Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 25) - Budak Iblis


Wayah tresno manunggal kaliyan sukmo, sinten ingkang saged ngambengi ?

Saat Cinta menyatu dengan jiwa, siapa yang sanggup menghalangi?

Mantra itu kembali  terdengar merasuk ke alam bawah sadar Candini, seiring dengan alunan gamelan yang bertalu-talu membuat hatinya merasakan kesenangan yang meluap-luap. Aneh sekali seakan ia sudah tak tahan ingin bertayub lagi. Tangan terangkat mulai bergerak kembali menari.

Sekelebat bayangan hitam bagai kelelawar terbang rendah, menyambar tubuh Candini. Gadis itu meronta, entah kenapa jemari lentiknya menolak  sambaran itu. Candini merasa tubuhnya semakin beringas menari terpatah-patah layaknya mayat hidup. Kali ini bergerak ke arah bayangan hitam yang ternyata adalah Larantuka.

Lelaki itu mendengus kesal, "Lagi-lagi ilmu hitam, Kembang Mayang Rogoh Sukmo. Menyebalkan!"

Larantuka memiringkan badan menghindari serangan Candini, wanita itu berputar mengirimkan kembali sapuan dahsyat ke arah kepala. Larantuka segera menangkis dengan tangan kanannya. Bagaikan ular, ujung jarinya cepat menyelusur lengan Candini menotok titik ditengah kedua alis. Larantuka tidak menggunakan tenaga dalam namun bagi Candini terasa seperti petir menyambar kepalanya, membuyarkan simpul sihir yang menguasai raga. Wanita itu segera jatuh terduduk lemas di dekapan Larantuka.

"Ka-kakang...?"

"Kamu tidak apa-apa Candini?"

"Kepalaku seperti digodam, kakang, nyeri sekali" keluh pendekar wanita berbaju kuning itu seraya  memegangi kening.

"Kumpulkan kekuatanmu, istirahatlah. Tadi kau terkena guna-guna ilmu sesat Nyi Gondo Mayit." Tukas Larantuka.

"Apabila kau sampai meminum dan memakan segala makanan maupun minuman tadi, mungkin aku tak dapat menolongmu lagi. Kau bisa menjadi penghuni alam ini selamanya."

Candini terkejut mendengar penuturan Larantuka, ia melihat kesekiling. Para warga desa ternyata sudah berubah semua menjadi sosok mirip hantu yang tembus pandang. Dengan pakaiannya yang berjubah compang-camping. Mata mereka cekung kedalam dan menatap kosong ke arah kedua pendekar. Yang mengerikan adalah  tampak rantai panjang mengikat leher dan tangannya, rantai itu sungguh panjang menghujam ke tanah memaku gerak badan mereka.

"Kakang warga desa ini, kenapa?" tanya Candini.

Pendekar itu diam tak menjawab.

Larantuka bangkit dan menggandeng tangan Candini, separuh menarik ia mengajak Candini segera melewati kerumunan tembus pandang itu. 

"Jangan menengok ke belakang, dan tutup telingamu."

Candini menutup telinga, namun matanya sempat melirik ke belakang.

Para lelembut dan demit menoleh menatap raut Candini, di bale-bale para musisi tersenyum menyeringai ke arah Candini sambil mulai menabuh kembali gamelan. Musik itu berubah dari yang semula terdengar gembira dan penuh nafsu, kini terdengar mengalun syahdu mengiramakan kesedihan yang sangat menyayat hati. Jiwa Candini seperti tersedot dalam.

wuttt...

Titba-tiba ia tersentak saat tangannya ditarik Larantuka dengan ilmu meringankan tubuh, ia merasa melayang melewati ujung rerumputan Getah-Getih.

"Mereka adalah budak iblis, orang yang telah menjual jiwa dan raga mereka kepada Nyi Gondo Mayit sejak masa lampau." terang lelaki itu setelah mereka sampai di tebing batu tepian desa.

Candini tak mengerti sama sekali kenapa orang bisa menjual jiwa dan raga kepada iblis seperti Ratu Gondo Mayit. 

"Mereka ingin ketenaran, harta maupun kekuasaan dengan cara yang tidak wajar. Biasanya ingin cepat kaya, cepat berkuasa, ingin cantik dan segalanya hingga mereka rela mengikat perjanjian dengan iblis. Saat impian yang singkat itu tercapai, harga yang mereka bayar sungguh mahal. Nyawa akan melayang dengan cara mengenaskan dan Jiwa mereka akan terpasung di alam Demit ciptaan Gondo Mayit. Tidak bisa tenang sampai kapanpun."

"Sayang sekali Kakang"

"Betul sekali, sesungguhnya banyak sekali kerugian yang mereka derita, namun demi ambisi sesaat, ego yang merajai pikiran, nafsu dan keserakahan pun menang, akhirnya mereka bertindak mencelakai diri sendiri dan orang lain."

"Itukah mengapa Kakang sangat mendendam pada bangsa iblis dan ingin memusnahkan mereka semua?"

Pemuda itu diam tak menjawab, namun dari kilatan cahaya merah di mata Larantuka, Candini merasakan kobaran dendam yang teramat dalam. Suatu saat nanti ia bertekad akan mengorek semua masa lalu Larantuka, kenapa pemuda misterius itu berkelana dari tepat yang satu ke tempat yang lain untuk mengejar bangsa iblis.

"Disini penuh dengan hewan-hewan aneh kakang"

"Layaknya manusia, para hewan korban tumbal itu pun tak bisa lepas dari alam demit. Mereka menjelma menjadi makhluk menyeramkan yang kau lihat tadi."

Candini mengangguk lesu, pantas saja mereka seperti mayat hidup, tidak bisa dihancurkan karena sudah berwujud roh.

Kedua muda-mudi itu berjalan sampai ke tepian jurang nan tinggi, disana Candini bisa melihat kesekeliling alam demit Gondo Mayit yang menakutkan. Bulan purnama bersemu merah, Kabut tebal mengambang di permukaan tanah bak permadani. Menyisakan ujung ranting pepohonan yang kurus tanpa daun. Saat tertiup angin dingin, ranting itu bergoyang bak tangan dan jemari iblis dari neraka.

"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"

Pendekar itu menggeleng sambil mengusap rambutnya yang panjang, tampak jelas terikat bulu ekor burung yang panjang berwarna hitam dan putih, "Sudah tiga hari aku berkeliling alam ini, dari mustika Bulu ekor burung Roh pun aku tidak bisa mendeteksi dimana persembunyian ratu iblis itu"

Mata Candini membulat, "Tiga hari?! aku menyusul kakang hanya beberapa menit saja, tidak mungkin selama itu."

Larantuka menggeleng, "Kau belum mengerti, alur waktu di dalam alam gaib berjalan sangat cepat dibandingkan alam manusia. Disini Tiga hari di alam nyata hanya tiga menit."

Wajah Candini memucat, jika begitu sudah berapa ratus tahun jiwa-jiwa manusia itu terikat di alam ini? 

"Kita harus menolong jiwa manusia yang terpenjara itu kakang"

"Satu-satunya cara adalah dengan melenyapkan Nyi Ratu Gondo Mayit. Kita harus ke tempat persembunyiannya. Kau dengar Sancaka?"

Candini menoleh ke kanan dan kiri namun tak ada siapapun yang diajak bicara.

"Sancaka? siapa itu kakang?"

Tiba tiba dari dalam lengan baju Larantuka nampak bergerak-gerak sesuatu. Candini hampir menjerit kaget saat sesosok panjang keluar dari pergelangan tangan pendekar itu.

"Kau panggil namaku Cah ayu? keh..keh..keh.. ada wanita cantik, aku suka, hssssss" suara mendesis muncul dari ular berwarna hitam itu, ular yang bisa berbicara! Apakah dia Siluman?

Candini mencabut pedang dan melangkah mundur.

"Siluman ular!"

"Cih! aku beda jauh dari bangsa randahan itu walaupun mereka juga salah satu keturunanku. Kastaku jauh lebih tinggi!" bentak ular itu dengan nada marah.

"Kau bukan siluman? lalu apa? cuma siluman yang bisa berbicara dalam wujud hewan!" balas Candini tak kalah sengit.

"Hmmmh baiklah Cah Ayu kau rupanya mau menantangku, belum tahu siapa aku!"

Ular itu meloncat dari balik baju Larantuka ke rerumputan, tiba-tiba terdengar petir menyambar dan langit bergemuruh. Candingi terkejut dan menoleh ke atas, Angin kencang entah dari mana hampir meniup terbang tumbuh Candini. Bumi terasa bergetar layaknya ada gempa.

"Kakang! ayo kita menyingkir dari sini, tempat ini seperti mau runtuh!" seru Candini melindungi matanya dari kerikil yang terbawa angin.

Namun Larantuka hanya tersenyum dan loncat mundur kebelakang.

Dhuarrr...

Petir besar menyambar dari langit ke tempat ular hitam itu mendarat. Menghempas tubuh Candini.

Debu-debu berterbangan diatas tanah yang berlubang besar.

Mata Candini terbelalak lebar tak percaya apa yang ada dihadapannya.

Sosok hitam besar, jauh lebih besar dari Buto Ijo, sampai terlihat hampir menyundul langit!

"A....aa..." Candini hampir tak mampu berkata-kata.

Saat sayap makhluk itu terkembang hampir menutupi sinar cahaya bulan.

BERSAMBUNG
close