Gending Alas Mayit (Part 1) Teror Gamelan
Desa Windualit, sebuah desa terpencil yang jauh dari sosok hirup pikuk Perkotaan. Pemandangan indah Gunung Merapi selalu setia menemani pagi setiap warga di desa ini. Sama sekali tidak ada yang istimewa di tempat ini, bahkan desa ini masih jauh dari kesan modern. Rumah-rumah di sini masih dibangun dari kayu, bahkan listrikpun baru masuk beberapa tahun yang lalu itupun hanya cukup untuk lampu-lampu rumah.
JEJAKMISTERI - Wajar saja, untuk keluar atau masuk Desa Windualit kami harus melalui jurang sejauh ratusan meter. Kendaraan bermotor hampir mustahil mencapai desa kami. Namun warga desa ini sudah terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dari hasil bercocok tanam.
Uang? maaf saja benda itu tidak terlalu berharga di sini. Namaku Sekar, hanya perempuan biasa yang masih menumpang hidup dari orang tua. Keseharianku layaknya wanita desa biasa. Memasak, mencuci baju di sungai, menimba air dan kadang membantu di kebun bapak.
“Bu, sekar ke kali sebentar nyuci baju ya," pamitku pada ibu.
“Ya, jangan lama-lama," jawab ibu.
Aku mengangkat cucianku segera menuju sungai. Semua hal di desa ini terlihat biasa saja. Selain sebuah pantangan yang harus dipatuhi oleh warga desa ini, yaitu untuk tidak memasuki satu tempat terlarang di perbatasan desa. Warga menyebut tempat itu dengan nama “Alas Mayit” (Hutan Mayat).
“Dek sekar, mampir,” ucap Bu Retno yang sedang bersih-bersih di teras rumahnya.
“Njih bu.. Tak Nyuci baju dulu," jawabku sekedarnya.
Warga di sini memang sangat ramah, hampir setiap berpapasan kami selalu memberi salam atau sekedar perbincangan basa-basi.
“Duh… mas, piye iki?” terdengar suara wanita berbisik dari balik pepohonan, tanpa sengaja sedikit perkataanya terdengar olehku. “arrgh.. kok iso dadi koyo ngene!” terdengar suara seorang pria membalas ucapan wanita itu.
Aku mencoba menghampiri, namun seperti sadar akan kehadiranku mereka segera berlari meninggalkan tempat itu. Ya sudahlah, aku juga tidak tertarik dengan urusan orang lain.
Aku menyiapkan pakaianku dan segera mencucinya di sungai, tak jauh dari tempatku juga terlihat beberapa ibu-ibu sudah lebih dulu sampai di tempat ini.
“Sekar, kesiangan ya?" tanya salah satu ibu disana.
“Njih bu, ibu tadi nyuruh bantuin masak dulu," jawabku.
“Yowis, tak pamit duluan ya sekar," lanjutnya lagi.
“Njih bu, ngatos-atos,” satu-persatu ibu-ibu meninggalkanku di sungai, sampai akhirnya hanya aku sendiri. Segera aku menyelesaikan cucianku dan kembali ke desa.
Sekembalinya dari sungai, desa terlihat begitu sepi. Namun samar-samar terdengar suara ramai dari balai desa. Aku segera menghampiri ke sana, dan apa yang aku lihat benar-benar bukan pemandangan yang biasa.
Seorang wanita l, itu Laksmi, ia tersungkur di tanah dengan tubuh penuh luka, seolah dipukuli dengan sangat keras. “Iki anakmu mas… anakmu..!” tangis Laksmi sambil memohon kepada lelaki yang telah memukulinya itu.
“Perempuan brengsek!" ucap lelaki itu sambil mencoba mengantamkan tinjunya lagi ke Laksmi, namun segera ditahan oleh warga.
“Jangan menjelek jelekan suamiku, tidak mungkin suamiku mau dengan pelacur seperti kamu!" ucap Istri dari pria tersebut, Aswangga sang juragan ternama di desa ini.
“Sudah, bunuh saja!" teriak salah seorang anak buah Aswangga memanaskan emosi warga.
“Jangan pak, bicarakan baik-baik dulu,” ucap salah seorang warga. Sekali lagi pukulan yang keras menghantam Laksmi, dan wanita itu hanya diam berlutut sambil melindungi janin di perutnya.
“Sudah pak, Sudah… jangan sampai ada yang mati, kalau terpaksa.. usir saja dia dari desa ini,” ucap kepala desa yang merasa takut dengan pengaruh Aswangga dan anak buahnya yang terlihat bengis.
“Baik… Bawa dia! Usir dia dari desa ini!” perintah Aswangga kepada anak buahnya.
Tiga orang bertubuh besar dengan kasar menarik tubuh Laksmi menyeretnya membawanya keluar dari desa. Tubuh laksmi yang lemah tidak mampu melawan, dan hanya tangis yang terlihat dari wajahnya.
Sudah beberapa minggu berlalu setelah diusirnya Laksmi dari desa. Beberapa kabar tidak baik tersebar di antara warga desa tentang pengusiran Laksmi. Anak buah Aswangga dikabarkan membawa Laksmi ke hutan terlarang di perbatasan desa, memperkosanya dan menghabisi nyawanya.
Tidak ada satupun warga yang berani menanyakan atau memastikan kebenaran kabar burung tersebut, semua berlalu seperti tidak ada yang terjadi.
Sampai sesuatu terjadi di malam bulan purnama suara gamelan terdengar tanpa henti sepanjang malam, warga mencoba mencari sumber dari suara musik gamelan tersebut. Namun suara itu berasal dari hutan desa.
Saat malam sudah mencapai puncaknya, terdengar suara teriakan dari rumah Aswangga, seorang bocah laki-laki mendobrak keluar rumah & menari kesetanan mengikuti alunan musik gamelan.
Warga yang melihat mencoba membantu Aswangga menghentikan anaknya itu, namun tarianya semakin mengerikan. Bocah itu tertawa, memutar kepalanya ke belakang hingga mematahkan lehernya. Aswangga mencoba menghentikan, namun tetap saja tidak mampu menahanya.
Dalam kondisi seperti itu, bocah itu teap bergerak menari dan berlari menuju hutan. Warga ramai-ramai mengejar, suara gamelan terdengar semakin cepat, hingga sosok anak itu menghilang di tengah kegelapan hutan bersamaan dengan hilangnya suara gamelan yang berbunyi semalaman.
Pencarian tidak mungkin dilakukan di tengah malam, apalagi dengan penerangan yang seadanya. Akhirnya warga berjanji membantu Aswangga mencari anaknya di pagi hari.
Pagi menjelang, Warga bersiap dengan peralatan seadanya untuk membantu Aswangga mencari anaknya.
Namun sebelum masuk ke dalam hutan, terlihat sesosok badan tergeletak di mulut hutan dengan tubuh yang mengenaskan. Kepala, tangan, dan kaki tidak menyatu dengan tubuhnya. Itu adalah jasad bocah yang menari kemarin, anak dari Aswangga.
Warga sangat panik, terlihat dengan jelas raut muka gelisah di wajah anak buat Aswangga.
Namun ternyata, ini baru permulaan. Setiap purnama, terdengar suara gamelan dari dalam hutan, dan satu persatu warga desa akan menari seperti kesetanan menuju hutan. Dan dipastikan jasadnya akan muncul di mulut hutan pada pagi hari. Kami menyebut kutukan ini dengan nama “Gending Alas Mayit”.
***
Kondisi desa semakin hari semakin mencekam, seolah menunggu kapan giliran menerima kutukan itu. Sampai akhirnya warga memutuskan untuk memanggil orang pintar dari desa lain.
“Pak.. setelah ini, desa kita akan aman kan?” tanyaku kepada bapak. Bapak menghela nafas seolah menunjukan rasa kurang setuju.
“Mbuh.. Bapak sih kurang setuju, tapi di satu sisi bapak juga takut,” jawabnya dengan setengah gelisah.
Semenjak kejadian pertama, Bapak selalu mengajak kami sekeluarga dan tetangga untuk rutin melakukan pengajian. Hal ini tidak cukup untuk menangkal kutukan ini. Namun bapak selalu bilang kalaupun kita tetap jadi korban setidaknya kita membawa bekal pahala dari hal baik ini.
Malam mulai datang, suara gending terkutuk itu mulai terdengar. warga mulai berkumpul di mulut hutan. Terlihat seseorang kakek tua berpakaian serba hitam sedang melakukan ritual di sana bersama seorang anak buahnya.
“Bu.. kuwi to orang pintere?” tanyaku pada bu Retno yang juga berada di sana.
“Iya sekar, kok kelihatanya menyeramkan ya?" jawabnya.
Orang pintar itu menyelesaikan ritualnya dan berdiri dengan perlahan.
“Ketemu, setan itu ada di hutan," ucap kakek tua itu.
“Ben tak seret mrene” dengan segera kakek tua berjalan ke dalam hutan dengan membawa sebuah keris di genggamanya.
Rasa tegang meliputi seluruh warga yang menunggu di mulut gua. Cukup lama.. sampai akhirnya suara gamelan perlahan menghilang dari pendengaran kami.
“Pak, ga kedengeran lagi.. apa mbahnya berhasil?" tanyaku pada bapak. Bapak tidak menjawab, namun aku melihat Bapak sedang membacakan doa-doa seolah belum yakin semua akan aman.
Perlahan mulai terlihat kakek tua keluar dari dalam hutan, Ia berjalan dengan cara yang sangat aneh. Awalnya warga merasa sedikit lega, Namun semua itu berubah ketika suara gong muncul dari dalam hutan.
Suara itu gong berbunyi berkali kali dengan suara yang sangat keras seolah dipukul dengan amarah. Kakek tua itu tersentak, berdiri dengan kaku memiringkan lehernya memutar tubuhnya hingga patah dan tak bernyawa.
Warga panik dan berteriak, Namun kembali terdengar suara gending kutukan itu dengan suara yang keras dan cepat. Satu persatu warga di mulut hutan itu mulai menari dengan aneh, mereka mengamuk menghampiri orang lain sambil menyakiti diri sendiri dengan mematahkan sendi-sendinya.
“Sekar! Lari!” Bapak segera menarikku dan berlari menjauh dari sana. Aku menoleh, sudah hampir setengah warga menari dan cukup banyak yang sudah tergeletak di tanah dengan tangan tetap menyeret di tanah. Sisa warga yang masih selamat berlari berhamburan mencoba menyelamatkan diri.
Kami berlari menuju rumah, namun suara gamelan itu masih terdengar.
“Pak… panas pak “ tubuhku mulai terasa panas seolah ada suatu hal yang memaksaku untuk menggerakan badanku di luar kemauanku.
“Bu.. tolong bu!" ucap bapak memanggil ibu dari dalam rumah. Ibu keluar dengan tergesa-gesa dan menghampiri kami. Tanganku mulai berputar dengan gemulai, namun aku masih bisa menahanya.
“Pak.. tolong pak, Sekar takut,” ucapku pada bapak.
Bapak menyentuh kepalaku, membacakan doa, dan sekuat tenaga menahan badanku untuk tidak bergerak.
Rasa panas mulai menghilang perlahan, aku mulai bisa mengendalikan diriku. Namun dari jauh mulai terdengar suara teriakan warga menuju ke tempat ini.
“Bu.. Ambil semua yang sudah kita siapkan” perintah Bapak kepada ibu.
“Bapak Yakin…?" ucap ibu dengan ragu.
“Yang kita takutkan sudah terjadi, ga ada pilihan lagi,” ucap bapak sambil memandang wajah ibu.
Ibu melihat jauh ke arah desa dan melihat warga yang tengah kesetanan mulai mencapai tempat ini. Ia mengerti dan segera masuk ke dalam rumah.
“Sekar kamu dengerin bapak” kali ini bapak memandangku dengan wajah serius.
“Setelah ini, kamu harus tinggalkan desa ini.. pergi sejauh mungkin, sampai suara gamelan ini tidak terdengar,” perintah bapak kepadaku. “Tapi, bapak.. ibu..” tanyaku dengan ragu.
Ibu keluar dan membawakan sebuah tas yang isinya kebutuhanku yang telah disusun dengan rapi.
“Bapak dan Ibu akan tetap di desa, membantu sebisa mungkin,” ucap ibu. Terlihat beberapa pria yang telah kehilangan kesadaran menari ke arah kami.
“Pergi sekar, pergi! Kamu harus selamat..” ucap bapak yang segera membaca doa dan menghampiri pria-pria itu. Rasa panas mulai memasuki tubuhku lagi, kutukan gending alas mayit ini sudah merasuki tubuhku.
“Sekar.. kamu harus pergi sekarang, Cari orang ini. mungkin dia bisa membantu menyelamatkan desa ini,” ucap ibu sambil memberikan sebuah foto.
Aku tak tahan lagi dengan rasa panas ini, aku memeluk ibu erat-erat dan segera berlari menjauh dari suara gending ini. Gelapnya malam membuatku terjatuh beberapa kali, aku tak perduli yang penting aku harus menjauh dari suara ini.
Sudah semalaman aku berjalan menjauhi desa, matahari sudah mulai terbit. Suara Gending Alas mayit sudah tidak lagi terdengar, malam ini aku selamat dari kutukan itu.
Sebotol air yang sudah disiapkan oleh ibu di dalam tas hanya mampu sedikit menghilangkan rasa lelahku. Aku melihat foto yang diberikan oleh ibu, terlihat seseorang pria yang sedang berpose atas puncak gunung.
Aku membalik foto tersebut, dan tetulis sebuah nama -Dananjaya Sambara, Merapi – 6 Juni 2016.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya