EMAK WASI DAN GADIS EMBUN
Sinopsis singkat tentang "Emak Wasi dan Gadis Embun, yang menceritakan kehidupan seorang ibu paruhbaya dengan seorang anak gadisnya di sebuah kampung di daerah kabupaten banjar pada awal tahun 80an, Emak Wasi setelah kematian suaminya iapun yang dengan sabar dan tutur kata yang lembut harus berdebat dengan anak gadisnya yang sudah menikah namun hanya seumur jagung iapun kemudian di tinggalkan suaminya hanya karna sang isteri tak bisa mengandung (Mandul) iapun kemudian berselisih paham dengan ibunya dan di akhir keputus asa'an dari semua itu anak gadis Emak Wasi pun mengakhiri hayatnya dengan terjun ke sungai martapura di awal tahun 80an itu.
~•°○°•°●°•°○°•~
EMAK WASI DAN GADIS EMBUN
JEJAKMISTERI - Sebuah kisah tak bertuan, hanya di ingat melalui tutur cerita lisan, dari mulut ke mulut tentang seorang gadis dan ibunya. Sebuah kisah di awal-awal tahun 80an di kota serambi mekkah martapura Kalimantan selatan, inilah kisah di masa lalu namun tak lekang dalam pikiran, selamat membaca dan nikmati serta resapi alur ceritanya...
Di tahun 80an selepas sholat subuh, orang-orang yangg sejaman dulu pasti tahu dan mengenal saat mereka berjalan dengan pelan ketika mereka melewati Jembatan kembar, jembatan yang menghubungkan kota martapura dan antasan senor ilir.
Mereka pasti akan menemukan seorang perempuan tua yang duduk di pinggir jembatan dengan gusar dan Ketika matahari berhenti di pelepah pohon pisang, kau akan melihat perempuan tua itu pergi meninggalkan jembatan dengan gelisah dan kakinya yang gemetar. Wajahnya pucat sebab saat itu sudah tak ada sisa setetes embun pun yang mampu menyejukkan hatinya.
Orang-orang sekitaran kampung pekauman sudah menganggapnya gila setelah tak ada kabar berita tentang anak gadisnya. Perempuan tua itu selalu memilih duduk di pinggir Jembatan itu selepas subuh hanya untuk merasakan sejuknya embun yang menyentuh tangannya. Sungguh, ia hanya ingin merasakan sejuknya embun sambil sesekali berharap bahwa anak gadisnya akan muncul bersama tetesan-tetesan embun di pinggir Jembatan itu.
Perempuan tua itu sesekali tampak gembira bisa merasakan sejuknya embun seperti ia sedang berjumpa dengan anak gadisnya yang sedari dulu ingin menjelma menjadi tetesan embun. Anak gadisnya pernah ber'ucap..
“Seperti embun, Emak, Ya, setetes embun sehabis itu menguap dan lenyap. Mestinya Tuhan menciptakanku sebagai setetes embun, bukan sebagai seorang anak gadis yang tak diharapkan oleh seorang lelaki pun di dunia ini.” ucapnya dengan tangis.
“Apa kau menyesal telah terlahir dari rahim ku Nak?” tanya Emak wasi penuh iba.
“Justru aku adalah hadiah terburuk yang diberikan Tuhan untuk emak.” Jawab anak gadisnya lagi.
“Kau adalah anakku satu-satunya yang kupunyai, Nak. Kenapa anakku satu-satunya justru mengatakan padaku hal yang menyesakkan dada ?”
“Justru karena aku adalah anak gadis emak satu-satunya, maka aku merasa menjadi patung yang tak berguna.” jawab anaknya dengan lantang.
“Suatu hari kau akan tahu betapa beruntungnya emak memilikimu, Nak.” ucap Emak wasi dengan lirih menyayat hati.
“Aku hanyalah seorang gadis yang serupa pasir gersang, emak. Aku ingin menjelma jadi setetes embun yang sejuk.”
Sedangkan emaknya masih saja tidak mengerti mengapa anak gadisnya selalu merasa menjadi perempuan yang paling tidak berharga hanya karena ia terlahir tanpa rahim (Mandul). Tapi hujatan orang-orang di sekeliling kampungnya memang terlalu mengganggu. Seolah-olah bagai parang yang menancap di hati, membuat anak gadisnya selalu membenci dan menutup diri.
“Bukankah terlahir tanpa memiliki rahim itu bukan karena kesalahanku, Emak ?” tanya gadis itu pada emak wasi.
“Kenapa kau bertanya begitu, nak ?”
“Apakah terlahir tanpa memiliki rahim adalah sebuah dosa, emak ?” Tanyanya lagi.
“Kau menanyakan hal yang tidak perlu emak jawab, nak”
“Sebaiknya aku menjelma saja bagai setetes embun hingga tak ada seorang pun yang menghiraukan keberadaanku. Tak akan ada yang melihatku. Lalu aku akan menguap sehabis itu lenyap di telan alam.” ucap anak gadisnya.
“Sebab kau tak memiliki rahim, kau seharusnya tak perlu merasa menjadi gadis yang paling hina di dunia, Nak.” Ucap emak wasi.
“Aku ingin jalanku tak sunyi, emak. Tapi tanpa rahim, berarti tak ada seorang lelaki pun yang ingin memiliki dan mau menikahi ku. Begitu banyak lelaki yang mendekatiku, namun sebanyak itu pula mereka kemudian pergi meninggalkanku. Mereka menginginkan gadis yang utuh. Juga keturunan yang sungguh. Bukankah aku juga tak berharap terlahir sebagai gadis yang tanpa rahim, emak ?” ucap anak gadisnya lagi pada emak wasi yang hanya termangu dengan mata yang basah.
Dan emak mana yang mampu membendung aliran sungai yang membanjir deras di pelupuk mata demi mendengar keluh kesah anak gadis satu-satunya. Ia memeluk anak gadisnya dengan kegetiran yang merasuk dalam dada..
"Emak kutuklah aku, biarlah aku menjadi setetes embun saja yang menjelma di pagi hari.." ucap anak gadisnya dengan ratapan yang amat menyayat hati.
Dan ketika subuh baru saja berlalu, ketika orang ramai baru saja balik dari agung mesjid al_karomah martapura, seolah sunyi telah terusir berganti kegaduhan yang menggelincir. Rupanya selepas sembahyang subuh, orang-orang dari mesjid itu dikejutkan oleh terjunnya seorang gadis dari atas Jembatan pekauman.
Gadis itu seolah menjelma bagai setetes embun yang terjun melebur menjadi satu dengan aliran Sungai martapura yang deras akibat di guyur hujan di hulu puncak meratus. Selepas subuh, orang-orang diliputi kegelisahan. Mereka tak berdaya melihat gadis itu terjun dengan anggun dan kemudian hilang seperti setetes embun yang lenyap tatkala sang surya menyapanya.
Satu dua orang kaum perempuan menjerit dan beberapa lainnya memutuskan untuk mendekati sungai. Arus sungai yang deras serupa rajutan benang yang menenggelamkan. Tubuh para lelaki bergetar oleh dinginnya angin pagi dan sebab kalut dan takut.
“Saya terjun saja,” kata seorang pemuda santri di ponpes darussalam, yang memang bisa berenang.
“Mungkin gadis itu masih bisa diselamatkan.” ucapnya Baru lima belas menit, pemuda itu sudah muncul lagi dengan kepayahan.
“Hanya ada air sangat keruh, Saya kira gadis itu sudah hanyut,” ucap pemuda itu dengan gemetar.
“Iya, bisa jadi,” jawab yang lain.
“Gadis itu seperti anak gadis EMak Wasi, yang sering jualan kembang rampai di pasar batuah ini” gumam seorang perempuan paruh baya.
Tiba-tiba pagi itu langit berselimut hujan. Kelompok lelaki bubar. Mereka masing-masing sudah tahu apa yang mesti mereka lakukan. Mereka merasa iba dengan nasib anak gadis Emak Wasi yang sebelumnya selalu menjadi gunjingan.
Lalu beberapa orang melapor ke polisi, beberapa orang melapor ke perangkat desa, beberapa orang berniat memberi tahu EMak Wasi, sedang beberapa orang lagi diharuskan menunggu di pinggir sungai jika saja anak gadis emak Wasi terlihat mengambang atau tersangkut kayu dan bebatuan.
Saat di pagi itu Emak Wasi yang sedang mengumpulkan barang dagangannya kembang rampai untuk di jual, ia kebingungan mencari anak gadisnya di sekeliling rumah. Dan tiba-tiba ia dikejutkan oleh kabar bahwa anak gadisnya memilih terjun ke Sungai martapura secara mengenaskan.
Warga di bantaran Sungai martapura itu masih terkenang dengan anak gadis emak Wasi yang terjun ke sungai. Bila saja anak gadisnya ditemukan dalam keadaan selamat, tentu saat ini emak Wasi sudah berhenti menangis.
“Kemana sebenarnya anak gadisku itu pergi?” tanya emak Wasi berulang kali,
“Adakah ia benar-benar terjun ke sungai? Aku tak melihat dengan mataku sendiri. Bahkan jika pun mati, jasadnya pun tak ditemukan. Setahuku ia hanya menghilang.”
Berkali-kali upaya pencarian tetap tak membuahkan hasil. Beberapa orang tua menganjurkan emak Wasi mengadakan doa bersama setelah tujuh hari anak gadisnya tak ditemukan.
“Aku masih belum yakin anak gadisku sudah mati,” keluh emak Wasi.
“Hanya doa bersama saja, Mak. Setidaknya agar hati EMak Wasi biar tenang.” ucap pak Rt setempat,
Tanpa sadar emak Wasi menganggukkan kepala. Dalam hati ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa doa bersama ini bukan doa untuk kematian tetapi adalah doa untuk keselamatan. Selama doa bersama itu berlangsung, jiwa emak Wasi terasa melayang mencari anak gadisnya yang meloncat dari jembatan itu.
“Kasihan, emak Wasi…” ucap beberapa orang kampung yang dulu mencibir dan menghibah anak gadisnya karena tak memiliki rahim (mandul).
Warga sudah putus asa melakukan pencarian. Waktu empat puluh hari terasa hanya sekejap mata. Semua orang sudah menganggap anak gadis emak Wasi telah tiada. Mereka sudah yakin kalau anak gadis itu hanyut sampai ke aliran sungai barito yang luas, emak Wasi tak pernah lagi mau bicara dengan siapa pun sebab selalu saja setiap orang menyuruhnya untuk mengikhlaskan. Semakin lama wajah emak Wasi terlihat semakin pucat. Kesedihan mengeram dalam hatinya yang pekat. Orang-orang bahkan sudah banyak yang melupakan gadis yang ingin menjelma jadi embun itu dan setelah setahun berlalu. Tapi tidak dengan emak Wasi. Ibarat berada dalam sebuah perahu, ingatan emak Wasi selalu terhanyut pada kenangan akan anak gadisnya. Perahu yang membawa ingatan emak Wasi terombang-ambing tak tentu arah. Gelombang kenangan telah mempermainkan ingatannya hingga tak pernah ingkar untuk mengenang anak gadisnya yang hilang juga bernasib malang.
Orang-orang tua tahun 80an mereka yang pernah menyempatkan diri untuk sekadar melewati Jembatan pekauman selepas subuh, pastilah mereka akan tahu dan menemukan perempuan tua itu. Ia selalu duduk di pinggir Jembatan sambil merasakan embun yang mengusap kulitnya yang keriput tinggal kulit pembalut tulang. Kemudian mereka akan mendengar perempuan tua itu ia bergumam lirih. Dengarkanlah secara lebih dekat !!!! Berulang kali ia mengatakan pada tetesan embun yang diusapnya...
“Aku tak yakin kau telah mati anak ku, Bukankah kau hanya ingin menjelma jadi embun, Nak. Aku tak yakin kau terjun ke sungai ini. Mungkin saja orang-orang hanya tak percaya telah melihatmu menjelma jadi setetes embun di tepian sungai ini. Jadi, mereka membohongiku dan mengatakan padaku kalau kau menceburkan diri. Kembalilah, Nak. Kembalilah meski hanya berupa tetesan embun karna emak tidak pernah mengutuk mu.” ucap emak wasi dengan lirih membatin.
Ratusan subuh telah berulang kali terlewati dan puluhan waktu juga tahun telah berganti. Namun Kenangan akan kisah tentang emak Wasi dan si embun anak gadisnya pun juga masih selalu berbekas dan berkesan bagiku sebagai penulis.
Namun tetap saja ia hanya sebatas ingatan, hanya berbekas kenangan. Ia kini tak tampak. semua sudah terlambat menyadari bahwa sebenarnya mungkin saja anak gadis emak Wasi itu mengakhiri hidupnya hanya karena kesalahan kaum pria yang sudah dengan keji mengatakan padanya bahwa di dunia ini ia hanya menghabiskan sisa-sia usia tua dengan sia-sia di dalam kemandulan. Dan malam sebelum ia terjun ke sungai martapura itu, ia sempat mengatakan pada kekasihnya bahwa ia ingin menjadi setetes embun saja, ia ingin meninggalkan kekasihnya dan sesudah itu ia pun lenyap.?
S E K I A N
MEMORY MARTAPURA, 2004