunung. Kukumpulkan ke ujung tanganku. Kulihat gerakan Ki Sudanak berkilau-kilau seperti cahaya matahari. Kadang seperti cahaya api. Tak lama gerakkan tangannya berubah mirip perisai mengeluarkan angin yang sangat kencang. Aku mencoba menghalanginya dengan kekuatan menghadang gunung. Tak lama kekuatan Ki Sudanak dan kekuatanku saling dorong. Suara menderu tak hanya mengeluarkan angin kencang. Namun rumah dukun ini kembali bergetar seperti hendak roboh. Beberapa barang yang tergantung satu-satu jatuh.

“Aduh Abah, apalagi ikoh Ba. Ngapo rumah kito ajo yang begempo?” Ujar istri dukun sambil memegang tubuh suaminya yang tak bergerak. Aku dan harimau Ki Sudanak masih saling dorong. Tiba-tiba Duuuaar!! Hentakan keras yang kuhentamkan ke bumi membuyarkan dorongan Ki Sudanak. Hasilnya mengeluarkan suara ledakan hingga membentur langit-langit ruangan tembus ke atap. Atap rumah dukun bolong seketika.

Jeritan istri si dukun membuat geger tetangga. Apalagi saat atap rumahnya jebol, suara ledakan kencang sekali. Ki Sudanak terkapar di lantai usai ledakan itu. Aku langsung meringkus, lalu mencabut energinya. Dua harimau siluman kubiarkan terkapar tak berdaya. Aku menarik nafas lega. Kuayunkan tanganku ke atas, aku mencoba menarik energi dari semua pusaka yang ada di ruangan ini. Benturan-benturan kembali terjadi. Beberapa pusaka memberontak. Melakukan perlawanan. Kusapu sekali lagi. Akhirnya energi pusaka habis seketika. Makhluk asrama ya sebagian kuusir.pergi sebagian lagi kutawan di ujung jemariku.

Aku berbalik ke mbah Kusno. Kutanyai apa maunya.

“Aku ingin berjumpa dengan kembaranku Putri Selasih, kami dipaksa berpisah oleh empu Elang pembuat keris kembar itu. Meski sama-sama di Sumatera namun ternyata tidak mudah kami untuk berjumpa. Dukun-dukun ini telah mengikat kami masing-masing. Tolonglah kami, Putri Selasih. Jumpakan kami.” Mbah Kusno kembali menangis. Aku memberikan syarat padanya jika hendak bertemu dengan saudara kembarnya. Kuminta beliau bersyahadat dan tinggal di gunung Dempu. Begitu juga kembarannya akan kutarik dan tinggal di gunung Dempu. Tidak bergantung dengan dukun lagi. Tapi di gunung Dempu bersama para mualaf lainnya, hidup penuh aturan dan beragama. Mendengar tawaranku mbah Kusno menerima. Bahkan. Beliau sangat berterimaksih. Yang penting baginya bisa berjumpa dengan kembarannya hidup bersama-sama lagi.

Kuayunkan tangan aku fokus memanggil paman Raksasa. Dalam sekejap, paman Raksasa telah berdiri di hadapanku. Kuceritakan pada paman Raksasa siapa mbah Kusno dan keinginannya. Kuminta Paman Raksasa membimbing beliau setelah bersyahadat nanti. Paman Raksasa tertawa girang. Tubuh tambunnya bergoyang-goyang. Selanjutnya aku duduk sejenak, aku pamit segera menuju gunung Dempu.

Aku berusaha mencari saudara kembaran mbah Kusno. Aku memusatkan pikiran dan penciumanku. Cukup lama aku berkeliling di sekitar kampung. di area gunung Dempu, sejenak aku meminta izin pada sesepuhku di gunung Dempu. Nyaris semua mendukungku.

“Sudah berani asal lewat tak mau singgah ya. Mau kualat kamu?” Suara Nenek Ceriwis menegurku. Kukatakan ini dalam keadaan darurat aku tidak punya banyak waktu untuk bercerita, apalagi singgah. Nenek Ceriwis mendegus marah. Aku membatin minta maaf pada beliau. Mendengar suara nenek Ceriwis mendengus marah, Kakek Njajau malah tertawa.

“Kalau kamu tua nanti, jangan kayak nenekmu ya Selasih. Dari muda sampai tua cerewet dan pemarahnya tidak berkurang. Malah makin jadi.” Sambung kakek Njajau. Aku hanya tersenyum mendengar suara kakek Njajau.

Aku masih berkeliling. Pertama aku berusaha mencari di sekitar tangsi dua. Ternyata tidak ada. Aku bertanya pada nenek gunung penjaga tangsi dua. Beliau menyatakan tidak ada. Akhirnya aku turun ke tangsi satu. Di tangsi satu aku merasa ada energi yang kucari. Akhirnya aku sampai pada satu rumah. Aku melihat rumah ini agak suram. Tidak ada cahaya dan energi yang membuat rumah itu nyaman. Aku meminta izin masuk. Ternyata di dalamnya sama persis seperti di rumah dukun di Bengkulu banyak sekali benda pusaka dalam segala bentuk. Ada keris, ada batu, ada kulit dan taring harimau, ada jenglot, dan macam-macam benda pusaka di satu kamar khusus. Ada aneka macam lilin, gaharu, kembang, dan gambar-gambar para demit. Ada gambar Nyi Roro Kidul, ada gambar Prabu Siliwangi dengan harimau tunggangannya, ada gambar tokoh-tokoh spiritual yang tak kukenal ditata sedemikian rupa. Ada kain putih diikat rapat dan dimantrai, simpulanku itu adalah kain kafan. Selanjutnya ada boneka yang dipajang dengan foto seseorang. Melihat benda-benda yang terpajang di ruang khusus ini, yakinlah aku jika beliau benar-benar serius menggeluti dunia perdukunan.

Bukan dukun sakti namanya kalau dia tidak tahu kehadiranku. Para pengikutnya lebih dulu memberitahunya. Beliau langsung menghadangku di depan pintu kamarnya.

“Mengapa kau datang kemari, harimau kecil. Darimana kau?” Tanyanya dengan nada tidak suka. Kujawab aku mencari kembaran mbah Kusno yang beliau tawan. Akhirnya kami sejenak berdebat. Beliau mengatakan tidak pernah menawan siapa-siapa. Ketika aku minta izin mencarinya beliau menghalangi. Bahkan beliau mengusirku.

“Lebih baik kau pergi dari sini sebelum aku marah. Kau tidak kuizinkan memeriksa benda-benda pusaka saya.” Ujarnya lagi. Aku ngotot tidak mau pergi.

“Berikan sajalah keris yang itu padaku. Aku tahu di situ kembaran Mbah Kusno. Kalau tidak kuhancur leburkan tempat ini. Akan kuobrak-abrik agar makhluk-makhluk asral ini pergi dari sini. Termasuk juga sampean akan kuusir dari tanah Bersemah ini!” Ujarku melihat beliau dan makhluk-makhluk asral peliharaannya sudah berdiri. Melihat mereka sudah mulai menyerangku, aku hantamkan kaki. Dalam sekejap mereka sudah berhadapan denganku. Kuhantam mereka dengan muda. Satu kelebatan cahaya biru dari telapak kananku mendorong mereka hingga terjerengkang dan melayang. Tak lama aku melihat kelebatan bayangan datang beramai-ramai. Pasukan yang membantu sang dukun banyak sekali. Ketika mereka kembali menyerbu, kusapu mereka dengan cahaya biru dari telapak tanganku kembali. Puluhan mereka terseret dan kulebur jadi satu. Menyadari anak buahnya dengan mudah kutarik, sang dukun naik pitam.

“Jangan sebut mbah Darmo dari gunung Lawu kalau kalah dengan anak kecil sepertimu, kecoa.” Ujarnya sambil menepuk dada. Sombong sekali. Beliau melepaskan serangannya padaku masih dibantu makhluk-makhluk asral peliharaannya.

Hiiiiaat!!!
Sekali hantam kamar ritualnya mbah Darmo kuporak-porandakan. Makhluk asral yang berada di benda-benda pusakanya ada yang balik menyerang, ada juga yang kabur terbirit-birit. Air mantra dan kembang kuhambur. Kamar ritual Sang dukun menjadi berantakan. Sang dukun sangat marah. Beliau segera mengeluarkan anjian-ajiannya. Keris yang dipegangnya seperti makhluk hidup melompat-lompat menggetarkan tubuh Sang dukun. Kuhantan dengan pukulan badai. Sang Dukun terpental. Namun kerisnya tetap berdiri. Bahkan makhluk yang ada di dalamnya masih sambil semedi melakukan serang -serangan padaku. Dalam hati aku salut juga dengan mbah dukun satu ini.

Sang dukun bangkit lagi. Kali ini dia baca mantra kembali. Kekuatannya lebih dasyat dari tadi. Nyaris semua kekuatan yang ada di ruangannya ini turut membantu menyerangku. Makhluk-makhluk yang hadir tidak saja dalam sosok orang, ada juga bentuk harimau, monyet, pocong, kuntilanak, boto ijo, ular, dan gondorowo. Di antara harimau yang menyerangku kulihat ada satu mirip sekali dengan mbah Kusno. Aku fokus padanya. Aku tidak ingin dia terluka meski dia pun memiliki kemampuan yang dasyat juga. Pantas saja berani merantau, rupanya si dukun memang memiliki kemampuan yang sangat mumpuni. Ketika beliau menggunakan jurus kuntau harimau, aku menatap gerakannya dengan seksama. Ini gerakan kutau harimau Besemah. Rupanya beliau juga berguru dengan orang Besemah. Aku penasaran sampai dimana dia menguasai kuntau itu. Sementara makhluk-makhluk asral pengikutnya masih menyerangku dengan kekuatan-kekuatan mereka. Aku tidak mau berlama-lama, kugulung makhluk-makhluk asral itu dengan selendang dan angin badaiku. Lalu kusalurkam energi zikir. Aku mendengar jeritan kepanasan para makhluk asral. Suara mereka menyeramkan sekali. Sementara saudara kembar mbah Kusno telah kuikat tidak bisa bergerak lagi.

Melihat anak buahnya menjerit dalam ikatan selendangku, Sang dukun terperangah. Gerakan kuntau harimaunya makin ganas menyerangku. Kadang dia berputar, mencakar, mengigit, menerkam. Satu gerakan kuhentamkan kaki dan tanganku mematahkan dan mengunci gerakkannya. Kini tinggallah kekuatan batinnya beradu dengan energi yang kusalurkan di lengan kiriku. Sementara tangan kananku terus menyalurkan energi zikir membuat makhluk-makhluk asral melolong panjang.

Hiiiatttt!!!
Satu hentakan kuakhiri membuat sang Dukun terpental menabrak dinding rumahnya hingga jebol. Tubuhnya terpental hingga ke luar rumah. Begitu juga makhluk asral yang terikat di selendangku kusalurkan hawa panas untuk melebur mereka. Mereka hangus tinggal abu. Lalu kuhentakkan. Sekali hentak abu berserakan memenuhi udara ruang ritual sang dukun. Aku kembali menyapu ruangan dengan selendangku sehingga benda-benda pusakanya berterbangan entah ke mana. Ada yang bersembunyi di balik batu-batu pengunungan, ada yang nyungsep di kebun teh, ada yang meluncur ke sungai-sungai dan air terjun di sekitar gunung, ada juga yang mengubur diri di bawah rumah sang dukun. Mereka mirip seperti cahaya meteor meluncur sangat cepat. Sebagian lagi hancur kuhantam.

Sang dukun setengah semaput minta-minta ampun.

“Aku anak Besemah penghuni gunung Dempu ini mbah. Rupanya mbah sudah lama praktik di sini. Mengotori pegunungan ini. Mengirim teluh dan santet. Ingat aku akan datang kemari lagi.” Aku menepuk pundaknya. Kutarik semua kekuatannya hingga beliau kelonjotan seperti mau mati. Tak ada satu pun makhluk asral peliharaannya yang muncul. Rumahnya kunetralisir segera. Aku minta izin membawa kembaran mbak Kusno meninggalkan mbah Darmo yang masih tergeletak di luar rumahnya.

Tak berapa lama aku telah sampai kembali menemui paman Raksasa dan mbah Kusno yang duduk seperti orang sedang semedi. Menyadari kehadiranku mbah Kusno langsung buka mata dan kaget melihat di hadapannya telah berdiri kembaran. Keduanya sama-sama kaget lalu mereka perpelukan sambil tersedan-sedan. Di sela tangis keduanya mereka mengungkapkan kerinduan dan bercerita selama mereka terpisah dalam bahasa Osing Banyuwangi yang tidak kupahami. Namun melihat bahasa tubuh dan ekspresi keduanya, terlihat sekali jika mereka saling sayang dan saling merindukan. Aku yang berdiri dekat kaki Paman raksasa jadi ikut terharu melihat mereka berdua.

Setelah cukup lama aku membiarkan mereka menangis dan berpelukan, lama kelamaan tangis mereka pun reda.

“Terimakasih Putri Selasih telah membantu kami bersatu kembali.” Mbah Kusno sujud padaku. Aku angkat bahunya. Kukatakan aku pun bahagia bisa menyatukan dua saudara yang terpisah lama. Setelah kutanya berapa tahun mereka terpisah. Nyaris serentak mereka menjawab seratus tahun.

“Seratus tahun..” Hatiku lirih. Paman Raksasa tersenyum.

“Waktu di alam nyata dengan alam gaib kan berbeda, Selasih. Seratus tahun di alammu memang lama.” Ujar paman raksasa. Aku tersenyum. Benar sekali. Malah selisih jarak waktu dua alam itu sangat panjang. Akhirnya aku minta mbah Kusno menyampaikan pada kembarannya tentang perjanjian awal yang kami buat.

“Kangmas Kusni, aku berjanji dengan Putri Selasih. Jika dia bisa mempertemukan kita, maka aku berjanji akan ikut beliau. Kuharap Kangmas juga tidak keberatan, agar kita selalu bersama. Aku tidak ingin berpisah lagi, Kang Mas.” Ujar Mbah Kusno memegang tangan kembarannya. Aku baru tahu kalau nama saudara kembar beliau mbah Kusni. Kutatap wajah mbah Kusni dalam-dalam. Nampaknya beliau patuh dan menerima keinginanan mbah Kusno. Lalu kujelaskan bahwa keduanya akan tinggal di lereng gunung Dempu, paman Raksasa yang akan membimbing keduanya untuk bersyahadat di sana.

Angin dari laut bertiup pelan. Bulan meski separuh sudah makin tinggi. Langit tampak lebih bersih dari tadi. Bintang timur nampak lebih cerlang dari yang lain. Mbah Kusno dan mbah Kusni mohon diri ikut paman Raksasa. Keduanya menyalamiku erat sekali.

“Mbah, jadilah harimau yang baik, yang soleh, dan ahli ibadah. Suatu saat aku akan datang melihat Mbah berdua di sana. Titip salam untuk adikku A Fung.” Aku menyalami keduanya. Tak lama paman Raksasa merangkul keduanya. Paman mengucapkan salam dan ketiganya melambaikan tangan. Dalam waktu sekejap ketiganya lenyap dari pandanganku. Tinggallah aku masih berdiri di tengah-tengah rumah dukun. Tetangga mereka berdatangan keheranan melihat atap rumah yang jebol. Jasad si dukun mereka pindahkan ke ruang depan.

“Nek Kam, apakah dukun ini harus kuobati? Kusadarkan?” Aku membatin berinteraksi dengan nek Kam. Lalu kata nenek Kam tidak usah, karena sebentar lagi ajal akan menjemputnya setelah tubuhnya bersih dari segala pengaruh makhluk asral. Akhirnya sejenak aku tatap Si dukun. Wajahnya tidak tegang lagi seperti tadi. Tapi lebih lembut dan pasrah. Nafasnya tinggal satu-satu. Beberapa orang kulihat membaca surah yasin. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah wajib si dukun dibacakan atau dipedengarkan surah yasin sementara aktivitasnya selama ini jauh dari kegiatan ibadah? Dia lebih banyak menentang syariat agama? Dia telah menentang kekuasan Sang Maha? Apakah wajib dimandikan lalu di sholatkan ketika dia mati?

Wallahu a’lam.

Aku berjalan pelan meninggalkan rumah Sang dukun yang semakin ramai. Perjalanan selintas yang kualami barusan jauh dari perkiraan. Mana pernah aku membayangkan akan bertemu dengan siluman harimau kembar pada akhirnya mereka mau diajak ke jalan kebenaran hanya karena di sebabkan rasa rindu dan cinta. Aku makin sadar, betapa kekuatan cinta, rindu, dan persaudaraan kadang menembus segala logika. Bahkan mampu menumbangkan keegoisan seseorang.

Bersambung…
close