BERBURU PESUGIHAN DI GUNUNG SUROWITI
JEJAKMISTERI - Inilah kisah nyata yang dialami oleh seorang anak manusia bernama Kasrodin. Karena kesulitan hidup yang dialaminya ia nekad melakukan ritual pesugihan di suatu tempat yang disebut dengan nama Gunung Surowiti. Seperti apa akhir kisahnya?
Nah, sebelum mengisahkan ritual sesat yang dilakukan oleh Kasrodin, terlebih dahulu penulis akan membeberkan tentang tempat keramat yang disebut Gunung Surowiti yang sejarahnya ternyata berhubungan dengan Sunan Kalijaga.
Di gunung yang sesungguhnya hanya berupa bukit ini memang terdapat Petilasan Sunan Kalijaga. Persisnya terletak di Desa Surowiti, Kecamatan Panceng, atau 35 km jalur Pantura masuk ke Selatan sekitar 4 km.
Komplek Petilasan Sunan Kalijaga yang terdapat di puncak Gunung Surowiti ini di sekitarnya terdapat beberapa buah makam antara lain makam Empu Supo, makam Raden Bagus Mataram, makam Mbah Sloko, dan makam Mbah Singo Wongso.
Disini juga terdapat sebuah goa yang disebut dengan nam Goa Langseh.
Konon, goa ini merupakan tempat persembunyian Sunan Kalijaga di masa muda yang masih bernama Raden Sahid atau yang dikenal pula sebagai Brandal Lokojoyo. Di goa ini pula Brandal Lokojoyo digembleng dan dididik oleh Sunan Bonang sampai menjadi seorang penyiar agama Islam yang kelak dinobatkan sebagai Sunan Kalijaga.
Dikisahkan, adik Sunan Kalijaga bernama Dewi Rosowulan. Ia menjadi istri seorang tokoh kejawen kondang, putra seorang panglima tentara Majapahit bernama Empu Supogati atau biasa disebut Empu Supo yang kini makamnya berada di Gunung Surowiti.
Mengetahui situasi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang kontras dengan situasi di kota Tuban, terutama perilaku para penguasanya, Raden Mas Sahid sering pergi berkelana ke daerah lain. Salah satunya mengembara di wilayah Gunung Surowiti, ketika mengembara di tempat terpencil inilah maka ia mengalami peristiwa sebagai berikut:
Di suatu malam tersebutlah kisah ada seorang lelaki bernama Suro Astono yang berbadan kurus kering dan bertelanjang dada sedang memikul hasil bumi untuk dijual ke pasar terdekat. Pak tua itu bersama anak gadisnya yang menyertai perjalanan menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Nama anak gadis itu Sri Wangi.
Setelah barang dagangannya habis terjual di pasar pak tua dan anak gadisnya istirahat sejenak dalam perjalanan kembali ke rumahnya.
Begitu memasuki jalan setapak sepi dan sunyi yang menghembus di hutan yang tak jauh dari arah sebuah sendang yang bernama Seloringin (akhirnya di sebut Selo dingin). Tempat ini biasa menjadi daerah operasi perampok yang banyak dikenal oleh masyarakat sekitarnya.
Tiba-tiba pak tua merasa terkejut mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Rupanya para penunggang kuda itu adalah gerombolan perampok Pondang Kaloko. Mereka bermaksud merampok saudagar tua itu. Tetapi setelah Suro Gento, kepala gerombolan rampok itu melihat kecantikan Sri Wangi, perhatiannya kemudian tertuju pada gadis ini. Oleh karena itu Suro Gento lalu ingin memperkosa Sri Wangi. Gadis cantik itu ditarik paksa ke sebuah gubuk dan ditelentangkan diatas balai-balai.
Kekuatan Sri Wangi yang meronta-ronta sekuat tenaga tidaklah berarti apa-apa.
Namun, begitu kesuciannya hampir terenggut, tiba-tiba muncul lah seorang pemuda yang menunggang kuda dan memperingatkan para perampok untuk segera melepaskan gadis itu.
Kedatangan pemuda itu tentu membuat Suro Gento menjadi sangat marah. Disamping telah mengganggu hasratnya, juga dianggap telah melecehkan dirinya sebagai perampok yang ditakuti di daerah itu.
Singkat cerita, terjadi perkelahian antara pemuda itu dengan rombongan perampok Pondang Kaloko. Si pemuda mampu memenangkan perkelahian karena dia memiliki ilmu bela diri yang tinggi dan memiliki banyak kesaktian.
Setelah Suro Gento dan anak buahnya dapat dikalahkan oleh si pemuda, maka Sri Wangi dan ayahnya dibebaskan. Para perampok itu berjanji untuk bertobat atas perbuatan buruknya selama ini.
Oleh pemuda itu Suro Gento disarankan menuju ke suatu tempat diatas bukit untuk menjalani masa pertaubatannya dan membangun pemukiman diatas bukit itu.
Syahdan, karena orang pertama yang mematuhi saran si pemuda sakti itu adalah Suro Gento selaku pimpinan, maka pada akhirnya pemukiman baru diatas bukit itu diberi nama Surowiti, yang bisa berarti "suro kang miwiti".
Demikian Sri Wangi dan keluarganya, diikuti beberapa orang yang selama ini tinggal di tengah hutan yang hanya mengandalkan kehidupan di sekeliling Sendang Selo Ringin, pada akhirnya mengikuti jejak Suro Gento untuk pindah ke atas bukit tersebut. Namun ada beberapa orang yang tidak mematuhi saran pemuda sakti tersebut dan diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Ternyata mereka memilih menuju tempat di lereng bukit selanjutnya perkampungan itu itupun disebut Nganting. Sekarang wilayah tersebut menjadi salah satu nama dusun di wilayah Desa Surowiti yaitu Dusun Gampeng.
Kisah pak tua dan Sri Wangi tersebut akhirnya berkembang dan menggemparkan masyarakat di sekitarnya. Pada akhirnya membuka tabir rahasia siapa sebenarnya pemuda penyelamat itu yang tidak lain adalah seorang pengembara yang bernama Joko Secoh, yang sesungguhnya adalah Raden Mas Sahid, atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kedatangan Joko Secoh disambut gembira dan disampaikan berita itu ke kawasan pejabat Kademangan yang letaknya sebelah Utara lereng Gunung Surowiti. Bahkan seorang Demang yang bernama Demang Jagur meminta Joko Secoh menginap di rumahnya selama beberapa hari.
Di rumah Demang Jagur inilah Joko Secoh ikut berperan menjaga dan melindungi kampung baru diatas bukit yang bernama Surowiti tersebut. Dan pada akhirnya lokasi Demang Jagur itu menjadi cikal bakal ibu kota Kecamatan Panceng sekarang.
Itulah sekilas tentang kisah atau legenda asal-usul Gunung Surowiti.
Sekarang, penulis lanjutkan kisah petualangan sesat Kasrodin di daerah yang sangat dikeramatkan ini.
Diceritakan, hari itu Kasrodin turun dari angkutan umum jurusan Brondong, Tuban, Jawa Timur. Sebuah tas yang di dalamnya berisi beberapa pakaian terlihat bertengger di pundaknya.
Setelah menoleh ke kanan dan kiri, ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Gunung Surowiti yang sudah tampak dari kejauhan.
Para tukang ojek yang mendekati dan menawarkan jasa untuk mengantarkannya ditolaknya. Penolakan itu bukan karena alasan sebagai bagian dari ritual pesugihan yang sedang dijalaninya. Namun, ia memang benar-benar tidak mempunyai uang untuk naik ojek, yang mungkin tarifnya bisa mencapai Rp 30 ribu lebih. Uang sebesar itu, alangkah baiknya jika nanti digunakan untuk makan setelah dia benar-benar sudah sangat lapar.
Soal makan, sudah sejak pagi tadi Kasrodin belum makan sedikit pun. Saat berangkat dari rumahnya, yang berada di daerah Probolinggo, ia tidak sempat makan karena memang tidak ada yang bisa untuk dimakan. Ia memang melihat istrinya sempat memasak nasi, tapi jumlahnya tidak banyak dan cukup hanya untuk makan istri dan dua orang anaknya yang berusia delapan tahun dan satu tahun. Ia tidak tega makan nasi jatah istri dan anak-anaknya yang hanya berlaku pauk ikan asin itu. Makanan itu, kalau tidak diperoleh istrinya dari mertuanya, biasanya diperoleh dari RT setempat yang menjual beras murah dari program pemerintah.
"Mas pergi dulu, doakan agar Mas mendapatkan rejeki yang cukup," ucap Kasrodin saat pamit pada istrinya yang setia itu. Ia tidak menyebut kemana perginya. Ketika sang istri menanyakan mau kemana, ia hanya mengatakan akan pergi ke Surabaya mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan di tempat yang dulu pernah dia bekerja bersama teman-temannya.
Gunung Surowiti yang telah tampak dari kejauhan ternyata masih cukup jauh letaknya. Perjalanan selama satu jam dengan berjalan kaki, rupanya tidak cukup untuk sampai ke tempat itu. Melewati jalanan hutan jati yang cukup sepi dan naik turun, membuat nafas Kasrodin tersengal-sengal. Sebotol air putih yang dibawanya dalam bekas botol air mineral sudah tinggal ujungnya.
Beberapa teguk lagi air itu tentu sudah habis.
Kasrodin akhirnya sampai juga tepat di lereng Gunung Surowiti. Sekarang dia merasa sudah benar-benar sangat lapar. Ia melihat beberapa warung berdiri berderet di sepanjang jalan menuju tempat untuk melakukan ziarah itu. Ingin rasanya ia mampir untuk makan dan minum segelas es, tentu rasanya sangat nikmat. Namun, rasa lapar dan haus itu tiba-tiba hilang manakala ia melihat puncak Gunung Surowiti yang seperti melambai-lambai kepadanya.
Di sebuah mushola, Kasrodin mampir sebentar. Bukan untuk sholat, namun hanya untuk mengambil air dari kran tempat wudhu yang langsung dimasukkan ke botol minumnya yang sudah kosong. Kasrodin pun meminumnya tanpa menghiraukan apakah air itu bersih atau tidak. Ulah Kasrodin ini sempat dilihat beberapa pengemis yang duduk-duduk di sepanjang jalan menuju puncak Gunung Surowiti. Mereka saling berbisik. Mungkin mereka heran. Baru kali ini mereka melihat peziarah Gunung Surowiti seperti itu. Pikir mereka, orang itu mungkin benar-benar sangat miskin sehingga untuk membeli air minum saja tidak bisa.
Karena itu, ketika Kasrodin melewati para pengemis, para pengemis itu tidak menengadahkan tangannya seperti yang sering dilakukan pada peziarah yang lain.
Sampai di anak tangga yang hampir sampai di puncak Gunung Surowiti, yang mempunyai kemiringan sekitar 60 derajat, langkah kaki Kasrodin gemetar. Ia seolah tak mampu menahan tubuhnya. Matanya pun seolah melihat ribuan kunang-kunang yang sedang beterbangan kesana kemari.
Dan, tiba-tiba semua menjadi gelap. Dalam gelap itulah Kasrodin melihat wajah seorang lelaki yang ternyata adalah juru kunci Gunung Surowiti. Kepada juru kunci tua itu, Kasrodin mengaku ingin mencari kekayaan.
Sebab, ia sudah tak tahan terus-terusan hidup dalam kemiskinan. Mendengar penuturan tamunya, lelaki juru kunci itu menyeringai misterius. Bahkan, ia terkadang terlihat cukup menyeramkan dalam seringainya.
Lelaki juru kunci yang mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya yang sebagian sudah memutih, serta giginya yang kecoklatan dan jika berbicara mulutnya menimbulkan bau itu, kemudian mengajak Kasrodin ke sebuah tempat sepi dan menyeramkan.
Ia mengoleskan sesuatu yang baunya sangat menyengat ke muka Kasrodin sambil membaca mantra-mantra. Setelah itu, Kasrodin sangat kaget dengan apa yang dilihatnya. Di hadapannya, yang tadi hanya nampak batu-batu yang cukup besar, kini dipenuhi anak-anak kecil. Seperti anak-anak kecil di dunia nyata, hanya saja mereka dalam keadaan telanjang dan pelontos kepalanya.
Tuyul? Ya, benar! Tuyul-tuyul itu seperti anak-anak yang berusia antara 3-6 tahun. Selain kepala yang gundul dan telanjang bulat, kepala mereka lebih besar sedikit, telinga agak panjang keatas, mata menonjol, mulut terbalik atau vertikal, tidak seperti mulut manusia yang melebar ke samping kiri kanan.
"Bagaimana, apakah sampeyan ingin membawa pulang satu diantara mereka?" Tanya si juru kunci.
"I... Iya, Mbah," jawab Kasrodin, gemetar.
Usai mendengar jawaban itu, lelaki berusia sekitar 80 tahunan itu kemudian menjelaskan lebih lanjut. Menurutnya, pesugihan yang akan dianut Kasrodin bisa ditempuh dengan jalan cepat, sedang, atau pelan. Tapi, setiap pilihan itu, katanya, ada resikonya. Yang cepat hanya dalam tempo seminggu, tumbalnya adalah anak kandung sendiri.
Mendengar itu, Kasrodin tiba-tiba membayangkan wajah dua anak-anaknya yang lucu-lucu meski badannya kurus karena kurang menyantap makanan yang kurang bergizi.
"Tidak! Anak-anakku tidak boleh Jadi tumbal, aku melakukan ini justru buat kebahagiaan mereka," bantah Kasrodin dalam hatinya.
"Jika kau tidak berkenan anakmu jadi tumbal, kau bisa menumbalkan istri atau saudaramu," ucap juru kunci lagi.
Menumbalkan istri, rasanya juga tidak mungkin. Sebab, ia sangat mencintai wanita itu. Sang istri terlalu baik dan penuh pengertian. Hidup dalam kemiskinan saja dia sangat sabar dan tidak pernah mencela pekerjaan suaminya.
"Tidak...tidak mungkin aku menumbalkan istriku," tolak Kasrodin dalam hatinya.
Kalau begitu jalan satu-satunya adalah mengorbankan sanak saudaranya? Tapi, sanak saudara yang mana? Kasrodin adalah anak tunggal yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
"Kalau saya mengorbankan diri saya sendiri, bagaimana, Mbah!" Ucap Kasrodin dengan mantap.
"Bodoh, goblok! Kalau itu sudah pasti!" Bentak si juru kunci.
"Maksudnya, Mbah?" Tanya Kasrodin.
"Nanti, jika sudah waktunya, kamu pasti akan jadi pengikut kami. Menjadi penghuni alam gaib, dunianya para jin dan para makhluk halus!"
Mendengar perkataan itu, Kasrodin menjadi gemetar. Padahal sebelumnya ia sudah sangat yakin, walau apapun resikonya ia akan melakukannya.
"Mumpung semuanya belum terlanjur. Sudah sana pergi, aku tidak mau melayani permintaanmu. Pergi... Pergi sana!" Bentak lelaki juru kunci itu sambil menggebrak meja yang ada di hadapannya.
Seketika, Kasrodin baru menyadari dirinya berada di dalam sebuah ruangan. Beberapa lelaki dan perempuan terlihat mengelilinginya.
Namun, kemudian pergi setelah seorang lelaki mendekatinya.
"Sampeyan ditemukan orang-orang terjatuh di undak-undakan yang menuju puncak Gunung Surowiti," ucap seorang lelaki yang kemudian diketahui Kasrodin sebagai juru kunci gunung Surowiti.
Kasrodin membenahi posisinya. Ia mencoba duduk di ranjang yang hanya beralaskan tikar pandan itu. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Seharian perutnya belum diisi oleh nasi, mungkin hal itulah yang membuat dirinya tidak kuat mendaki puncak Gunung Surowiti sehingga akhirnya pingsan.
"Kalau boleh tahu, apa sebenarnya maksud kedatangan sampeyan kesini?" Tanya lelaki juru kunci itu.
"Saya ingi berziarah ke makam yang ada di gunung ini."
"Tujuannya?"
"Mendoakan ahli kuburnya. Dan mudah-mudahan dengan cara ini, saya akan mendapatkan barokahnya," jawab Kasrodin mengutip omongan seorang kyai di kampungnya yang dulu pernah didengarkan petuahnya.
"Tidak kah sampeyan ingin mencari pesugihan seperti yang lainnya?"
"Saya sudah menemukan harta yang saya cari," jawab Kasrodin dengan penuh keyakinan. Istri dan anak-anaknya itulah kekayaan yang dimiliki dan tidak ternilai harganya. Demi meraih kekayaan yang sifatnya hanya sementara, hampir saja ia rela mengorbankan istri atau anak-anaknya untuk dijadikan tumbal pesugihannya.
S E K I A N