Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BEKERJA DI ALAM KERAJAAN JIN

JejakMisteri - Cerita mistis misteri kisah nyata ini memang sulit untuk dicerna oleh akal sehat, namun kisah ini sungguh sungguh menimpa seorang manusia.
Selama beberapa waktu bekerja dengan tekun sebagai penanam apel di Kerajaan Jin. Apa yang kemudian terjadi...? berikut kisahnya,

Pekerjaan di zaman sekarang ini sulitnya memang setengah mati. Apalagi bagi orang yang berpendidikan rendah. Nah, gara-gara kesulitan dalam mencari pekerjaan, seorang lelaki penduduk Rancabuaya, Garut Selatan, Jawa Barat, mengaku pernah bekerja di Kerajaan jin yang diperkirakan terletak di wilayah Sukabumi Selatan.

Si pelaku peristiwa menceritakan pengalaman anehnya itu sebelum dirinya jatuh sakit. Tepatnya dia bercerita secara langsung kepada seorang kakak iparnya, Ustadz Aa Nugraha Al-Fandi, penduduk Kampung Cihayam, Desa Selawi, Kecamatan Terogong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Lelaki pelaku peristiwa itu sebut saja namanya Didin Rasyidin. Dia kini menderita scizoprenia (penyakit jiwa berat) setelah dia gagal mendapatkan harta berlimpah dari hasil kerjanya di Kerajaan jin. Dia sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Cisarua, Lembang, Bandung.

“Demi Allah, saya mendengar kisah ini langsung darinya. Tepatnya, beberapa hari setelah dia kembali ke dunia nyata’cetus Ustadz Aa Nugraha Al-Fandi mengawali kisahnya. Kemudian dia menceritakan pengalaman Didin tersebut. Berikut penyajiannya yang kami tuturkan daiam bentuk pengakuan..

Sudah setahun lebih aku (didin) berusaha mencari pekerjaan untuk menafkahi keluargaku. Pekerjaan apapun, asalkan halal, pasti akan aku jalankan. Tak peduli berapapun upah yang kuterima, aku pasti menerimanya dengan ikhlas.

Namun, setelah ke sana kemari mencari pekerjaan yang kudambakan, ternyata hasilnya Tetap nol besar. Hanya kesedihan dan rasa putus asa yang harus kuterima.

Memang, di daerahku tempat tinggalku banyak pemuda seumurku yang menganggur. Mereka rata-rata hanya tamatan SD. Ya, sama seperti diriku ini. Padahai, meskipun umurku baru 20 tahun, tapi aku telah beristeri dan beranak satu.

Si kecil Haiimah yang baru berusia 10 bulan. Kuakui bahwa selama berumah tangga hampir dua tahun dengan Nyi Dedeh, aku masih menggantungkan belas kasih kepada Emak. Namun, belakangan ini ibuku mulai sakit sakitan di usianya yang paruh baya.

Aku menikah di usia belia karena “dipaksa oleh calon mertua. Dia tak mau anaknya dibiarkan berlama-lama menjadi perawan tua. Padahal, ketika kunikahi Nyi Dedeh ketika itu baru berusia 14 tahun.

Suatu hari, aku dikirimi surat oleh kakak iparku, Kang Suanta, yang kini tinggal di Bandung. Dia menyuruhku datang ke rumahnya di Jl. Babakan irigasi. Dia berjanji akan mencarikan pekerjaan untukku di Kota Kembang.

Namun dia memintaku agar datang sendirian ke rumahnya, karna dia mengaku tak bisa menjemputku sebab katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya.

Sebagai anak desa, aku belum pernah bebepergian jauh. Apalagi ke kota sebesar Bandung. Paling banter daerah yang pernah kujamah dari kampungku nun jauh di Garut Selatan adaiah kota Garut. Aku hanya tahu tentang Bandung dari mulut mertuaku, yang pernah tinggai cukup lama di kota itu.

Dia sangat bangga bisa tinggal di Bandung meskipun hanya bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di daerah Cibaduyut.

Ringkas cerita, kusanggupi tawaran Kang Suanta. Aku pergi ke Bandung. Setibanya di terminal bus Cicaheum, aku termangu. Bingung. Menurut Kang Suanta, kalau sudah tiba di Terminal Cicaheum, aku harus naik bus kota jurusan Cibeureum, kemudian minta berhenti di Jamika.

Dan di sana, katanya aku harus naik angkot warna biru jurusan Elang Ujungberung, dan berhenti di Jl. Terusan Pasirkoja. Tepat di depan gapura yang ada plang Jl. Babakan Irigasi aku harus berjaian kaki beberapa ratus meter. Di sanalah Kang Suanta tinggal.

Ah, membingungkan sekali rasanya. Apalagi perjalanan panjang dari Garut Selatan menuju Bandung telah membuat tubuhku sangat penat, dan perutku keroncongan.

Sambil coba menenangkan pikiran, aku duduk di bangku kios penjual makanan. Kuisi perutku dengan sepotong pisang goreng. Nah, ketika aku sedang asyik melahap makanan itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang lelaki tua sudah duduk di sampingku.

Lelaki tua itu menatapku dengan pandangan yang seolah menyelidik. Sebagai rasa hormat, kuanggukkan kepalaku sambil berusaha tersenyum. Lelaki berpakaian serba hitam yang umurnya sekitar 60 tahunan itu balas tersenyum.

Matanya yang teduh menyiratkan sinar yang aneh, yang menghujam ke dalam dadaku. Aku terkejut setengah mati.

Karena aku merasa ditelanjangi oleh tatapan matanya yang aneh itu, maka perasaan yang ada dalam dadaku seolah-olah sudah terlihat semuanya oleh lelaki misterius itu. Dia kelihatan mengangguk-anggukan kepalanya seakan sungguh-sungguh mengerti apa yang ada di dalam dadaku.

“Bade milari padamelan nya, Jang (mau cari kerja ya, Dik)?” Sapanya, ramah. Dugaanku memang terbukti. Dia sungguh-sungguh bisa membaca jalan pikiranku.

Aku mengangguk pelan. Tanpa kuduga, dia malah merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Lalu dengan santun dia menepuk-nepuk - bahuku perlahan-lahan. Terasa ada aliran hawa hangat menjalari tubuhku. Rasa penat yang tadi menggayuti seluruh badanku mendadak lenyap.

Lelaki aneh yang mengaku bernama Ki Kadim ini kemudian bercerita kepadaku bahwa dia kebetulan sedang mencari pegawai untuk ditempatkan di sebuah perkebunan di Cianjlir Selatan. Dia mengajakku untuk ikut ke sana.

“Kitu ogeh lamun Ujang daek damel di ditu. Da Aki mah tara maksa (Begitu juga kalau Adik mau. Kakek sih tidak memaksa) Katanya menegaskan.

Aneh, aku mengangguk meskipun aku tidak tahu siapa orang itu sebenarnya. Bahkan ketika itu sepertinya aku tak ingat lagi bahwa aku harus segera pergi ke rumah Kang Suanta di Babakan Irigasi.

Setelah aku menyetujui ajakannya, Ki Kadim kemudian mengajakku naik angkot menuju Terminal Leuwipanjang, dan selanjutnya kami naik bus jurusan Cianjur. Dan kami tiba di sana tanpa suatu halangan apapun.

Aku belum pernah menginjak kota Tauco itu. Aku hanya tahu Cianjur dan peta saat aku masih duduk di bangku SD. Namun, aku masih ingat benar, dari terminal bus Cianjur, kami naik mobil angkutan pedesaan menuju ke anah selatan.

Entah menuju ke daerah mana karena sebelum sampai ke tempat yang dituju, kami masih harus naik mobil umum lagi.

Penjalanan panjang yang sepertinya tiada henti itu, tentu saja sangat melelahkanku. Anehnya, sepanjang penjalanan Ki Kadim nyaris tak pernah bicara karena setiap kali pantatnya menempel kejok mobil dia langsung tidur mendengkur.

Dia seolah tak peduli akan keadaan di sekitarnya. Termasuk juga diriku yang kebingungan.

Sementara Ki Kadim enak-enakan tidur mendengkur, aku sendiri tak bisa tidur walau sekejap pun. Pikiranku selalu melayang-layang ke kampung halamanku. Ya, aku selalu teringat isteri dan anakku yang sedang lucu lucunya.

Setelah melakukan perjalanan yang begitu melelahkan, kami turun di sebuah terminal angkutan pedesaan. Entah berada di daerah mana. Yang pasti, dari teminal angkutan pedesaan ini kami harus berjalan kaki lagi beberapa kilometer jauhnya.

Saat itu, Iangit diglayuti mendung. Senja perlahan-lahan turun menggantikan mentari yang lambat tapi pasti merayap ke langit ufuk barat. Malam pun datang menjelang. Udara dingin dan keadaan gelap membuat hatiku giris.

Dalam perjalanan menapaki jalan yang mendaki itu, sesekali aku terjatuh di tanah lembab. Tetapi, aneh Ki Kadim tampak berjalan mantap di depanku. Bahkan, malam yang temaram baginya seolah tetap terang bagai siang.

Yang tak kalah aneh lagi, kali inipun dia tak pernah mengajakku berbicara. Dia diam seribu bahasa. Namun, perjalanan panjang yang serasa menuju ujung langit itu berakhir juga. Kami tiba di sebuah tempat yang bagiku sangat aneh.

Sebuah lapangan luas ditumbuhi rumput menghijau. Langit biru di atasnya dihiasi berjuta bintang yang gemerlap. Ribuan kunang-kunang beterbangan di tengah padang yang luas. Aneh, hatiku tiba-tiba merasa amat tenteram.

Tubuh yang tadinya sangat penat karena perjalanan jauh mendadak hilang. Di ujung lapangan itu. kulihat ada sebuah bangunan cukup luas terbuat dari batu bata, tetapi anehnya bangunan itu tak beratap.

Aku melirik ke arah Ki Kadim. Dia hanya tersenyum tanpa berkata walau sepatah pun. Setelah itu dia mengajakku masuk ke dalam rumah tak beratap itu. Bangunan ini luasnya kira-kira 15 x 20 meter persegi. Isinya hanya sebuah dipan dan lemari yang terbuat dari kayu jati..
Ki Kadim membuka pintu lemari dan mengeluarkan sebuah apel merah sebesar kepalan tangan. Setelah memberikannya kepadaku, tanpa sepatah katapun dia kemudian ngeloyor pergi meninggalkanku sendirian.

Karena dorongan rasa lapar yang amat hebat, apel itu cepat-cepat kumakan. Aneh, meskipun hanya makan sebutir apel, perutku langsung merasa amat kenyang. Kantuk kemudian menyerangku. Tanpa pikir panjang aku lalu merebahkan tubuhku di atas dipan itu. Aku pun kemudian hanyut ke alam mimpi.

Pagi harinya, aku terbangun dengan tubuh segar bugar. Aneh, di pagi itu tak ada kabut. Dari rumah yang tak beratap ini aku dapat melihat langit bersih tanpa awan sedikitpun. Ya, langit biru dihiasi mentari pagi yang sinarnya amat menyejukan.

Aku menatap sang surya dengan mata telanjang, tapi mataku tak merasa sakit. Keherananku bertambah. Seolah-olah di atas rumah tak beratap itu ada sejenis filter yang menyaring sinar matahari agar tidak merusak mata.
Tak lama kemudian, muncul Ki Kadim dengan senyumnya yang khas. Dia menyalamiku dengan keramahan yang seakan akan amat tulus.

“Wilujueng enjing, Jang (selamat pagi, Dik) Sapanya dengan senyum hangat. Kubalas sapaannya, “Sami-sami, Wilujueng enjing’’.

Ki Kadim kemudian menggeser lemari yang tak jauh dari dipan tempatku tidur semalam. Aku heran bukan main karena ternyata di balik lemari itu ada sebuah pintu menyerupai mulut goa. Dia mengajakku masuk ke dalamnya. Bagai kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti langkah lelaki aneh itu.

Ternyata lorong yang kami lalui sangat panjang. Di kiri kanannya penuh mutiara berwarna kuning kemerahan yang menyiratkan cahaya terang. Di dalam goa itu terdapat sungai kecil yang airnya sebening kaca. Kata Ki Kadim sungai itu bermuara ke laut. Di sinilah nanti tempat aku màndi dan buang hajat bila nanti diterima bekerja.

Entah berapa lama aku berjalan, akhirnya kami sampai juga ke mulut seberang goa. Aku melongo karena di luar goa itu ternyata ada lapangan luas yang tanahnya kuning kemerah merahan. Dan nun jauh di sana ada laut dengan debur ombaknya yang memukau.

Mentari pagi pun perlahan-lahan muncul dan ujung laut biru. lndah. Dan kembali mataku merasakan kesejukan dari cahaya bola emas yang mempesona itu. Menurutku, di tempat inipun ada filter yang menyaring sinar matahari.

Ingatanku melayang ke kampungku. Di pagi hari aku sering pergi ke pantai Rancabuaya yang elok. Aku sering langsung memancing dari bibir pantai. Dan biasanya aku tenggelam di tempat itu berjam-jam lamanya, bahkan sampai senja datang menjelang.

Ki Kadim menepuk bahuku pelan-pelan. Aku tersipu malu. Lamunanku buyar seketika.

Tanah lapang yang ada di hadapanku ini sangat luas. Tetapi Ki Kadim hanya memberi lahan garapan kira-kira 500 m persegi untukku. Di tempat ini aku disuruh menamam apel merah yang benihnya telah disediakan oleh Ki Kadim.

Aku diberi cangkul yang aneh. Benda yang terbuat dari logam keperak-perakan ini sangat ringan. Entah terbuat dari logam apa. Aku tak tahu. Hanya ketika cangkul aneh itu kuayunkan ke tanah, nyaris tak ada tenaga yang terkuras. Aneh memang.

Kuakui, di kampungku aku sangat jarang menjamah cangkul. Sejak kecil aku hanya mengembala kerbau milik pamanku, dan ketika remaja aku pindah profesi memelihara kambing milik Kang Suanta.

Tetapi kemarau panjang yang menghanguskan rumput-rumput di daerah kami mengakibatkan puluhan ekor kambing yang kupelihara pada mati. Akhirnya aku menjadi pengangguran....

HARI PERTAMA, dengan penuh semangat aku mulai mencangkul tanah yang akan ditanami apel merah.Waktu itu aku hanya diberi sarapan sebutir apel merah dan segelas air putih. Tapi aneh, sampai siang hari, ketika mentari berada persis di atas ubun-ubunku, aku tak merasa lapar. Ki Kadim memberiku sebutir apel merah lagi. Dan aku boleh istirahat beberapa saat lamanya.

Selama aku mencangkul, Ki Kadim pergi ke dalam goa. Entah apa yang dikerjakannya di sana.

Yang terasa amat aneh, hari itu siang terasa panjang. Menit-menit berlalu begitu lambat. Matahari terus menerus menatap dengan sinarnya yang lembut.

Tapi aku tak merasa penat. Bahkan, aku juga tak berpeluh, padahal aku sudah mencangkul berjam-jam. Aneh, cuaca di sini seolah bisa dikendalikan.

Sore hari baru tugasku selesai. Dan malam hari menjelang tidur, aku juga diberi sebutir apel merah. Jadi, aku diberi jatah makan apel tiga butir sehari.

HARI KEDUA dan seterusnya aku kembali mencangkul. Apel merah yang kutanam itu cepat sekali tumbuhnya.

Namun aku tak dapat menghitung berapa minggu tanaman aneh itu berbuah. Kata Ki Kadim, apel merah itu adalah makanan Nyi Puteri, salah seorang puteri jin dari Kerajaan jin yang tertetak di tepi Sungai Eufrat.

Aku tak tahu di mana letak sungai itu. Dan selama aku bekerja di kerajaan jin, aku tak pernah melihat manusia selain Ki Kadim. Hanya, kata Ki Kadim, tempat itu sangat jauh. Dan Nyi Puteri biasanya akan datang ke kebun menjelang apel merah di panen.

Ki Kadim juga menjelaskan bahwa kebun milik Nyi Puteri sangat luas. Dan kebunnya itu tidak hanya ditanami apel merah saja, tetapi ada anggur, sayuran, dan palawija. Dan setiap orang hanya harus menanam satu jenis tanaman. Tidak boleh lebih.

Apel merah yang kutanam tumbuh subur. Walau aku tak pernah menggunakan pupuk, dan hanya menyiramnya dengan air yang kuambil dari sungai di dalam goa, tetapi tanaman apel itu tak pernah kena hama, bahkan tak ada daun yang rusak, atau buah yang busuk.

Anehnya, selama berminggu-minggu aku diam di daerah ini, tak pernah turun hujan. Langit selalu biru bersih. Tanpa awan. Tanpa angin, matahari tetap bersinar cemerlang, tapi tetap menyejukkan mata.

Suatu hari, Ki Kadim memberitahukanku bahwa besok tanaman apel merah itu akan dipanen oleh Nyi Puteri. Aku sangat gembira dan juga penasaran ingin segera melihat bagaimana wajah puteri jin itu.

Malam harinya, aku bermimpi kedatangan seorang gadis yang sangat cantik. Dengan mahkota bertatahkan mutu manikam dan pakaian dari sutera dewangga yang bertabur emas, dia menyalamiku. Tercium bau harum kasturi dan bunga kenanga dari tubuhnya. Tapi hanya sebentar. Setelah itu sang putri menghilang dengan mulut mungil mengembangkan senyum yang aduhai.

Esok harinya, ketika aku datang ke kebun, aku sangat kaget karena semua buah apel itu sudah lenyap dari pohonnya. Ki Kadim memberitahukan bahwa tadi malam Nyi Puteri bersama teman-temannya dari kerajaan jin telah memanen apel merah hasil jerih payahku. Aku hanya termangu.

Ringkas cerita, setelah 7 kali apel merah ditanam dan kemudian dipanen oleh Nyi Puteri, aku diperkenankan pulang. Namun selama itu aku tak pernah melihat wajah Nyi Puteri. Aku juga heran, karena selama aku diam di tempat ini aku tak pernah ingat anak dan isteriku di kampung.

Aku sangat rajin bertani. Sebelum pulang, Ki Kadim memberikan sebuah bakul besar dengan beban yang terasa sangat berat di tanganku. Katanya, itu hadiah dari Nyi Puteri sebagai upah ketekunanku selama bekerja di sini. Kubuka tutup bakul itu. Jantungku serasa berhenti berdetak.

Betapa tidak! Karena, isi bakul itu ternyata adalah berbagai macam perhiasan yang terbuat dari emas bertabur intan permata.

Ki Kadim mengantarkanku sampai ke pintu rumah tanpa atap. Dia hanya wanti wanti agar selama di perjalanan sampai aku menemukan rumah penduduk, aku tidak boleh melihat ke belakang. Aku hanya mengangguk mengiyakannya.

Hatiku berbunga-bunga. Betapa bahagianya karena kini aku menjadi orang kaya. Sambil berjalan aku berkhayal: Dengan emas dan intan sebakul ini, aku akan menjadi orang terkaya di kampungku, bahkan mungkin terkaya Sekabupaten Garut.

Di saat pulang aku juga merasa amat aneh sebab berjalan di atas jalan yang beraspal. Di kiri kanan jalan ada kebun apel, anggur, kebun sayuran, palawa, dan Iain-lain.

Aku berjalan dengan agak tergesa-gesa karena ingin segera sampai di rumah. Aku ingin memperlihatkan hadiah dan puteri jin kepada isteriku, emak, dan kerabat dekatku di kampung.

Setelah perjalanan sejauh kurang lebih tiga kilomëter, terasa tubuhku sangat penat. Aku ingin segera beristirahat.

Namun celakanya, aku merasa penasaran pada pantangan yang diberikan ki Kadim. Kenapa dia menyuruhku agar jangan melihat ke belakang. Karena dibebani rasa penasaran itulah maka di tengah perjalanan aku mencoba melihat kebelakang. Duh Gust, jalan lurus beraspal yang dikiri kanannya penuh dengan tanaman indah itu ternyata sudah berubah menjadi padang ilalang yang kering.

Mimpi menjadi orang kaya di kampung. akhirnya pupus sudah. Aku jatuh pingsan. Entah beberapa lama aku berada dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika kesadaranku pulih, aku heran karena tergolek di sebuah dipan, dan didepanku berdiri Kang Suanta bersama kakak sulungku. Ceu Isoh, dan Kang Aa Nugraha (maksudnya Ustadz Aa Nugnaha Al-Fandi. serta isteriku Nyi Dedeh yang memangku anaku Halimah.

Kulihat kelopak mata Nyi Dedeh berlinang butiran air bening yang telah menganak sungai di atas wajahnya yang pucat. Mungkin dia sudah tak kuasa lagi memendam kesedihan.

Sementara itu, menurut Kang Suanta, dirinya dikabari oleh Nyi Dedeh bahwa aku sudah berminggu-minggu pergi ke Bandung namun tak ada kabarnya. Hingga akhirnya sore itu Kang Suanta nenemukan aku sedang tidur mendengkur di sebuah bangku panjang yang ada di terminal Leuwipanjang. Katanya, di sampingku ada bakul berisi alang-alang yang sudah kering.
Ah, aneh sekali Namun, hal ini sungguh sungguh telah terjadi... wallahualam

Itulah kisah kisah gaib tapi nyata adanya dalam cerita mistis misteri berkunjung ke alam gaib kerajaan jin.
~~~SEKIAN~~~

close