Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 52)


Hari sudah pukul 09.00 Wib, sisa hujan tadi malam masih ada. Sesekali bumi tertutup tirai hujan yang sangat rapat. Pagi ini aku bersama lima bekas kawan-kawanku akan mulai melakukan ekspedisi ke salah satu hutan tropis di Bengkulu Utara, didampingi dua orang guruku, ibu Zuraini Zak guru Bahasa Indonesiaku, yang ramah dan pinter.

Perempuan Aceh yang kukenal tegas, berani, dan gagah. Dan yang penting adalah kuketahui beliau memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Beliau memiliki ilmu kebatinan warisan leluhurnya dari Nagro Aceh Darussalam. Beliau tidak pernah bercerita apalagi hendak pamer tentang kemampuannya.

Selanjutnya pendamping ke dua, Bapak Muchlis, guru Biologiku yang dari suku Rejang yang sering disebut Tun Jang, berperawakan sedang, berkulit putih bersih, bermata sipit. Selintas orang pasti mengira beliau keturunan Tionghoa. Beliaulah yang memimpin ekspedisi ini di damping Sudirman kakak kelasku yang sudah biasa blusukan di hutan, gunung dan bukit.

Aku membantu ibu Zak, demikian aku memanggilnya memeriksa peralatan yang kami butuhkan di lapangan. Aku bersyukur ternyata masa mudanya, beliau aktif menjelajah hutan. Sehingga berbagai macam hal yang tidak terpikir oleh yang lain beliau siapkan sendiri. Mulai dari keberangkatan kulihat kebanyakan kawan-kawanku bergembira seperti orang hendak tamasya. Aku yakin dalam pikiran mereka tidak terbayang sama sekali pelbagai macam kemungkinan medan yang akan diahadapi. Bahkan ada di antara mereka memakai sepatu gaya seperti hendak jalan ke mall. Meski sudah diingatkan masih juga tidak patuh. Dalam hati aku sudah memperkirakan karakter seperti ini pasti akan membuat susah. Belum lagi baju yang mereka pakai, seperti mau piknik ke pantai.

Mulai dari keberangkatan dari halaman sekolah ketika dilepas kepala sekolah, sepanjang jalan mereka tidak henti bernyayi. Berbeda sekali ketika aku bergabung dengan sesama anak pramuka atau komunitas pecinta alam. Meski bergembira, tapi beda kualitasnya. Kendaraan yang kami tumpangi hanya mengantar batas Air Sebakul. Selebihnya dari sana kami akan naik pick up yang sudah stand by sejak pagi. Menurut Darman, salah satu kawanku, medan yang akan dilalui pick up cukup sulit. Karena tanah kuning dan berlumpur. Apalagi tadi malam hujan. Bisa dipastikan jalan menuju lokasi licin.

Kira-kira perjalanan satu jam lamanya, akhirnya kami sampai juga di simpang Air Sebakul. Selanjutnya baru naik pick up menuju desa Tabalagan. Perkiraanku dan Darman benar. Tanah kuning tersiram hujan, mirip kue bertopping coklat. Mengilap dan berair. Beberapa kali ban pick up yang kami tumpangi bannya tergelincir nyosor ke parit. Lalu terpater di lubang yang tidak terlalu dalam, tidak bisa bergerak sama sekali. Canda tawa dan teriakan gembira sebagian kawanku berubah menjadi cemas. Sebagian kami terpaksa turun mendorong pick up yang tidak bisa bergerak. Gerimis masih menirai. Udara terasa dingin. Sebagian kami sudah basah kuyup. Kiri kanan jalan hutan kecil bersemak resam. Sepanjang perjalan belum kami temui rumah hunian, kebun atau ladang penduduk. Jalan yang baru dirintis masih sangat sepi.

Perjalanan dari simpang Air Sebakul menuju dusun Tabalagan terasa sangat panjang. Suara menggerutu sebagian teman-teman mulai muncul. Menyesalkan mengapa harus melalui medan seperti ini dan lain sebagainya. Aku berusaha memberikan pengertian pada mereka dan berhenti untuk menggerutu.

“Nikmati saja perjalanan seperti ini. Mungkin ini pengalaman pertama kalian hujan-hujanan masuk ke daerah yang belum kita kenal sama sekali. Naik pick up tanpa atap, mendorong mobil yang terpater, basah kuyup dan lain sebagainya. Jangan sesali. Mari kita nikmati. Esok semuanya akan jadi cerita seru sebagai oleh-oleh pada kawan dan keluarga kita. Jangan lupa catat setiap hal yang menurut kita menarik dan unik.” Ujarku sedikit memberi semangat.

“Kalau tahu medannya seperti ini, lebih baik aku tidak ikut. Becek, hujan-hujanan, basah semua.” Kata Gusti. Anak yang berasal dari Bandung satu ini sedikit manyun memperlihatkan kalau dirinya anak yang dimanja, tidak biasa kotor dan dingin dan berhujan seperti ini. Lalu ditimpali oleh yang lainnya kalau tidak mau melanjutkan perjalanan lebih baik turun, pulanglah sendiri. Aku hanya tersenyum mendengar ocehan mereka. Belum lagi separuh jalan sudah membuat suasana tidak enak.

“Kita akan masuk hutan, Neng. Bukan ke mall. Jadi berhenti mengatakan tidak enak segala. Benar kata Dedek, mari kita nikmati perjalanan ini dengan perasaan gembira. Belajarlah mencintai suasana apapun bentuknya. Hitung-hitung untuk melatih diri menakhlukan diri kita sendiri agar tidak egois. Dan itu tidak mudah.” Ujar Ibu Zak. Sebelumnya beliau hanya diam saja. Tapi demi mendengar Gusti seperti menyesali perjalanan bahkan cendrung menyalahkan orang lain, akhirnya beliau bicara juga. Kulihat Gusti tertunduk malu.

Hari sudah menunjukan tengah hari, namun kami belum juga sampai di desa Tabalagan. Sementara perut sudah mulai lapar. Roti tidak terlalu tahan lama untuk mengganjal perut dalam keadaan dingin seperti ini. Teman-temah sudah mulai berbisik-bisik. Mereka tidak berani lagi berbicara dengan suara kencang, takut ditegur Ibu Zak kembali. Akhirnya untuk mengisi suasana yang agak-agak tegang itu aku isi dengan cerita-cerita lucu tentang pengalaman-pengalamanku ketika kemah pramuka. Atau ketika aku mendaki gunung, menjelajah alam dan lain sebagainya. Aku sengaja tidak bercerita tentang hal yang serem-serem. Akhirnya suasana manjadi cair kembali. Obrolan beralih pada hal-hal sederhana sekadar untuk menghangatkan suasaan yang sedikit tegang.

Setelah berjam-jam terasa digoncang-goncang dalam pick up, dari kejauhan aku sudah melihat atap masjid. Artinya kami sudah masuk ke perkampungan. Benar saja, akhirnya kami berhenti persis di halaman masjid. Sejenak aku terpaku, ketika melihat bangunan masjid seperti bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Dindingnya bercat hijau muda suram. Pagar keliling yang rendah mepet ke teras masjid yang kecil dengan mudah dilompati kambing. Ini terlihat beberapa ekor kambing asyik berdiri dan tidur-tiduran di teras. Bahkan kotorannya berserak di mana-mana. Pintunya terkunci rapat. Keranda di samping belakang, tergeletak miring dan berkarat. Rumput di sekeliling masjid tumbuh liar sudah sampai sebetis. Sungguh tudak terawat. Mungkin masjid ini setahun sekali baru dibuka ketika salat ied saja.

Aku melemparkan pandang ke rumah-rumah yang berdiri jarang. Dusun yang lengang. Tidak satupun melihat rumah yang pintunya terbuka, atau jendela yang terbuka. Apalagi melihat orang duduk atau bejalan? Atau melihat anak kecil bermain seperti dusun pada umumnya? Aku melihat beberapa rumah panggung, selebihnya rumah rendah seperti rumah darurat bantuan pemerintah untuk transpigrasi. Berdinding papan yang berlapis yang dicat putih, beratap seng. Dihalaman rumah rata-rata tumbuh pohon buah-buahan yang sudah cukup ringgi. Artinya kampung ini bukan kampung baru. Itu dapat dilihat pohon rambutan, mangga dan nangka rata-rata sudah berbuah. Badan jalan yang bercabang dan cukup lebar pun ditumbuh rumput liar. Di tengah dusun, jalan-jalan nampak seperti setapak yang kecil yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Sisi kiri kanan rumput liar yang sudah tinggi. Bahkan untuk saling pandang dari rumah di seberang jalan saja nampaknya susah tertutup rumput. Begitu sibukkah penghuni dusun ini sehingga dusunnya sendiri seperti kampung yang tinggal? Nyaris tidak ada kehidupan. Posisi masjid ada di tengah-tengah dusun sudah sangat strategis. Lalu untuk apa fasilitas ini dibangun jika tidak difungsikan?

Semula rencananya kami akan makan siang sekaligus mau salat di masjid ini. Melihat kondisi seperti ini niat itu batal. Sumur tua yang terletak di belakang masjid, ada derek dan tali tapi tanpa ember timba. Atas sumur juga di tutup rapat. Aku saling tatap dengan beberapa orang teman. Semnatar anak yang laki-laki menyebar mencari sumber air.

“Aku kebelet pipis,” bisik Ita sedikit meringis. Aku bisa bayangkan perasaannya. Udara dingin dengan kondisi basah kuyup seperti ini memang seringkali mendesak mau buang air kecil. Aku juga sebenarnya sama. Ingin buang air kecil juga. Bedanya aku masih bisa menahannya sedangkan Ita sudah terdesak sekali nampaknya. Tus! Aku menotok bawah perutnya tiba-tiba. Dia kaget! Dan tercengang.

“Ah, Dek. Kebelet pipisku hilang habis kau sentil.” Ujarnya dengan wajah ceria. Suaranya memancing yang lain ingin tahu. Aku hanya tersenyum mendengar kata sentil. Lalu pura-pura tidak mendengar ketika kak Atun bertanya ada apa. Apa yang disentil dan sebagainya.

“Bu, rumah itu ada orangnya. Ada Nenek di sana. Di belakang rumahnya ada sumur cukup dalam. Beliau mengizinkan kita untuk numpang wudu di sana.” Ujar Rudi salah satu kakak kelasku. Akhirnya kami yang perempuan labih dulu ke sana. Sementara ibu Zak menimba air untuk wudu, bersama perempuan yang lain, aku menghampiri si Nenek yang duduk persis di tengah pintu.

“Assalamualikum, Nek,” sapaku.

“Waalaikum salam, Cung. Gadis apa sudah ibu-ibu?” Tanyanya sambil memasang tajam telinganya. Masya Allah beliau buta melek rupanya.

“Saya masih gadis, Nek. Masih sekolah di SMA. Kami minta izin numpang wudu ya, Nek. Nenek dengan siapa tinggal di rumah?” Tanyaku merasa sangat kasihan melihat kondisinya. Bagaimana beliau mau ke belakang buang air kecil? Atau hendak makan dan sebagainya? Adakah yang memasakannya? Dari beliau kuketahui jika dia ikut anak satu-satunya. Sekarang anaknya sedang ke kebun karet mereka. Hujan seperti ini mereka terkendala tidak bisa nabah karet karena lebih banyak air daripada getah yang ke luar. Namun kalau tidak ke kebun mereka akan makan apa? Dari si nenek juga kuketahui, satu minggu sekali mereka akan menjual hasil panen. Ada pengepul yang akan datang setiap akhir pekan sekaligus membawa kebutuhan yang masyarakat butuhkan. Terutama sembako. Aku mengangguk-angguk kecil. Terbayang setiap hari mereka dari pagi ke kebun, lalu nabah karet, sorenya getah-getah karet itu mereka kumpulkan lalu mereka siram dengan cuka agar bisa menyatu dalam cetakan terbuat dari tanah membentuk lempengan-lempengan. Kalau sudah beku maka lempengan karet itu mereka panggul bawa pulang. Selalu seperti itu setiap hari. Belum lagi gititan nyamuk jika musim panas, lalu jika musim hujan seperti ini berperang pula dengan pacet. Baru saja terpikir tentang pacet, ketika aku membuka sepatu dari sela jariku berdarah. Kulihat seekor pacet menjatuhkan diri kekenyangan. Aku segera mencari rumput amis-amis, lalu mengusap bagian bekas gigitan pacet. Tak lama darah yang mengalir berhenti.

Sekilas aku melihat-lihat ke dalam rumah si nenek. Lantai tanah, di dalam rumah aku hanya melihat bangku kecil dan amben dengan satu bantal dan selimut kumel. Aku memperkirakan nenek tidurnya di sana. Aku melihat-lihat adakah sajadah? Biasanya rumah-rumah seperti ini sajadahnya akan mereka jemur di dinding ruangan. Ini tidak ada. Si nenek tidak pernah salat?

“Nek, kalau nenek mau wudu bagaimana? Nenek bisa menimba air sendiri?” Tanyaku memancingnya. Si nenek tersenyum malu sembari agak membuang muka sambil menjawab kalau dirinya tidak pernah salat. Bahkan bacaan salat dia tidak tahu. Aku terdiam sejenak menatapnya. Apa yang harus kusalahkan? Keadaankah? Bisa jadi si nenek sejak kecil dalam keadaan sulit terus hidupnya dan tidak ada yang bisa membimbing dirinya tentang agama. Kasihan sekali.

“Mengapa sampai tidak tahu bacaan salat, Nek?” Tanyaku lebih berani.

“Sejak kecil nenek selalu ikut orang tua hidup di kebun, Cu. Nenek buta huruf. Tidak pernah sekolah. Orang tua nenek dulu tidak pernah mengajarkan Nenek untuk membaca apalagi belajar salat. Mereka juga tidak pernah salat meski mengakunya muslim. Usia 14 tahun, nenek menikah. Setahun kemudian melahirkan. Sejak melahirkan itu nenek mulai buta. Melihat nenek buta, suami nenek pergi meninggalkan kami. Hiduplah nenek dengan anak nenek yang masih bayi. Semula nenek masih bisa melihat sedikit-sedikit. Nenek masih bisa pergi menabah karet meski meraba-raba. Lama kelamaan pandangan nenek makin kabur. Dan sekarang buta sama sekali. Untung anak Nenek sudah bisa melakukan pekerjaan menggantikan Nenek di kebun. Ketika usianya 15 tahun, dia menikah. Tapi suaminya suka berjudi dan malas bekerja. Akhirnya mereka cerai sebelum mempunyai anak. Sekarang usianya sudah 17 tahun. Belum menikah lagi.” Tutur nenek seperti mendapatkan tempat untuk bercerita. Aku terbengong mendengar ceritanya. Kedua-duanya ibu dan anak pernah menikah muda, dan sama-sama ditinggalkan suami mereka. Ada perasaan sedih dan kasihan demi melihat kenyataan hidup si Nenek dan anaknya. Sungguh perjalanan nasib manusia tidak ada yang bisa diperkirakan. Siapa yang ingin hidup dalam kondisi seperti yang dialami si Nenek? Dan beliau pun pasti berharap agar anaknya tidak mengalami nasib sepertinya. Meski kenyataannya keduanya nyaris mengalami nasib yang sama.

“Yang sabar ya, Nek. Insya Allah suatu saat nasib anak nenek akan berubah. Jagan lupa untuk selalu berdoa, ya Nek.” Ujarku sembari pamit mau wudu. Ibu Zak sudah melakukan salat di atas amben depan rumah nenek. Hanya tempat itu yang dianggap bersih meski basah dan banyak daun-daun yang jatuh di atasnya. Kawan-kawanku bergantian salat dengan pakaian yang masih basah karena mau ganti pakaian pun tidak memungkinkan. Aku mengeluarkan sarung tangan dan kaos kaki. Dalam keadaan lembab aku juga melakukan salat di atas aben seadanya. Selanjutnya kami makan bersama. Untung ada nasi lebih, sehingga kami bisa memberi si nenek. Nenek pun ikut makan bersama kami. Aku duduk di sampingnya sambil membantunya memberikan minuman mineral yang kami bawa. Beliau makan lahap sekali. Jangan-jangan ini makan termewah yang beliau rasakan. Nasi, ada sambal, ayam goreng, ada sayurnya, kerupuk, dan tempe goreng.

Hari sudah menunjukan paukul 13.30 Wib. Lokasi yang hendak di tuju sungai Tabalagan. Tidak ada yang bisa memperkirakan berapa jam perjalanan ke sana. Menurut Darman yang katanya pernah ke sana, sungai itu membelah hutan tropis Tabalagan dengan area perkebunana karet masyarakat. Dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Akhirnya setelah membawa barang masing-masing, kami pun mulai melakukan perjalanan menyisir jalan setapak ke arah timur. Berpamitan dengan Nenek buta yang baik hati.

Ketika ke luar dari perkampangan yang kami temui melulu kebun karet. Hujan sudah berhenti. Bahkan berganti dengan panah. Matahari terasa sangat menyengat sehingga baju kami yang lembab kering seketika. Medan yang dilalui tidak terlalu sulit. Tanah liat, bertebing namun tidak terlalu curam. Lalu beberapa kali melintas di tanah yang datar dan kering. Sisi kanan kiri kadang bertemu dengan kebun karet yang sudah panen. Artinya sudah cukup berumur, namun ada juga pohon karet yang baru ditanam, dan hutan yang baru ditebang.

Tanah napal nampak menyilaukan mata ketika tertimpa matahari. Melihat pohon-pohon yang tumbang besar dan panjang, terbayang dulu wilayah ini hutan belantara yang rimbun. Lalu kemana para satwanya? Sambil berjalan pelan, aku membayangkan ada ular, harimau, siamang, kancil, rusa, trenggiling, tupai, burung, dan lain-lain berlindung di hutan yang lebat. Ditambah dengan serangga dan lain sebagainya. Aku sengaja berjalan agak di belakang. Kulihat langkah kawan-kawan yang semula sangat gagah dan semangat sudah mulai loyo. Sesekali ada yang duduk di tengah jalan sekadar istirahat dan meluruskan kaki. Aku hanya tersenyum melihat mereka. Wajah mereka rata-tara meringis dan lelah.

Perjalanan kuperkirakan sudah tiga jam lebih. Wajar saja kebayakan kawan-kawanku kelelahan. Semula hendak mencari jamur dan serangga, nampaknya tidak berjalan mulus. Lokasi tempuh terlalu jauh untuk dilalui dengan berjalan kaki seperti ini. Rata-rata kawan-kawanku bukan penjelajah. Banyak hal yang menjadi penghambat. Rasa lelah telah mengalahkan untuk dapat berpikir normal sesuai prosedur.

“Dedek, cepat! Jangan terlalu jauh di belakang!” Teriak pak Muchlis melambaikan tangan, menyuruhku agak cepat. Padahal aku memang sengaja memilih paling belakang agar enak mengawasi kawan-kawanku. Aku balas sambil berteriak supaya pak Muchlis duluan saja mengawasi kawan-kawan di depan. Sementara ibu Zak berada di tengah-tengah. Akhirnya Budiansyah memilih berjalan di depanku.

Aku makin memperlambat langkah ketika ada yang menegurku. Oh! Ternyata sosok nenek gunung tersenyum menyapaku. Lelaki saparuh baya, berkumis tipis tanpa jenggot. Melihat pakaiannya seperti pendekar badui. Menggunakan ikat kepala, berbaju hitam dengan dada terbuka. Beliau manusia harimau penghuni lembah di seberang hutan yang sudah di tebang ini. Ketika kutanya namanya barulah dia kaget. Ia memperkenalkan diri jika panggilannya Datuk Sliman. Dia adalah kepala suku di lembah Bermani sebelah hutan yang ditujuknya. Selanjutnya aku juga memperkenalkan diri. Kusampaikan jika aku berasal dari lereng gunung Dempu.

“Iya, sejak kamu masuk ke pedalaman Tabalagan ini aku sudah mencium aromamu, jika kamu bukan darah Bengkulu. Makanya aku menemuimu. Kamu adalah tamu kami Selasih, meski hanya sekadar lewat. Jika berkenan singgalah sejenak ke dusun kami.” Ujarnya sopan. Aku langsung minta maaf pada beliau takut kehadiranku dan kawan-kawan mengganggunya. Beliau tersenyum berwibawa.

“Alam kita berbeda. Bergantung kita menyikapinya. Kalau kami tidak merasa terganggu dengan kehadiran kalian. Namun ketika di antara yang lewat ada aroma bangsa kami, makanya aku menghadangmu di sini.” Lanjutnya lagi. Dari beliau aku tahu jika mereka tinggal di sini sudah ratusan tahun lamanya. Namun sekarang mereka semakin terdesak dengan hadirnya manusia membuka lahan perkebunan dan menebang rimba kampung mereka. Tak sedikit rumah mereka hancur, air mereka tercemar, lading-ladang dan sawah mereka pun rusak di bakar. Banyak manusia yang tidak sopan dan lain sebagainya. Aku hanya mendengarkan dengan perasaan bersalah. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Kehidupan mereka semakin terdesak. Dan ini karena ulah manusia. Bangsaku!

“Masihkah ada hutan lindung tempat para nenek gunung bersemayam, Datuk? Demi menghindari ambisi bangsaku yang membuka hutan menjadi lahan pertanian karet dan lain-lain?” Tanyaku.

“Hutan rimba itu, itu, dan itu, mungkin usianya hanya tinggal beberapa tahun lagi. Konon akan dihabisi pula menjadi kebun karet dan sawit,” Datuk Sliman menunjuk beberapa arah hutan dan bukit kecil di sekitar kami. Aku miris mendengarnya. Kutatap matanya dalam-dalam. Lalu akan kemana mereka? Akan pindah kemana? Nyaris dimana-mana hutan disulap menjadi kebun karet dan sawit. Aku mengusap wajah resah.

“Lalu akan pindah ke mana bangsa kalian Datuk?” Ujarku tak mampu penahan risau. Sejenak aku menunggu Datuk Sliman tak menjawab. Mungkin beliau juga belum tahu akan pindah ke mana. Apakah di hamparan Bengkulu ini masih ada hutan yang bisa dijadikan tempat mereka berlindung, bersemayam dengan nyaman tanpa campur tangan manusia? Lalu harimau-harimau Sumatera itu akan pergi kemana? Tidak ada lagi hutan tempat mereka berlindung dengan aman, dan mencari mangsa. Ketika mereka masuk wilayah pemukiman atau ladang dan kebun bangsa manusia, tidak sedikit mereka diburu dan dianggap hama membahayakan. Nyaris aku menangis membayangkan hal ini. Aku bisa rasakan kesedihan mereka. Pantas jika ada di antara mereka ngamuk dan marah. Karena tingkat kesabarana semua mahkluk sama. Saat merasa terancam apapum dilakukan tanpa berpikir akibatnya.

“Datuk, semoga Datuk segera menemukan wilayah yang aman dan damai. Semoga masih ada hamparan bukit barisan ini yang masih perawan jauh dari jangkauan tangan jahat manusia. Pindahlah ke gunung-gunung atau bukit, Datuk.” Ujarku dengan suara bergetar. Datuk Sliman menggangguk pelan. Aku tahu, sebagai kepala suku nasib rakyatnya adalah tanggungjawabnya. Beliau tidak ingin salah langkah sehingga membuat rakyatnya menderita.

“Kamu benar Selasih. Iya, aku akan menemui Datuk Ratu Agung terlebih dahulu. Beliau penghulu tanah dataran ini. Aku akan minta petunjuk beliau.” Ujarnya.

Selanjutnya aku menjelaskan tujuan kami sampai ke sini. Dari beliau aku mengetahui jika hendak menuju sungai Tabalagan masih cukup jauh. Mungkin ada sekitar tiga hektar kebun karet lagi, Artinya sekitar tiga kilo meter lagi kami berjalan kaki. Lumayan jauh. Lalu nanti kami akan bertemu dengan sabana, setelah itu baru bertemu dengan sungai yang dimaksud. Selanjutnya beliau berpesan hati-hati Karena wilayah yang kami jadikan tujuan di seberang sungai ada hutan kecil lalu semakin ke dalam baru bertemu dengan rimba yang masih perawan. Belum ada manusia yang masuk ke dalam sana. Paling pemburu yang baru sampai di perbatasan sungai. Ujarnya menjelaskan. Aku sangat berterimakasih dengan penjelasannya. Selanjutnya kami berpisah.

“Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi Selasih.” Datuk Sliman melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan perasaan haru. Obrolan sekilas dengan beliau membuat benakku berpikir sedikit berat. Sayang aku bukan pemberi kebijakan. Aku juga tidak mempunyai kemampuan apa-apa untuk menghalangi keserakahan bangsaku. Bangsa manusia. Aku juga tak mampu menghalangi siapapun ketika bangsaku berambisi mengeruk hasil bumi atau menebang hutan sesuaknya dengan dalih meningkatakan ekonomi masyarakat. Omong kosong!

“Dek, kamu ngobrol dengan siapa? Bicara sendiri dari tadi?” Budi menoleh padaku. Aku tersenyum. Baru kusadari kalau aku tidak sendiri. Ada Budiansyah kawanku berjalan di depanku. Kujawab saja jika aku sedang menghafal dialog.

Bajuku mulai basah dengan peluh. Kuayunkan langkah dengan santai. Aku melihat air minum persedianku tinggal beberapa teguk lagi.

“Ayuk..” Seorang anak kecil menghadangku sambil membawa kendi air dari labu.

“Isilah botol minuman ayuk. Aku disuruh Datuk Sliman mengantarkan ini untuk mengisi botol minuman Ayuk.” Ujarnya ramah. Aku tersenyum memandangnya. Gadis kecil ini sangat manis. Rambutnya panjang dikepang dua. Pipinya berkulit putih mulus. Alisnya melengkung indah. Bibirnya halus merah muda.

“Alhamdulilah, adik kecil, Siapa namamu cantik?” Aku mengelus wajahnya.

“Putri Delima,” ujarnya masih tersenyum. Aku tak tahan melihatnya. Hidungku langsung menempel di pipinya. Gadis kecil ini menggemaskan sekali. Putri Delima menuangkan air di dalam kendi labunya ke dalam botol minumanku. Aku coba meminumnya seteguk ketika botolku diisinya penuh. Masya Allah, segar dan dingin ketika melalui tenggorokanku.

“Terimakasih adik cantik. Sampaikan terimakasih pada Datuk Sliman. Kamu siapanya Datuk?” Tanyaku sedikit menunduk.

“Aku kemenakannya, Yuk.” Ujarnya sopan. Tak lama dia mohon diri. Aku menatapnya dengan senyum bahagia. Pelan-pelan dia lenyap dari pandanganku. Aku masih terbayang-bayang dengan wajah polos dan manisnya.

“Hoii…senyum-senyum sendiri! Ngucap! Ayoooo…dari tadi ngapain si Dek! Bikin aku takut aja. Kita di hutan…di hutan Dek. Jangan banyak melamun. Nanti kamu tersesat di sambar wak Sumai!” Ujar Budiansya menarik tangaku. Nyaris botol yang kupegang terlepas. Aku tertawa mendengarnya menyebut wak Sumai. Akhirnya aku berjalan sejajar dengannya. Berharap tidak ada yang menyapaku lagi di jalan seperti tadi. Kasihan, lama-lama Budiansya yang akan takut benaran.

Dari tempat yang rendah, aku melihat kawan-kawanku berjalan pelan beriringan meniti bukit kecil yang lantang. Sesekali mereka melegahkan pinggang sambil menghadap ke belakang. Aku tahu mereka sudah kelelahan. Sementara sabana yang disebutkan Datuk Sliman masih jauh. Budiansyah kali ini berceloteh tentang masa kecilnya sering ikut orang tuanya masuk hutan dan membantu mereka di kebun. Lalu bertemu dengan segala macam hewan. Mandi di sungai dan lain sebagainya. Intinya dia mengatakan jika dia sudah sangat biasa di alam terbuka dan tidak ada rasa takut sama sekali. Aku hanya mengangguk. Sengaja aku tidak mau banyak bicara agar tidak mudah lelah. Bagaimanapun melakukan perjalan jauh seperti ini kita harus bisa mengatur pernafasan sedemikian rupa agar jantung kita tetap stabil, darah pun juga demikian.

Semakin petang matahari semakin terik. Punggung serasa di bakar. Beberapa kali aku meneguk air yang diberikan Putri Delima. Melihat aku minum rupanya Budiansya juga haus.

“Dek, airmu masih banyak. Aku minta ya,” Budianyah menyodorkan botol minumannya sambil ngos-ngosan. Kutuang separuh airku ke botolnya. Sambil mengingatkannya agar jangan banyak bicara karena perjalanan masih jauh.

“Airmu segar sekali. Seperti baru ke luar dari kulkas.” Ujarnya heran. Aku hanya mengangkat alis tanpa penjelasan. Yang penting Budiansyah sembuh hausnya.

Melihat jarak antara kami berdua dengan kawan-kawan sudah terlalu jauh, aku segera mengamit Budiansyah agar mempercepat langkahnya. Dari sekian jam berjalan, yang paling banyak kutemui hutan yang baru di tebang. Kadang kami harus melompati kayu yang melintang ke jalan, Kadang harus menunduk. Kayu-kayu yang berdiameter dua kali lingakaran tangan orang dewasa berserakan di mana-mana. Sebagian lagi ada yang dibakar. Asap membumbung dan suara gemeletak kayu dan ranting yang terbakar mengisi ruang jauh dari pemukiman. Beberapa makhluk asral kulihat menari-nari di sisi api. Entah apa yang mereka lakukan. Aku berusaha tidak melihat mereka. Aku terus berjalan meniti jalan, tanah liat yang berkapur. Suara gemeletak api membakar kayu semakin lama semakin samar. Angin berhembus sangat pelan.

***

Sejenak aku berhenti di puncak bukit kecil yang gundul. Kulempar pandang ke selatan, ada empat titik mengepulkan asap. Langit nampak berawan. Hutan dibakar. Ke utara, yang nampak hanya hutan-hutan kecil diselingi dataran semak rendah. Kemungkinan di area itulah sabana yang disebut Datuk Sliman. Ke barat, seperti yang sudah kulihat tadi ada titik api.

Ternyata tidak hanya satu, tapi ada tiga titik asap membumbung. Ke timur, jauh sekali tanah datar hutannya sudah gundul sejauh mata memandang. Aku tidak bisa membohongi batinku. Sedih! Apalagi ketika mendengar tangis kecil makhluk-makhluk tak kasat mata maupun kasat mata. Pohon-pohon menangis, tanah menangis, rumput menangis. Akhirnya kututup inderaku. Aku tak sanggup mendegarnya meski tangis itu sembari zikir. Terdengar menyayat.

Aku menancapkan tongkat kecil yang kubawa sejak dalam perjalanan ke tanah. Aku memandang tanah di hadapanku dengan perasaan miris. Tanah-tanah yang terbuka lebar seperti lapangan. Luas sebatas mata memandang. Ketika hujan, air akan menggerus tanah-tanah ini membawa humus masuk ke sungai-sungai, bahkan kayu-kayu turut dihanyutkan. Lalu sungai menjadi keruh dan dangkal.

“Ya Allah….selamatkam bumi dan seisinya Yaa Rabb…lindungi kami Yaa Rabb. Kemana makhluk-makhluk-Mu berlindung, tanpa campur tanganmu Ya Allah, kami tidak ada apa-apanya.” Aku membatin. Ada kekhawatiran sangat menggetar-getar dadaku. Sejenak terlihat olehku ketika lahan ini dibabas pimpas dengan alat yang menggaung memekakkan teliga. Semua penghuni hutan kaget dan panik. Aku melihat kekacauan yang luar biasa. Harimau sumatera menjadi liar. Mereka bergegas minggir terdesak ke dalam hutan yang kelak akan berubah menjadi perkebunan sawit seperti yang disampaikan Datuk Sliman. Lalu sebagian manusia harimau harus rela seperti mendapatkan bencana karena hunian mereka hancur. Tak sedikit secara gaib mereka ngamuk. Beberapa penebang hutan ada yang sakit bahkan ada yang meninggal di tempat. Tidak sedikit pula makhluk asral yang terluka ditimpa kayu, terinjak para pekerja. Aku ingin menjerit saat itu. Tidak ada kata lain, selain kasihan dan sedih.

“Lanjutkan perjalananmu, Selasih. Semua sudah terjadi. Doakan saja semua akan baik-baik saja, tidak terjadi lagi gesekan-gesekan antara bangsa manusia dan bangsa kami dan makhluk asral lainnya. Sama seperti kalian, sebagian besar bangsa kami juga ingin hidup damai. Bisa beraktivitas seperti kalian, bercocok tanam, mencari nafkah, berbudaya dan lain-lain.” Suara Datuk Sliman lembut. Ada energi yang sengaja beliau tahan ketika menyampaikan pesan itu. Aku membatin mengucapkan terimakasih pada Dutuk Sliman. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali. Menuruni bukit kecil yang cukup panjang. Langkah terasa lebih cepat karena menurun. Semak belukar berumput kecil masih mengeluarkan aroma lembab hutan yang terbakar.

Bunga ilalang mengaguk-angguk pelan. Sudah berapa kilometer perjalanan, nyaris aku tidak mendengar suara satwa. Hanya beberapa unggas, burung-burung kecil yang melintas. Alam terasa sepi. Sepi sekali.

“Sepi sekali ya Bud. Biasanya jika masuk hutan, kita akan mendengar unggas, atau serangga serupa sesiagh (tonggeret) menjerit dengan suara merdu mereka mengisi alam semesta. Tapi berjam-jam kita berjalan, aku tidak mendengar suara makhluk-makhluk kecil itu.” Ujarku seadanya. Budiansyah mengangguk sambil menahan nafasnya yang sedikit memburu. Dari kejauhan aku mendengar teman-temanku berteriak, nampaknya meluapkan kegembiraan karena sudah dekat dengan sungai. Suara deru air memang sudah terdengar dari jarak jauh. Aku khawatir sebenarnya dengan tingkah mereka. Sebagaimana masuk ke rumah orang, minimal minta izin meski kita tidak bisa melihat ada kehidupan atau tidak di sana. Batu, air, pohon, rumput, semuanya makhluk hidup mereka paham dan tahu kita menyapanya atau tidak. Jangan-jangan kawan-kawanku tidak menyadari dan melakukannya. Aku jadi risau sediri.

Di hadapanku sudah terbentang padang ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa. Herannya jalan setapak menuju sungai terlihat licin dan bersih. Padahal di sekitar sini tidak ada pondok yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Selama perjalanan berkilo-kilo aku hanya melihat satu pondok saja. Itu pun hanya dihuni seorang perempuan yang memasakan para perkerja penebang hutan. Apalagi di sabana ini? Sejauh mata memandang rumpun ilalang. Hanya beberapa pohon kecil menyelingi berjarak jauh-jauh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia sama sekali. Daun ilalang sebagian besar menjuntai menutupi jalan setapak. Sesekali harus disibak. Inilah yang dimaksud datuk Sliman padang ilalang yang luas itu. Angin bertiup pelan. Rumpun ilalang nampak membentuk gelombang memunculkan suara mendesir seperti pasir kering ketika diterpa angin. Budiansya sedikit berlari meninggalkanku. Dia pikir mendengar gemuruh air sudah sangat dekat dengan sungai. Padahal masih sekitar satu kilo meter lagi baru sampai. Kubiarkan mereka berjalan lebih dulu bahkan ada yang berlari ingin saling mendahului.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Namun masih terasa panas menyengat. Tiba-tiba turun gerimis lembut dan sangat rapat. Hmmm.. suasana seperti inilah yang paling disukai oleh makhluk asral terutama bangsa nenek gunung. Aku merapatkan topi gunung yang kupakai. Kuhirup udara dalam-dalam. Aroma ilalang yang khas membuat dadaku agak lapang. Aku terpukau ketika melihat burung bubut melintas terbang rendah, lalu hinggap di pohon kecil di tengah semak ilalang. Burung bertubuh agak besar, punggungnya berwarna merah bata tua, dan sayap hitam itu nampak gagah ketika mengepakkan sayapnya. Aku jadi ingat Bapak. Kata Bapak, burung bubut itu burung yang hebat dalam pengobatan mata. Selanjutnya burung itu sangat hati-hati ketika membuat sarang. Satu hal yang unik pada burung ini, sama halnya dengan burung pintau, dia akan membuat sarang jikabdi bawahnya ada sarang ular, atau ada sarang lebah atau jenis seranga yang berbisa lainnya. Lalu yang berkaitan dengan pengobat mata jika anaknya kita pecahkan matanya hingga buta, maka induknya akan mengobatinya dengan daun-daun tertentu. Daun-daun itu dilumatnya menggunakan parunya kemudian dibalurkannya ke mata anaknya. Tidak berapa lama mata si anak akan sembuh dan bisa melihat kembali. Hingga sekarang belum terpecahkan daun-daun apa saja yang dijadikan induk burung bubut yang berkhasiat untuk pengobatan mata itu. Lama aku menatapnya dari jarak jauh. Suaranya mirip seperti orang mendekur berulang-ulang. Aku iseng ingin tahu apa yang dikatakannya.

Masya Allah! Ternyata dia semacam memberi pengumuman pada alam, khususnya pada makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya mengabarkan hati-hati, waspada kalian, karena ada manusia dekat kita. Rupanya tingkat kecurigaan mereka sangat tinggi. Matanya mengawasi gerak-gerikku. Dan makhluk-makhluk kecil yang hidup di sekitar sana rupanya riuh redam gelisah. Mereka berusaha menyelamatkan diri atau siap-siap dengan senjata mereka untuk melindungi diri. Sang ulat sudah mengeluarkan cairan, ada yang mengembangkan bulunya, ada yang mengeratkan pintu kepompongnya. Ada yang berlari masuk ke dalam sarangnya.

“Aku justru mengagumi keindahanmu, induk Bubut. Tak ada niatku untuk mengganggu kalian. Aku cinta dengan kalian.” Ujarku. Usai berbicara, akhirnya kututup inderaku. Aku tidak sanggup mendengar suara-suara mereka. Ramai sekali. Aku jadi ingat kakek Njajau yang memberikan kemampuan seperti ini.

Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali. Tirai gerimis seperti cahaya emas ketika diterpa matahari. Di timur pelangi melengkung serasa bisa digapai. Indah sekali. Di tengah alam terbuka, padang ilalang, gerimis, sementara matahari masih terang benderang membentuk bayangan tubuhku menjadi kurus tinggi. Suasana alam ini memberikan sensasi yang luar biasa. Banyak makhluk asral tiba-tiba ke luar mengekspresikan kegembiraan mereka. Tak berselang lama, aku mencium aroma nenek gunung. Benar saja, di hadapanku dari balik rumpun ilalang yang rimbun muncul seorang perempuan yang agak sepuh, berbaju kebaya jawa warna hijau terang, tengkuluk warna kuning terikat erat di kepalanya, memakai kain sarung batik, bersetagen warna putih. Di belakangnya tergantung beronang (kinjagh) yang masih kosong. Bibirnya nampak merah karena beliau sedang makan sirih. Ketika berhadapan denganku beliau tersenyum ramah. Karena jalan setapak ini sempit, otomatis aku berhenti berhadapan dengannya.

“Assalamualikum, Nek. Mau kemana?” Tanyaku. Aku meraih tangannya dan menciumnya. Entahlah aku langsung menaruh simpati padanya. Beliau manusia harimau ke tiga yang kutemui hari ini selain Datuk Sliman dan Putri Delima.

“Nenek mau mencari kayu, Cu” Alasannya. Padahal mana mungkin mencari kayu di tengah padang sabana. Kecuali beliau pergi jauh ke hutan seberang sungai, atau jauh ke perbatasan sabana di belakangku tempat orang-orang menebang hutan. Aku tersenyum mendengar alasannya. Selanjutnya beliau mengatakan jika beliau tinggal di hulu. Aku tidak tahu pasti di hulu yang beliau maksud hulu sabana atau hulu sungai. Aku senang sekali bertemu beliau. Kutatap beliau dalam-dalam. Aku seperti melihat sosok nenek Kam di hadapanku. Kami ngobrol sambil berdiri karena memang tidak ada tempat yang bisa dijadikan untuk tempat duduk dan berteduh kecuali duduk di jalan atau bersandar ke rumpun ilalang. Gerimis tidak terlalu rapat lagi.

“Kalian mau kemana, Cu?” Tanyanya sambil membenahi tembakau di bibirnya. Aroma sirih. Aroma nenek Kam. Lalu beliau mengatur posisi untuk duduk di pinggir jalan setapak bersandar di rumpun ilalang. Persis seperti rencana yang ada dalam benakku. Akhirnya aku juga ikut duduk sembari menyibakan rumpun ilalang. Suasana agak terang. Kami bisa bertatapan dengan leluasa. Aku duduk agak mepet di hadapannya.

“Kamu ini anak manja ya..” Ujarnya mengelus tanganku. Aku tersenyum menatapnya.

“Maafkan aku Nek. Melihat nenek aku jadi rindu dengan nenekku. Cuma nenekku lebih sepuh dari Nenek.” Ujarku.

“Nenek Kam kan?” Sambutnya. Aku kaget. Beliau mengenal nenek Kam? Selanjutnya beliau menjelaskan beberapa kali dia pernah melihat nenek Kam di Bukit Barisan bersama bangsanya.

“Saya bersyukur sekali bisa berjumpa dengan cucu manusia damai itu di sini. Siapa namamu, Cu?” Ujarnya lagi.

“Aku Selasih, Nek. Putri Selasih.” Ujarku. Lalu beliau berguman sambil mengatakan nama yang indah. Beliau memperkenalkan dirinya nenek Halama. Selanjutnya kami terlibat obrolan yang membuat aku terkesima. Beliau bertanya rencananya kami menginap di seberang sungai itu berapa lama? Kujelaskan bahwa besok kami pulang usai mencari serangga, daun-daunan, dan jamur sesuai tujuan ekspedisi. Lalu beliau mengatakan, jika malam nanti kami mendengar suara kucing di hilir seberang sungai, lalu mendengar banyak orang berbicara seperti pasar atau di perkampungan, kawan-kawanku tidak usah heran dan takut. Sebab di hilir memang ada kehidupan. Di sana ada perkampungan manusia harimau. Yang penting hulu sungai jangan dikotori. Bersikaplah sopan santun. Jangan sampai kehadiran kalian dianggap mengganggu ketentraman mereka. Demikian pesannya. Aku mengangguk mengerti. Sejak tadi aku memang telah mendengar ada ativitas di sekitar sini. Namun karena gemuruh sungai aku belum terpikir untuk mengetahui lebih jauh di mana letak keramaian tersebut. Selanjutnya aku katakan, nanti aku akan datangi kepala sukunya untuk mohon izin. Nenek Halama mengangguk setuju.

Aku mengeluarkan roti dan air minum di hadapan nenek Halama. Kutawari nenek untuk menyicipi roti bawaanku. Beliau mengangguk sambil menunjuk mulutnya masih mengunyah sirih.

“Nek, selain perkampungan di lembah Burlian tempat Datuk Sliman, lalu di kampung seberang yang nenek tunjukan itu, dimana lagi kampung hunian para puyang?” Tanyaku lagi. Puyang yang dimaksud di sini adalah sebutan untuk harimau benaran dan manusia harimau. Jika di Besemah menyebut kaum mereka dengan sebutan nenek gunung, jika di sini sebutannya puyang. Sama halnya di Sumatera Barat disebut inyiak, ada juga sebagian daerah menyebutnya datuk. Nenek Halama menceritakan, jauh di dalam rimba bukit barisan ini masih banyak ditemui kampung-kampung hunian para puyang. Baik puyang jejadian atau manusia harimau, maupun harimau benaran berupa hewan. Mereka hidup bersuku-suku, dan menguasai wilayah pemerintahan sesuai dengan suku masing-masing. Aku mendengarkan cerita si nenek dengan serius. Bertemu dengan beliau buatku sungguh mengasyikan.

“Nek. Kalau bukit Kabu di mana?” Tanyaku lagi.

“Kamu pasti mau bertanya soal tragedi di sekitar bukit itu bukan?” Tanyanya lagi. Aku menganguk cepat. Sebelumnya memang aku pernah mendengar jika di sekitar bukit itu pernah terjadi tragedi antara bangsa manusia dengan bangsa manusia jejadian dan harimau benaran. Mulailah nenek Halama bertutur. Katanya jauh sebelum aku lahir, ada peristiwa besar terjadi di sana. Manusia belum seramai sekarang. Bukit Kabu adalah kampung hunian bangsa kami. Sementara di lembah ada kampung-kampung kecil yang dihuni oleh bangsa kamu, Selasih. Bangsa manusia.” Ujar nenek Halama. Matanya jauh menerawang seperti mengenang suatu masa yang suram. Aku menunggu beliau melanjutkan ceritanya.

“Bertahun-tahun kami hidup berdampingan dengan manusia tidak ada gesekan sama sekali. Entah bagaimana, hewan ternak penduduk dusun seringkali naik sampai ke bukit. Dan dikira bangsa kami itu hewan buruan. Melihat ternak mereka banyak yang tidak pulang, bangsa manusia yakin ternak mereka dimangsa oleh harimau. Suatu hari, salah satu penduduk merasa dirinya jawarah, dibuatnyalah jebakan untuk menjerat harimau. Dipancingnyalah jebakan itu dengan seekor kerbau di kaki bukit. Malam itu, salah satu anak bujang bangsa kami, mencium bau mangsa buruan dan dilihatnya ada kerbau. Munculah naluri berburunya, diterkamnyalah kerbau tersebut. Dan terjebak. Harimau bujang bangsa kami tersebut di tembak mati oleh manusia. Selanjutnya disembelihnya. Lalu kepala harimau itu digantungnya di pinggir jalan semacam pos persinggahan hendak masuk dusun. Dijadikannya semacam kentongan yang berfungsi sebagai petanda bahaya, untuk mengumpulkan masyarakat dusun, dan lain sebagainya.” Aku melihat ada bening mengambang di mata nenek Halama. Apa hubungannya peristiwa itu dengan nenek Halama. Mengapa beliau terlihat begitu berat menahan rasa. Aku tak bisa berkata apa-apa. Ingin bertanya juga aku bingung hendak bertanya apa.

“Melihat kepala anak bujang dipukul dijadikan kentongan oleh bangsa manusia, memunculkan kemarahan bangsa kami. Ini adalah hinaan. Mereka menantang kami. Bangsa kami tidak bisa menerima perlakuan seperti itu. Maka berkumpullah puluhan bangsa kami di puncak bukit Kabu bersama harimau sumatera. Rapat dilakukan di sana. Dan bangsa kami menyatakan perang. Akhirnya munculah malapetaka itu. Amarah bangsa kami tidak saja memangsa hewan ternak mereka, tetapi bangsa manusia pun banyak yang diserang. Siang malam bangsa kami mengintai penduduk dusun. Sudah tak terhitung berapa jumlah ternak yang jadi korban, dan berapa manusia yang terluka dan mati. Kami memang ingin balas dendam. Hingga akhirnya dusun Semidang ditinggalkan penduduknya dan menjadi dusun mati.” Ujar nenek Halama lagi. Aku hanya dapat menatap nenek Halama dengan perasaan ibah.

“Kau tahu siapa anak bujang yang mati dan kepalanya dijadikan kentongan itu, Selasih. Dia adalah saudara lelaki ibuku satu-satunya. Anak kesayangan kakekku, penyambung jurai leluhur kami. Dia pamanku satu-satunya.” Sambung nenek Halama kembali. Aku hanya dapat merasakan perihnya cerita nenek Halama. Lagi-lagi bangsa manusia yang membuat ulah. Memang bangsa manusia ini kadang lebih jahat dan kejam melebihi binatang. Tenggorokanku terasa tercekat. Aku dapat merasakan luka mereka.

“Artinya kejadian itu belum terlalu lama” Aku membatin.

“Tahun 1970-an.” Nenek Halaman menjawab pikiranku.

“Dedek!! Deeeeeek!!” Suara Budiansyah memanggil-manggilku. Rupanya dia kembali lagi ke belakang melihat aku tidak muncul. Aku langsung berdiri dan melambaikan tangan padanya. Budi berlari mendekat. Aku kenalkan nenek Halama padanya. Nenek Halama menerima uluran tangan Budiansyah. Aku tersenyum sembari mengedipkan mata pada nenek Halama. Selanjutnya beliau mohon diri. Aku berterimakasih pada beliau telah berkenan mengingatkan aku dan bercerita banyak hal. Sungguh aku masih menyimpan haru. Padahal aku hanya ingin tahu apakah bukit Kabu itu masih menjadi kampung hunian nenek gunung hingga kini. Mendengar cerita beliau, pahamlah aku jika hingga kini di bukit itu masih bersemayam nenek gunung, sang manusia harimau dan harimau sumatera.

Baru beberapa langkah, aku menoleh. Nenek Halama sudah tidak ada. Beliau menghilang. Aku beriringan bersama Budiansyah.

“Kirain kemana kamu, Dek, aku dah khawatir kalau kamu dimakan binatang buas. Semua menanyakan kamu. Eh, tidak tahunya asyik duduk di bawah rumpun ilalang dengan nenek cantik.” Ujar Budiansyah lagi. Aku hanya tersenyum sembari minta maaf. Budiansya tidak tahu kalau nenek Halamah adalah manusia harimau.

Ketika sampai di pinggir sungai, aku melihat kawan-kawanku berkejar-kejaran, sambil teriak-teriak gembira di sungai. Mereka mandi masal saling siram dan sebagainya. Beberapa mata menatap benci dengan mereka.

“Assalamualaikum Warahamatullahi Wabarahkatu. Mohon maaf sanak jika kehadiran kami sangat menggangu ketentraman kalian. Maafkan jika kawan-kawanku tidak sopan. Mereka tidak menyadari jika wilayah ini ada penguasanya. Mereka tidak bisa melihat bangsa kalian.” Ujarku pada seorang yang berdiri tegap di atas batu dengan mata nanar. Nampaknya dia adalah salah satu penjaga atau penduduk di wilayah ini.

“Suruh kawan-kawanmu itu mendarat. Bangsa kami hendak mengambil wudu, tapi ulu sungai sudah kalian cemari. Kencing dan buang air besar sembarangan.” Ujarnya dengan mata merah. Aku kaget. Buang air sembarangan yang bagaimana maksudnya? Aku kembali minta maaf lalu berjanji menyuruh kawanku untuk naik ke darat berhenti bermain seperti orang kalap.

Akhirnya aku berteriak-teriak menyuruh kawan-kawanku berhenti. Tapi masih saja di antara mereka bandel dan tidak mengindahkan permintaanku hingga membuat aku kesal. Iseng kuambil ranting, lalu kusuruh ranting itu berjalan ke hulu seperti ular.

“Lihat itu! Kalau kalian tidak mau naik, ular itu akan menggigit kalian!” Ujarku. Akhirnya baik laki-laki maupun perempuan melompat ke darat sampai terpeleset jatuh saking takutnya ketika melihat ular meliuk-liuk di air berenang ke hulu, ke arah mereka mandi dan bercanda. Kulihat rata-rata wajah mereka pucat. Hanya dengan cara ini untuk menghentikan mereka. Di darat kembali mereka ribut membicarakah ular yang datang tiba-tiba. Lalu berspekulasi kalau wilayah ini pasti banyak ularnya dan lain sebagainya.

Aku kembali menghadap lelaki yang berdiri di atas batu. Wajahnya tidak merah padam seperti tadi.

“Maafkan kawan-kawan saya, Paman. Saya akan ingatkan mereka. Mewakili kawan-kawan sekali lagi kami mohon maaf sekaligus mohon izin untuk bermalam di sini.” Ujarku mengatupkan tangan. Lelaki gagah itu mulai tersenyum.

“Hanya kamu yang memiliki etika dan paham tata cara masuk ke wilayah orang. Silakan. Siapa namamu anak gadis?” Sambutnya mulai ramah.

“Nama saya Selasih, Paman. Tadi saya bertemu nenek Halama. Beliau juga menyarankan agar aku meminta izin dengan sesepuh di sini. Tapi berhubung aku baru sampai dan hendak membersihkan diri terlebih dahulu, rencanaku setelah usai salat magrib, aku akan menemui sesepuh di sini, Paman. Bolehkah saya membersihkan diri di sungai ini Paman? Bagaimana caranya agar tidak mengotori hilir?” Tanyaku penasaran.

“Silakan Selasih. Silakan mandi dan buang air kecil maupun besar. Tapi jangan ke bagian tengah sungai bagian dalam. Cukup kalian di pinggirnya saja. Ingat, jangan pula telanjang. Sebab air yang lajunya kencang itulah yang kami jadikan sumber air bersih.” Ujarnya lagi. Pahamlah aku mengapa dia marah dengan kawan-kawanku yang seperti orang kalap ketika bermain-main di tengah sungai. Bahkan ada yang buang air besar dengan sengaja di tengah-tengah sungai agar kotorannya kena dan terlihat oleh kawan-kawan yang mandi di hilir. Lalu teriak-teriak, menjerit sana-sini. Memang tidak punya etika mesti main-main. Akhirnya aku pamit buru-buru masuk ke tenda, mengambil baju bersih lalu pergi ke pinggir sungai. Sebagian teman-teman sudah siap-siap untuk salat magrib berjamaah. Matahari sudah mulai tenggelam. Suasana sudah mulai remang-remang. Lampu badai sudah dinyalakan. Paman yang kulihat tadi sudah tidak ada di sungai. Aku segera mandi menggunakan gayung seperti madi di kamar mandi.

Usai salat, aku tidak langsung bangkit. Aku duduk timpuh posisi berzikir. Aku berencana hendak pergi ke kampung hunian nenek gunung yang tidak seberapa jauh dari tempat kami memasang tenda. Udara sudah terasa dingin. Kulihat kawan-kawan ada yang sudah membuat api unggun untuk penerangan sekaligus untuk menghangatkan badan. Aroma lembab hutan mulai menyengat. Sebagian lagi ada yang sudah bernyanyi-nyayi gembira. Yang perempuan ada yang bertugas menyiapkan santap malam. Baru saja aku hendak fokus untuk berkunjung ke kampung huniaan nenek gunung, tiba-tiba Budiansyah melompat dan menggeram. Aku terkesiap dan menoleh. Aku melihat ada tubuh harimau masuk ke badan Budiansyah lalu menyerang Ibu Zak, mecakar dada beliau. Ada goresan panjang dan berdarah. Melihat dia menyerang dengan membabai buta, kuhantam dia dari jauh dan terjerengkang. Mata Budiansya nanar kemana-mana. Aku langsung menghampirinya dan menarik makhluk itu ke luar dari tubuh Bundiansyah. Budiansyah terkapar tak berdaya, lalu dibopong kawan-kawannya ke dalam tenda. Ibu Zak kulihat sedang mengobati dirinya sendiri. Ada cahaya kuning ke luar dari tubuhnya. Aku mencoba melindunginya agar tidak kena serangan lagi.

Melihat suasana mencekam, untuk mengusir rasa takut kawan-kawanku bertakbir semua mengucapkan “Allahu Akbar.” Sementara yang perempuan saling peluk di dalam tenda tidak berani bergerak sedikitpun.

Ketika semua sedang riuh bertakbir, tiba-tiba sosok yang kukeluarkan membentak marah.

“Diam! Diaaaaam!!! Diam dulu kalian! Aku Macan Kumbang, putra asli Bengkulu. Kalian tahu apa kesalahan kalian?” Ujarnya. Aku hanya duduk diam di belakang. Kuperhatikan dia. Hanya aku yang dapat melihat sosoknya, Kawan-kawanku yang lain hanya dapat mendengar suaranya. Lelaki gagah, brewokan, usianya diperkirakan 35 tahunan usia manusia, berpakaian serba hitam, ikat kepalanya ujungnya menjuntai ke samping. Celananya hanya sampai sebatas betis. Kulihat betisnya kekar, berisi dan keras. Lengannya berotot. Matanya seperti mata elang.

“Kalian tidak sopan! Masuk ke kampung kami sesuka kalian. Kampung kami jadi kotor. Katanya kalian orang yang berpendidikan. Jangankan meminta izin, sekadar mengucapkan salam saja tidak” Suaranya menggelegar. Aku biarkan dia melampiaskan amarahnya. Sementara di belakangnya telah berdiri beberapa orang dengan senjata lengkap. Nampaknya mereka adalah penjaga kampung. Terlihat dari wajah sangar mereka.

“Maafkan kami, Datuk Macan Kumbang. Kami akui kesalahan kami. Kami masuk ke wilayah ini tanpa minta izin terlebih dahulu. Mohon dimaklumi ketidaktahuan kami. Izinkan kami bermalam di sini untuk malam ini.” Ujar Ibu Zak mewakili. Kulihat Macan Kumbang manggut-manggut mendengar permintaan maaf Ibu Zak.

“Kami tidak ingin mendengar kalian berisik, apalagi mengotori air sungai. Jangan buang sampah sembarangan.” Ujarnya lagi. Tak lama hening kembali. Budiansyah sudah siuman. Selanjutnya aku menghampirinya. Matanya menatapku tajam. Namun tidak nanar seperti tadi.

“Assalamualaikum, paman Macan Kumbang. Kenalkan Aku Selasih dari lereng gunung Dempu. Sekali lagi mewakili kawan-kawanku, kami mohon maaf karena kami tidak sopan dan tak beradat. Usai salat magrib, rencana aku mau nemui sesepuh dusun ini, belum sempat aku berangkat, Paman sudah datang” Ujarku sembari menunduk.

“Selamat datang di kampung kami Selasih. Iya, aku sudah tahu kehadiranmu. Aku marah pada kawan-kawanmu saja. Mari kita bincang-bincang di dusun saja. Sungguh tidak sopan menerima tamu sambil berdiri seperti ini.” Ujarnya mengajakku berjalan masuk ke kampungnya.

Menerima ajakannya, aku langsung bangkit. Dalam sekejap aku sudah berada di pinggir sebuah dusun yang ramai. Banyak orang simpang siur melakukan berbagai ativitas. Mataku terpukau melihat rumah pangung bubungan lima dengan tiang-tang penyanggah yang kuat. Semuanya terbuat dari kayu. Tangganya lebar terletak di tengah-tengah langsung menuju berendo (beranda). Di berendo ada kursi kayu berlapis rotan yang bentuknya melengkung, memiliki sandaran ke belakang membuat posisi yang duduk menjadi nyaman dan santai. Meja bulat di tengah-tengahnya, berseprei rajutan hasil kerja tangan terampil berwarna putih. Semuanya terlihat klasik. Apalagi atap sirap berlapis ijuk, membuat perkampungan ini semakin indah. Di atas jendela dan pintu rumah ada lubang angin yang diukir sedemikian rupa.

“Terimakasih sudah mengundang saya masuk ke dusun ini Paman. Sungguh tidak menyangka, kampung ini sangat indah dan bersih. Rumah pangung bubungan lima dengan kayu-kayu pilihannya, membuat kampung ini luar biasa indah.” Aku nikmati kampung sepuasnya. Jika di kampung hunian nenek gunung Besemah, bentuk rumahnya panggung limas, dan rumah baghi, dengan atap rumah runcing, di kampung ini atapnya berlapis lima. Sebuah keunikan yang membuat aku kagum. Melihat kondisi seperti ini, yakinlah aku jika di alam hunian para nenek gunung ini pun memiliki peradaban yang tinggi.

Dari Paman Macan Kumbang kuketahui, jika Nenek Halamah adalah sesepuh mereka juga. Mereka ada hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Aku merasa sangat bahagia bisa berjumpa dengan makhluk yang baik-baik ini. Setelah berbincang ke sana kemari, termasuk juga aku bercerita bersua dengan Datuk Sliman, Putri Bulan, ternyata mereka pun juga memiliki hubungan kekerabatan. Obrolan kami melebar sampai ke tempat hunian mereka yang dirusak untuk perkebunan dan pertanian. Tak lama aku mohon diri pada Paman Macan Kumbang dan pengawalnya. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Kepala Sukunya, namun menurut Paman Macan Kumbang beliau sedang berada di gunung Bungkuk, ada pertemuan para sesepuh di sana.

Aku melihat kawan-kawanku persis seperti ayam melihat elang. Hening tak bersuara. Ketika salat isya tidak ada yang berani mengambil wudu di sungai. Akhirnya air satu ember mereka irit dipakai wudu. Aku salat Isa berjamaah kembali, dengan sambil melihat kaki kawan-kawanku gemetar..

Malam ini semua nyaris tidak bisa tidur. Aku hanya diam. Pak Muchlis duduk di tenda perempuan karena kawan-kawan merasa takut jika tidak ada lelaki yang menjaga. Akhirnya beliau duduk bersandar di tas-tas yang tertumpuk menjaga para perempuan yang tidur rapat seperti susunan ikan kaleng. Aku meringkuk tidur dekat kaki beliau.

Aku tahu, malam itu terasa sangat panjang bagi kawan-kawanku. Ketika pagi tiba kulihat wajah mereka sembab dan masih tegang. Dari jelang subuh semua sudah berkemas. Makanan tadi malam yang tidak sempat dimakan dijadikan sarapan pagi. Hanya sekadar untuk ganjal perut, karena nasi dan lauknya serba dingin. Nyaris tidak tertelan. Aku tersenyum dalam hati. Apa boleh buat aku harus ikut irama mereka. Aku pura-pura merasakan risau yang sama seperti mereka.

Sebelum subuh tiba, Paman Macan Kumbang datang. Beliau mengajakku menemui kepala Suku. Akhirnya aku bisa bertemu dengan beliau. Lelaki separuh baya menyambutku dengan senyum lebar. Kami bincang-bincang sejenak setelah kuperkenalkan diri. Sekaligus mohon izin akan pulang pagi ini. Paman Macan Kumbang dan Kepala Suku tertawa lepas ketika kuceritakan bagaimana perasaan kawan-kawanku yang tegang hingga pagi ini dan ingin segera pulang. Sebelum pulang, Kepala suku memberiku ikat kepala. Aku segera memakainya. Paman Macan Kumbang dan kepala Suku tersenyum sembari menggangkat kedua jempolnya.

Kepulangan rombongan kami diantar paman Macan Kumbang, Kepala suku, dan beberapa penduduk. Beberapa kali mereka melambaikan tangan. Tiap kali aku menoleh, mereka masih berdiri di situ sampai bayangan kami hilang di tikungan. Ada kerinduanku dan keinginan untuk kembali ke mari berjumpa dengan mereka kembali.

Saat melintas di sabana, aku tidak mendengar suara kawan-kawanku seperti kemarin. Mulut mereka seperti terkunci. Setelah lepas dari sana, baru mereka berani bersuara bercerita tentang malam yang mencekam.

Bersambung…
close