Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 24) - Tersesat di Alam Gaib


Candini merasakan jatuh ke dalam lubang yang sangat dalam tanpa dasar, kakinya terus menjejak udara kosong dan semakin terus meluncur ke bawah tanpa bisa melihat keadaan sekelilingnya. Semua serba hitam dan gelap kemana mata memandang. 

Ia terus melayang-layang dan tersedot jauh kedalam. 

Saat ia merunduk kebawah terlihat sebuah titik cahaya berwarna putih. Dan ia merosot jatuh ke pusat titik itu dengan sangat cepat, seakan tersedot, Candini terpekik saat cahaya menyilaukan menampar matanya.

Blukk...

"Akh...."

Gadis itu merintih kesakitan karena jatuh menerobos ranting pepohonan yang rapat. Hingga terjerembab diatas suatu gundukan yang bergerak. Ketika tangannya merasakan cairan yang licin dan basah ia menjerit. 
Ternyata darah berwarna merah kehitaman, berbau busuk bukan main, ia pun segera bangkit berjaga. 

Pemandangan ganjil tersaji di depan mata wanita berbaju kuning itu. 

Terlihat hewan sejenis kambing gibas sedang berkelompok diam mematung menatapnya. Matanya berkilauan kemerahan. Yang menyeramkan adalah suara mengembiknya  terdengar aneh di telinga Candini, kasar bagai ada lubang di tenggorokan. 

Ketia ia mengamati lebih dekat, napasnya tertahan. Hewan-hewan itu memiliki bagian tubuh dengan luka berdarah-darah yang menganga. Terlihat jeroan diantara tulang sudah membusuk dihinggapi lalat. 

Tapi mereka tidak mati, mereka hidup dan hanya berdiri tegak sambil menatap tajam Candini. Sungguh mengherankan, gadis itu belum pernah melihat jenis demit seperti ini. 

Gadis itupun segera lari menyingkir membawa seribu pertanyaan, menerobos pepohonan berwarna hitam pekat, sambil berlari ia berteriak memanggil-manggil nama Larantuka. Cemas. 
Kemanakah Larantuka menghilang?  Padahal baru berselang beberapa menit sebelum ia ikut masuk ke dalam kepulan api hitam, sungguh aneh. 

Keadaan sekitar tak kalah seramnya pepohonan tinggi menjulang dengan ranting tajam yang lebat, namun tak nampak daunnya, seakan meranggas.  Dari kejauhan terlihat batang itu seperti ribuan bayangan hitam yang tegak mengawasi, hingga akhirnya Candini berhasil keluar dari kepungan hutan aneh itu. 

Pemandangan alam luar menyandera Candini dengan pertanyaan. Dilangit tampak bulan purnama besar menggantung, bercahaya kemerahan bak ritual iblis tengah berjalan. Kawahnya yang bulat terlihat jelas, seakan begitu dekat dengan bumi.

Langit hitam terhampar diatas lembah dan perbukitan berbentuk kerucut aneh, tak ada bintang yang bisa dipakai sebagai penunjuk arah, baik rasi biduk yang menunjukkan arah utara maupun rasi gubug penceng yang memberi arah selatan, tak mampu Candini temukan. Semuanya hitam pekat.

Kabut seperti mega mengambang rendah diatas rerumputan berwarna merah penuh nuansa magis. Rumput getah getih tumbuh dengan lebatnya,  terdengar bergesekan tertiup angin dingin. Dari kejauhan perlahan lolongan serigala di tengah kesunyian, membuat bulu kuduk merinding.

Ini dimana? Tempat apa ini, tak pernah kulihat sebelumnya! 

Candini mengempos tenaga dalamnya, berlari dengan kecepatan tinggi, beberapa kali ia dikejutkan pertemuan dengan hewan ganjil seperti burung gagak bersayap kelelawar, atau anjing berkepala kera. Hewan itu lagi-lagi hanya diam memandangi Candini dengan sinis. 

Pendekar itu berteriak keras, ia menyalurkan tenaga ke telapaknya dan mengeluarkan Ajian Tombak Sewu Angin. Dentuman dahsyat terdengar menggema saat sinar kebiruan keluar dari tapak pendekar itu. Membuat kawanan hewan aneh itu mencelat beberapa tumbak kebelakang.

Anehnya mereka segera bangkit kembali seakan tak terjadi apa-apa. Candini malah merasa jeri, mungkinkah mereka sejenis iblis jerangkong yang tak bisa mati? Namun para hewan itu hanya diam saja tak balas menyerang gadis itu. Lagi-lagi menyorot gadis itu dengan tatapan aneh. Tak ambil pusing lagi, Candini segera bergerak kembali menyusuri pinggiran hutan.

Hingga gadis itu terhenti di tengah padang rumput tanpa tau kemana lagi harus melangkah. Kakinya terasa perih berdarah tersayat rumput Getah getih yang tajam, napas hampir putus karena terus berlari. Ia harus keluar dari padang rumput ini segera atau darahnya akan terhisap habis. 

Neng.. Nong.. Neng.. Nong..

Telinga Candini yang tajam lamat-lamat menangkap suara gamelan berbunyi dari kejauhan. Terdengar bergema dan seakan mengajaknya untuk menari. Artinya ada manusia yang tinggal tidak jauh dari sini. Secercah harapan mulai timbul dari dalam hati Candini, terlihat dari sedikit senyuman dibibir. Dengan penuh semangat ia kembali melesat menuju asal suara. 

Tak berselang lama berjalan, dia akhirnya tiba di suatu perkampungan yang diselimuti kabut tebal. Rumah-rumah yang ada terbuat dari bilah bambu dan atap rumbia. Namun kesemuanya nampak kosong, gelap tanpa penghuni. Kemanakah rimbanya para warga desa yang terbiasa menyalakan cempluk untuk penerang? dan Ia terus bergerak menuju tengah desa dimana biasa semua warga desa berkumpul untuk bermusyawarah.

Dan benar saja, sudah begitu ramai orang berkumpul di pelataran desa yang berbentuk persegi. Di tanah datar itulah terdapat sebuah bale-bale tempat orang bermain gamelan. Suara alat musik logam itu berbunyi bertalu-talu, menggema dan menghanyutkan rasa dan pikiran Candini. Rasa dalam dadanya seakan bergelora, tangannya mulai terangkat untuk bergerak menari diiringi tepuk tangan warga desa.

Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet

Wajah para penabuh gamelan menyeringai aneh, suara bonang dan Demung berganti gantian sesekali diselingi Gong membuat Candini keenakan dan terus terlena, entah berapa lama dia mulai menari ditengah arak-arakan keramaian para warga desa. 

Riuh Sorak Sorai para warga mengiringi tarian  Candini. Membuatnya semakin bersemangat lagi untuk melenggok.

Ah semua terasa indah! Aku ingin menari selamanya! 

Semua gerakan tarian yang ia pelajari sewaktu kecil ia peragakan, kembali dan terus berulang-ulang. Nada-nada musik syahdu melekat di telinganya hingga salah seorang wanita bergelung bunga kenanga dan berbaju ungu, menghampirinya dengan tersenyum. Candini menghentikan tariannya dan membalas senyuman itu.

"Gusti Ayu, pastilah lapar dan haus setelah menempuh perjalanan begitu lama. Hendaklah mencicipi makanan khas desa kami, desa Barongan. Dijamin manis dan lezat mengganjal perut Gusti Ayu."

Mata Candini berbinar, ia memang telah lama tidak makan ataupun minum saat pertempuran. Terlihat air liur di bibirnya yang ranum, ingin mencicip jajanan khas desa tersebut. Ada putu ayu, wajik dan jajanan lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. 

Setelah Candini mencomot sebuah kue namun belum sempat ia menggigitnya, perempuan lain mengangsurkan air di dalam gelas terbuat dari tembikar.

"Gusti Ayu, ini air dari telaga kami Telaga Larangan, airnya sejuk dan manis, bisa menawarkan rasa haus dahaga sehebat apappun."

Candini mengangguk dan menerima gelas itu, saat ia akan mereguk isi gelas itu tiba-tiba muncul angin menderu dari belakang kepalanya.

Wuttt...

Gelas itu pecah berkeping-keping tersambar angin kencang itu. Candini menengok ke arah serangan, ada sebuah pohon tua bercabang rindang, diatasnya terlihat sesosok pria berkulit putih dengan jubah berwarna hitam. Terdengar sebuah suara yang sudah familiar di telinga Candini. Terasa sejuk bagai air hujan di musim panas.

"Jangan sekali-kali makanan minuman itu masuk ke kerongkonganmu!"

BERSAMBUNG
close