Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 1) - Tragedi Malam Purnama

Aku kembali ke kantor pada malam hari dan dian sedang berdiri diatas meja kantor dengan mata melotot memandangku. Rupanya kejadian inipun hanyalah permulaan dari sebuah bencana..


JEJAKMISTERI - Jakarta, sebuah kota yang tidak pernah sepi dari hiruk pikuknya aktivitas setiap warganya. Tidak ada pagi yang santai disini, semua saling berlomba mengejar mimpi seolah tak ingin tertinggal dari yang lain.

Deru asap kendaraan beradu pekat bersamaan dengan Sebuah bus berwarna merah yang mendekat ke arahku di sebuah halte. Tempat dimana saat ini aku menunggu bersama puluhan orang yang terjebak dalam lingkaran kegiatan yang sulit untuk kami tinggalkan.

“Fira, udah berangkat? Jangan lupa berkas buat meeting nanti” ucap Rangga melalui telepon yang terpaksa kuangkat walau aku sedang berdesakan dengan yang penumpang lain.

“Nggak salah? Yang ada suara lu tuh ketahuan baru bangun tidur! Gua paling setengah jam lagi sampe kantor” balasku pada Rangga si tukang telat.

“Hehe... nah, itu udah tahu. Titip rapiin ya, sebelum meeting gua udah sampe” balas Rangga.

“Iye, utang lunch lu sama gua”

“Tenang, tar lu yang milih makan siang dimana..“
Yah, walaupun Rangga begitu, ia termasuk salah satu teman kantor yang bisa diandalkan. Dia bisa dengan mudah beradaptasi dengan materi yang kubuat dan mempresentasikanya dengan keren di hadapan bos dan klien.

***

“Pagi Pak Sholeh, kantor masih kosong?” Tanyaku pada pak sholeh, salah satu security yang bertugas menjaga kantorku pagi ini.

“Nggak Mbak Fira, sudah ada masnya yang karyawan baru itu” balas Pak Sholeh.

“Ooo.. dia lagi, rajin juga ya”

“Iya mbak, masih masa percobaan biasanya emang gitu. Coba liat aja nanti”

“Bener juga, mudah-mudahan sih nggak gitu, aku masuk dulu ya pak! Titip kalau Rangga dateng tolong di jewerin” pamitku.

“Siap Mbak Fira!”

Yah.. inilah kantorku. Bukan perusahaan yang besar, tapi kami sering menangani event-event proyek besar baik dari pemerintahan atau malah perusahaan internasional.

Kantor ini sudah ada cukup lama, bahkan sebelum sebutan event organizer dikenal oleh masyarakat luas. Sayangnya bangunan kantor ini juga sudah lebih lama ada sejak sebelum perusahaan tempatku bekerja berdiri.

Aku memasuki ruang kantor. Terlihat seorang karyawan sedang sibuk memelototi layar komputernya. Sepertinya ia sedang memeriksa hasil kerjanya.

“Pagi mas..“
“Eh, pagi mbak” balasnya singkat sambil melemparkan senyumnya.

Untuk sekelas karyawan baru sepertinya anak itu sudah cukup mandiri untuk mengerjakan pekerjaanya.
Aku tidak terlalu lama memperhatikanya dan mempersiapkan perlengkapan kerjaku dan membuat segelas kopi panas untuk menemaniku mengecek materi meeting nanti. Tanpa sadar, satu-persatu karyawan mulai datang memenuhi ruangan.

“Fira, katanya semalem kejadian lagi” ujar seorang karyawan perempuan yang duduk di sebelahku.
Diana, aku lebih senang memanggilnya Dian. Salah seorang teman sedivisiku.

“Kejadian apaan? Mulai halu lagi ya pada?” ucapku tanpa memalingkan pandanganku dari layar laptopku.

“Sialan Halu... gua denger dari Pak Pandi pas jaga malam. Katanya bagian produksi yang lembur malem tiba-tiba cabut bareng-bareng sambil lari keluar” ucap Dian.
“Trus?”

“Mereka ngakunya ngeliat ada orang jatuh dari lantai atas, katanya suara jatuhnya jelas banget dan hampir semua ngeliat. Tapi pas dilihat ke bawah nggak ada siapa-siapa” cerita Dian.
Akupun memalingkan pandanganku ke arah Dian.

“Serius? salah lihat kali?” Tanyaku.

“ya nggak tahu juga, tapi lu kan juga tahu. Sebelumnya juga banyak cerita-cerita aneh di kantor ini” tambah dian.

Memang benar, cerita seperti ini sudah sering terdengar diantara para karyawan. Dulu pernah ada karyawati yang pingsan di gudang arsip. Waktu sadar dia mengaku melihat ada setan besar bermata merah di ruangan itu.

Sebelumnya lagi ada yang mendengar suara tawa cekikikan saat sedang lembur di ruangan ini.
Hal-hal ini memang sudah jadi kegelisahan untuk karyawan yang kerja di tempat ini. Tapi berhubung tidak ada korban yang berarti, jadinya kejadian itu hanya jadi cerita yang saling menyambung dari mulut ke mulut.

“Lagian bos udah sering denger cerita kayak begini kenapa nggak mau pindah kantor aja ya?” Ucap Dian.

“Ya mana ada perusahaan pindah kantor cuma gara-gara masalah begituan. Kalau cuma gara-gara angker terus pindah kantor, rumah sakit bisa tiap bulan pindah” balasku.

“Ya nggak begitu juga..”

“Lagian selama ini kan nggak ada korban dari kejadian-kejadian aneh disini. Wajar bos nggak mau pindah. Lagipula gua nyaman kok di kantor ini” tambahku.

“Iya juga sih, semoga aja nggak ada kejadian yang makan korban deh.. Ya udah, met meeting Ra.

Itu Rangga udah sampe” ucap Dian sambil menunjuk ke arah Rangga yang baru datang dengan cangkir kopinya.
Aku melihat Rangga yang baru masuk mengangkat tanganya menyapaku.

“Cek Email, udah gua kirim!” teriakku pada Rangga.

“Siap! Jeweran Pak Soleh juga udah gua terima” balasnya.
Ia membuka laptopnya sambil merapikan rambutnya yang masih acak-acakan karena helmnya.

“Sip!! Emang terbaik ibu Fira karyawan favorit perusahaan sepanjang masa!” ucap Rangga sambil mengangkat jempolnya.

“Aman?” teriakku lagi.
“Aman! sisanya urusan gua” jawab Rangga yang tengah mengutak-atik sedikit berkas materi yang kubuat.
Dan seperti biasa, presentasi progress project hari ini berjalan dengan lancar.

Sesuai janji Rangga yang mentraktirku makan siang di food court dekat kantor.

“Eh, katanya semalem ada kejadian lagi ya?” Tanya Rangga.

“Iya, gua diceritain sama Dian. Nggak usah ikut-ikutan heboh lah” balasku.

“Bener, mikirin target aja udah horror ngapain mikirin begituan” ucap Rangga sambil menyerahkan minuman pesananku yang baru saja diantarkan pelayan restoran.

“Setuju!” balasku tanpa basa-basi.

Akupun menyelesaikan makan siang bersama Rangga sembari membahas rencana survey kami setelah ini. beruntung tugas utama kami hari ini sudah selesai, setelah ini kami hanya tinggal merevisi beberapa detail dan bisa pulang tepat waktu.

Sebelum meninggalkan food court tiba-tiba Rangga terhenti. Ia menoleh ke arah beberapa karyawan yang sedang mengerumuni sesuatu. Ada dian juga disana.

“Itu boneka Jelangkung?!” teriak Rangga yang mengajakku mendekat ke arah mereka.

“Iya Ga, itu si Rizal katanya mau nyelesain masalah kantor kita. Dia mau make boneka itu buat komunikasi sama sosok yang sering ngeganggu kita” ucap Dian.

“Mulai nggak waras ya lu pada, udahlah jangan aneh-aneh” ucap Rangga.

“Kan namanya usaha Ga, dulu di kampung gua sering make beginian mudah-mudahan berhasil” Ucap Rizal sambil setengah tertawa.
Rangga mencoba menentang mereka lagi namun aku segera menarik lenganya.

“Udah Ga, yang penting kita ga ikut-ikutan. Jangan sampe urusan kantor ikut ribet gara-gara cekcok masalah beginian” ucapku.
Ranggapun setuju denganku, kami segera meninggalkan Rizal yang masih memamerkan jelangkung buatanya di depan karyawan lain.

Saat hari sudah mulai sore, biasanya kantor sudah mulai santai. Apalagi biasanya bos-bos melanjutkan pekerjaanya di luar dan tidak kembali ke kantor setelah jam makan siang.

Biasa saat sudah mulai santai aku menghabiskan waktu dengan menikmati secangkir kopi sambil membaca berita-berita di situs digital.

“Bener kan? Kalau maunya udah dipenuhin mereka pasti nggak bakal ganggu lagi” terdengar suara Rizal dan beberapa karyawan yang baru saja masuk.

“Sumpah Zal gua merinding waktu tu boneka gerak sendiri” tambah salah satu karyawan yang mengikutinya.

“Kalau bikin beginian lagi jangan ngajak-ngajak gua lagi! Masih gemeter badan gua” tambah Dian yang wajahnya mulai terlihat pucat.

Iapun berjalan dan kembali duduk di sebelahku sementara Rizal dan yang lain terlihat menertawakan Dian.

“Udah? Beres?” ucapku dengan nada yang sedikit meledek.

“Nggak tahu Ra, gua ngerasa aneh aja.. padahal tadi udah beres” tambah Dian.

Aku menoleh ke arah wajahnya. jelas terlihat bahwa ia merasa shock, wajahnyapun terlihat sedikit pucat. Aku menduga ia baru pertama kali melihat ritual seperti itu secara langsung.

“Makanya lain kali jangan aneh-aneh, pucet tuh muka lu” balasku.

Dian mengambil cermin dan mengecek wajahnya. Sepertinya ia terlihat sadar akan penampilanya yang berubah dengan wajahnya yang shock. Iapun mencari cara untuk menenangkan dirinya mulai dari membuat teh panas hingga beberapa kali mencuci wajahnya.

Tepat pukul lima sore beberapa karyawan mulai meninggalkan ruangan satu persatu. Akupun bersiap untuk pulang, namun seperti biasa sambil menunggu lalu lintas sepi aku menghabiskan waktu di food court sambil mencari makan agar aku tidak repot mencari makan lagi saat kembali ke kos.

“Ke food court lagi?” Tanya Rangga.

“Iya, jalanan masih rame. Mending gua ngabisin waktu di food court daripada di jalan” balasku.

“Tar gua susul, gua juga masih mau discuss sama Deni, Belum puas tadi” ucap Rangga.
Food court kantor kami memang terbuka untuk umum. Letaknya di bangunan terpisah semi outdoor.

Jadi kalau jam segini food court lebih banyak di dominasi oleh orang luar. Memang hebat si bos, aku cukup salut dengan konsep-konsep bisnisnya.
Aku ikut nimbrung dalam diskusi singkat antara Deni, Rangga, dan beberapa karyawan lain.

Terkadang diskusi tidak formal seperti ini malah bisa mendatangkan ide-ide yang tidak terpikirkan saat berdiskusi di kantor. Akupun mengikuti perbincangan mereka hingga tanpa sadar hari sudah malam.

Apalagi food court masih ramai, jadi aku tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

“Gila, nggak sadar udah malem aja” ucap Deni.

“Iya nih, lu balik gimana Ra? Gua anterin aja gimana?” tanya Rangga.

“Ya elah, rumah lu di ujung barat gua diujung timur.

Gaya-gayaan pake nawarin nganterin segala. Santai aja, bis gua sampe jam sepuluh kok” balasku.

Aku tidak khawatir karena sebenarnya aku memang sering pulang jam segini sambil menunggu jalanan sepi. Lagipula apa lagi yang mau aku lakukan di kos malam-malam sendirian.

“Nah bener, gua emang cuma basa-basi kok. Bisa keram pantat gua kalo nganterin lu dulu” balas Rangga.

“Sialan lu..”
Kamipun meninggalkan food court dan kembali ke arah kantor untuk mengambil tas yang kami titipkan ke security untuk segera pulang.

“Eh, itu bukanya motor Dian? Dia belum pulang?” tanya Deni.

“Iya, tumben-tumbenan dia belum pulang. Biasa paling teng-go dia” ucapku.

“Pak, Dian masih diatas?” tanyaku pada Pak Pandi, security yang saat ini berjaga shift malam.

“Harusnya sudah pulang mbak, lampu di atas sudah mati kok” ucap Pak Pandi.

“Tapi motornya masih di parkiran pak?” tanya Rangga.
Saat itu aku teringat wajah pucat Dian saat tadi sore.

“Gua cek ke atas lagi deh” ucapku.

Melihatku naik ke atas sendirian, Pak Sandi mengambil senter dan menyusulku. Seolah tidak mau sekedar menunggu, Rangga dan Denipun ikut naik ke atas.

***

“Sudah mati semua mbak lampunya, nggak mungkin masih ada yang di kantor” ucap Pak Pandi.

Memang benar ucapan Pak Pandi, tapi entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.

“Sssst... denger suara ga?” ucap Deni.

Aku menajamkan pendengaranku mencoba memahami maksud Deni.

Dan benar, ada suara seseorang yang menggumam seolah menyanyikan sebuah irama.

“Suaranya dari dalam ruang kantor” ucap Rangga.
Pintu ruang kantor adalah pintu kaca dengan dua daun pintu yang dilapisi kaca film. Dari luar hanya terlihat kegelapan disana, sialnya saklar lampu ada di dalam ruangan. Pak Pandi yang juga mendengar suara itu juga penasaran. Ia mendekat ke arah pintu dan mengecek menempelkan senternya ke pintu dan mengecek ke arah dalam.

Aku ikut mengintip mengikuti arah cahaya senter yang diarahkan Pak Pandi. Suara itu semakin jelas setiap kami mendekat. kami tidak menemukan sosok asal suara itu sampai akhirnya senter Pak Pandi melintas ke sebuah sosok yang terlihat berdiri di atas meja.

“P...pak! I...tu!” ucapku panik.
Seseorang berdiri terpaku di atas meja di tengah kegelapan..
Entah apa yang ia lakukan, cahaya senter yang disorot dari luar tidak bisa membuatku melihat dengan jelas apa yang ia lakukan. Yang jelas kali ini aku benar-benar merasakan hal aneh yang membuatku merinding.

“apaan Ra?” Tanya Rangga.

“Ada orang, berdiri di atas meja.. nggak tahu ngapain Ga” jawabku.
Deni berinisiatif menyalakan lampu lorong sementara Pak Pandi membuka ruang kantor.

Cahaya dari lampu lorong remang-remang menerangi ruang kantor dan menunjukkan dengan jelas sosok itu. Sosok itu menggumam dengan berirama di tengah kegelapan. Kami berjalan berhati-hati mencari tahu siapa sosok itu sementara Pak Pandi mencari arah saklar.

“Di...dian?!” aku mencoba menebak sosok itu.
Pak Pandi mencoba membantu menerangi sosok itu dengan senter, dan benar.. itu Dian!
Bukanya menjawab panggilanku ia malah menatap kami dan tersenyum lebar dengan memamerkan gigi-giginya dengan mata yang melotot.

“Di...Dian? Lu ngapain?” Rangga mencoba memastikan lagi.
Sementara itu terdengar suara saklar lampu yang ditekan oleh Pak Pandi namun lampu tidak juga menyala.

“Laampunya mbak, lampunya nggak bisa!” ucap Pak Pandi.

“Khikhikhikhihi...”

Tiba-tiba terdengar suara melengking dari arah Dian. Dia tertawa dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.
Sialnya, setelah itu terdengar banyak suara tawa serupa yang terdengar dari sekitar kami. Tawa-tawa itu terdengar tanpa ada satupun sosok yang terlihat oleh kami.

Seketika keringat dingin mengucur wajah Deni dan Ranggapun terlihat panik. Aku tidak pernah menyangka akan ada di situasi ini.

“Dian pasti kesurupan.. Gu...Gua telpon Rizal, harusnya dia ngerti masalah beginian” Ucap Rizal dengan gugup.

“Pak Pandi, cari bantuan juga!” perintah Rangga.
Pak Pandi dan Deni sibuk dengan handphonenya mencoba mencari cara untuk menolong dian.

“Dian, turun dian.. lu kenapa?” Ucapku masih mencoba berusaha.

Rangga merasa tidak sabar, ia memberanikan diri dan mencoba untuk mendekati dian mencoba menurunkanya. Namun sebelum sempat mendekatinya, tiba-tiba terdengar suara kursi yang terjatuh dan terseret hingga membentur tembok seolah mengancam Rangga.

Rangga terjatuh dan Dian memelototinya, saat itu juga terdengar suara tawa dari tempat kursi itu terjatuh.

“Ga, jangan.. Rizal langsung kesini, kos dia deket kok” ucap Deni.
Rizal memang dikenal mengerti cara menangani hal seperti ini.

Eyangnya adalah salah satu orang pintar yang dianggap sesepuh di desanya. Namun yang membuatku khawatir justru jangan-jangan dian seperti ini karena ulah Rizal tadi siang.

“Sopo? Sopo sing arep ngancani aku?” (Siapa? Siapa yang ingin menemani aku)

Tiba-tiba Dian berbicara dengan suara yang sama sekali berbeda sambil menatap kami satu-persatu.

“I..itu bahasa jawa? Kok suara Dian beda? Dian nggak bisa bahasa jawa kan?” Tanya Rangga panik.

“Nggak, nggak ada yang mau nemenin. Tinggalin tubuh Dian!” ucapku mencoba memberanikan diri menjawab. Sepertinya memang hanya aku yang bisa mengerti bahasa jawa diantara kami.
Mendengar ucapanku dian semakin melotot dan menatapku dengan kesal.

Akupun berusaha membaca doa dalam hati agar bisa selamat dari situasi ini dan agar Dian bisa sadar.
Tak lama terdengar suara seseorang berlari dari arah lorong tangga. Ia berlari terburu-buru dan melemparkan helmnya untuk segera menghampiri kami.

Seolah sudah membaca situasi ini Rizal segera mendekati Dian. Kali ini Dian terlihat Gentar dengan bacaan doa yang dibacakan oleh Rizal semenjak ia masuk ke ruangan ini.

“Zal..” aku ingin menjelaskan situasi, namun Rangga menahanku.

Sepertinya ia tidak ingin aku mengganggu Rizal.
Singkat.. sangat singkat, hanya dengan sebuah bacaan doa Rizal berhasil menjemput Dian yang berdiri di atas meja dan kehilangan kesadaran. Aku tidak menyangka Rizal memang mengerti hal ghaib seperti ini. Kupikir selama ini ia hanya sok-sokan.

“Zal.. gua kenapa Zal?” ucap Dian yang tiba-tiba tersadar tanpa mengerti yang terjadi.

“Lu kesurupan, udah tenang aja.. kita pergi dari sini. Bahaya..” ucap Rizal.

“Bahaya? Bahaya apaan Zal?” tanyaku.

Belum sempat Rizal menjawab tiba-tiba tercium bau busuk memenuhi ruangan ini. Rangga dan Dimas yang terlihat panik segera mengajak kami untuk meninggalkan ruangan.

Belum sempat sampai ke pintu keluar, langkah kaki Deni terhenti.

Ada bayangan hitam berdiri mematung di depan pintu menghadang kami. Bau busuk tercium dari arahnya, dan saat kami mendekat wujudnya semakin terlihat dengan jelas. Sosok makhluk yang tebungkus kain kafan dengan wajah yang sudah membusuk.

“Po..pocong?!!!” Teriak Rangga.

Akupun terjatuh tak mampu menahan rasa takutku. Apalagi saat ini kembali terdengar suara tawa dari belakang kami. Tidak hanya satu, tapi banyak. Ini adalah suara tawa yang kami dengar tadi.

Angin dingin berhembus, semua dari kami merasakan ada berbagai sosok yang menatap kami dari arah belakang. Aku menoleh dengan gemetar..
Aku tahu ada sesuatu yang lebih mengerikan di belakang kami. Dan itu benar...

Puluhan makhluk serupa menatap kami dari setiap sudut ruangan kantor. Pocong-pocong itu bergelimpangan memenuhi seluruh sudut kantor. Aku tidak bisa menahan rasa takut ini, seandainya bisa aku memilih untuk kehilangan kesadaran saat ini.

“Gudang! Ke Gudang Arsip!” teriak Rangga.
Aku menoleh ke arah pintu terdekat di sekitar kami. Sesuai kata Rangga, mungkin tempat itu lebih aman. Pak Pandipun segera mencari kuncinya dan berlari untuk membuka gudang itu.

Beruntung makhluk itu tidak mengejar kami, tapi ada satu hal yang kusadari saat menoleh ke arah sekumpulan pocong itu.
Ada seorang kakek tua diantara pocong-pocong itu yang tersenyum memamerkan gigi hitamnya.

Dari bentuk kepalanya yang terpotong sebagian, aku bisa memastikan bahwa ia bukanlah manusia.

“Lampu?! Nyalain Lampunya!” Teriak Rizal.
Deni segera berlari ke arah saklar dan menyalakan lampu gudang arsip. Beruntung lampu ruangan ini bisa dinyalakan.

Pak Pandipun mengunci ruangan berharap makhluk itu tidak masuk ke tempat ini, walaupun aku tidak yakin bahwa itu akan berguna.

“Zal, jelasin ke gua? Jangan-jangan ini gara-gara ulah lu tadi siang?!” aku berteriak menuding ke arah Rizal.

Rizalpun terlihat kalut, ia mengacak-acak rambutnya seolah tidak terpikirkan akan muncul kejadian seperti ini.

“Jelangkung itu kan? Itu yang memanggil makhluk-makhluk ini kan?” tanya Rangga.
Deni terlihat lebih sabar, ia menahanku dan Rangga dan segera menenangkan Rizal.

Seolah tidak ada pilihan, tiba-tiba Rizal mengeluarkan dari tas kecilnya sebuah buku kecil yang sudah lusuh. Ia melemparkanya ke hadapan kami. Ada sebuah lipatan kertas dengan tulisan-tulisan aneh yang terjatuh dari dalamnya.

“Ini buku apa? Maksud lu apa? Terus kertas ini? Rajah??” Tanya Rangga.
Rizal mengangguk.

“Gua nemuin buku itu di berkas gudang belakang yang mau di disposal. Ada sesuatu di kantor ini yang nggak beres. Bukan Cuma nggak beres, tapi bisa membahayakan kita” ucap Rizal.

Aku membuka buku itu, terlihat berbagai tulisan aksara jawa dan beberapa tulisan yang dilingkari. Itu adalah tanggal, hari, dan weton. Di halaman sebaliknya. Ada beberapa gambar yang dilukis dengan tinta yang warnanya menyerupai darah.

“Gua udah nunjukin itu ke bos, kemungkinan ada sosok di bangunan ini yang menunggu kemunculan orang dengan weton seperti yang tertulis di buku itu” tambah Rizal.

“Buat apa?” aku masih bingung dengan maksud Rizal.

Rizal menghela nafas seolah terpaksa mengatakan apa yang selama ini ia sembunyikan.

“Tumbal...”
Seketika kami semua bergidik mendengar jawaban Rizal.

“Te...terus maksud permainan jelangkung lu tadi siang apaan? Ga mungkin ga ada hubunganya dengan ini?! Dian langsung pucet pas tadi balik” Ucap Rangga yang masih belum sepenuhnya percaya.

“Itu Jelangkung bohongan..! gua make jelangkung itu cuma buat iseng nanyain tanggal lahir dan menghitung weton anak-anak kantor, kalau memang ada yang sesuai gua bisa minta tolong mbah di kampung buat bertindak.

Sialnya gua nggak sadar si Dian ngeliat apaan sampe bisa pucet kayak tadi” Balasnya.
Jawaban yang sama sekali tidak kusangka. Ternyata sedari tadi kami sudah menuduh hal yang tidak baik kepada Rizal.

“Ta..tadi, selain aku ada tiga orang lagi. Mereka jalan ke atas, pas gua merhatiin mereka tiba-tiba gua nggak sadar” Ucap Dian yang terlihat mulai mendapatkan kesadaranya kembali.
Rizal menggebrak lemari arsip, ia terlihat panik.

Pak Pandi terlihat diam saja, entah mengapa ia terlihat tidak kaget dengan cerita dari Rizal.

“Maaf mas, sebenarnya ada satu orang lagi yang cerita hal serupa ke saya. Tapi saya memang tidak menganggapnya serius. Saya nggak menyangka ternyata ucapnya benar” ucap Pak Pandi.

“Si...siapa pak? Saya belum pernah nunjukin buku ini ke siapapun selain bos” ucap Rizal.

“Seharusnya sebentar lagi dia sampai, saya sudah menghubungi dia juga tadi” jelas Pak Pandi.

Aku penasaran dengan orang yang dimaksud dengan Pak Pandi, namun aku lebih cemas dengan apa yang akan terjadi kepada kami. Sesekali aku mencoba mendekat ke pintu bermaksud untuk mengintip namun bau busuk masih tercium olehku yang menandakan makhluk itu masih berada di luar.

Terdengar suara langkah kaki bersama dengan alunan doa-doa mendekat. Entah mengapa sepertinya aku merasa mengenal suara yang melantunkan doa-doa itu. Tak lama setelahnya terdengar suara ketukan di pintu gudang tempat kami sekarang.

“Pak?” tanyaku ragu.

“Nggak papa mbak, itu dia..” ucap Pak Pandi.
Pak Pandipun memutar kunci ruangan dan membuka pintu. Seseorang terlihat masuk dengan tenang seolah tidak ada apapun diluar.

“Sudah pak, nggak papa.. kalian bisa keluar” ucap orang itu.
Dia.. dia si karyawan baru. Aku benar-benar lupa siapa namanya.

“Bener nggak papa mas Danan?” Tanya Pak Pandi.

“Iya nggak papa, yang penting jangan jauh-jauh dari saya” ucapnya dengan tenang.

Kamipun segera keluar dan benar saja, pocong-pocong tadi sudah tidak ada di tempat yang kami lihat tadi.

“I..ini? makhluk-makhluk itu masnya yang ngusir?” tanya Rizal pada karyawan baru yang baru kuingat bernama Danan itu.

“Bukan saya mas, mereka pergi karena kehebatan ayat-ayat suci pemberian Yang Maha Kuasa” balasnya.
Sungguh berbeda dari Rizal. Orang ini begitu tenang dan sangat terlihat rendah hati.

“Ayo Mas Rangga, cepet keluar. Ada alasan kenapa makhluk-makhluk tadi tidak berani masuk ke gudang arsip” ucap Danan pada Rangga yang masih tertinggal di dalam.

“Apa itu mas?” tanya Pak Pandi.

“Gudang ini sudah ada penguasanya, biasanya dia muncul sekitar jam sebelas malam” Ucap Danan.
Seketika aku teringat cerita tentang kejadian seorang karyawati yang pingsan karena melihat sosok besar bermata merah di gudang ini.

Ranggapun mulai terlihat merasa aneh, ia buru-buru keluar setelah menoleh ke belakang sekilas.

“Ada apaan Ga?” Tanyaku.

“Nggak, nggak papa.. bener kata Danan. Tapi di bahas nanti saja, kita keluar dulu cari tempat yang aman” ucap Rangga.

“Danan, tadi ada tiga orang yang naik ke atas. Kayaknya anak-anak produksi” Ucap Dian.
Rizal teringat akan bukunya dan menyerahkanya ke Danan seolah ingin menjelaskan maksud dari Dian.

“Danan, kita berdua saja yang periksa ke atas. Biar yang lain keluar duluan” ucap Rizal.

“Nggak bisa, lebih aman kalian ikut saja ke atas mencari yang lain”

“Kenapa mas?”

“Coba saja kalian lihat keluar” perintah Danan.
Kamipun segera mengecek ke arah jendela. Aneh, hiruk pikuk kemacetan di luar tidak terlihat sama sekali.

Sebaliknya, terlihat kabut putih mengelilingi bangunan ini dengan bulan purnama yang bersinar dengan terang.

“I—itu, itu pocong-pocong tadi?” Tanyaku.
Aku melihat berbagai sosok memperhatikan bangunan ini dari balik kabut.

Danan tidak menjawab dan sibuk dengan buku yang diberikan oleh Rizal, tapi kami mengambil kesimpulan bahwa di luar saat ini juga berbahaya sehingga itulah alasan Danan menahan kami untuk keluar.

Danan menutup buku itu dengan geram. Sepertinya sesuatu yang ada di buku tua itu bukan perkara kecil.

“Kita ke atas, jangan jauh-jauh dari saya..” perintah Danan.
Kamipun mematuhi ucapanya tanpa membantah sepatah katapun.

Tepat saat menjejakkan kaki di lantai atas tiba-tiba suasana seketika berubah. Lorong yang setiap siang terlihat biasa saja kini terlihat bagaikan tidak berujung. Pak Pandi berhasil menyalakan lampu, namun itu tidak merubah kengerian yang muncul di tempat ini.

“Pak Pandi, bisa tunjukkan lokasi yang dulu pernah saya tanyakan?” Ucap Danan.

“Gudang lama? Bisa mas.. yakin mau kesana?” tanya Pak Pandi.

“Memangnya ada tempat lain yang lebih mencurigakan dari itu pak?” Balas Danan lagi.

Pak Pandi menggeleng ”Nggak mas, tempat itu yang paling jarang dikunjungi semenjak sudah ada gudang di bawah”
Kami mencoba mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka berdua. Dari situ kami mengambil kesimpulan bahwa sebelumnya mereka memang sudah sering berkomunikasi.

Pak Pandi memilih-milih kunci dan membuka sebuah ruangan yang sama sekali belum pernah aku masuki. Sebuah gudang tua tempat penyimpanan barang-barang sisa produksi, dan barang-barang milik pengguna bangunan ini sebelumnya.

“I...itu! Itu mereka Nan! Mereka yang gua liat naik ke lantai atas!” Teriak Dian.
Sayangnya sosok yang ditunjuk oleh Dian tidak dalam kondisi baik-baik saja. Mereka terbaring, terduduk dan tergeletak di lantai dengan kondisi aneh.

Matanya melotot dengan mulut yang terus terbuka dan beberapa kali mengejang.
Danan segera berlari menghampiri ketiga karyawan itu. Rizalpun terlihat panik, sepertinya walaupun ia mengetahui tentang hal ghaib ia tidak pernah mengangani kejadian seperti ini.

Brakkk!!

Belum sempat berjalan menghampiri Danan, tiba-tiba pintu ruangan tertutup terbanting tertutup dengan sendirinya. Seketika Pak Pandi panik dan mencoba membukanya, namun berapa kalipun ia mencoba pintu ruangan ini tetap tidak bisa terbuka.

“Mas Danan, ini gimana Mas Danan? Kita terkunci!” teriak Pak Pandi.
Danan tidak menjawab ke arah Pak Pandi. Sebaliknya ia berdiri dan menatap ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah guci batu dengan ukiran seperti yang pernah kulihat di candi-candi.

“Danan, mundur nan! Nggak mungkin kita bisa melawan makhluk seperti itu?!” teriak Rizal yang wajahnya mendadak pucat.
Aku mencoba melihat ke arah guci batu itu, namun aku tidak bisa melihat apapun disana.

Tapi entah mengapa Danan terlihat begitu serius dan Rizal terlihat ketakutan.

“Pak Pandi, Rangga! Bawa tubuh mereka bertiga ke salah satu sudut. Jangan berpisah” perintah Danan.

“lu serius mau ngadepin begituan?” tanya Rizal.

“Memangnya ada pilihan?” ucap Danan.

Danan terlihat menelan ludah, sepertinya ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia lakukan.
Tak berapa lama tiba-tiba kaca-kaca di ruangan ini bergetar. Beberapa kardus berjatuhan dan terdengar suara sosok terdengar menggeram di sekitar kami.

Manusia? Bukan... sudah jelas bukan. Di dekat guci itu samar-samar muncul sosok makhluk berwujud kakek tua seperti yang kulihat tadi, namun kali ini ia terlihat lebih mengerikan.

Selain dengan kepalanya yang hanya terlihat setengah, tangan kananya mengangkat sosok makhluk nenek kerdil yang di gendong terbalik di bahunya.

“Mimpi.. ini pasti mimpi” ucap Deni yang tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Suara getaran telepon genggam terdengar dari saku Rizal, ia melihat nama penelepon itu dan mengangkatnya tanpa menunggu lama.

“Mbah..”
“Lungo!! Pergi!! Apapun yang terjadi disana segera pergi sejauh mungkin...” terdengar suara seseorang yang panik dari telepon Rizal.

Sepertinya itu adalah mbah Rizal yang pernah dikatakan sakti.

“Nggak bisa mbah, terlambat mbah..” ucap Rizal panik.

“Rizal nggak pernah lihat makhluk seperti ini sebelumnya mbah! Rizal harus gimana?!”
Suasana di ruangan ini tidak dapat digambarkan.

Ucapan mbah Rizal menandakan betapa berbahayanya makhluk ini.
Sedari tadi Danan terlihat sedang membacakan sesuatu seperti doa dan ayat-ayat suci, namun sepertinya itu tidak berpengaruh terhadap sosok yang berada di hadapanya.

“Nek Kowe ikut campur, kowe musti mati” (Kalau kamu ikut campur, kamu pasti mati) Ucap sosok yang muncul di ujung ruangan. Semakin aku menatap sosok itu penglihatanku semakin kabur. Tak lama setelahnya tiba-tiba cairan merah keluar dari mulutku.

Tak hanya aku, semua dari kami memuntahkan darah dari mulutnya. Akupun mulai merasa hampir kehilangan kesadaran.
Danan yang melihat hal ini tak ingin menunggu lama lagi. Ia membacakan sebuah ajian dan melakukan sebuah gerakan pukulan.

Sosok setan itu seketika terpental ke belakang, namun sepertinya itu tidak berdampak banyak.

“Ilmu kuno...” ucap Rizal takjub.
Setan itu tidak tinggal diam, ia menari seperti kakek gila sambil tertawa cekikikan.

Ia mengambil sesuatu dari lubang kepalanya yang tinggal setengah dan melemparnya ke arah Danan.
Sebuah benda hitam menjijikkan dihindari oleh Danan dan jatuh ke lantai.

Baunya begitu busuk sehingga membuat kami muntah, sayangnya sekali lagi darah kami yang keluar dari mulut kami.
Danan menerjang setan itu lagi berusaha menahan hal serupa seperti yang setan itu lakukan tadi.

Ia membaca berbagai macam doa di setiap pukulan yang didaratkan ke arah setan itu. hebatnya setan itu malah terus menari menghindari serangan Danan.
Pertarunganpun semakin sengit, sementara Danan berusaha mengalahkan setan itu kami berusaha mempertahankan kesadaran kami.

Rizal tak henti-hentinya membaca doa yang kurasa untuk melindungi kami dan menjauhkan kami dari sosok lain yang mencoba mendekat.
Rizal serius membaca telpon genggamnya, sepertinya sebuah pesan panjang dikirimkan seseorang kepadanya.

“Danan! Kita harus pergi... dia bukan setan biasa, dia akan lebih mengerikan saat tengah malam nanti!” ucap Rizal.

“Apa maksudnya?!” Tanya Danan heran sembari terus mencoba menyerang setan itu.

“Mbahku, dia menerawang dari desa.. ada sosok-sosok yang bangkit di berbagai sudut pulau jawa. Dia salah satunya!”

“Dia siapa?!” Danan semakin bingung mendengar ucapan Rizal.

“Kata Mbah, mereka setan-setan yang sudah ada sebelum jaman manusia mengenal peradaban. sosok penghuni kerajaan dedemit di Setra Gandamayit...”
Mendengar ucapan Rizal Dananpun terhenti, ia menoleh ke arah Rizal.

“Setra Gandamayit? Mbahmu tahu tentang ini?” tanya Danan.

“Gua nggak tahu Nan.. yang pasti kita harus segera pergi sebelum tengah malam” ucap Rizal.

“Pilihanya antara pergi dan membiarkan setan ini gentayangan, atau mengalahkan dia kan?” Tanya Danan.

“I...iya tapi..”

Belum sempat berbicara tiba-tiba Danan meninggalkan Rizal lagi dan kembali menghadapi makhluk itu.
Aku tidak mengingat Danan membawa benda apapun, tapi anehnya kali ini Danan menggenggam sebuah keris di tanganya dan menerjang setan itu.

Sebuah serangan mengenai bahu setan kakek itu hingga darah hitam keluar dari bahunya. Sayangya setan itu masih cukup lincah. Ia mengambil tusuk konde dari sosok nenek kerdil yang tak pernah lepas dari tanganya itu dan melemparkanya ke arah Danan.

Danan berhasil menghindar, tapi tiba-tiba ia terjatuh dengan darah yang mengucur dari punggungnya.
Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba tusuk konde itu sudah menancap di punggung Danan. Ia terjatuh lemah, sepertinya sulit baginya untuk kembali berdiri.

“Kekhekehekeh... wis rampung! Mati kowe kabeh!” (Sudah selesai! Mati kalian semua!) teriak setan itu seraya menyerang Danan dengan kuku-kukunya yang tajam. Namun kali ini ialah yang terhenti.

Sosok nenek kerdil di tangan setan itu memuntahkan darah. Ada sesuatu yang melukai punggungnya.

“Gila.. ini bukan pertarungan manusia normal” ucap Rizal.

“Apa Zal? Apa yang terjadi?” Tanyaku.

“Sebelumnya aku nggak percaya ilmu Rogosukmo benar-benar ada..” ucap Rizal.

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya, tapi dari senyum kecil Rizal sepertinya rasa takjubnya adalah hal baik.

“Danan melepaskan rohnya dan menusuk tubuh nenek kerdil itu dari belakang” jelas Rizal.

Sebenarnya kami ingin tidak percaya dengan ucapanya, namun apa yang terjadi pada kami saat ini benar-benar tidak terpantahkan

“Nyai!!” Teriak setan kakek itu, “Kurang ajar!! Bocah kurang ajarrr!”

Dananpun kembali berusaha berdiri seolah ia telah mendapatkan kesadaranya kembali. Sekali lagi ia menggenggam keris di tanganya, namun sebelum ia sempat bergerak tiba-tiba asap hitam berkumpul di dekat setan kakek itu.

“Akan kumakan sedikit demi sedikit sukma kalian, akan kupisahkan tubuh kalian beratus ratus bagian, kalian tidak akan mati dengan tenang saat aku sudah mendapatkan kembali kekuatanku”

Makhluk itupun menghilang dibalik asap hitam miliknya. Kami semua terdiam sejenak sampai akhirnya menyimpulkan bahwa Danan memenangkan pertarungan ini.

“Danan!! Lukamu!!” teriak Rizal yang segera membantunya.

“Jangan, jangan langsung dicabut.. baca amalan putih, dan tutup aura hitam di sekitar luka dulu” Tahan Danan.
Aku tidak mengerti perbincangan mereka, namun sepertinya Rizal mengerti perintah Danan.

Suara teriakan Danan terdengar bersama dengan tercabutnya benda berupa tusuk konde yang sebelumnya menusuk di punggung Danan.

“Pak Pandi, Cek keluar apa kabutnya masih ada?” Perintah Danan.
Pak Pandipun mengecek ke arah luar dan ia menarik nafas lega.

“Sudah aman mas, berarti kita bisa pergi?” Tanya Pak Pandi.

“Tapi Danan, mereka bertiga gimana? Mereka tidak kembali pulih?” Tanya Rangga.
Danan kembali mendekat ke arah tiga korban yang kami temui. Ia hanya membacakan doa dan menghela nafas.

“Sukma mereka sudah terlanjur diambil. Panggil ambulance pertahankan tubuh mereka, akan saya cari cara buat nolong mereka” ucap Danan.
Rizal masih menatap Danan dengan takjub.

“Nan, lu itu sebenernya siapa sih?” tanya Rizal.

“Pertanyaan yang sama dengan yang mau kutanyakan ke mbahmu Zal.. bisa tolong kamu temuin aku sama dia? Sepertinya sosok setan ini bukan satu-satunya yang bangkit malam ini..” ucap Danan.
Rizalpun mengangguk mengiyakan.

“Aku butuh tahu lebih banyak tentang yang dimaksud mbahmu itu, tentang kerajaan demit di Setra Gandamayit. Buku tua yang kamu temukan ini sepertinya berhubungan dengan hal itu”

***

Malam ini terasa begitu panjang, suara mobil ambulance terdengar cukup lama saat mengangkat tubuh ketiga karyawan yang kondisinya sangat mengenaskan. Seperti yang kami duga, dokter tidak bisa mendeteksi masalah apa yang terjadi dengan tiga orang itu.

Danan tidak berhenti membuka buku kuno yang ditemukan oleh Rizal. Dua orang itu terlihat mulai akrab. Entah apa yang mereka bicarakan, namun yang kutahu pasti apa yang dibicarakan oleh mereka berdua pasti benar-benar diluar nalar yang bisa kuterima.

Setra gandamayit? Pusaka? Kerajaan demit?
Saat mendengarnya aku seperti menyaksikan sebuah film laga yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi di dunia nyata. Namun kejadian tadi, benar-benar sudah merubah pandanganku.

Aku melihat kartu absen yang ada di dekat tempatku duduk beristirahat di pos Pak Pandi.
Dananjaya Sambara.. Sebuah nama dari seseorang yang terlihat sangat biasa. Namun dibalik kerendahan hatinya ia menyimpan tanggung jawab yang sama sekali tidak bisa kubayangkan.

Sekali lagi aku membalik kartu absenya, hampir tidak ada satupun keterlambatan di absenya. Tapi aku tahu, setelah ini beberapa akan ada banyak absen yang kosong di kartu ini. Aku hanya bisa berharap semoga saja ia tetap bisa kembali ke kantor ini dengan selamat.

Seandainya hal itu terjadi, aku berjanji tidak akan cuek padanya lagi dan mencoba lebih ramah denganya.
[BERSAMBUNG]


*****
Selanjutnya


Cuplikan Part 2 - Peninggalan dalam hutan

(POV Cahyo)
Sebuah kesalahan telah membuat Cahyo harus bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.

Perbuatanya mengakibatkan satu desa diserang oleh sekumpulan dukun ilmu hitam yang mengirimkan berbagai demit untuk meneror desa itu.

Tak hanya itu, kemunculan kera putih dari atas bukit menandakan bahaya vesar yang akan datang. Part kedua akan bercerita tentang Kesatria dari Trah Rojobedes.
close