Gending Alas Mayit (Part 2) Sendang Banyu ireng
Agustus 2009…
Lulus dari universitas ternama di Jogja merupakan mimpi yang menjadi kenyataan, walaupun.. aku lulus hanya dengan nilai seadanya.
Rasanya aku benar-benar semangat untuk memulai dunia baru, melupakan tugas-tugas semasa kuliah dan mulai bekerja.
Sebenarnya Pakde sudah mengajaku untuk membantunya bekerja di sebuah pabrik gula, Namun kupikir tidak ada salahnya sedikit refreshing sebelum mulai bekerja.
JEJAKMISTERI - Namaku Dananjaya Sambara, Panggil saja aku Danan. Hari ini aku berniat pergi mendaki sebuah gunung yang berdiri tegak di hadapanku saat ini… Merapi.
Rama dan Yanto, kedua temanku ini memang maniak mendaki. Selama masa kuliah mereka sudah mendaki lebih dari 10 gunung di Indonesia, mulai dari yang terpendek seperti Gunung Andong hingga ke Puncak Mahameru.
Tapi khusus kali ini, kami memilih Merapi sebagai ucapan terima kasih karena indahnya pemandangan gunung ini selalu menemani di masa-masa berjuang kami.
Santai menikmati pemandangan di sekitar sini.
“Danan.. Kamu kan katanya bisa liat lelembut, ga takut naik gunung begini? Katanya di gunung banyak” Tanya Rama dengan nada iseng.
“Halah Ram, Makhluk halus itu dimana-mana ada.. kalo udah biasa ya kayak ngeliat orang asing aja” Jawabku.
“Heh, udah mau maghrib.. jangan ngomongin yang nggak-nggak” Ucap Yanto dari belakang.
Satu jam perjalanan mengantarkan kami ke pos satu, Selokopo Ngisor. Untung saja langit belum gelap sehingga kami bisa melihat pemandangan beberapa gunung dari sini.
Setelah sedikit mengambil nafas, minum kami melanjutkan perjalanan lagi berharap sebelum tengah malam kami sudah bisa sampai di pasar bubrah dan bermalam di sana sebelum menuju puncak.
Tak terasa langit mulai gelap, kami mengenakan perlengkapan untuk menerangi jalan yang kami tempuh. Aku melihat sekeliling, nampaknya ada beberapa makhluk yang mengawasi kami.
“Danan… diem aja, ga usah cerita kamu liat apa” Ucap Rama memperingatkanku.
Tak berapa lama hujan mulai menurun deras, jarak pandang menjadi sangat terbatas namun kami terus berjalan mengikuti jalur yang sudah terbentuk.
Semua berjalan biasa saja, hingga jalan yang kami lalui berujung ke jalan setapak di pinggir jurang.
“Yanto, emang dulu ada jalur begini” Tanya Rama pada Yanto yang pernah mendaki merapi bersamanya.
“Ndak, aku ndak inget… Coba balik wis” Jawab Yanto
Kami berbali ke belakang ke mencoba kembali ke jalur semula, namun jalan yang kami lalui menghilang, yang ada hanya jalan yang berujung pada jurang.
“Kok bisa begini? Danan.. tadi kamu liat kan jalanya” Ucap rama padaku.
Aku mengangguk dan melihat sekeliling dan merasa curiga dengan apa yang terjadi.
“Kita dikerjain..” Ucapku pada mereka.
Terlihat makhluk jadi-jadian berbentuk seperti kera, berukuran seperti manusa dengan badan yang kurus mengawasi kami dari belakang Rama.
aku membacakan beberapa doa dan mantra pelindung, berharap bisa menghilangkan kami bertiga dari pengaruh gaib ini.
Jalan yang kami lalui terlihat kembali, dan jalur yang kami lihat sebelumnya, berubah jurang yang dalam.
Namun sepertinya yang kulakukan memancing perhatian makhluk-makhluk lain. Sepanjang jalan yang kami lalui dipenuhi oleh makhluk halus penunggu gunung ini.
“Lari Danan, kita balik ke bawah…” Teriak Rama.
Secepat mungkin kami berlari meninggalkan jurang itu , namun kondisi tanah yang terlalu licin mengaburkan pijakanku dan menjatuhkanku ke sebuah jurang yang dalam.
“Danan!! Danan!” Teriakan Rama terdengar dari jauh, namun suara itu sayup-sayup menghilang bersama dengan kesadaranku.
“Mas... bangun mas..”
Terdengar suara perempuan mencoba membangunkanku. Rasa sakit masih terasa dari kepala dan sekujur tubuh, namun aku tetap memaksa untuk membuka mata.
“i.. ini dimana?” Tanyaku pada perempua
n yang mencoba membangunkanku.
“Udah tenang dulu, ini diminum...“ Ucap perempuan itu sambil menyerahkan segelas teh hangat.
Aku meminumnya sampai habis, terasa rasa haus yang amat sangat dari tenggorokanku.
“Masnya udah pingsan seharian, warga nemuin mas pingsan di hutan kemaren” Jelasnya
Aku menyentuh dahiku yang ditutupi perban, mulai teringat kejadian saat aku terjatuh ke dalam jurang.
“Kalau udah bisa berdiri, itu ditunggu pak kades.. udah disiapin makanan di sana” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah rumah.
Aku mencoba berdiri, mencuci muka dan mencari baju ganti dari ranselku. Sejujurnya, aku cemas dengan keadaan Rama dan Yanto. Mereka pasti mencariku selama pingsan.
“Permisi...“ ucapku memasuki sebuah rumah yang tadi ditunjukkan oleh perempuan yang membangunkanku.
“eh.. monggo, masnya udah sehat? Sini makan dulu“ Ucap seorang pria paruh baya menyambutku.
Aku menghampiri mereka, dengan ramah sepiring nasi disiapkan dan diberikan kepadaku.
“Udah kenalanya nanti dulu, makan dulu aja... pasti laper kan? Lha wong pingsan seharian” ucap bapak itu.
“Njih.. maaf ya pak, ngapunten” Jawabku sambil mengambil lauk yang terlihat begitu menggoda.
“Kulo nuwon... permisi“ suwara wanita terdengar dari depan pintu rumah.
“Eh, Laksmi... sini ikut makan” Ucap sang pemilik rumah memanggilnya.
Ternyata Itu adalah perempuan yang tadi membangunkanku.
“Makan yang banyak mas...” ucapnya sambil melempar senyum.
Aku mengangguk dengan sedikit malu, namun sepertinya rasa lapar lebih berkuasa terhadapku.
“Saya kepala desa di sini, panggil aja pak Kades... sampai masnya benar-benar pulih istirahat di sini dulu saja” Ucap pria itu dengan ramah.
“Matur nuwun pak, nama saya Danan, memangnya ini di mana ya pak?” tanyaku
“Ini desa Windualit... pasti belum pernah denger” jawab pak Kades.
“Iya pak, saya baru tau ada desa di dekat posko pendakian” Lanjutku.
Pak Kades mengerutkan dahi seolah merasa heran.
“Posko apa maksud mas danan” tanya pak kades.
“Lha... saya terjatuh di jalur pendakian merapi... bukanya bapak nemuin saya di jalur pendakian?” Tanyaku pada mereka.
Laksmi dan pak kades saling memandang.
“Desa ini jauh dari posko pendakian manapun mas, apalagi sama kota.. kendaraan aja ga bisa masuk ke sini. Tadi kami nemuin masnya di hutan perbatasan desa..” Jelas Laksmi.
Aku merasa heran dengan apa yang mereka katakan, segera saja kuceritakan apa yang terjadi. Mereka terlihat heran karena jarak dari posko ke desa ini berpuluh puluh kilo jauhnya.
“Ya sudah, mas danan tinggal di sini dulu saja sampai pulih.. kalau sudah sehat, nanti kami antar” Ucap pak kades.
Desa yang sungguh damai, terlihat warga-warga yang sangat ramah satu sama lain. Hawa yang sejuk dan pemandangan indah gunung merapi selalu setia menemani pagi setiap warga di desa ini. Hanya saja di sini masih serba tradisional penerangan menggunakan lampu minyak, dan bentuk rumah-rumah yang masih dari kayu merupakan pemandangan yang tidak biasa untuku.
“Pagi Mas Danan...“ Ucap Laksmi memecah lamunanku di pagi hari.
“Pagi mbak laksmi...” Jawabku
Sepertinya senyuman manis laksmi akan tetap membekas selepas aku pergi dari sini nanti.
Sudah tiga hari aku tinggal di desa ini, di sebuah rumah singgah yang sepertinya diperuntukan untuk tamu yang mampir ke sini, rasanya aku mulai merasa cukup nyaman.
Akupun mulai Akrab dengan warga di desa ini. Namun aku tidak mau membuat teman-temanku lebih khawatir lagi. Setidaknya besok aku harus sudah pamit.
Seharian ini aku habiskan untuk berkeliling desa dan menyapa warga-warga di sini, namun ada sedikit yang mengganggu inderaku, yaitu sebuah hutan yang terletak di sudut perbatasan desa.
Hari mulai malam, desa sudah mulai sepi oleh warga. Aku tetap menikmati suasana ini dari teras rumah sampai akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat.
Belum sempat tertidur, suara ketukan berkali-kali di pintu rumah pak kades.
Aku keluar mencari tahu apa yang terjadi. Terlihat perbincangan singkat antara warga dan pak kades.
“ya udah, coba panggil Pak Sardi juga...“ Nanti saya menyusul.
Aku keluar menghampiri Pak Kades penasaran dengan apa yang terjadi.
“Pak, ada apa to pak ?” tanyaku pada pak kades.
“Katanya ada anak kecil hilang, seperti ditarik sesuatu ke dalam hutan” Ucapnya
“Mas Danan, saya ke sana dulu ya... istirahat aja” Lanjutnya.
“Nggak pak, saya ikut...” Bantahku
Kami sedikit berlari menuju mulut hutan, tempat warga berkumpul. Terlihat warga sudah siap di sana dengan kentongan dan obor.
Aku menerobos kerumunan dan melihat ke dalam hutan. Belum sampai masuk ke dalam, terlihat dari mataku dua makhluk halus penjaga dengan kaki sepanjang hampir manusia dewasa menunggu di tengah gelapnya hutan itu. Warga desa, sepertinya tidak sadar dengan keberadaan makhluk itu.
“Kita bagi, sebagian masuk ke hutan dan sisanya berjaga di desa” ucap pak kades kepada warga.
Aku berfikir, sangat berbahaya apabila warga masuk ke hutan. Bisa jadi anak yang di culik tadi hanya umpan untuk mencari tumbal lainya.
“P..Pak... jangan dulu bahaya” Ucapku pada pak kades.
“Kapa mas danan, keburu anak itu kenapa-kenapa ?” ucap pak kades
“Jangan pak bahaya, bisa-bisa warga lain juga jadi korban..” Jelasku
Pak Kades tetap bersikukuh untuk masuk, namun aku tetap menghalanginya.
“Kalau begitu kita harus bagaimana mas danan?” tanyanya dengan menahan emosi.
Aku menoleh kearah hutan, mencoba mengamati apa saja yang ada di sana.
“Biar saya yang mencari ke dalam...” jawabku.
“Gak.. gak mungkin kita biarkan mas danan sendirian ke sana“ tentang pak kades yang terlihat tidak setuju.
“Gak sendiran, saya akan ikut ke dalam” Terdengar suara dari seorang pria paruh baya yang baru datang.
“Pak Sardi... benar mau masuk ke sana ?” Tanya pak kades.
Ternyata beliau adalah Pak Sardi, seseorang yang diminta tolong dipanggilkan oleh pak kades .
“Jangan pak, berbahaya... kalau memaksa masuk lebih baik pagi hari, biar saya mencari tahu dulu kondisi di dalam” Ucapku pada orang itu.
Pak sardi tidak menghiraukan ucapanku, berjalan maju ke mulut hutan dan membacakan doa-doa yang cukup panjang.
Terlihat kedua makhluk penjaga di mulut hutan itu geram dan menghampiri Pak Sardi, namun sebelum sempat mendekat kedua makhluk itu terbakar habis.
“Mas, jadi ikut ke dalam?” Ucap pak sardi dengan menoleh ke arahku.
Aku yang terkesima dengan apa yang Pak sardi lakukan segera meminta obor dari warga dan berjalan masuk ke dalam hutan.
Gelap, sangat gelap. Bila tanpa obor di tanganku mungkin rasanya seperti menutup mata.
“Pak, kok bisa segelap ini ya.. harusnya masih ada cahaya bulan” Tanyaku pada pak Sardi.
“Entah mas.. berhati-hati saja” ucap pak sardi.
Belum sempat menjawab perkataan pak sardi, kami terhenti oleh sebuah pemakaman tua yang tersusun berbukit-bukit dengan nisan yang hampir tak berbentuk.
Yang membuat semakin mengerikan, seorang kakek tua bungkuk dengan rambut putih panjang terlihat bergerak merangkak di antara makam, memakan sisa-sisa jasad yang tidak sudah tidak berbentuk.
Pak Sardi mencoba mendekat, namun makhluk itu menghampiri dan bersiap memberi perlawanan.
“Lungo! Kowe ra ndue urusan karo aku“ (Pergi, urusanmu bukan sama aku) Ucap makhluk itu.
“Sing mbok cari ono ning kono, nek kowe wani...” (yang kamu cari ada di sana, kalau kamu berani)
Kami mengerti, sepertinya memang bukan makhluk ini yang kami cari. Tapi dia menunjuk ke sebuah sendang tak jauh dari tempat dia berada.
Makam demi makam kami lewati, sebuah gong gamelan tua besar mulai terlihat berdiri diantara sendang yang mengalirkan air berwarna hitam.
“Hati-hati mas Danan, makhluk itu masih terus memperhatikan kamu” ucap pak sardi.
Benar, walaupun tidak mengikuti, makhluk itu terus memperhatikan ke arahku.
“itu.. itu pak sardi! Ada anak kecil di sana” Ucapku ke pada pak sardi.
Terlihat seorang anak balita tanpa pakaian tergeletak di tengah-tengah sendang. Terlihat air berwarna hitam mengalir melewati tubuh anak kecil itu.
Aku segera melepas jaketku dan segera menghampiri bocah itu. Namun sebelum sampai ke sana terlihat menyerupai wanita raksasa berjalan bungkuk dengan tanganya dengan payudara yang menggelambir menahan bocah yang tidak sadarkan diri itu.
“Hati-hati.. sepertinya makhluk itu yang berniat jahat” Ucap pak Sardi padaku
Belum sempat menjaga jarak tangan besar makhluk itu meraih wajahku dan menariku.
Pak sardi segera bergegas membacakan doa dan mengayunkan tanganya, terlihat cahaya putih menyelimuti kepalanya berhasil melepaskan cengkeraman makhuk itu.
Setan itu berlari ke belakang dengan menyeret bocah kecil di tanganya. Kami mengikutinya namun terdengar suara gong dipukul berkali-kali seolah memberikan isyarat.
Kami berhent di tak jauh dari sendang, dan mulai terlihat pemandangan yang sangat mengerikan di sekeliling tempat ini.
Semua makhluk halus penunggu hutan memperhatikan kami dari balik pohon seolah mengikuti tanda dari suara gong tadi. Pocong dengan badan yang tidak utuh, perempuan tua begantungan dengan tangan tanpa kaki ditubuhnya.
Sepertinya mereka korban-korban pembantaian di jaman dulu. Mungkin saja jasad dan keberadaan mereka yang membuat air di sendang tadi menjadi hitam pekat.
Aku gentar, begitu juga dengan Pak Sardi. Dendam makhluk-makhluk itu terlalu kuat.
“ini yang aku takutkan pak, anak itu hanya pancingan agar banyak warga masuk ke sini menjadi tumbal mereka” ucapku dengan gemetar.
“Kalau kita bertarung sekarang, kita pasti mati” ucap pak sardi.
Benar kata pak sardi, tidak mungkin kita melawan mereka semua.
Satu persatu makhluk itu mendekat bersiap menghabisi kami. Pak Sardi membacakan mantra pembakar, menyerang satu persatu demit di sana, tapi itu tak cukup.
Aku membacakan ajian pelindung dan berlari menerjang bocah kecil yang di bawa setan wanita itu.
Tangkapanku berhasil, segera kuangkat anak itu dan berlari secepat mungkin. Namun tidak lama, pukulan besar menghantamku dari belakang.
Aku terjatuh, Pak sardi menghampiriku dan mencoba melindungi dengan doa-doa yang dia baca. Namun ilmu pak sardipun tak cukup kuat, Tangan tangan makhluk buas mulai merobek tubuh kami.
Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku, terlihat setan wanita mengambil batu besar bersiap menghantamkan ke arahku.
Sakit.. sangat sakit, Aku menutup mata, seolah pasrah dengan apa yang terjadi. Ku pikir inilah akhirnya, tapi tiba-tiba mendadak semua serangan itu terhenti.
Pak sardi dengan tubuh yang penuh luka mencoba berdiri dan melihat apa yang sedang terjadi.
Kakek tua bungkuk berambut putih di pemakaman tadi menghampiri kami. Demit-demit yang menyerang kami mundur perlahan seolah ketakutan.
“Bocah asu, Sopo jenengmu!” (Bocah anjing! Siapa namamu) Tanya kakek tua itu padaku.
“Danan.. Dananjaya Sambara“ jawabku dengan lemah.
“Sambara... wong wong goblog sing ora sayang karo uripe” (Sambara.. orang orang bodoh, yang tidak sayang dengan hidupnya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan.
“Mulih! demit-demit iki ben dadi urusanku” (Pulang! Setan-setan ini biar menjadi urusanku!) Perintahnya kepadaku.
“Ta.. tapi, mbah iki sopo?” (tapi, mbah ini siapa?) tanyaku penasaran.
“Ora usah kakean cangkem, jogo wae keris Ragasukma sing mbok pegang” (Tidak usah banya bicara, jaga saja keris raga sukma yang kamu pegang) Ucap Kakek tua itu.
Pak Sardi terheran dengan apa yang terjadi, namun ia segera membantuku berdiri dan meninggalkan hutan ini.
“Keris Ragasukma? Bagaimana kakek itu tahu tentang keris yang tersimpan di sukmaku.”
Sekilas aku menolah, terlihat kakek tua itu tertawa seperti orang gila melompat dari pohon-ke pohon membasmi setan-setan itu dengan brutal.
Matahari mulai terlihat, hanya sebagian warga desa yang masih menunggu di mulut hutan. Warga terlihat lega setelah mengetahui kami dan anak yang diculik selamat dari hutan.
Tidak banyak yang kami ceritakan ke warga tentang apa yang terjadi di dalam hutan.
“Bapak.. Bapak gapapa? “ Tanya seorang anak wanita yang berlari menghampiri pak sardi.
“Gapapa Sekar, Cuma luka sedikit“ Jawabnya dengan melemparkan senyum pada anaknya itu, walaupun aku tahu luka pak Sardi juga cukup serius.
Aku memutuskan untuk istirahat semalam lagi dan pulang besoknya.
Barang dan perlengkapanku sudah siap, terlihat beberapa warga sudah siap mengantarku ke kota.
“Pak Sardi, Pak Kades.. saya ijin pamit dulu ya.Maaf sudah merepotkan“ Ucapku berpamitan.
“Mas Danan, Terima kasih sudah membantu warga di sini.. sering-sering mampir ya” Ucap pak kades.
“Iya pak, semoga saya bisa mampir ke sini lagi... toh saya masih ingin mendaki ke puncak merapi” Balasku.
Ingatanku kembali teringat akan hutan dan sendang dengan air yang begitu hitam. Cepat atau lambat tempat itu pasti akan menjadi bencana untuk desa atau bahkan lebih besar lagi
Aku berpamitan dan meninggalkan desa terpencil di lereng kaki gunung merapi yang menyimpan banyak misteri ini...
desa windualit...
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya