Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 55)


Tubuhku Basah kuyup. Pasalnya baru saja turun dari angkot tiba-tiba hujan lebat. Angin berhembus kencang. Beberapa pohon tumbang ke jalan. Padahal dari jalan raya menuju rumahku kurang lebih dua lima ratus meter. Terpaksa aku harus sangat hati-hati takut tiba-tiba ditimpa pohon yang patah ataupun yang roboh. Baru saja aku berpikir demikian, tiba-tiba tubuhku terasa ada yang menarik dari belakang. Aku tidak bisa menghindar, bahkan nyaris terjerengkang ke belakang.

KRaaaaaKKK!!! BuuKK!!

Mataku terbelalak. Dahan besar jambu pokat salah satu warga patah dan jatuh ke jalan. Persis di jalan yang hendak aku lalui. Aku baru saja hendak berdiri tegak belum sempat menoleh untuk memastikan siapa yang menarik tubuhku. Kalau tidak ada yang menarik tubuhku, pohon itu pasti menimpaku. Dalam keadaan basah kuyup, sambil mengusap air yang mengalir ke mata, aku mencoba menoleh. Tidak ada orang. Lalu siapa yang menarikku?

“Dek, berteduh kemari!!” Samar-samar aku mendengar suara Mahdi dari bedeng kost-annya. Suara angin dan hujan nyaris menenggelamkan suaranya meski sudah berteriak kencang. Tak lama kemudian kulihat adik perempuannya membawa payung hendak menjemputku. Aku hanya tersenyum menyambutnya.

“Percuma, dik, aku dah basah kuyub begini. Terimakasih sampaikan ke Mahdi ya. Tidak usah pakai payung, biar aku langsung pulang, tanggung aku dah basah” Ujarku menolak tawarannya. Aku kembali meniti gang menuju rumahku. Dahan pokat yang jatuh menutupi jalan, tak mampu kusingkirkan. Berat sekali. Akhirnya aku masuk-masuk mencari sela di dahan yang tumbang.

Usai mandi, dan ganti pakaian kembali aku bertanya-tanya siapa yang menarikku tadi. Sambil berjalan menuju kamar, kulihat Ibu menggoreng ubi kayu dan menyuguhkan teh manis. Aku yang kedinginan dengan cepat menyerbu makanan favorit itu. Bapak baru makan satu potong, aku nyaris ke tiga. Mata bapak melirik-lirik padaku, tapi aku pura-pura tidak tahu. Sebab Bapak juga penggemar ubi kayu. Aku tahu, beliau takut makanan favoritnya keburu kuhabiskan.

“Makanya makan ya makan Pak, jangan sambil mikir. Ubi gorengnya Dedek habisin ni,” ujarku pura-pura mau mengambil sepotong lagi. Tangan Bapak dengan cepat menarik piring berisi ubi goreng lalu diletakkannya di pangkuannya. Aku tertawa melihat tingkah Bapak. Bapak persis anak kecil takut lapar. Tiba-tiba ibu datang dari dapur membawa sepiring ubi goreng lagi. Bapak langsung menyambar piring dari ibu, lalu memberikan piring yang berisi sepotong ubi goreng padaku Ibu terbengong-bengong melihat Bapak.

“Apa-apan ini kayak anak kecil, takut lapar” Ujar Ibu menatap Bapak. Bapak pura-pura tidak mendengar. Bahkan piring ubi goreng yang disambarnya, beliau tutupi dengan tangan. Tawaku kembali meledak melihat kedua orang tuaku. Mereka tampak lucu petang ini. Satu cemberut melihat tingkah Bapak, yang Bapak kelihatan sayang dengan mekanannya. Kutinggalkan keduanya sambil tetap tertawa.

Aku masuk kamar dan mengucinya. Aku ingin tahu siapa yang menarikku tadi, dan berniat menyusurinya. Baru saja aku hendak konsentarasi, tiba-tiba bau harum menyeruak memenuhi kamarku.

“Eyang Kuda!” jeritku tertahan. Benar saja pelan-pelan sosok beliau berdiri dihadapanku. Aku langsung sujud padanya. Lelaki berpakaian adat jawa lengkap dengan blangkonnya ini tersenyum manis padaku. Duh! Mata itu alangkah teduhnya. Sinar mata yang lembut dan meneduhkan itu sangatmemukau. Dalam hati aku membatin, jangan-jangan yang menarikku tadi beliau. Tapi mengapa aku tidak melihat sosoknya?

“Eyang yang menarikmu tadi. Sebab, Eyang lihat kamu menggigil kedinginan, sedangkan pohon itu patah dan akan menimpamu. Ada makhluk asral yang sengaja ingin mencelakakan kamu memanfaatkan hujan dan angin. Angin tadi tidak biasa bukan? Kamu merasakannya tidak? Kalau badai tidak seperti itu. Kamu harus belajar untuk peka terhadap arah angin.” Ujar Eyang Kuda panjang lebar. Aku menatap beliau. Kembali aku menundukkan kepala sebagai tanda hormatku padanya. Sungguh aku sangat berterimakasih. Dalam keadaan genting beliau selalu datang. Aku merasa menjadi makhluk yang sangat beruntung kenal beliau.

Azan magrib baru saja berkumandang. Eyang Kuda segera mohon diri, Padahal beliau belum menyampaikan maksud kunjungannya. Usai magrib beliau berjanji akan datang lagi katanya. Kutawarkan mengapa tidak salat di rumahku saja. Rupanya beliau memilih salat berjamaah di masjid Jamik. Masjid tua yang terletak di jantung kota Bengkulu. Konon masjid Jamik itu arsiteknya Bung Karno. Sebelumnya masjid ini berdiri di sekitar makam pahlawan nasional Sentot Alibasyah Prawiradirja panglima perang Pangeran Diponegoro. Kemudian, dipindahkan ke lokasi sekarang, di Jalan Soeprapto. Kata Eyang Kuda. Sekarang masjid Jamik telah mengalami pemugaran. Dulu masjid ini berdiri di bawah pohon mahoni yang berderet sepanjang jalan. Masjid kecil itu nampak asri berada di bawah rindang pohon yang sudah berusia ratusan tahun lamanya. Sekarang masjid Jamik posisinya dikelilingi jalan raya. Rupanya Eyang Kuda selalu salat di sana. Setiap waktu.

Aku ke luar kamar bermaksud ingin berjamaah dengan Bapak. Rupanya beliau sudah berangkat ke masjid. Akhirnya aku bergegas menunaikan salat magrib sendiri. Hujan dan angin sudah berhenti. Bumi Raflessia nampak kembali hening. Seperti janji Eyang Kuda katanya mau dantang kemari. Aku kembali menunggu beliau. Lama hingga waktu salat isya, beliau belum datang. Ketika aku hendak merebahkan diri, tiba-tba angin berdesir lembut. Aku langsung bangkit dan menduga Eyang Kuda yang datang. Benar saja, beliau sudah berdiri di hadapanku. Tanpa berkata-kata lagi, beliau langsung menarik tanganku.

“Mau kemana Eyang?” Tanyaku heran. Tampaknya Eyang sangat terburu-buru. Aku langsung baring dan memecah diri. Kusuruh bayanganku menjaga kamar. Selanjutnya aku ikut Eyang Kuda tanpa mendengar jawabannya.

Dalam sekejab, kami sudah berdiri di bibir sungai. Aku mengawasi kiri kanan sungai. Ini sungai Serut. Salah satu sungai yang membelah kota Bengkulu. Airnya nampak keruh dan kotor. Konon di hulu berdiri pabrik playwood. Ditambah galian batu bara, limbahnya mengalir di sungai ini. Makanya airnya selalu butek. Aku mengira-ngira maksud Eyang Kuda mengajakku kemari. Setahuku tidak jauh dengan jembatan itu ada kerajaan buaya putih yang suka menarik orang yang sedang memancing, sedang mandi, atau melintas dengan perahu. Eyang Kuda mengusap wajahku. Aku kaget! Ternyata tidak jauh di hadapanku berdiri sebuah bangunan tua yang artisitik. Bangunan tua itu tidak seperti bangunan rumah bubungan lima layaknya rumah adat masyarakat Bengkulu. Tapi mirip bangunan peninggalan Belanda degan tembok berdiri kokoh. Di dalam bangunan itu tengah ada pesta meriah. Kembali aku mengira-ngira, aku berada di hulu jembatan atau hilir? Lalu mengapa Eyang mengajak kemari? Apakah hendak mengajakku menghadiri pesta itu? Beberapa orang kulihat seperti sangat sibuk di luar gedung.

“Kita berada di tengah-tengah dua jembatan, Selasih. Itu pantai Kualo. Tidak jauh dari sini.” Ujar Eyang Kuda menjelaskan. Di belakangku sawah tadah hujan terbentang luas. Padinya masih terlihat hijau. Baru tumbuh.

“Itu bangunan milik siapa Eyang? Ada pesta di dalamnya” Ujarku merapatkan diri padanya. Sebab aku melihat banyak sekali makhluk-makhluk dari muara berkeliaran seperti di pasar dengan bentuk rupa-rupa di belakangku. Bahkan ada di antara mereka hendak menarik kakiku, bentuknya seperti manusia, tapi tubuhnya menjalar-jalar seperti ular. Aku memfokuskan diri melihat ke dalam gedung. Masya Allah! Aku melihat ada sosok manusia, lelaki kira-kira berusia dua puluh lima tahun dalam keadaan tak berdaya. Tubuhnya telanjang, tanpa busana, berdiri linglung di tengah-tengah seperti altar. Sementara di kelilingnya, berbagai macam bentuk makhluk makan minum layaknya sebuah pesta. Entah apa yang mereka makan, aku tidak peduli. Mataku tertuju sosok manusia yang mereka tawan.

“Eyang, selama ini aku tidak pernah melihat bangunan ini. Milik siapa, Eyang?. Mengapa selama ini aku hanya melihat bangunan istana dekat jembatan itu saja? Istana yang dipimpin oleh ratu Buaya Putih?” Ujarku heran.

“Ini bangunan tempat persembahan mereka. Anak lelaki itu akan mereka persembahkan dengan ratu Buaya Putih. Malam ini tepat bulan purnama bukan? Maka sudah waktunya ratu Buaya Putih itu membutuhkan tumbal untuk menguatkan kemampuannya.” Jelas Eyang Kuda. Aku merinding mendengarnya. Mengapa makhluk-makhluk ini selalu mencari manusia untuk tumbal mereka? Kehidupan mereka tak luput dari tumbal ke tumbal. Selanjutnya aku bertanya dengan Eyang Kuda, Apa yang harus aku lakukan demi menolong anak lelaki itu? Eyang Kuda menjelaskan jika anak lelaki itu sudah mereka tawan sejak petang ketika hujan dan angin berkesiur petang tadi. Secara fisik anak itu sudah meninggal. Saat ini orang-orang tengah mencari jasadnya. Eyang menunjuk ke hulu. Kambali aku terperanga. Ternyata jauh di ujung sana banyak orang berkerumun di pinggir sungai. Ada yang membentang tali dan menyelam dengan tali mengikat pinggang. Ada perahu-perahu karet hilir mudik menyisir sungai. Lalu jauh di muara, nelayan memasang jaring berharap tubuh pemuda itu bisa sangkut di jaring mereka. Lampu petromak menerangi sisi sungai. Aku masih terus berpikir. Apa yang bisa aku lakukan untuk menolong anak itu jika dia sudah tidak bisa diselamatkan lagi? Sukmanya telah ditawan oleh makhluk asral di sini? Oh! Jahat sekali mereka. Dari Eyang Kuda juga kuketahui jika anak tersebut memang sudah menjadi incaran Ratu Buaya Putih sejak lama. Pertama dia masih lajang, belum pernah menikah, lalu sebagai makhluk dia tidak terlalu taat menjalankan kewajibannya layaknya orang yang beragama, sehingga mudah sekali Ratu Buaya Putih dan pasukannya mengambilnya. Dia tidak memiliki pagar sama sekali. Terlalu polos.

“Apa yang bisa aku lakukan Eyang?” Ujarku agak bergetar. Eyang Kuda juga seperti sedang berpikir. Mungkin beliau membaca berbagai macam resiko. Jumlah mereka banyak sekali. Dan rata-rata mereka berilmu tinggi. Mereka makhluk-makhluk yang kasar dan ganas. Ini terlihat dari aura mereka semua mengeluarkan hawa panas. Bisa jadi Eyang Kuda tidak tega melihat aku melawan mereka. Dalam keadaan sama-sama berpikir, tiba-tiba ada suara halus sekali.

“Hancurkan bangunan ritual mereka, Selasih. Pemuda itu tidak bisa diselamatkan lagi. Otak dan sum-sum tulang belakangnya telah mereka makan. Kau hanya bisa membantu memunculkan jasadnya ke permukaan air. Sementara sukma anak itu ada di dalam genggaman mereka, sudah selesai mereka ritualkan.” Suara Kakek Andun dari jauh. Aku berpandangan dengan Eyang Kuda. Beliau tersenyum sembari mengangguk menyetujui.

“Laksanakanlah Selasih, kamu memiliki alasan untuk menghancurkan sarang mereka. Karena mereka telah menawan bangsamu. Eyang akan bantu kamu dari sini. Hati-hati.” Ujar Eyang Kuda memberi semangat padaku.

Aku melesat langsung masuk ke dalam bangunan ritual tempat pemuda itu di tawan. Ternyata banyak sekali manusia yang menjadi tawanan makhluk jahat ini. Aku tidak tahu apakah mereka semua seperti lelaki ini, ditarik saat dia sedang memancing di sisi sungai, atau ada cara lain? Aku tidak sempat berpikir tentang itu. Tapi aku berpikir bagaimana caranya aku menghancurkan tempat ritual ini. Aku melihat seperti ada ruangan gelap menuju perut bumi. Entah apa fungsinya, atau tempat itu sarang mereka, tempat bersembuyi para makhluk ini? Atau ruang gelap ini merupakan jalan rahasia mereka entah menuju ke mana. Dari aroma yang ke luar dari tempat gelap itu tidak hanya lembab, namun juga bau busuk.

Melihat kehadiranku, beberapa pasang mata langsung tertuju padaku. Aku pura-pura tidak melihat. Namun aku waspada. Mereka bisa saja menyerang tiba-tiba.

“Mau apa kau datang kemari cucu Adam? Engkau mencari mati?!” Sesosok makhluk besar bertampang sangar menatapku tajam. Kalau sudah menyapaku sebagai cucu Adam, makhluk ini pasti hidupnya sudah ribuan tahun. Aku langsung berhadapan padanya. Energinya sungguh terasa berat sekali. Yang lain pun langsung menatapku seperti hendak memangsa.

“Aku hanya ingin tahu, mengapa kalian menawan bangsa kami, bangsa manusia?” Tanyaku. Disambutnya dengan tawa menggelegar seperti suara petir. Melihat tampangnya dia bukan raja. Tapi pengawal. Pengawal saja sudah sedasyat ini? Apalagi raja atau ratunya. Aku membatin.

“Kalian memang sangat pantas untuk disesatkan, disantap, dijadikan mainan, dijadikan persembahan, dijadikan tumbal. Karena semua yang ada di tubuh kalian itu harum dan manis. Dapat menambah energi bagi bangsa kami. Menjadi pagar, menjadi pondasi lantai, galar jembatan, termasuk menjadi budak-budak kami.” Ujarnya sembari tertawa lepas. Sekarang ratusan makhluk yang berada di ruang itu matanya tertuju padaku. Semuanya menatap menyeramkan. Aku mencari-cari ratu atau raja mereka.

“Baik, kalau begitu akan kuhancurkan tempat ini!” Ujarku. Tanpa berpikir panjang kuhantamkan pukulan matahariku ke altar ritual mereka. Dalam sekejab tempat itu hancur. Bahkan serpihan-serpihan bangunan memencar kemana-mana. Sang pengawal ganas itu tidak sempat menghalangiku. Dia kalah cepat. Selanjutnya aku hantam ratusan makhluk yang semula menatapkau dengan tajam seakan hendak menerkam itu. Seketika mereka menjerit kesakitan, ada juga yang tubuhnya langsung lebur, ada yang terkapar, ada juga masih tetap beridiri tegak. Mereka yang masih kuat serentak bergerak menyerangku.

Aku segera menarik sabuk pemberian putri ular lalu kuubah menjadi ular raksasa yang bergerak menyerang mereka. Selendang pemberian kakek Andun kutarik lalu kujadikan senjata untuk menyerang makhluk asral itu. Hantaman demi hantaman kuayunkan. Aku berusaha melumpuhkannya. Serangan balik darinya sungguh dasyat. Baru anginnya saja aku sudah seperti terdorong menahan berton-ton batu.

Hiiiiat!!! Haup!! Aku hadang pukulannya dengan pukulan gunungku. Tenaga kami beradu. Aku mendengar ada bunyi berderak-derak seakan ada sesuatu yang akan roboh. Aku tetap fokus dengan pukulan gunungku. Bahkan kutingkatkan untuk menghalangi tenaga makhluk asral yang luar biasa ini. Tak lama aku merasakan bumi seakan bergerak. Seperti gempa. Apakah ada hubungannya dengan pukulan petirku yang menghantam altar persembahan mereka? Tiba-tiba aku melihat ada kilatan menyerangku. Akhirnya sembari terus mendorong makhluk asral kulepaskan selendengku untuk menghantam cahaya yang menukik. Benturan terjadi. Langit terang benderang seperti lautan kembang api. Kadang warna ungu, kunimg, merah, biru, putih beradu.

Tiba-tiba ruang gelap yang mengerucut ke perut bumi itu semakin lama terbuka lebar. Angin kencang berhembus dari dalamnya. Sambil memerhatikannya aku terus bertahan dengan pukulan gunungku sembari berpikir bagaimana caranya mengalahkan kekuatan makhluk ini. Angin dari lubang hitam itu semakin lama semakin kencang. Lorong itu seperti terompet raksasa yang ditiup ribuan orang. Angin yang ke luar bergulung-gulung seperti awan pekat berwarna hitam. Aku bingung melihatnya. Mengapa lubang itu berubah seperti cerobong asap. Semuanya terlihat aneh? Tiba-tiba keluar naga berwarna hitam kebiru-biruan berkilau, besar sekali, memiliki empat kaki, bersayap, dan kumisnya entah berapa meter panjangnya. Kumis itu bukan berfungsi sebagai antena seperti kumis kecoa atau lele. Tapi dia adalah senjata untuk menyebat lawan. Secepat kilat aku selesaikan pukulan gunungku sembari mengehentakan kaki ke bumi. Sejenak bumi seperti berguncang kembali. Makhluk asral itu terhuyung. Aku segera mengerahkan angin untuk membantuku bergerak agar tak terbanting.

Huuuuaaakkhggg!! Makhluk Asral itu terhuyung. Aku tahu dia terluka. Namun belum membuat dia lemah. Aku akui kekuatannya. Lenganku terasa sakit dan kesemutan. Demikian juga kakiku sampai bergetar. Dasyat sekali tenaga mahkluk ini, pikirku dalam hati. Kali ini aku benar-benar mendapat lawan yang luar biasa. Sementara selendangku masih bergerak ke sana kemari menghancurkan makhluk-makhluk asral yang berusaha mencelakai aku.

Ular naga raksasa nampak terbang mengelilingi area bangunan ritual. Kepakan sayapnya seperti hendak melayangkan semua yang ada. Aku mencoba menghalangi dasyat anginnya yang menyapu-nyapu. Seperti biasa dalam situasi seperti ini aku akan mendengar lafaz zikir semakin lama semakin kencang. Lalu aku akan merasakan energi yang disalurkan lewat zikir itu. Aku memasang telinga tajam-tajam. Suara zikir tidak hanya dari jauh. Biasanya aku akan mendengar puyang dan kakekku dari jauh mengirimkan energinya lewat zikir. Tapi ini terdengar sangat dekat. Aku menoleh ke arah Eyang kuda berdiri. Masya Allah, aku terkejut, rupanya di sana tidak hanya Eyang Kuda, tapi aku melihat beberapa sosok duduk bersila menghadap kiblat di belakang Eyang Kuda. Dan yang paling belakang duduk berdekatan Putri Bulan dan Macan Kumbang.

“GhhhaaaaaagggrrRRR!!!” Suara naga sangat berat. Kali ini dia mengitari Eyang Kuda dan yang lainnya. Berkali-kali kulihat sayapnya menyerang mengeluarkan angin panas ke arah Eyang yang sedang duduk bersila. Namun pukulan itu tidak pernah sampai. Bahkan mental balik menyerangnya. Melihat Eyang Kuda bersama Putri Bulan dan Macan Kumbang aku kembali lega dan kembali fokus menghadapi makhluk asral pengawal Ratu Buaya Putih.

Hiiiiiiaaaaat! Braaak!!!! Sekarang giliran bangunan ritual yang kuhancurkan. Semua makhluk di dalamnya berhamburan ke luar. Pemuda yang ditawan kusambar lalu kulemparkan di hadapan Macan Kumbang dan Putri Bulan. Sekarang aku melihat banguan ritual itu seperti tumpukan bangunan tua rata dengan tanah. Debu seperti asap membumbung tinggi. Beberapa mahkluk yang terlambat ke luar dari bangunan itu seperti ular merangkak muncul dari bangunan yang roboh. Selendang kusapukan dengan cepat. Dalam sekejab makhluk-makhluk itu terpental jauh. Sementara selendang dari Putri ular masih menari-nari memukul dan menelan makhluk asral yang jumlahnya ratusan itu.

Tiba-tiba aku seperti mendengar suara suling seakan hendak menenggelamkan suara zikir Macan Kumbang, Putri Bulan, Eyang Kuda dan kawannya. Tak lama kemudian angin kencang berkesiur kembali. Aku terkesima ketika melihat ribuan makhluk asral seperti gelombang semakin lama semakin mendekat menyerang. Alangkah banyaknya makhluk ini. Aku membatin. Mereka seakan sengaja didatangkan dari laut untuk menyerangku. Sebelum mereka sampai, aku segera membaca mantera dan mengubah diriku jadi lima sosok. Maka kelima bayangkau segera bergerak menghalau gelombang makhluk asral dair laut itu. Kukerahkan mereka serentak menggunakan kekuatan badai melawan gelombang. Ribuan makhluk asral itu urusan mereka. Aku kembali fokus dangan pengawal Ratu Buaya Putih ini.

“Hmmm pantas kau berani ke mari anak Adam. Rupanya kamu mempunyai kemampuan yang tidak bisa diremehkan. Terimalah kematianmu. Kau akan kamu jadikan budak sama seperti bangsa manusia yang lebih dulu berada dalam genggaman kami.” Ujarnya sambil tertawa.

“Tertawalah iblis!! Karena ini adalah tertawa terakhirmu. Lihatlah, tempat ritual kalian sudah kuhancurkan. Pasukanmu sudah banyak yang ditelan ularku, mati kena selendangku. Sekarang giliranmu!” Ancamku sambil mengibaskan ujung selendangku ke arah dadanya,

“Dussst!!! Dussssttt!!” Dua hantaman ujung selendangnku menghantam telak ke dadanya. Makhluk asral itu kembali memegang dadanya dan mengerang tinggi. Aku langsung memutar badan, dalam waktu sekejab tubuhku berputar seperti pusaran angin mengejar makhluk asral yang sudah terluka tersebut. Kulihat dia masih melakukan penyerangan, namun pukulannya langsung ketangkap sambil terus berputar. Kugulung tubuhnya hingga dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan untuk mengeluarkan beragai macan ajian. Aku tempelkan tanganku ke kepalanyasambil terus bergulung. Jeritan demi jeritan kembali terdengar memekakkan telinga. Makhluk asral itu menjerit sekencang-kencangnya. Kusalirkan tenaga matahariku. Dalam sekejab tubuhnya lebur menjadi debu. Lalu kulempar ke udara. Ajaib, debu-debu iru berubah menjadi percikan api yang mengeluarkan suara persis seperti mercon. Tak lama langit jadi gelap dan berpetir. Aku melihat debu arid tubuh makhluk asral itu meluncur ke langit, lalu hilang. Bumi hening kembali. Hanya suara kepak sayap naga terbang yang meledak-ledak membentur energi Macan Kumbang, Putri Bulan, Eyang Kuda dan empat sahabatnya. Kali ini tidak hanya kepakkan sayapnya. Tapi naga itu juga mengeluarkan api dari mulutnya. Api itu menyembur kemana-mana.

Aku ikut duduk bersila, berusaha besenergi dengan zikir yang dilafazkan Eyang Kuda dan kawan-kawan. Selanjutnya tubuhku meluncur menghadapi Ular Naga yang menyemburkan api dari mulutnya. Ular naga balik menyerangku. Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi. Kukeluarkan bola api untuk melawan naga raksasa yang ganas ini. Dengan segenap kekuatan, kuhantamkan dengan cepat ketika mulut sang naga mengagah menyemburkan api ke arahku. Bola apiku bergumul dengan semburan dari mulut sang naga. Kutambahkan hantaman petir. Tubuh naga sedikit goyang. Naga mengeliat sejenak. Lalu kembali sayapnya mengepak sambil mengeluarkan suara seperti menggerang, kadang menggeram, kadang juga berdesis seperti suara ular. Aku kembali mengeluarkan bola api ke dua. Kali ini kutambahkan ajian menghantam gunung dan hentakan badai secara serentak. Bola apiku berkobar lebih besar dari tadi. Kumainkan sejenak menunggu mulut naga terbuka.

Langit berubah menjadi merah. Entahlah fenomena apalagi yang akan muncul. Yang jelas aku harus mampu mengalahkan naga yang ganas sebelum ratu Buaya Putih ke luar dari saranganya. Suara zikir Eyang Kuda dan kawan-kawan seperti ujung pisau seakan membelah langit lalu menyingkirkan cahaya merah yang menaungi bumi. Aku melihat lafas zikir seperti tangan menggulung cahaya merah satu ke kiri satu lagi ke kanan. Langit terang kembali meski bukan seterang siang hari.

Melihat bola apiku berputar-putar, naga raksasa nampak seperti berpikir untuk menyerang. Kepakan sayapnya sudah terlihat lemah. Kukerahkan angin agar membawaku meluncur mengitari ular naga yang mulai berkepak lemah. Semburan apinya tidak secepat sebelumnya. Ekornya mengibas ke sana ke mari. Namun angin yang dikeluarkannya tidak sekencang tadi. Rupanya benturan bola apiku yang pertama degan semburan api dari mulutnya telah membuatnya terluka. Aku berputar di antara tubuhnya yang berputar lemah. Satu kesempatan, bola apiku kuhantamkan di punggungnya. Tubuh Ular naga seketika berubah menjadi bara. Aku melihat tubuhnya seperti lampu terang benderang. Tak lama tubuh itu meliuk-liuk meluncur ke angkasa. Kembali suara gemuruh seperti hendak kiamat. Petir menyambar-nyambar. Angin seperti mengaduk-aduk bumi. Selendang dan lima bayanganku telah selesai melaksanakan tugasnya. Makhluk-makhluk asral yang datang seperti gelombang berhasil ditakhlukan tanpa ada yang tersisa.

Aku salut dengan kesetiaan para makhluk asral ini. Mereka rela mati demi menjaga dan menunjukkan kesetiaan mereka pada pimpinannya. Atau pada dasarnya mereka takut akan mendapat hukuman yang maha berat dari pimpinnannya kalau kalah? Wallahu Alam. Aku kembali menarik ular dan mengubahnya kembali menjadi sabuk. Satu-satu bayanganku menyatu kembali ke tubuhku.

Baru saja aku aku hendak menarik nafas lega bersenergi kembali dengan pecahan tubuhku, tiba-tiba tubuhku di hantam dari atas. Aku tak sempat lagi menghindar. Seluruh tubuhku teras remuk. Lalu berulang-ulang hantaman keras mengenai perut dan dadaku. Aku merasakan isi perutku terasa diaduk-aduk. Leherku teras dicekik. Dalam keadaan demikian aku hanya mampu mengendalikan hatiku untuk terus bertahan dengan zikir yang terus membimbingku. Biarlah tubuhku remuk, asal hati ini tetap bergerak untuk berzikir menggerakkan denyut jantungku satu-satu. Padanganku gelap. Aku tak mampu melakukan apa-apa kecuali melayang di alam yang gelap dan sesekali melihat kunang-kunang terbang ke sana ke mari.

***

Allahu Akbar!!
Hentakan takbir itu seperti pecut meledak di tubuhku. Gumpalan hitam melesat ke luar dari mulut, perut, dan dadaku. Sekali lagi aku mendengar hentakan takbir itu seperti menarik sesuatu dari kepalaku. Aku merasakan ada energi menetralisir tubuhku dari pukulan-pukulan yang dasyat tadi. Lalu sebuah kekuatan mengalir dari ubun-ubunku hingga ke ujung kaki, terasa hangat. Aku masih pasrah. Tubuhku terasa lumpuh.

Tiba-tiba ada dorongan sangat kuat menekan perutku. Membuat aku ingin muntah. Benar saja akhirnya aku muntah. Ada benda hitam ke luar dari mulutku. Sejenak kupandangi, seperti batubara hitam pekat namun berkilat-kilat. Eyang Kuda segera menetralisirnya. Pahamlah aku jika itu adalah salah satu senjata rahasia untuk membunuhku. Entah siapa yang menyerang, aku tidak tahu. Tiba-tiba fubuh Eyang Kuda melesat ke atas, lenyap dari hadapanku. Putri Bulan membantuku duduk. Di hadapanku Macan Kumbang menahan bahu agar tidak roboh. Aku merasakan tangan halus menempel di punggungku. Putri Bulan mencoba memulihkan tenagaku sekaligus menelisik tubuhku dengan sangat hati-hati.

Antara terpejam dan tidak, aku melihat beberapa bayangan berkelebat. Aku mendengar suara benturan bertubi-tubi tidak jauh dari tempatku duduk. Tapi karena Putri Bulan dan Macam Kumbang masih memulihkan tenagaku, aku belum berani mengangkat kepala dan membuka mata. Aku mencoba menyingkronkan hawa yang mengalir ke seluruh pembuluh darah. Terakhir, Putri Bulan menghantamkan pukulan persis di tengah-tengah jantungku. Aku kembali muntah, dan kembali ada benda yang ke luar dari mulutku. Sebuah mustika? Sekarang giliran Macan Kumbang yang menetralisir mustika yang bergerak-gerak seperti makhluk hidup itu.

“Duduk bersila, Cung. Lipat tanganmu ke atas. Pusatkan kembali pikiranmu. Puyang akan mengembalikan tenagamu.” Suara Puyang Pekik Nyaring! Mendengar bisikan itu aku segera memperbaiki duduk bersila meski gerakkanku masih terbilang lamban. Aku merusaha memusatkan pikiranku. Di samping kiri kanan Macan Kumbang dan Putri Bulan juga duduk bersila. Kedua tangan mereka mengembang seperti membantu mengumpulkan energiku sembari membaca doa dan mantra. Sementara Eyang Kuda sepertinya bertempur entah tengah melawan siapa dibantu kawan-kawannya yang tak henti berzikir.

Aku merasakan ada kabut tipis mengitari tubuhku. Tenggorokanku semula terasa kering kini kembali pulih. Kepalaku semula berat, pelan-pelan rasa itu hilang. Dan yang terpenting adalah aku seperti mendapatkan energiku kembali. Semua kemampuanku kembali berkumpul dan tersusun rapi ke dalam tubuhku. Kukumpulkan satu-satu hingga terasa seperti lapisan yang saling merapat dan kokoh. Oh, bayangan tipis itu seperti asap berbentuk sosok Puyang Pekik Nyaring. Lalu di lapisan luar ada cahaya kuning berputar seperti arah jam. Tapi di balik cahaya ada sosok-sosok lain yang seperti bayangan. Sosok nenek Kam, nenek Ceriwis, kakek Njajau. Begitu dasyatnya pertempuran malam ini sehingga puyang, kakek, dan nenekku ikut turun tangan? Hanya beberapa detik aku merasakan tubuhku sudah kembali seperti semula. Macan Kumbang dan Putri Bulan menarik tangannya. Mereka kembali duduk bersila. Cahaya kuning ke luar dari tubuh Putri Bulan. Sementara dari tubuh Macan Kumbang aku melihat sinar berwarna ungu kebiruan seperti gelombang. Cahaya yang menggambarkan kekuatan energi mereka masing-masing.

Ketika dirasa sudah cukup, pelan-pelan bayangan sosok nenek, kakek, dan puyangku hilang. Yang ada hanya Macan Kumbang dan Putri Bulan menatapku sambil tersenyum. Aku mengusap wajahku seperti baru bangun dari tidur. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara ledakan memekakkan. Dan ledakan itu berulang kali seperti hendak memecahkan gendang telinga. Aku mencari tahu darimana asal suara itu. Masya allah aku melihat gulungan asap seperti bergerak ke sana ke mari. Ternyata di dalam gulungan itu ada dua sosok yang tengah bertempur hebat. Eyang Kuda tengah melawan makhluk seperti burung gagak raksasa. Parunya yang panjang, kukunya yang tajam, kadang kerlap-kerlip mengeluarkan cahaya. Setelah kuamati ternyata cahaya-cahaya itu adalah senjata serupa racun yang mematikan. Kulihat beberapa kali hantaman Eyang Kuda mengenai tubuh sang Gagak. Meski kadang gerakannya oleng, namun kembali si burung gagak mengepakkan sayap. Si gagak seperti memiliki nyawa serep. Nyaris pukulan-pukulan Eyang tidak dirasakannya. Selanjutnya Eyang Kuda mengeluarkan keris dari pinggangnya. Ketika keris itu ke luar dari sarungnya, aku melihat cahaya terang benderang seperti cahaya matahari membuat sekitar sungai terang benderang. Sejenak aku terpukau melihatnya. Eyang Kuda luar biasa. Burung gagak beberapa hasta mundur menghindari cahaya keris Eyang Kuda. Sepertinya cahaya yang dikeluarkan keris itu tidak hanya menyilaukan namun memberikan hawa panas pada si burung gagak. Tak lama berselang, tubuh Eyang Kuda sudah berkelebat ke sana kemari nyaris sosoknya tidak terlihat. Aku hanya melihat kilatan-kilatan cahaya yang berkelebat di antara burung gagak sembari menjerit dengan suaranya yang serak.

BuuuaaaaRRR!!
Tiba-tiba air sungai seperti diaduk lalu memercik hingga tinggi sekali. Aku menoleh. Ternyata di dalam air ada kakek Andun tengah bertempur dengan seorang wanita cantik dengan busana sangat tipis. Nyaris semua lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kakek Andun menggempurnya dengan pukulan-pukulan yang menakjubkan. Perempuan itu sangat marah ketika ujung bajunya koyak hingga ke paha. Tak lama, perempuan itu bergerak seperti penari erostis. Tubuhnya bergerak liar membangkitkan hawa nafsu lawannya. Ini adalah salah satu jurus makhluk asral untuk melumpuhan lawan. Saat lawan merasa terangsang, tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka dengan mudah dia menyerang lawannya dengan pukulan mematikan. Aku melihat meski sudah dengan berbagai macam cara dia lakukan untuk menakhlukan lawan namun tidak berpengaruh pada kakek Andun. Jiwa kakek Andun tetap stabil melakukan perlawanan. Aku menoleh pada Putri Bulan dan Macan Kumbang untuk minta izin melakukan pertempuran. Bagaimana pun aku sudah merasa tubuhku sehat meski sebelumnya aku nyaris semamput karena di serang bertubi-tubi oleh makhluk yang saat ini sedang bertarung dengan kakek Andun dan Eyang Kuda.

Aku mencoba berinteraksi dengan Kakek Andun meminta izin padanya untuk melawan makhluk itu. Belum sempat kakek Andun menjawab, dari kejauhan aku melihat sosok perempuan di dalam kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda menuju ke arah kami berdiri. Kereta yang dominan warna kuning dan merah itu seperti lampu kerlap-kerlip di tarik empat kuda berwarna putih yang gagah. Aku mencoba menatap parasnya. Benar, seorang perempuan berparas cantik, mengenakan gaun seperti pengantin lengkap dengan mahkota. Jika diperhatikan dengan seksama mahkota yang dikenakannya di kelilingi buaya-buaya kecil yang terbuat dari emas. Yakinlah aku jika yang hadir adalah ratu buaya putih yang menguasai wilayah dekat jembatan sungai serut ini. Bala tentaranya adalah buaya-buaya kecil yang kerap menampakkan diri di semak-semak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa sepanjang sungai. Sekarang buaya-buaya kecil itu mengubah dirinya dalam bentuk manusia lengkap dengan senjata seakan hendak melakukan perang. Aku segera menghadang kereta kencana untuk menyambut ratu yang ada di dalamnya.

“Jumpa kembali kita di sini anak kecil? Aku sudah tahu, kedatanganmu sejak awal. Aku juga melihat kamu menghancurkan tempat sesembahan kami dan telah menghancurkan sebagian istanaku. Katakan, apa maumu?” Ujarnya sambil melangkah turun. Ketika dia turun air di dalam sungai ini seperti menyingkir. Kharismatik sekali perempuan ini, sampai air sungai pun menyingkir memberinya jalan.

“Jumpa kembali Ratu Buaya Putih. Maafkan saya, seperti yang peranah aku sampaikan padamu waktu kita berjumpa, aku minta jangan ganggu lagi bangsa kami. Tapi demi melihat bangsaku kembali kalian jadikan tumbul, aku tidak bisa terima. Kalian akan terus melakukannya dan akan mengambil manusia di daerah ini.” Ujarku lagi. Ratu Buaya Putih tersenyum manis sekali. Lalu dengan suara lembutnya dia katakan yang melakukan ini semua adalah anak buahnya. Bukan dia. Tentu saja apa yang disampaikannya bukan alasan yang masuk akal. Sebagai pemimpin, masak beliau tidak tahu kelakuan anak buahnya?

“Aku tidak mau tahu apakah anak buahmu, atau kamu. Yang jelas, aku datang kemari untuk bertemu denganmu dan seperti janjiku dulu, jika masih saja kalian menggangu kaum kami, bangsa manusia, maka akan kuhancurkan rumah-rumah kalian. Artinya kalian memang ingin berhadapan denganku. Sekarang aku datang menempati janji itu.” Ujarku menatapnya tajam. Ratu buaya putih mengangkat tangannya memberi isyarat padaku untuk bersabar. Sementara aku terlanjur marah. Aku katakan pantaskah seorang ratu membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan lalu pura-pura tidak tahu, dengan bahwa itu bukan kehendak dirinya? Atau di luar pengetahuannya? Ratu Buaya Putih tahu kalau aku tidak bisa terima alasannya. Dengan sekali tepuk, dia menghentikan pertempuran. Anak buahnya yang semula tengah bertarung dengan dengan Kakek Andun dan eyang Kuda, tiba-tiba menghentikan diri dan melompat di belakang sang Ratu. Demikian juga pasukannya yang lain. Mereka yang semula siap perang, tiba-tiba tidak bergerak dan berlindung pada ratu mereka.

“Atas nama kerajaan Muara Bagkahulu, para sepuh dan Putri Selasih, saya mohon maaf. Kejadian petang tadi memang kesalahan anak buah saya. Mereka telah mengambil seorang lelaki yang jasadnya sudah kalian ambil itu.” Ratu Buaya Putih membungkuk pertanda minta ampun. Aku agak mundur beberapa langkah sejajar dengan kakek Andun dan Eyang Kuda.

Tak lama Macan Kumbang dan Putri Bulan ikut berdiri di sampingku. Melihat Putri Bulan, Ratu Buaya Putih langsung duduk dan mengangkat tangan pertanda memberi hormat. Mereka saling kenal rupanya. Aku menatap Putri Bulan. Matanya tajam menatap Ratu Buaya Putih. Tiba-tiba tangannya diangkatnya tinggi-tinggi lalu mengembang, dalam sekejap diarahkannya ke Ratu Buaya Putih.

“Hentikan penyamaranmu Ronta! Hiiiiaaat!!” Tiba-tiba tubuh Ratu Buaya Putih terlepar. Sang ratu yang semula kulihat begitu cantik tiba-tiba berubah menjadi perempuan yang berkulit kasar seperti kulit buaya. Matanya yang semula sangat indah berubah menyeramkan karena tidak ada warna bintik hitamnya. Polos berwana sedikit abu-abu. Aku bertanya-tanya, siapa Ronta ini sebenaranya? Lalu siapa yang bertemu denganku ketika di ujung jembatan yang menghadangku dulu? Apakah Ronta juga? Apa tujuannya mengubah dirinya menjadi ratu Buaya Putih? Sebuah rahasia yang yang patut dikuak.

“Maafkan para sesepuh. Ronta ini bukan Ratu Buaya Putih penguasa wilayah ini. Karena Ratu Buaya Putih penguasa kerajaan ini masih melakukan tapa jauh di gua gunung Bungkuk. Tidak ada yang tahu posisi pastinya di mana. Ronta adalah salah satu anak buahnya. Beliau memang dipercaya untuk menjaga istana selama ratunya pergi.” Ujar Putri Bulan. Aku terpukau melihat Putri Bulan. Ternyata beliau banyak tahu tentang wilayah dan siapa saja penghuni sini?

“Kamu sudah membuat kekacauan Ronta. Sampai-sampai sesepuh dari tanah Besemah pun datang ke mari gara-gara kamu. Lihat berapa banyak rakyat kerajaan ini mati sia-sia gara-gara kamu. Kamu telah menyalahkan kepercayaan yang telah diberikan oleh ratu kalian.

Kamu harus ikut saya. Akan kubawa kamu ke dalam pengadilan adat di kerajaan.” Mendengar itu, Ronta yang kukira sebelumnya adalah Ratu Buaya Putih penguasa perairan di bawah jembatan hingga ke muara sujud meminta-minta ampun. Nampaknya Putri Bulan tidak menghiraukan maaf dan ampunnya. Putri Bulan menggerakkan tangannya lalu berputar. Ronta seperti diikatnya lalu diangkatnya tinggi-tinggi, tak lama tangannya seperti melempar tubuh Ronta ke arah timur. Putri Bulan membalikkan badan menghadap kakek Andun dan Eyang Kuda. Beliau meminta maaf atas kelakuan salah satu mahluk di sini hingga nyaris mencelakakan semua. Selanjutnya beliau mengatakan jika semua kerajaan kecil dan besar yang berada di wilayah bumi Rafflesia ini semua dalam pengawasan kerajaan Tebo Bulet yang berpusat di Gunung Bungkuk di bawah kekuasaan Ratu Agung. Mendengar penjelasan sekilas itu aku manggut-manggut. Baru kupahami. Ternyata di dunia gaib pun ada pemerintahan yang diatur sedemikian rupa dan ada juga kerajaan atau penguasa-penguasa kecil yang nakal dan berkhianat seperti Ronta.

Semua menarik nafas lega. Kakek Andun dan Eyang Kuda berpelukan lama sekali sebelum berpisah. Aku bahagia melihat keduanya.

“Titip cucuku, Eyang. Terimakasih sudah berkenan mendampinginya. Masih banyak rahasia di jagad raya ini yang belum dia ketahui” Kata Kakek Andun memegang dan menepuk-nepuk bahu Eyang Kuda. Keduanya bertatapan akrab. Eyang Kuda mengagguk berkali-kali. Sambil membungkuk beliau katakan sejak bersua dengan Putri Selasih tanpa disengaja itu, hatinya sudah jatuh cinta dan merasakan bisa bersenergi karena aura positifnya. Selanjutnya kata beliau, dia tahu kalau Putri Selasih berasal dari salah satu pegunungan yang berjajar di pulau sumatera ini, dan banyak sekali leluhur yang menjaganya. Termasuk leluhur bumi Rafflesia pun ikut menjaganya. Mata Eyang Kuda tertuju pada Putri Bulan.

“Beliau salah satu kepercayaan Ratu Agung, penguasa tanah darat di Bengkulu ini. Meski kelihatannya masih sangat muda, namun beliau perempuan yang cerdas dan termuda di atara yang ada. Beruntung sekali saya dapat mengenal beliau juga, dan ternyata Putri Selasih lebih dulu mengenal Putri Bulan. Luar biasa. Saya bahagia sekali dengan pertemuan ini, Kakek Andun.” Suara Eyang Kuda lunak dan mendamaikan. Aku makin tersenyum dan kagum mendengar penjelasan Eyang Kuda tentang Putri Bulan. Macan Kumbang yang berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum. Aku membayangkan keduanya menjadi sepasang pengantin yang berbahagia.

Setelah suasana mulai terlihat aman, para makhluk asral yang semula ke luar dengan senjata lengkap seperti menghadapi perang, pelan-pelan kembali ke sarang mereka dan sebagian berbenah membersihkan daerah yang porak poranda. Putri Bulan membantu mengapungkan sosok lelaki yang semula disekap oleh makhluk asral di sekitar ini. Tidak lama kemudian kerumunan orang yang sejak petang penuh harap cemas menemukan sosok pemuda yang hilang berteriak histeris dan sebagian lagi tak henti mengucapkan rasa syukur. Sejenak aku merasakan kesedihan beberapa orang yang menangis tersedan sembari mengelus-ngelus wajah sang korban. Bisa dipastikan mereka adalah keluarganya.

Kakek Andun meminta izin pulang lebih dulu. Aku mencium tangannya dan seperti biasa akan memeluknya, kakek mecium ubun-ubunku. Tak lama, Putri Bulan dan Macan Kumbang juga izin pulang. Aku menatap bahagia keduanya. Walau ada terbersit rasa sedih di dadaku. Karena Macan Kumbang pasti akan sedikit sekali waktunya bersamaku. Keduanya nampaknya sedang berbahagia. Buktinya keduanya datang berbaregan, tidak sendiri-sendiri. Berbahagialah mereka yang merasakan dan menemukan pelabuhan untuk menambatkan hati mereka. Selintas aku teringat Guntoro. Apa kabar lelaki yang pernah menyentuh perasaanku itu? Aku buru-buru membuang perasaan perih di dadaku. Kata Macan Kumbang berpikirlah realis. Iya, aku harus realis. Guntoro hanyalah masa lalu yang sempat singgah menabur bunga di padang dadaku ketika ditumbuhi rumput-rumput kecil yang hijau.

“Putri Bulan, ajak Macan Kumbang jalan-jalan ke pantai Panjang atau Sungai Suci saja dulu. Dia kan jarang-jarang melihat laut, melihat ombak, merasakan sensasi laut malam hari,” ujarku sengaja menggodanya. Keduanya tertawa berbarengan. Tak lama aku hanya melihat bayangan Putri Bulan dan Macan Kumbang semakin samar. Tinggallah aku bersama Eyang Kuda. Sejenak aku dan Eyang saling pandang.

Sepanjang sungai sudah mulai sepi. Sirine ambulan semakin jauh. Suaranya seperti raungan tangis keluarga yang belum bisa menerima kehilangan bagian keluarganya. Aku dan Eyang Kuda berjalan pelan menunju ke utara. Entahlah, kejadian yang kualami barusan mirip seperti mimpi. Semuanya berjalan cepat sekali. Aku tidak bisa bayangkan andai ketika aku dihantam makhluk asral itu tidak ada Eyang Kuda dan leluhurku yang membantu. Mungkin saat ini aku sudah berada di alam lain seperti jenazah pemuda yang dibawa ambulan untuk diotopsi ke rumahsakit.

Bersambung…
close