Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gending Alas Mayit (Part 3) Ikatan Masa Lalu

Sayup-sayup terdengar suara gamelan terdengar di antara hutan di sekitar pabrik gula, terlihat seorang wanita muda menari dengan gemulai di tengah-tengah cahaya bulan purnama..


JEJAKMISTERI - Tapi... darimana asal suara gamelan itu? Tidak ada satupun tanda-tanda pemain maupun alat musik gamelan di sekitar sini?

Yang anehnya lagi, mereka.. makhluk halus para penunggu pabrik yang sudah lama tidak menampakan diri, kini berkumpul di sekitar wanita itu..

Aneh.. tidak, lebih tepatnya mengerikan! Tarian wanita itu semakin menggila.. ia memaksa memutar sendi-sendi tubuhnya ke arah yang tidak wajar..

Aku berlari mendekati wanita itu mencoba menahan gerakanya, namun tenaganya terlalu besar..

Sesuatu sedang merasuki tubuh wanita ini..

Sebuah doa dan ayat-ayat suci kubacakan untuk menenangkan wanita itu..

Cukup lama.. hingga akhirnya wanita itu terbaring lemas dan tak berdaya.

***

Kota Jogja, sebuah kota yang pasti akan sulit dilupakan oleh siapapun yang berkunjung ke tempat ini. Rasa nyaman kota ini takkan pudar walaupun hanya dinikmati dengan berjalan-jalan dengan vespa tua ini.

Terlihat sebuah kereta telah berhenti di stasiun, aku memarkirkan motor dan menunggu seseorang keluar mengenali vespa tua ini.

"Cahyo!" teriak seseorang seumuranku yang baru saja keluar dari stasiun.

"Ojek mas...? " Jawabku dengan sedikit meledek.

"iya, ojek mas... ke pemakaman ya" balasnya

"asem.. mbok pikir aku demit" jawabku sambil menepuk helm yang sedang dipakainya.

Danan adalah teman seperjuanganku saat bekerja di pabrik gula walaupun sekarang ia memilih berhenti dan mencoba peruntungan untuk melamar di perusahaan swasta di jogja.

"Cahyo... perempuan yang kamu ceritain itu masih di rumah Paklek?" Tanya Danan kepadaku.

Aku memang sudah menceritakan mengenai seorang perempuan aneh yang di temukan di hutan belakang pabrik gula.

"Masih, makanya kamu temuin dulu... tanggung jawab kamu!" Jawabku meledek

"Ngeledek aja kamu..." balasnya

"lha piye.. ditemukan seorang perempuan yang ga inget apa-apa, petunjuknya cuma di tasnya ada fotomu..." Jelasku

"Yowis... tar kita temuin dulu aja, cepetan gas.." jawab danan dengan raut muka yang penasaran.

Vespa tua kulaju dengan santai menuju ke rumah paklek di klaten, topik-topik ringan tak berhenti bermunculan saat perjalanan. Wajar saja, selama kejadian di imah leuweung kita hanya membahas masalah-masalah yang serius. Perjalanan yang harusnya cukup lama jadi terasa cukup singkat, tanpa terasa kami sudah sampai di rumah paklek.

**

"Kulo nuwun..." Aku mengetuk pintu rumah paklek yang tak jauh dari rumahku.

Seorang pria berambut putih terlihat buru-buru keluar membukakan pintu.

"Eh Danan.. udah sampe, yuk masuk dulu" Sambut pria itu.

"Danan doang Paklek? Aku ra diajak masuk..." Tanyaku setengah merajuk.

"Eh.. ono kowe to panjul, omahmu kan ning kono..." Ucap pakde menunjuk ke rumahku sambil meledek.

"Ya.. mbok diajak masuk dulu gitu, toh bulek udah masak bandeng kan? Ambune tekan kene lho.." Jawabku merayu pakle

"Giliran makanan cepet banget kamu.. yowis ayo masuk" Lanjut paklek sambil membukakakan pintu.

Danan yang melihat tingkah laku paklek kepadaku hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng.

Aku membantu danan memberes-bereskan barang bawaan sembari bulek menyiapkan makan malam untuk kami.

Paklek Bimo adalah adik dari ayah Danan, dulu dia sengaja meminta tolong danan untuk bekerja di pabrik gula dekat sini setelah lulus kuliah. Alasanya sudah jelas, selain membantu menjadi buruh di sana, kami juga membantu untuk memindahkan roh-roh halus penunggu pabrik itu agar tidak mengganggu pekerja di sana.

" Danan, cahyo.. sini, ayo makan!" Suara Bulek memanggil dari pawon rumah.

"Nggih bulek.." Danan menjawab dengan sopan.

Kami segera keluar kamar dan bergegas menuju meja makan, terlihat disana bulek sedang mempersiapkan makanan dibantu dengan seorang wanita yang tidak kukenal.

"itu perempuan yang kamu ceritain? " bisik danan kepadaku.

"Gak usah pura-pura kamu, ngaku aja.. udah kamu apain dia?" balasku dengan suara yang keras hingga terdengar oleh Paklek dan Bulek.

"Nggih bulek.." Danan menjawab dengan sopan.

Kami segera keluar kamar dan bergegas menuju meja makan, terlihat disana bulek sedang mempersiapkan makanan dibantu dengan seorang wanita yang tidak kukenal.

"itu perempuan yang kamu ceritain?" bisik danan kepadaku.

"Gak usah pura-pura kamu, ngaku aja.. udah kamu apain dia?" balasku dengan suara yang keras hingga terdengar oleh Paklek dan Bulek.

Sontak danan memukul kepalaku, tentunya dengan muka yang sedikit memerah.

"Udah-udah, ayo makan dulu" ucap paklek memotong pembicaraan kami.

Masakan bulek selalu ngangenin, walaupun tidak ada danan, kadang aku masih sering numpang makan di sini. Sambel buatan bulek memang paling enak se tanah jawa.

"Mbak... kenal sama mas mas ganteng ini?" ucapku kepada wanita di samping bulek.

Wanita itu menoleh pada danan menggelengkan kepala.

"Tuh kan, makanya jangan nuduh macem-macem" ucap danan.

"lha itu.. dia bawa-bawa fotomu, coba mbak.. tunjukin ke danan" Ucap cahyo

Wanita itu meninggalkan bangkunya, berlari ke kamar dan menunjukan sebuah foto yang berisi gambar danan sedang berpose di puncak merapi, dibaliknya tertulis dananjaya sambara, merapi 6 juni 2016.

"Tuh kan! Itu foto kamu kan? Mau alasan apalagi kamu?" Ucapku setengah meledek pada danan. Namun danan tidak merespon, ia mengambil foto itu dan melihatnya dengan tatapan serius.

"i.. ini, foto ini.. aku ingat, aku mengirimkan foto ini ke seseorang di desa terpencil di lereng merapi" ucap danan

"Pak Sardi! Iya.. aku mengirimkan foto ini saat berhasil mendaki ke puncak merapi, setelah sebelumnya aku tersesat di desa.. windualit..."

Danan terlihat serius, ia menoleh ke arah wanita itu seolah berhasil mengingat sesuatu.

"Sekar... jangan-jangan kamu dek sekar?" tanya danan kepada wanita itu.

Wanita itu hanya menunduk, seolah tidak mampu mengingat apapun tentang dirinya.

"Ku.. kulo boten inget mas..." jawabnya

"Pak sardi, desa Windualit... apa yang terjadi di sana?" tanya danan dengan suara yang semakin keras.

Sekar terlihat ketakutan seolah tidak mampu menjawab pertanyaan danan. Bulek memeluk pundak sekar, berusaha menenangkan sekar yang berusaha keras mengingat sebisanya.

"Udah, selesaikan dulu makanya... habis ini kita kumpul di pendopo" ucap paklek dengan tegas.

Suasana setelahnya menjadi semakin serius, terlihat dari mata danan seolah sedang mengingat sesuatu.

***

Pendopo pakde terletak di halaman belakang rumah yang bersebelahan langsung dengan hutan, tempat yang nyaman untuk menikmati suasana malam.

Kami berkumpul dan duduk dengan seadanya, terlihat beberapa benda-benda antik terpajang di dinding pendopo

"Nah danan... coba ceritakan apa yang kamu tau" tanya paklek kepada danan.

"Nggih Paklek, dulu sewaktu saya lulus kuliah saya sempat tersesat ke desa windualit di kaki gunung merapi..." Ucap danan memulai ceritanya tentang sebuah desa terpencil yang di luarnya terdapat sebuah hutan misterius bernama Alas mayit.

Danan menceritakan kisahnya saat mencoba membantu warga desa mencari seorang anak yang diculik makhluk halus ke dalam hutan dengan bantuan Pak Sardi yang kemungkinan adalah ayah Sekar.

"Yowis... Besok kita kesana aja, kita anter sekar sekaligus kita cari tau ada masalah apa di sana" Ucapku kepada danan.

"Jangan buru-buru, kamu ingat bagaimana kamu menemukan sekar.. salah-salah kita bisa bernasib sama" Ucap pakde memperingatkanku.

"Sekar, kamu benar tidak ingat sama sekali soal desamu?" Tanya pakde pada sekar.

Wanita itu hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Nah kan.. kalu begini bagaimana kita bisa dapat petunjuk" Tanyaku pada paklek.

Paklek masih berusaha berfikir untuk menemukan sesuatu yang bias dijadikan petunjuk.

"Sebenarnya ada satu cara... tapi sepertinya cukup berbahaya" ucap danan.

Kami menoleh dan mulai memperhatikan danan.

"Cahyo, kamu inget eyang widarpa? " tanya danan kepadaku.

"Maksudmu, demit kakek tua gila yang membantu kita melawan Brakaraswana?" Jawabku memastikan kepada Danan.

"Iya... aku baru ingat, di desa itu aku pertama kali bertemu dengan eyang widarpa, mungkin dia tau sesuatu" Lanjut danan.

Paklek mengernyitkan dahi, terlihat ia tidak mengerti dengan apa yang kami bicarakan.

"Waduh... repot juga ya, nek mbok panggil terus dianya ngamuk bisa hancur satu desa" Ucapku pada danan.

Paklek seolah mengerti sesuati, ia masuk ke sebuah ruangan dan kembali keluar dengan membawa sebuah keris. Ia segera mengikat keris itu di pinggang seolah bersiap untuk sesuatu.

"opo kakek tua yang kamu maksud ada hubungan dengan keris ragasukma?" Tanya paklek.

"Iya paklek... kok paklek tau?" Tanya danan.

"wis.. panggil wae, itu ditengah kebun.. ojo nong kene" ucap paklek.

Aku dan Danan saling berpandangan seolah masih ragu.

"Sekar... sini sekar, jangan jauh-jauh dari mas cahyo" Ucapku sekedar menggoda sekar.

Tak menunggu lama, sebuah sandal jepit dilemparkan oleh paklek ke arahku.

"Dasar Panjul.. jangan cari-cari kesempatan kamu!" bentak pakde kepadaku.

Aku menringis kesakitan, terlihat tawa kecil yang manis terpancar dari mulut sekar.

Jagad lelembut boten nduwe wujud

Kulo nimbali

Surga loka surga khayangan

Ketuh mulih sampun nampani

Tekan Asa Tekan Sedanten...

Sebuah mantra terdengar dari mulut danan yang sedang berdiri di tengah kebun, terlihat sebuah keris telah tergenggam di tanganya.

Rintik-rintik hujan mulai turun, terlihat sosok mengerikan muncul dari kegelapan hutan di belakang kebun Paklek.

Kakek tua dengan ramput putih panjang berjalan dengan bungkuk menuju danan.

"Bocah Asu ra tau sopan santun..! wis bosen urip? " (Bocah Anjing gat tau sopan santun! Sudah bosan hidup?) ucap kakek itu sambil mendekat dan mencengkram kepala danan.

Aku bersiap melepas sarung dari pundaku dan menerjang Kakek tua itu, namun kakek itu terlalu cepat iya melompat keatas pendopo dengan membawa tubuh danan seperti boneka.

Merespon perbuatan kakek tua itu, Paklek segera berlari

"Eyang.. enek sing arep ketemu" (Eyang, ada yang mau ketemu) paklek mendekat dengan menggenggam keris yang tadi ia pegang.

"Sopo? Sopo kowe?" (Siapa? Siapa Kamu?!) ucap makhluk itu.

"Kulo Bimo sambara.. Sing arep ketemu ki, Nyai Suratmi.." (Saya Bimo sambara, Yang mau ketemu itu.. Nyai Suratmi) Ucap Paklek sambil menunjukan keris itu kepada kakek tua itu.

Terlihat kakek tua itu memperhatikan keris yang dibawa Paklek, raut wajahnya berubah menjadi panik.

Iya menjatuhkan danan, dan aku segera menangkapnya.

"Ojo, ojo kowe celuk wong wedok kuwi...!" (Jangan.. Jangan kamu panggil perempuan itu!) Kakek tua itu melompat menjauh dan mencoba bersembunyi.

Danan kembali berdiri dan menghampiri paklek.

"Nyai suratmi ki sopo to paklek?" (Nyai Suratmi itu siapa to Paklek?) tanyaku pada Paklek

Paklek tak menjawab, ia hanya tersenyum seolah menahan tawa.

"Rene sik mbak, Cucu buyutmu ki mung arep takon" (kesini dulu mbah, cucu buyutmu ini Cuma mau bertanya) ucap paklek.

Eyang Widarpa mendekat, tapi kali ini ia mendekat dengan sedikit ragu. Danan mendekat dan memanggil sekar.

"Eyang... iki sekar, seko desa windualit.. apa eyang tau enek masalah opo ning kono?" (eyang, ini sekar dari desa windualit, apa eyang tau ada masalah apa di sana?) tanya danan pada eyang widarpa.

Terlihat eyang widarpa memperhatikan sekar, namun tatapan sekar berubah menjadi mengerikan. Hujan menjadi semakin deras... sayup-sayup terdengar suara gamelan yang tidak diketahui dari mana sumber suaranya

Merasa ada yang aneh, Eyang Widarpa segera membelakangiku dan Paklek

"heh.. Bocah asu, Bimo.. ndelik ning mburiku!" (Heh.. Bocah anjing!, Bimo.. Ngumpet di belakangku) Ucap eyang widarpa kepada kami seolah memberi tahu akan adanya bahaya.

"Aku ora mbah? " (Aku nggak mbah?) Ucapku.

"Ora usah, kowe sing nyeluk aku demit kakek tua gila kan?" (Ga usah.. Kamu yang manggil aku kakek tua gila kan?) ucap kakek itu padaku.

Aku menepuk dahiku, rupanya eyang widarpa mendengar perbincanganku dengan danan tadi.

Mata sekar terlihat semakin terbelalak, ia mundur menjauh mendekat kehutan dan membentuk sebuah tarian. Suara gamelan terdengar semakin cepat, lebih cepat dari saat pertama aku menemukan sekar.

Aku berlari menerjangnya, namun tenaga yang kuat muncul dari tubuh sekar mendorongku menjauh.

"... Kowe ora isa nolong bocah iki meneh..." (kamu tidak bias menolong bocah ini lagi) Ucap sekar dengan suara yang menyeramkan

Di tengah hujan deras, Sekar menari kesetanan mengikuti irama gamelan.

Suara gong menggema begitu keras serentak dengan pinggang sekar yang hampir patah karna memaksa memutar tubuhnya.

"To.. tolong" terdengar suara sekar kembali seperti biasa namun terlihat tangis kesakitan dari matanya.

Sekali lagi suara gamelan terdengar semakin cepat, kami tahu akhir ini akan diakhiri dengan gong yang akan melukai sekar.

"E.. eyang" ucap danan kepada kakek tua itu.

Eyang melompat ke arah sekar, menabraknya, mencengkram kepalanya dan menariknya seolah bersiap memutuskanya.

"Tu.. tunggu jangan sakiti sekar" ucapku pada kakek tua itu.

Namun ternyata salah, Eyang menarik sesosok makhluk hitam berpakaian sinden dari tubuh sekar. Tanpa menunggu, kakek tua itu meremas kepala setan itu, memakan tubuhnya hingga tidak berdaya.

"Gending alas mayit..." Ucap Eyang widarpa.

"Apa itu mbah?" tanya danan

"Tanya sama bocah itu, sudah tidak ada yang mengahalangi ingatanya" ucap kakek itu.

Paklek membacakan doa pada sebuah air dan meminumkanya pada sekar, aku tahu itu adalah mantra penyembuh. Paklek paling ahli soal penyembuhan. Terlihat wajah sekar kembali pulih, tapi entah dengan luka-lukanya saat menari tadi.

"Pak... Sekar inget pak" ucap sekar saat tersadar. Ia segera menoleh ke arah danan.

"Mas... Desa mas, desa kena kutukan.. tiap malam purnama satu persatu warga desa menari masuk hutan, dan paginya ditemukan tewas dengan tubuh yang tidak utuh" ucap sekar dengan histeris kepada danan.

"Bapak? Pak sardi? Bagaimana keadaanya?" Tanya danan.

"Bapak tinggal di desa membantu warga yang kesurupan, Sekar disuruh lari keluar desa untuk mencari mas danan.. katanya mungkin mas danan bisa bantu" jawab sekar.

Terlihat danan mencoba mengingat sesuatu.

"Alas mayit... di sana ada sendang banyu ireng dan tempat asal eyang widarpa... mungkin eyang widarpa bisa membantu" ucap danan

Seolah mengerti maksud danan Eyang widarpa berbicara "Ora, Gending alas mayit kuwi kutukan amergo duso.. aku ora iso nulungi opo-opo"

(Tidak, gending alas mayit itu kutukan karena perbuatan dosa, aku tidak bisa menolong apa apa)

Kami menjadi semakin bingung, sekar terliihat sedih dan menangis.

"Mbah.. mosok ora ono tenan jalan keluar untuk mengakhiri kutukan itu?" tanyaku mendekat.

Kakek tua itu menoleh ke arahku dengan muka yang masih kesal.

"Tabuh waturingin.. biyen kuwi sing ngilangi kutukan gending alas mayit, ojo takok ning endi" ucap eyang widarpa menjauh dan bersiap pergi meninggalkan kami.

Hujan semakin mereda, sosok eyang widarpa mulai perlahan menghilang.

"Eyang..!" Paklek berlari mengejar eyang.

"Nyai suratmi... wis tenang, wis ora ning alam kene.. Ngapunten yo mbah" (Nyai Suratmi... Sudah tenang, sudah ga di alam sini.. maaf yam bah) Teriak Paklek kepada Eyang Widarpa yang sudah hampir menghilang.

"Uasuu.. pancen asu, Ngapusi aku to kowe ! awas kowe" (Anjing!! Bohongin aku ya kamu! Awas kamu!) Umpat Eyang widarpa sebelum menghilang.

Paklek tertawa dan mendekati danan "Udah simpen kerismu, tar Paklek bisa dijewer sama eyang widarpa"

"Paklek, emang nyai suratmi ki si sopo to?" (Paklek.. Emang nyai suratmi itu siapa to?) tanyaku penasaran.

"Udah ga usah tau, itu kisah cinta kakek-kakek... eyang widarpa itu orang baik, tapi entah kenapa wujudnya menjadi demit seperti itu." Ucap paklek.

"Iya paklek, kalo ga ada dia dulu aku pasti udah mati..." ucap Danan.

Sekar mendekat, air mata masih mengalir dari matanya.

"Mas... gimana mas, tolongin desa sekar mas"

"Iya danan, kita harus bantuin sekar... kamu ada petunjuk mengenai tabuh waturingin itu?" Tanyaku.

"Nggak, tenan.. blas aku ra ngerti benda apa itu" jawab danan.

Hampir tak ada petunjuk mengenai benda itu, namun apabila kami nekad menuju desa windualit sudah pasti kutukan itu akan mengenai kami juga. Bahkan mahkluk sehebat dan sesombong eyang widarpapun angkat tangan.

"Sudah.. kita istirahat dulu, paklek coba meditasi siapa tau nanti dapet petunjuk" ucap paklek.

Paklek masuk lagi ke rumah dan meninggalkan kami di pendopo.

"Sebenernya aku tau seseorang yang bisa mencari indormasi mengenai Tabuh Waturingin, dia bisa mengumpulkan informasi dari seluruh negeri" Ucapku pada Danan.

"Nah itu... coba cahyo, tolong bantu kalau perlu kita samperin orangnya" Ucap danan.

"Coba aku cari nomor Hpnya, dulu nomornya ditulis di radio lamaku.. sempet telpon-telponan beberapa kali... coba besok tak telpon" Jawabku.

Kami kembali ke dalam rumah , Danan terlihat sangat kelelahan.. wajar saja, dia baru datang dari luar kota dan sudah berurusan dengan hal seperti ini.

"O.. iya sekar, aku baru inget.. gimana kabar laksmi? Kok aku kangen ya sama dia.."
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close