Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 2) - Peninggalan di tengah hutan

Sebuah kesalahan membuat Cahyo harus bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.
Perbuatanya mengakibatkan satu desa diserang sekumpulan dukun ilmu hitam yang mengirimkan berbagai demit untuk meneror desa.


JEJAKMISTERI - "Alam ghaib merupakan sebuah tempat yang tidak pernah bisa dibuktikan keberadaanya. Kadang setiap orang yang memiliki bakatpun bisa merasakan dan melihat hal yang berbeda.

Hal baik dan hal buruk, makhluk jahat dan makhluk baik, hingga ilmu hitam dan ilmu putih teraduk secara acak di tempat yang tidak bisa hanya dinilai dengan indera saja.

Kadang berbagai makhluk dengan wujud diluar nalar diceritakan turun temurun di dalam berbagai peninggalan-peninggalan. Benar atau salah, baik atau buruk, hanya akal pikiran dan nurani kita yang dapat menilainya"

Klek!!

“Ojo ngerungokno radio terus, kuwi Paklek ono tamu. Ketoke butuh bantuanmu Jul” (Jangan dengerin radio terus, itu pakek ada tamu. Kayaknya butuh bantuanmu Jul) ucap Bulek.

“Ealah Bulek, lagi seru-serunya lho. Lagian kan sudah malam, kok masih ada yang bertamu” bantahku.

“Justru kalau sampai bertamu di malam hari, biasanya hal penting” balas bulek.

“O iya, bener”
Akupun segera mengambil sarungku dan menghampiri paklek ke ruang tamu.

Ada dua orang yang menghampiri paklek. Mereka berpenampilan sedikit berbeda dari orang pada umumnya. Mereka berambut panjang dengan memelihara brewok dan menutupi bajunya dengan kain merah tua.

“Iyo Paklek, kami benar-benar nggak mengerti salah kami. Tiba-tiba saja kampung kecil kami diserang sekelompok dukun ilmu hitam” ucap salah seorang dari mereka.

“Kami tidak pernah menyangka akan melihat hal seperti itu. Siluman ular diatas genteng-genteng rumah sampai kobaran api yang melayang-layang di sekitar pohon desa” tambah temanya.
Paklek menghela nafas mendengar kisah mereka.

“Mas-masnya sudah pernah bertemu dengan orang-orang yang mengirim makhluk-makhluk itu?” Tanyaku yang segera nimbrung dalam perbincangan itu.
Plakk!! Sebuah pukulan dari gulungan kertas koran mendarat tepat di kepalaku.

“Yang sopan Jul! kenalan dulu..” Perintah paklek.

“Hehe.. ngapunten mas, kulo Cahyo alias Panjul, Manajernya Paklek” ucapku.

Plakk!!!

“Manajer gundulmu..”
Kedua orang itu tadipun tersenyum melihat tingkah kami. Iapun menyambut tanganku dan ikut memperkenalkan diri.

“Kulo Dumadi mas, niki konco kulo saya Darmojo... salam kenal mas”

Merekapun melanjutkan ceritanya. Dari cerita mereka, ada sekumpulan dukun yang menyerang desanya untuk balas dendam. Mereka memberi waktu satu minggu untuk membawa orang yang mereka cari atau mereka akan menyuruh makhluk kiriman mereka untuk menyerang warganya.

“Kalau sosok-sosok begitu harusnya kamu bisa ngatasin kan jul?” ucap paklek.

“Sakjane iso Paklek, tapi kliwon kuwi lho.. sesok wayahe adus” (Sebenarnya bisa paklek, tapi Kliwon itu lho.. besok waktunya mandi) Ucapku yang masih merasa malas.

Lagipula besok hari minggu satu-satunya hari libur, seninya aku harus bekerja lagi di pabrik gula.

“Alesan wae kowe...” (Alasan saja kamu) Bulek mengantarkan beberapa cangkir kopi untuk kami.

Kamipun menikmati kopi buatan bulek sementara paklek mengingat-ngingat ada janji dengan siapa besok.

“Yowis mas, sesok tak ke desane sampeyan.. (Ya sudah mas, besok saya ke desa kalian) kita coba pendekatan baik-baik dulu sama dukun-dukun itu. siapa tahu memang salah paham” ucap paklek.
Wajah mereka berduapun terlihat senang mendengar jawaban paklek.

“Mas, memangnya siapa sih yang mereka cari sampai seniat itu membalas dendam?” Tanyaku

“Nggak tahu mas, salah satu yang tertua dari mereka mengatakan bahwa adiknya di habisi oleh salah satu orang dari keluarga kami” ucap Dumadi.
Dumadi bercerita, Dukun itu mengaku diserang oleh seseorang dari keluarga mereka.

Padahal mereka sudah lama meninggalkan nama leluhur mereka dan memilih tinggal di desa terpencil di pinggir hutan.

“Memangnya kenapa sampai meninggalkan nama Leluhur mas? Apa ada masalah serius?” Tanyaku.

Darmojo menoleh ke arah Dumadi. Ia seolah ragu menceritakan tentang keluarganya.

“Kami tidak lagi menggunakan nama keluarga kami mas. Bukanya kami tidak bangga, tapi ini semua demi menjaga martabat trah kami. Biar saja hanya anggota keluarga saja yang mengetahui nama keluarga kami”
Paklek mengerti. Di era modern seperti sekarang memang sudah banyak orang yang melepas ikatanya dari nama keluarganya dan membiarkan anak-anaknya bebas memilih takdirnya sendiri.

“Tapi saya penasaran mas, adik dukun itu mengaku diserang oleh seseorang dari trah mas-masnya. Kalau boleh tahu apa nama trah mas-masnya?” Tanya paklek.

Darmojo sekali lagi menoleh ke arah Dumadi seolah meminta persetujuan. Dumadipun mengangguk.

“Ro...Rojobedes Paklek..”

Seketika aku menyemburkan kopi yang baru saja kuminum dari mulutku. Paklek, Dumadi, dan Darmojopun menoleh ke arahku.

“Ngopo kowe jul?” (Kenapa kamu Jul?) Tanya paklek curiga.

“O...ora, Ora paklek...” balasku.

“A...Aku aja yang berangkat paklek!”

Paklek mengerutkan dahinya melihat perubahan keputusanku tiba-tiba.

“Lah? Kok tiba-tiba?”
Aku tidak mungkin bercerita bahwa serangan kepada trah mereka dikarenakan ulahku yang mengaku sebagai trah Rojobedes saat pertarungan di desa tanggul mayit.

Lagian aku benar-benar tidak menyangka bahwa benar-benar ada orang yang menggunakan nama itu sebagai nama keluarganya.

“Aku punya ide paklek! Biar saja aku berpura-pura jadi salah satu dari trah mas-mas ini.. terus biar aku yang menghadapi dukun itu” ucapku mencari akal agar paklek tidak mencurigai tingkahku.
Paklek melirik aneh ke arahku. Aku berpura-pura tidak menyadarinya dan menyeruput kopiku lagi.

“Yowis, karepmu jul, yang penting usahain jangan pakai kekerasan, selesaikan baik-baik” wejang paklek.

“Si...siap Paklek! Pasti, Panjul kan cinta damai” balasku.
Malam itu aku segera meninggalkan rumah paklek dan memilih bermalam di rumahku bersama kliwon. Aku takut kelepasan bicara bila terlalu lama di rumah paklek.

“Apa liat-liat? kamu curiga sama aku?” Bentakku pada kliwon.

Ia melompat menjauhiku sambil tertawa meledek dari atas lemari. Aku membalas ledekanya dengan melemparkan kulit pisang yang dengan mudah dapat dihindari olehnya.

***

Sebuah desa berdiri disekitar alirah sungai yang berbatasan dengan hutan. Bukan desa terbelakang, rumahnya memang didominasi rumah panggung tapi listrik dan kendaraan bermotor sudah cukup banyak di tempat ini.

Hanya saja tempat ini cukup terpencil, aku tidak menyangka ada orang bisa betah tinggal di tempat yang jauh dari perkotaan seperti ini.

“Monggo mas, Ini rumah saya. Mas Cahyo nanti menginap disini saja. Saya tinggal sendirian kok” ucap Dumadi.

“Nggih, matur nuwun mas. Nanti saya ijin jalan-jalan dulu. Kayaknya kliwon butuh peregangan setelah perjalanan tadi” balasku.

“Ooo.. nggih mas, dinikmati saja”
Sebenarnya bukan hanya kliwon, entah mengapa aku merasa nyaman dengan desa ini.

Apalagi pemandangan bukit di dekat hutan ini benar-benar menyempurnakan pemandangan pagi ini.

“Arep nggolek panganan dewe opo tak golekno?” (Mau nyari makanan sendiri apa aku cariin?) Tanyaku pada kliwon.

Mendengar perkataanku kliwon langsung berlari meninggalkankanku. Aku menganggap ia ingin mencari makan sendiri, mungkin ia juga ingin menikmati pemandangan di desa ini.
Sepanjang perjalanan aku disapa oleh warga desa yang ramah.

Beberapa menawarkanku untuk mampir seolah tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadapku. Jelas sangat berbeda dengan orang-orang di kota yang selalu berhati-hati dengan orang asing.

Entah mengapa, aku jadi merasa bersalah. Karena tingkahkulah mereka mendapat ancaman dari dukun-dukun itu. Untung saja belum ada korban diantara mereka, seandainya ada aku pasti akan lebih merasa bersalah.

Terlihat seorang perempuan berlari terburu-buru ke arah rumah Mas Dumadi. Wajahnya seperti terlihat cemas. Tak berapa setelahnya lama akupun melihat Mas Dumadi terburu-buru mengikuti perempuan itu ke arah rumahnya dengan membawa tas anyaman.

Aku yang penasaran segera ikut menyusul ke rumah yang mereka tuju. Namun karena perbincanganya terlalu serius aku memilih untuk melihatnya dari jendela luar.

“Tiba-tiba Mendar jadi begini mas, nggak tahu kenapa.. padahal kemarin baik-baik saja” ucap perempuan itu sambil menunjukkan kondisi anaknya yang bernama Mendar pada Mas Dumadi.
Wajah anak itu terlihat pucat dengan memegangi tubuhnya.

Mas Dumadi memeriksa Mendar dan menemukan di kulit-kulitnya yang tertutup baju bermunculan bintik-bintik bisul yang terlihat menjijikkan.

“Mendar habis dari mana ini bu? Kenapa bisa begini?” Tanya Mas Dumadi.

Ibu itu berpikir sejenak, ia tidak menemukan ada aktivitas aneh yang dilakukan oleh anaknya Mendar.

“Seperti biasa mas, dia cuma nyari umbi-umbian di hutan bukit. Apa, ini ulah dukun itu mas?” balasnya.

“Jangan menuduh dulu bu, biar saya obati dulu saja. Mudah-mudahan bisa sembuh ya” balas Mas Dumadi.
Rupanya Mas Dumadi juga cukup bijak. Walaupun diancam sedemikian rupa oleh dukun-dukun itu ia masih tidak berpikiran buruk.

Sayangnya, walau bukan ulah dukun-dukun itu tapi penyakit yang dialami mendar bukanlah luka medis. Sedari tadi aku sudah melihat sosok makhluk kurus berbulu bertangan panjang dengan mata besar yang merayap di langit-langit di atas Mendar.

Lidahnya begitu panjang dan sesekali menjilati bagian tubuh mendar.
Sebenarnya aku ingin masuk dan segera mengusir sosok makhluk yang mengikuti Mendar itu. Tapi aku menahan niatku sebentar karena penasaran dengan teknik pengobatan Mas Dumadi.

Ia mencampur beberapa rempah-rempah yang baunya menyengat. Aku yang berada di luarpun sampai menutup hidung untuk menahan baunya. Rempah itu ditumbuk sambil membacakan sebuah mantra yang mengalun seperti alunan lagu jawa.

“Mendar, kalau sakit ditahan ya. Saya obatin dulu..” ijin Mas Dumadi.
Mas Dumadi mengoleskan ramuan itu pada kulit mendar. Seluruh kulit mendar hingga seluruh tubuhnya berwarna kuning. Sungguh cara pengobatan yang aneh.

Awalnya aku meragukan apa yang dilakukan oleh Mas Dumadi. Namun saat melihat apa yang terjadi setelahnya, akupun berubah pikiran.
Aku melihat setan yang merayap di atas langit-langit itu menjilati tubuh mendar yang sudah diolesi obat dari Mas Dumadi.

Entah bagaimana bisa tiba-tiba setan itu kesakitan dan terus memegangi lidahnya. Iapun segera pergi menjauh meninggalkan Mendar. Saat itu juga Mendar tidak lagi menggigil.

“Ini diolesin terus sampai habis ya bu, kalau bisulnya mulai kering baru boleh mandi” Jelas Mas Dumadi.

Aku menggelengkan kepalaku. Ini pengalaman baru untukku dimana luka-luka ghaib bisa disembuhkan hanya dengan seperti itu.

“Mas Dumadi ini tabib?” Tanyaku.

“Warga menganggapnya begitu mas, padahal saya nggak punya ijin medis. Saya juga was-was kalau ditangkap gara-gara praktek ilegal” balasnya.

“Tapi masnya tahu kalau Mendar tadi ketempelan makhluk halus?” tanyaku.

“Saya nebak-nebak aja sih mas. Biasa kalau penyakit yang berhubungan dengan ghaib kan ada gejala yang janggal, kenapa to mas?”

Sepertinya Mas Dumadi menyadari rasa penasaranku.

“Iya mas, keren aja bisa ngobatin orang dengan benda-benda sederhana seperti itu” Balasku.
Mas Dumadipun bercerita. Ia diajari oleh leluhur-leluhurnya tentang ini.

Setiap benda di alam ini memiliki maksud dan kegunaanya sendiri. Termasuk beberapa yang memang berhubungan dengan hal ghaib.

“Tuhan itu sudah menyediakan semuanya untuk kita di alam. Kita hanya hanya harus memahaminya dan mencari tahu cara kegunaanya” jelasnya.

Menurutnya, bahkan untuk hal ghaib kita tidak perlu melawanya dengan ilmu-ilmu bila mengetahui benda-benda apa saja yang bisa menangkal kutukan atau mengusir makhluk ghaib. Beberapa tanaman, rempah-rempah, jenis kayu, bisa berguna untuk itu semua bila tahu fungsi dan kegunaanya.

“Misalnya ibu hamil sering disuruh bawa bangle, atau saat bayi tidak berhenti nangis telapak-telapak tangan dan kakinya dioleskan kunir dan garam. Sebenarnya sudah banyak yang sadar akan hal ini, tapi sayangnya pengetahuan kita masih terbatas” ucapnya.

Sekali lagi mataku terbuka. Mungkin saja ini juga cara-cara orang jaman dulu yang belum menemukan ilmu medis dan agama untuk menghadapi masalah seperti Mendar tadi.

Aku menikmati waktuku di desa ini sampai tanpa sadar langit sudah mulai memerah. Saat aku kembali secangkir kopi sudah disediakan Mas Dumadi menyambut kedatanganku.
Berbeda, sungguh berbeda. Ketika matahari mulai terbenam warga-warga desa segera menutup pintu dan jendelanya.

Benar-benar tidak ada lagi aktivitas di desa ini. beberapa warga masih sesekali mengintip dari jendela, namun itu tidak merubah suasana desa ini yang menjadi sepi seketika.

Aku melihat kliwon telah kembali dan nangkring di kayu pegangan di pinggir balkon sambil memegang buah jambu merah yang entah dia dapat darimana. Namun aku merasakan bahwa kliwon sedang waspada terhadap sesuatu.

“Mas, masuk mas. di dalam saja..” ucap Mas dumadi.

Akupun menuruti ucapanya dan menikmati kopi sambil ngobrol dengan Mas Dumadi di dalam. Namun jendela tetap kubiarkan terbuka agar tetap bisa memantau apa yang terjadi diluar.

“Sebentar lagi mas akan tau ulah dukun-dukun itu” ucap pak dumadi.

Suara di desa terlalu hening.. bahkan jangkrikpun enggan bersuara di gelapnya malam desa ini. Sebaliknya, suara-suara aneh mulai terdengar ketika malam semakin larut.
Tawa anak kecil..
Suara benda yang di seret...
Hingga suara sosok makhluk tak kasat mata terdengar dari seluruh penjuru desa.
Aku menatap melalui jendela. Desa ini benar-benar sudah berubah. Saat ini desa ini lebih pantas disebut desa demit dibanding desa manusia bila dengan makhluk halus kiriman dukun-dukun itu.

“Mereka tidak pernah menyakiti warga desa mas?” Tanyaku.

“Belum mas, sepertinya dukun-dukun itu menunggu keputusan kami. Kalau kasus mendar tadi aku merasa tidak ada hubunganya dengan setan-setan kiriman dukun itu” jelas Mas Dumadi.

Aku menghela nafas. Setidaknya dukun-dukun itu masih berpikir jernih, atau malah mereka tidak mampu menanggung bayaran untuk memerintah demit-demit ini.
Terdengar langkah segerombolan orang memasuki desa.

Terlihat cahaya yang berasal dari nyala api obor yang dibawa oleh sekumpulan orang berbaju serba hitam dengan pengikat kepala.

“Keluar kalian Trah Rojobedes! Kami tunggu jawaban kalian sekarang!” teriak salah satu dari mereka.

Sekali lagi aku menyemburkan kopi yang baru saja kuminum. Benar-benar aku tidak menyangka ada orang yang tertipu sampai seperti ini. Sepertinya aku tidak akan pernah terbiasa dengan hal ini. Tapi harus bagaimana lagi, aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku.

Darmojo mengintip kami dari rumahnya seolah menunggu kami untuk keluar. Sesuai janji, akulah yang akan menghadapi mereka.
Akupun keluar ditemani dengan Mas Darmojo dan Mas Dumadi.

Beberapa warga mengintip dari dalam rumah sambil berdoa semoga tidak ada suatu hal yang akan mencelakai mereka dari pertemuan ini.

“Kamu?! Jadi kamu yang telah menghabisi adikku?” Teriak salah satu dari mereka.

Aku memperhatikan wajah orang itu. memang, secara sekilas wajahnya mirip dengan dukun yang kutemui di desa tanggul mayit dulu.

“Sudahlah mbah, kita bicarakan baik-baik saja. Tidak baik menyimpan dendam” Aku berusaha untuk menyelesaikan ini secara baik-baik.

“Tidak bisa! Nyawa dibalas nyawa!” ucap dukun itu sambil menunjuk ke arahku.
Belum sempat menghampiriku, aku melemparkan beberapa benda tepat di hadapanya.

“Apa itu mas?” tanya Mas Dumadi.

“Nggak mas, cuma ngembaliin kepunyaan mereka” balasku.

Dukun itu melotot melihat benda-benda yang kulemparkan tepat di hadapanya. Lipatan kertas berisi rajah, beberapa benda kuningan berbentuk ular, bungkusan kafan kecil berisi tanah. Itu semua adalah benda yang mereka gunakan untuk mengirim makhluk-makhluk yang meneror desa ini.

“Sudah mbah, saya menghargai mbah yang tidak melukai warga desa. Jadi lebih baik kita sudahi saja, daripada benda ini saya kembalikan ke rumah mbahnya?” ucapku.

Dukun itu terlihat gentar. Sepertinya ia tidak menyangka bahwa aku bisa menemukan ini semua ini.

“Ti..tidak bisa! Kalian trah terkutuk! Kalau bukan karena kalian adikku tidak akan mati!” ucapnya.

“Trah terkutuk? Enak saja! Justru kalian yang mengabdi pada trah Brotowongsolah yang telah menjual jiwa kalian pada iblis! Jangan asal bicara!” Balasku.

Saat itu Mas Dumadi dan Mas Darmojo menatap bersamaan ke arahku.

“Mas Cahyo.. kok bisa tahu mereka dari trah Brotowongso?” tanya mereka bingung.
Seketika aku panik.

“Err.. i..itu, paklek yang cerita. Dia sudah nyari tau duluan pake ilmunya tentang dukun-dukun ini” balasku.

(Gusti.. maafin saya berbohong Gusti, ini demi kebaikan bersama)
Mas Dumadi dan Mas Darmojopun mengangguk menerima alasanku.

“Aku tidak peduli, kamu harus bertanggung jawab atas kematian adikku! Kalau aku tidak berhasil membunuhmu namaku bukan lagi Mbah Budrah dukun pertapa sakti alas jati” ucapnya kesal.

Sepertinya tidak ada pilihan lain. Aku harus membuat mereka jera atas perbuatan mereka. Sayang sekali, setelah kematian Brotowongso seharusnya mereka punya kesempatan untuk bertobat.

Belum sempat menerima serangan mereka, tiba-tiba terdengar suara dentuman dari arah bukit belakang hutan. Saat itu juga suara burung beterbangan keluar dari dalam hutan.
Perasaan aneh menyelimutiku saat ini.

“Mas, suara apa itu mas?” tanyaku pada Mas Dumadi.

“Nggak tahu mas, saya baru pertama kali mendengar suara seperti itu” balasnya.

“Heh! Bocah! Jangan alihkan pandanganmu! Urusan kita belum selesai!” ucap Mbah Budrah.
Aku berlari mendekat ke arah bukit. Benar-benar ada hawa mengerikan muncul dari arah sana dan satu lagi, aku merasakan banyak sosok mendekat ke arah desa.

“Mas Dumadi! I..Itu! monyet putih!” ucap Darmojo yang menunjuk pada sosok monyet putih yang masuk ke arah desa bersama beberapa kawananya.
Wajah Mas Dumadi terlihat pucat. Sepertinya monyet putih itu bukan monyet biasa.

“Apa ini maksudnya mas?” tanyaku.

“Monyet putih mas, menurut kepercayaan leluhurku saat monyet putih ini turun dari kediamanya akan terjadi sesuatu hal besar. Mungkin saja bencana” jelasnya.
Berarti firasatku benar. Kliwon berinisiatif menghampiri monyet putih itu.

Seketika monyet putih itu waspada dengan kliwon seolah sadar siapa sosok kliwon sebenarnya. Namun itu hanya beberapa saat, mereka seolah berkomunikasi setelahnya.
Benar saja... tak beberapa lama muncul angin dingin dari arah bukit.

Tak lama setelahnya muncul makhluk yang melayang layang dari arah sana.

“Se...setan! Itu setan mas!” Teriak Darmojo sambil menunjuk ke arah sosok makhluk putih yang melayang-layang diatas desa.

Dari arah bukit terdengar suara beberapa auman makhluk yang semakin jelas terdengar. Akupun berlari ke arah hutan di perbatasan bukit. Lebih mengerikan lagi, puluhan makhluk menyerupai mayat hidup bergerak menuju desa.

“Mas Dumadi! Ungsikan warga!” Teriakku.

“Heh! Jangan kabur! Urusan kita belum selesai!” Mbah Budrah mencoba menahanku.

“Haarrggh... sudah mbah, ini masalah lebih besar! Urusin dulu setan-setan itu! kalau warga sudah selamat baru kita selesain urusan kita!” ucapku.

Mbah Budrahpun melihat sekeliling. Ia tahu demit-demit alas ini bukan makhluk biasa. Ada sosok di belakangnya yang tidak bisa ia hadapi.

“Mas Darmojo? Sebenarnya ada apa di atas bukit itu?” tanyaku.

Ia mencoba mengingat sesuatu sampai akhirnya menemukan sesuatu yang bisa diceritakan kepadaku.

“Setahu saya tidak ada sesuatu yang pentih mas, tapi ada bekas reruntuhan disana. Saya tidak tahu itu apa dan selama ini memang tidak ada kejadian apa-apa” Jelasnya.

“Reruntuhan? Reruntuhan apa?” Tanyaku.

“Menurut cerita turun-temurun tempat itu dulu digunakan untuk bersemayam roh-roh manusia dengan roh-roh leluhurnya.
Namun semenjak kepercayaan semakin berkembang tempat itupun dipindahkan dan disini hanya tersisa petilasan-petilasanya saja” Jelas Darmojo.
Bila ucapan Darmojo benar, harusnya tidak ada masalah dengan reruntuhan itu.

aku bisa saja menghadapi makhluk ini dan mengamankan warga desa. Namun aku merasakan ada yang lebih berbahaya di atas sana.

“Mbah Budrah! Tolongin warga desa dulu ya! Saya naik ke atas dulu, ada yang lebih gawat!” perintahku pada Mbah Budrah.

“Heh! Heh! Kok? Kok jadi begini?!”

“Tenang aja mbah, aku nggak bakal kabur.. Nyuwun Tulung ya mbah!” Teriakku yang segera mengajak kliwon berlari ke hutan.
Mbah Budrah yang merasa bingung memerintahkan anak buahnya untuk menjaga desa selama warga evakuasi.

Monyet putih itu mengikutiku dari belakang. Darmojopun menemaniku menuju tempat reruntuhan yang menyerupai bekas batuan candi yang tertumpuk.
Ada sebuah altar batu disana yang kurasa digunakan untuk memberikan persembahan oleh oran-orang jaman dulu.

Kliwon melompat ke bahuku dan menatap ke satu arah. Wajahnya benar-benar mengerikan seolah mengancam sosok makhluk yang ada disana.
Ular... itu ular yang sangat besar. Besarnya mungkin bisa sebesar desa Mas Dumadi tadi.

Aku tidak pernah menyangka akan melihat makhluk seperti ini.

“Ada apa mas? mas ngeliat apa?” Tanya Darmojo yang tidak dapat melihat sosok ini. Namun ia merasa panik ketika ada beberapa pohon runtuh dan mendengar suara mendesis yang memekakan telinga.

“Mas Darmojo, saat ada kesempatan segera tinggalkan tempat ini sejauh mungkin. Ini bencana!” balasku.
Darmojopun menelan ludah. Walau tidak dapat melihat sosok ini, ia merasakan dengan jelas rasa mencekam yang ada di sekitarnya.

Akupun membaca doa untuk melindungi diri dan mendekat ke arah sosok itu. Sialnya ternyata makhluk ini sudah mendapatkan banyak mangsanya. Dimulutnya terlihat sukma-sukma manusia yang pernah meminta ilmu darinya.

Menyadari kehadiranku, ular besar itu menatapku dan berpaling begitu saja seolah tidak menganggapku sebuah ancaman. Sebaliknya ia seperti melanjutkan niatnya untuk turun ke arah desa.

“Wanasura!!”
Saat itu aku panik dan segera meminjam wanasura untuk menghadangnya.

Sebuah lompatan besar membawaku sampai tepat di hadapan wajahnya yang sebesar rumah. Aku menghantamkan pukulan keras ke hadapanya dan membuat wajahnya terpental. Sayangnya itu bukan serangan yang fatal.

“Heh bocah bedes! Warga desa sudah pergi, sekarang kita selesaikan urusan kita!” Teriak Mbah Budrah yang ternyata menyusul ke tempat ini.

Kali ini Mas Darmojo yang menahan dukun sableng yang tidak bisa mengerti situasi itu.

“Wis mbah, nanti dulu... biar mas Cahyo ngurusin itu dulu” ucap Mas Darmojo.
Saat menoleh ke arah ular itu tiba-tiba Mbah Budrah terduduk.

“I..itu apa? Nggak mungkin ada makhluk seperti itu. Butopun tidak sebesar itu” nyali Mbah Budrah ciut seketika.

Ular itu tidak terima dengan seranganku. Ia memanggil dua sosok patihnya yang berwujud ular berbadan manusia. Namun sebelum ia menyerangku kliwon menerjang kedua makhluk itu hingga terpental. Kekuatan kedua patih ulo itu bukanlah tandingan Wanasudra.

Seolah merasa terancam, ular raksasa itu mengangkat tubuhnya dan mencoba menelanku. Beberapa sukma manusia berjatuhan dari mulutnya ketika akan menelanku. Itu benar-benar membuatku geram.

Mengetahui serangan itu, kliwon menghampiriku. Ia memukul kepala ular itu hingga terjatuh dan aku melompat setinggi-tingginya untuk menghantamkan pukulan sekuat tenaga di kepalanya.
Seketika ular itu terkapar...

Saat itulah kabut hitam mulai menyelimuti tempat ini. sosok ular raksasa itu berubah menjadi seorang manusia. Seorang wanita dengan selendang merah. Namun ia tidak bisa menyembunyikan beberapa sisik di bagian tubuhnya.

“Bocah brengsek! Kalian tidak pantas mencampuri urusanku!” ucapnya geram.

“Kalau kalian melukai manusia, itu sudah pasti jadi urusanku!” balasku.

“Kalian juga! Bagaimana mungkin roh suci alas Wanamarta mengabdi pada manusia rendahan seperti dia” Balas Setan itu.

“Mereka tidak mengabdi padaku, mereka hanya mengabdi pada yang maha pencipta sama sepertiku! Lebih baik kau segera kembali ke alamu!” Ucapku.
Setan wanita itu malah tersenyum.

“Aku hanya meminta hakku di alam ini, sebentar lagi kerajaan kami akan bangkit lagi dan kalian tidak akan bisa menghentikan kami!” ucapnya.
Aku tidak ingin menggubris ancamanya, namun aku tidak bisa menghiraukanya apa bila ucapanya memang benar.

Sosok wanita itu tiba-tiba menghilang dalam kabut, namun aku masih merasakan keberadaanya di tempat ini.

“Adikmu mengabdi pada pengikutku.. Brotowongso. Bagaimana kalau kamu juga mengikutiku, akan kuberikan kesaktian yang lebih dari bocah itu!”

Terdengar suara bisikan wanita itu dari belakang Mbah Budrah.

“Mbah! Jangan dengarkan hasutan setan itu! Brotowongso dan adikmu mati karna dia. Saat ini roh mereka masih menjadi bulan-bulanan mereka!” Teriakku memperingatkan Mbah Budrah.

Keringat dingin mengucur di wajah Mbah Budrah. Wajahnya lebih terlihat takut pada sosok itu dibanding tertarik dengan tawaranya.

“Kalau kau menolak, kau mati disini” ucap wanita ular itu.
Akupun mendekat perlahan ke arahnya.

“Brotowongso semasa hidupnya harus mencari tumbal untuk makhluk itu untuk terus memperpanjang umurnya. ia takut mati karena neraka sudah dijanjikan untuk semua yang bersekutu dengan setan” aku berusaha menguatkan hati Mbah Budrah.

“Adikmu mati setelah mencoba mengutus makhluk pengikut setan itu untuk membunuh Bulek dan Ibu dari temanku. Karna gagal, makhluk itu memakan Adikmu sebagai bayaranya” Tambahku.

Mendengar ceritaku ekspresi Mbah Budrah berubah. Matanya berkaca-kaca mendengar cerita dariku. Ia mengepalkan tanganya seolah membulatkan tekad.

“Apa itu benar?” ucap Mbah Budrah.
Aku mengangguk.

“Dan itu juga yang terjadi bila kamu menolak menjadi pengikutku” Bisik setan ular itu.

“Tapi apa masih ada kesempatan untuk saya bertobat?” Ucap Mbah Budrah. Kali ini air matanya menetes seolah tersadar dengan semua perbuatanya selama ini.

“Tuhan maha adil, semua keputusan pasti ada ganjaran dan konsekuensinya. Tapi Ia Juga Maha Pengampun..” Ucapku.
Belum sempat melanjutkan pembicaraan tiba-tiba tubuh Mbah Budrah terangkat dengan mata yang melotot seolah merasa kesakitan.

“To...tolong!” ucapnya dengan suara yang mulai menghilang.

“Pilihan bodoh!” ucap setan itu.
Aku mencoba berlari ke arah Mbah Budrah dan setan itu, namun mereka masuk ke dalam kabut dan menjauh.

Darah menetes dari mata, telinga dan hidung Mbah Budrah. Sebuah pemandangan yang benar-benar mengerikan.
Mas Darmojo mendekatiku seolah bingung dengan apa yang harus ia perbuat.

“Inilah ganjaran untuk kalian yang mencari masalah denganku!” Teriak setan itu.

Belum sempat menghabisi Mbah Budrah tiba-tiba sosok monyet putih tadi menusukkan sebuah batu tajam dengan tulisan aksara jawa tepat di atas kepala setan itu. Namun sepertinya itu bukan aksara jawa yang dikenal saat ini.

Seketika Mbah Budrah terjatuh, setan itu merasa kesakitan dan segera melepaskan batu itu dari kepalanya. Ia bersiap menyerang kami lagi, namun saat ia melihat kera putih itu masih menggenggam beberapa batu serupa iapun menahan seranganya.

Kliwon menyusul kera putih itu dan mengambil beberapa batu itu untuk membantunya.

“Awas kalian bocah kurangajar! Belum pernah aku diperlakukan seperti ini oleh manusia rendahan seperti kalian?!” ucapnya.

“Bukan manusia, tapi monyet. Kan monyet putih itu yang nusuk batu ke kepalamu” Balasku meledek.
Makhluk itupun semakin kesal.

“Saat kami berhasil bersatu, Keraton lelembut penghuni Setra Gandamayit akan kembali bangkit. Akan banyak dari kalian yang akan menjadi pengikut kami.
Saat itu akan kupastikan kalian mati setelah meninggalkan Tuhan kalian!” ucapnya.

Setra Gandamayit? Aku pernah mendengar tentang nama itu di kisah pewayangan Purwakala. Tapi apa benar tempat itu memang pernah ada?

Setelah mengancam kami kabut hitam menyelimuti hutan ini dengan pekat untuk sekejap. Saat kabut itu menghilang, makhluk itu tidak lagi terlihat di hadapan kami. Akupun mulai tenang saat tidak lagi merasakan sosok-sosok yang ada di sekitar kami.

Darmojo berinisiatif menolong Mbah Budrah yang terlihat lemah. Sepertinya setelah kejadian tadi Darmojo tidak bisa menganggap Mbah Budrah sebagai musuhnya lagi.
Kliwon memintaku mengikuti kera putih itu menuju reruntuhan dengan membawa batu-batu yang tadi ia bawa.

Ada sebuah batu di celah reruntuhan yang menunjukkan relief sebuah perjalanan manusia setelah mati menuju khayangan. Sepertinya ini adalah kepercayaan penduduk ini jaman dulu.

Namun disisi lain terlihat juga sebuah relief yang menunjukkan dimana roh manusia berkumpul dan disana terdapat sosok-sosok dedemit yang tidak pernah kulihat wujudnya. Bukan pocong, kuntilanak, dan makhluk yang sering berkeliaran saat ini.

Melainkan sosok-sosok yang hampir tidak bisa kujelaskan wujudnya. Mungkin setan ular tadi adalah salah satunya.
Aku membawa pecahan-pecahan batu tajam yang dibawa monyet putih tadi. Mungkin saja ini adalah aksara devanagari murni.

Semoga saja paklek bisa membacanya dan memberi petunjuk untuk masalah ini.
Monyet putih itu tetap tinggal di reruntuhan sementara kami kembali ke desa. Mungkin ia punya tugasnya sendiri disana.

***

“Jangan berpikir Setra Gandamayit itu tempat mengerikan. Dulu tempat itu dipercaya sebagai titik-titik awal saat roh manusia yang telah meninggal mencari ketenangan” Ucap Paklek melalui telepon.

“Terus kenapa setan ular itu mengaku berasal dari sana paklek?” Tanyaku.

“Saat itu bangsa dedemit mempunyai struktur kerajaanya sendiri. Mereka memang punya tugas untuk menghukum manusia yang berpaling dari Tuhanya. Tapi ternyata tidak sesederhana itu.. kalau paklek bahas lewat telpon paklek bisa jual kambing cuma buat bayar pulsa.

Nanti kita bahas di rumah saja” Jelas Paklek.

“Iya paklek, Aku pulang secepatnya” balasku.
Akupun menghela nafas. Akupun teringat mengenai buku tua yang ditunjukkan oleh Sena di padepokanya dulu.

Kalau memang yang disebutkan di buku itu benar, artinya kami memang harus bersiap.

“Mas, Ngapunten ya saya nggak nyangka ternyata masalahnya sebesar ini” Ucap Dumadi yang telah kembali setelah mengamankan warga.

“Nggak papa mas, justru saya khawatir kalau ternyata bukan saya yang dimintai tolong” balasku.

Akupun buru-buru ijin pamit kepada Mas Dumadi dan Mas Darmojo, namun Mbah Budrah yang sudah mulai pulih menghadangku di depan rumah.

“Ono opo meneh mbah?” (Ada apa lagi mbah?) Tanyaku.

“Semua yang mas ceritakan tentang adik saya itu benar?” Tanyanya.
Aku mengangguk. Mbah Budrah hanya menghela nafas, kali ini wajahnya tidak lagi menunjukan permusuhan.

“Ya sudah, saya pamit.. saya nggak nyangka Trah Rojobedes punya pendekar sekuat masnya. Setelah ini trah lain pasti akan memandang hormat dengan Trah ini” ucap Mbah Budrah.

“eh.. eh.. eh...”
Aku berlari dan menarik baju Mbah Budrah. Ada sesuatu yang harus kuluruskan disini.

“Ngapunten Mbah, saya minta maaf.. ada salah paham” Ucapku.
Akupun menjelaskan kejadian saat di desa tanggul mayit. Saat itu aku hanya bercanda menggunakan nama trah ini karena cukup aneh dan lucu untuk meledek. Namun tidak kusangka mereka malah percaya.

Lebih mengagetkan lagi, ternyata memang ada nama trah yang kugunakan untuk bercanda. Jelas aku bersalah atas perkataan isengku.
Saat itu Mas Dumadi dan Mas Darmojo terlihat kaget. Mereka tidak menyangka ada kejadian seperti itu.

“Maafin saya ya Mas Dumadi, Mas Darmojo.. gara-gara saya desa ini jadi di serang” ucapku.
Mereka berdua hanya menggeleng-geleng sementara Mbah Budrah masih tidak percaya dengan apa yang kuceritakan.

“Sudah mas nggak usah minta maaf, sepertinya ini semua takdir.
Kalau nggak begitu mas Cahyo nggak bakal datang ke tempat ini menghadapi setan itu” ucap darmojo.

“Dan kalau tidak bertemu mas Cahyo mata saya tidak akan terbuka untuk memilih jalan yang benar” ucap Mbah Budrah.
Syukurlah, dosaku berakhir dengan baik.

Mungkin setelah ini aku harus memikirkan perkataanku sebelum menggunakanya untuk bercanda.
Mas Darmojo menepuk pundak kiriku dan Mas Dumadi menepuk pundak kananku.

“Sebagai rasa terima kasih.. kami selaku yang dipercaya sebagai penerus trah rojobedes memberi kehormatan kepada mas Cahyo untuk menjadi bagian dari trah” ucap Mas Dumadi sambil tersenyum.
Akupun menoleh pelan ke arah mereka dengan wajah yang kurasa cukup aneh.

“Nggak, nggak mas... makasih! Saya Pamit!” ucapku yang segera berlari menuju vespa tuaku dan meninggalkan desa.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close