Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 3) - Padepokan Ronggomayit

Saat Danan dan Cahyo menemui Sena untuk mencari informasi. sekelompok orang menyerang padepokan sena..

Ternyata Sena menyembunyikan sebuah pusaka jimat yang diincar oleh pengguna ilmu hitam


JEJAKMISTERI - Setiap peristiwa yang terjadi di muka bumi ini membentuk sebuah simpul yang akan akan kembali terurai atau malah semakin berkaitan. Bila kita sadar, mungkin tidak ada yang namanya akhir bagi suatu awal.

Semua akan kembali tertulis dalam lembaran takdir yang tidak bisa kita tebak.

Setra Gandamayit..

Setiap mengingat nama itu aku selalu begidik ngeri membayangkan apa yang pernah ada di tempat itu pada jamanya.

“Kalian percaya kalau dulunya pulau jawa dan bali merupakan suatu kesatuan?” tanya Sena sambil berjalan mengajakku ke ruangan tempat ia mempelajari pengetahuanya tentang wayang.
Bila melihat posisi geografisnya bukan hanya Jawa dan Bali.

Bahkan mungkin seluruh kepulauan indonesia sebelumnya memang merupakan satu daratan.

“Memangnya ada hubunganya dengan yang kami tanyakan Sena?” tanyaku.
Sena mencari beberapa benda di raknya dan mengeluarkan beberapa kotak kayu. Ia menumpuknya di meja tepat di hadapan kami.

“Ini apa?” Tanya Cahyo.

“Ini semua informasi yang kalian butuhkan bila ingin mencari tahu tentang apa yang kalian hadapi” jelas Sena.
Iapun membuka kotak-kotak kayu persegi panjang itu dan mengeluarkan beberapa lembaran bertuliskan aksara jawa.

“Serat lontar? Ini semua tentang apa?” Tanyaku.

“Ini semua adalah serat yang berisi informasi mengenai kisah pewayangan purwakala” ucap Sena.

“Setra Gondomayit, informasi tentang tempat itu ada di serat-serat ini. Namun itu semua hanya teori dan untuk keabsahan dari serat ini kita sendirilah yang harus mencari tahu” tambah Sena.
Aku beberapa kali membuka lembaran-lembaran lontar yang ditunjukkan oleh Sena.

Serat ini tidak hanya menggunakan aksara jawa carakan. Tapi ada juga yang menggunakan aksara kawi, siam, dan bahkan beberapa aksara yang tidak kukenal.

“𝘜𝘸𝘪𝘴 𝘶𝘸𝘪𝘴..” (Sudah-sudah) ucap Cahyo merebut lembaran itu dariku dan mengembalikanya ke kotak.

“Tujuan kita ke sini itu mencari jawaban, bukan malah bikin tambah bingung”
Sena tertawa melihat wajah Cahyo yang bingung sambil menggaruk-garuk rambutnya.

Cahyo sebelumnya sudah bercerita, ia sudah menyampaikan pada paklek tentang sebuah batu yang dia bawa dari sebuah desa. Batu itu bertuliskan aksara yang ia mengerti. Ia kira paklek bisa mengerti dan membantunya.

Namun sebaliknya, paklek malah menyuruh kami menemui Sena untuk menerjemahkan aksara itu dan mencari tahu tentang apa yang kami hadapi.

“Ya sudah, nanti kalian ngedengerin cerita saya saja. Tapi nunggu sebentar, masih ada yang perlu disiapin” ucap Sena.

“Masih kurang apa lagi?” Tanyaku.

“Hehe, kopi.. kalau nggak ada kalian bisa ngantuk ketiduran nanti” ucapnya.

“Nah cocok kalau itu” timpal Cahyo.
Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki mendekat dan mengetuk pintu. Senapun meminta mereka untuk masuk.

Aku segera menoleh ke arah mereka.
“Cie Danan, ngarep Naya yang nganterin ya?” Ledek Cahyo.

“Heh ngawur kamu, aku cuma mau bantuin” balasku berbohong.

“Haha... kalian telat, datangnya malam-malam begini jadi Naya sudah pulang” ucap Sena.

“Nggak Sena, itu emang dasar Cahyo” ucapku.

“Dasar apa?” ucapnya dengan nada meledek.

“Dasar nggak bisa jaga rahasia” balasku sambil sedikit tertawa.
Cahyopun ikut tertawa seolah puas meledekku. Tunggu sampai saatnya kami kembali ke desa windualit.

Aku pastikan dia akan habis kuledek di depan Sekar.

“Ini adalah cerita yang dipercaya oleh leluhur-leluhur kita jaman dulu. Kalian harus bisa menilai sendiri kebenaranya. Yang pasti setiap cerita itu ada karena memiliki maksud dan tujuanya sendiri” ucap Sena.

Kami berduapun mengangguk bersiap mendengarkan cerita dari Sena.

***

“Kalau berbicara tentang setra gandamayit kita harus mulai dari kisah wayang purwakala..” ucap Sena.
Wayang 𝘱𝘶𝘳𝘸𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢 menceritakan tentang kisah asal muasal dunia dengan penggambaran dunia pewayangan.

Dikisahkan saat itu Batara Guru (Raja alam semesta) sedang terbang bercengkrama dengan Dewi Uma kekasihnya untuk melanglang buana. Mereka mengendarai Sapi Nandi untuk mengantar mereka.

Saat itu tiba-tiba hasrat biologis Batara Guru terhadap Dewi Uma tergugah dan mengajaknya untuk berhubungan. Tetapi saat itu Dewi Uma menolak hasrat suaminya itu karena malu dengan Sapi Nandi dan bukan pula di tempat yang pantas.

Saat gairah Batara Guru tidak tersalurkan jatuhlah sotyakama (sperma bernilai kedewaan) Batara Guru ke samudra di bawahnya. Sotyakama itu membara di air laut bagai bara api yang menyala-nyala seolah menggambarkan amarah Batara Guru yang ditolak oleh Dewi Uma.

Air samuderapun mendidih dan menimbulkan bencana bagi makhluk di dalamnya.
Setelah itu ketika keduanya tiba di 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘭𝘢𝘺𝘢 yang merupakan keraton kediaman para dewa, Batara Guru mengutus Batara Brahma sang dewa api untuk memustahkan sotyakama.

Namun ketika Batara Brahma melontarkan kesaktianya, Sotyakama justru berubah menjadi janin yang seketika tumbuh menjadi bayi raksasa.

Batara Brahma beradu kesaktian dengan sosok bayi raksasa itu dan ternyata ia kalah.

Karena itu Batara Brahmapun melarikan diri ke hadapan Barata Guru yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan dengan para dewa. Saat itu mereka sedang membahas bencana yang terjadi di samudera.

Melihat kehadiran bayi raksasa itu Batara Guru terpaksa mengaku bahwa bayi raksasa yang mengejar Batara Brahma itu adalah anaknya sendiri. Untuk menghindari bencana lebih jauh, Batara Guru mengeluarkan keris pusakanya dan memotong ari-ari bayi itu.

Saat itu juga bayi raksasa itu berubah menjadi raksasa remaja. Ari-ari yang terpisah itulah yang berubah wujud menjadi beberapa lelembut. Konon lelembut yang ada di jaman ini berasal dari sana. Batara Guru memberi nama raksasa itu 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘳𝘢𝘯𝘥𝘩𝘺𝘢.

Untuk mencegahnya melakukan hal buruk, kedua taring Kalarandhyapun dipotong dan menjadi dua bilah keris yang bernama 𝘒𝘢𝘯𝘢𝘥𝘩𝘢𝘩 dan 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘥𝘦𝘵𝘦. Kalarandhyapun diminta untuk bertapa di Nusa Tembini.

Keberadaan Kalarandhya yang lahir secara tidak wajar membuatnya berada di luar tatanan dunia. Ia bukan golongan dewa dan juga bukan golongan manusia. Iapun dikutuk oleh Sang Hyang Tungga (Sang Pencipta) dan akan menyebabkan kekacauan di dunia.

Hal ini membuat malu Batara Guru dan membangkitkan amarahnya pada Dewi Uma yang dituhduhnya menyebabkan aibnya ini.
Saat itu dikutuklah Dewi Uma menjadi raksesi atau raksasa perempuan dan diberi nama Dewi Durga. Dia ditakdirkan menjadi istri dari Batara Kala.

Dewi Durga, dalam versi pewayangan Jawa digambarkan sebagai sosok raksasa perempuan yang sangat kejam, pemangsa manusia. Sosok Dewi Durga biasa hanya dicari oleh para pencari ilmu hitam karena dipuja sebagai ratu kejahatan.

Namun sebenarnya setiap tokoh pewayangan selalu punya dua sisi baik sisi yang baik maupun sisi yang buruk termasuk Dewi Durga yang mempunyai sisi baik dalam wujud Dewi Uma.

Dewi Durga memiliki Khayanganya sendiri. Sebuah tempat dimana merupakan tempat para bangsa lelembut dan dedemit tinggal. Tempat itu merupakan kuburan paling mengerikan seantero bumi yang bernama Setra Gandamayit.

Ia menjadikan tempat itu sebagai kerajaanya bersama suaminya Batara Kala. Namun dalam cerita pewayangan setiap tempat di alam ini selalu memiliki tujuan.

Setra Gandamayit sendiri dipercaya merupakan tempat berkumpulnya roh mereka yang sudah tiada untuk memulai perjalananya menuju alam baka.

“Aku nggak bisa ngebayangin kalau tempat itu benar-benar ada” ucap Cahyo.

“Apalagi Setra Gandamayit juga diceritakan terdapat kerajaan-kerajaan dedemit yang membantu para kurawa untuk mengalahkan para kesatria jaman dulu” tambah Sena.
Cerita ini sangat menarik untukku, rasanya aku ingin mendengarnya sampai benar-benar selesai.

Sayangnya apabila benar beberapa sosok dedemit yang muncul akhir-akhir ini berasal dari tempat itu, sudah pasti ini adalah sebuah bencana.

“𝘊𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘯𝘦 𝘴𝘢𝘬𝘫𝘢𝘯𝘦 𝘢𝘯𝘦𝘩, 𝘶𝘢𝘯𝘦𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘢𝘯.. 𝘋𝘦𝘸𝘢 𝘬𝘰𝘬 𝘪𝘴𝘰 𝘬𝘢𝘺𝘢 𝘯𝘨𝘰𝘯𝘰”

(Ceritanya sebenarnya aneh, aneh sekali.. Dewa kok bisa seperti itu) ucap Cahyo yang masih berusaha menerka maskud dari kisah itu.

“Ya itulah kisah pewayangan.. hampir semua tokoh punya dua sisi yang dapat dilihat baik dan buruknya. Karena kepercayaan saat itu menjunjung keseimbangan alam. Bahkan hitam dan putih, baik dan buruk juga memiliki tempatnya sendiri di tatanan dunia ini” jelas Sena.

Saat itu aku teringat tusuk konde milik demit yang menyerang kantorku dan mengeluarkanya ke hadapan Sena.

Tak lama kemudia Cahyopun mengeluarkan beberapa bilah batu dengan aksara kuno di sana.

“Eh, apa ini maksudnya? Aku bukan ahli pusaka..” Ucap Sena.

“Ada aksara kuno di benda ini, kira-kira tahu artinya ngga?” Tanya Cahyo.

Sena mengambil beberapa naskah yang ia punya dan mencocokanya dengan aksara-aksara di batu Cahyo.

“Nggak Mas, aku nggak nemu aksara yang cocok dengan batu ini” jawab Sena.

“Bahkan aksara kunopun bukan?” Tanya Cahyo tidak percaya.
Sena menggeleng.

“Tapi memang ada aksara yang memang tidak lazim, orang jaman dulu menyebutnya aksara mistis. Sebuah aksara yang hanya dimengerti oleh pembuat dan penerimanya” kata Sena.

“Aksara ini sering digunakan telik sandi untuk mengirimkan pesan, atau bahkan digunakan untuk menyimpan mantra-mantra berbahaya”
Aku menelan ludah saat mendengar kalimat terakhir Sena. Apabila ini terletak di sebuah reruntuhan, kemungkinan kedualah yang paling masuk akal.

“Terus ini tusuk konde apa?” tanya Sena.

“Ini senjata yang digunakan oleh demit yang kuhadapi, siapa tahu saja kalian berdua bisa mendapat petunjuk dari benda ini” ucapku.

“Maaf nan, soal ini aku sama sekali tidak mempunyai petunjuk. Tapi...”

Dhaarrrr!!!

Tiba-tiba terdengara suara dentuman dari arah atap pendopo padepokan Sena.
Aku segera berdiri mencari tahu asal suara itu. Namun Sena hanya menghela nafas seolah sudah terbiasa dengan hal itu.

“Sudah nan, tenang saja.. kami sudah memasang pagar pelindung dengan beberapa pusaka sebagai pondasi” ucap Sena.
Mendengar penjelasan Sena, Cahyo bukanya tenang malah terlihat semakin khawatir.

“Berarti, selama ini serangan dari demit-demit Sinden itu belum selesai?” tanya Cahyo.

Sena menggeleng,
“Serangan ini sudah ada sejah belasan tahun lalu sejak aku kecil. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini jadi semakin sering. Mungkin karena bapak sudah tidak ada” jelasnya.

Aku dan Cahyo terheran dengan cerita Sena. Ternyata selain kendala permasalahan dengan sinden pengabdi setan Sena juga menyimpan permasalahan lain.

Dharrr!!!

Sekali lagi suara dentuman terdengar, aku menduga ini adalah serangan bola api banaspati yang mencoba membunuh penghuni padepokan ini.

“Mereka mengincar pusaka bapak Nan” ucap Sena.

“Pusaka?”

“Sebenarnya bukan pusaka, benda itu dipercayakan ke bapak untuk di jaga agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah” jawab Sena.
Aku tidak menyangka padepokan ini menyimpan pusaka yang diincar orang-orang yang berilmu.

Kupikir ini hanyalah padepokan biasa sama seperti milik Ki Daru Baya di desa Kandimaya.

“Memangnya pusaka apa yang dijaga oleh padepokan ini?” Tanyaku penasaran.

“Sebuah wayang..” Jawab Sena singkat.

“Wayang?” Aku bisa menduga yang dimaksud bukan wayang biasa.

“Wayang jimat yang dibuat oleh orang gila menggunakan kulit manusia dan anggota tubuh berbagai dedemit jaman purwakala” jelasnya.
Seketika aku bergidik ngeri mendengarkan penjelasan darinya.

Seketika aku teringat akan kisah dalang demit yang menyerang desa kandimaya yang sempat dikalahkan Bapak dulu.

“Apa ada hubunganya dengan dalang demit yang menyerang desa kandimaya dulu?” tanyaku.

“Itu juga alasanku bersama dengan bapak ke desa kandimaya dulu nan. Namun kami tidak mendapat petunjuk apa-apa tentang wayang jimat ini” Jelas Sena.

“Sena, memangnya wayang itu berbentuk tokoh apa?” Tanya Cahyo.

Sena membuka sebuah lembaran kertas yang sudah berumur tua, ia menunjukkan sebuah gambar wayang buto perempuan dengan mahkota layaknya seorang batara.

“Bentuknya tidak terlalu mirip, tapi menurut bapak wayang itu berwujud Batari Durga. Menurut bapak wayang itu dibuat oleh seseorang yang memohon kekuatan dari dewi penguasa Setra Gandamayit itu” Jelasnya.

“Semengerikan itu?” tanya Cahyo.
Seketika aku dan Cahyo saling bertatapan. Bisa jadi jimat itu ada hubunganya dengan dedemit yang sedang kami hadapi.

“Sekarang dimana posisi wayang jimat itu Sena?” Tanyaku.

Sena tersenyum dan menggeleng.

“Mohon maaf Nan, bahkan untuk kalianpun aku tidak boleh membocorkan lokasinya. Saat ini dari seluruh sesepuh dan padepokan hanya aku saja yang mengetahui di mana benda itu disembunyikan” balas Sena.

“Nggak usah minta maaf Sena, itu keputusan yang bijak” Ucap Cahyo.

Di tengah perbincangan kami, suara dentuman terdengar semakin keras. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki yang menuju tempat ini dan mengetuk ruangan kami.

“Ki! Ki Sena.. di luar ki!” teriaknya.
Senapun membuka pintu dan melihat wajah panik orang tersebut.

“Ada apa Mas Tono?” tanya Sena.

“Padepokan ini dikepung!” teriaknya.
Tanpa menunggu penjelasan lagi, aku dan Cahyo segera berlari keluar mencari tahu tentang apa yang terjadi. Sena mengambil beberapa benda dari ruangan itu dan menyusul kami.

Ada sekumpulan orang berbaju hitam mengenakan blangkon. Pakaianya seperti pemain karawitan, masing-masing dari mereka membawa keris yang dapat kurasakan ada sosok-sosok mengerikan yang mendiaminya.

“Kalian yang mengirim serangan-serangan ini?” teriakku memastikan maksud mereka.

“Urusan kami bukan denganmu, tapi dengan pemilik padepokan ini!” Teriak salah satu dari mereka.

Senapun melewati kami dan menemui mereka secara langsung.

“Jika tujuan kalian adalah Azimat Wayang Durga, kedatangan kalian akan sia-sia” ucap Sena.
Aku dan Cahyo sudah bersiap membantu Sena apapun yang terjadi.

Kali ini aku merasakan niat jahat dari orang-orang yang mendatangi Sena saat ini.

“Jangan sombong bocah, sekarang kami sudah tahu cara mendapatkan pusaka itu tanpa perlu bantuanmu!” ucap mereka.

“Ma—maksud kalian?” tanya Sena.

“Hahahaha... Pemimpin kami yang baru, bisa mendapatkan seluruh ingatanmu dengan sebuah wayang. Sebuah wayang yang akan kami buat dari kulit-mu!” ucapnya diikuti tawa semua orang berbaju hitam itu.

Cahyo terlihat geram mendengar ucapan orang-orang itu. Kali ini sudah jelas, incaranya adalah Sena. Cahyo justru maju melangkah seorang diri ke hadapan mereka.

“Bawa kesini pemimpin kalian! Kita selesaikan ini sekarang juga!” ucap Cahyo kesal.

Barisan orang-orang berbaju hitam itupun menyingkir bersama datang seseorang. Seseorang berpakaian beskap hitam dengan janggut panjang dan kumis yang tebal. Ia berjalan dengan tangan dibelakang seolah menunjukkan wibawanya.

Entah mengapa jantungku berdegup kencang melihat sosok orang itu. Aku menduga dia adalah seorang dalang yang memimpin padepokan itu. wajahnya mengingatkanku pada musuh bapak sewaktu kecil.

“Ki Jaruk, dalang demit...” Cahyo menoleh ke arahku.

“Ki Jaruk? Nggak mungkin nan.. dia udah mati!” Teriak Cahyo.

“Bukan, dia bukan Ki Jaruk... tapi dia memiliki energi yang sama! Entah apa hubungan antara mereka berdua” ucapku.
Cahyopun merasakan bahaya yang besar dari kemunculan sosok itu.

Sama sepertinya akupun segera menarik sebuah keris dari sukmaku bersiap menghadapi apapun yang akan dilakukanya.
Melihat kemampuan kami dia tersenyum sambil menggeleng. Seseorang datang menghampirinya dengan membawa beberapa wayang.

“Kehkehe... Ketek seko alas wanamarta, aku yo nduwe siji” (Monyet dari hutan wanamarta, aku juga punya satu) ucapnya sambil mengambil sebuah wayang dari anak buahnya.

Dalang itu mengibas-ngibaskan wayangnya seolah sedang memainkanya di atas pentas. Cahaya lentera yang mereka bawa membentuk bayangan seekor kera raksasa. Sialnya, bersama dengan munculnya bayangan itu terdengar suara auman hewan buas yang kurasa terdengar ke seluruh desa.

“Wanasura... Wanasura gelisah!” ucap Cahyo bingung.
Seolah sudah puas memainkan wayangnya, dalang itu melemparkan wayangnya. Saat wayang itu mendarat roh kera raksasa terpampang dengan jelas di hadapan kami.

“Hati-hati Cahyo! Ini, ini sama dengan Ki Jaruk lakukan!” aku mencoba memperingkatkan Cahyo.

“Nggak nan, ini nggak sama.. Ki Jaruk hanya memanggil demit-demit biasa. Tapi dalang ini bisa memanggil makhluk sekuat ini” balasnya.

Seolah mengerti maksud pemanggilnya, roh kera raksasa itu berlari mengarah kepada kami. Cahyo memanggil kekuatan Wanasura dan menghadang seranganya. Sayangnya dengan mudah Cahyo terpental.

Aku segera menyusulnya dan menghujamkan kerisku pada makhluk yang dipanggil oleh dalang itu. Sayangnya kera besar yang dipanggil oleh dalang itu tidak merasa sakit sama sekali. Ia terus menyerang Cahyo.

Bersamaan dengan itu, pasukan anak buah itu mulai bergerak mengejar ke arah Sena.

“Sena Lari!!!” Teriakku.
Sena dibantu beberapa teman dari padepokan untuk lari dan masuk ke dalam hutan. Tidak mungkin kami melibatkan warga desa dengan masalah seperti ini.

Aku dan Cahyo mengikuti Sena masuk lebih dalam. Gerakan anak buah dalang itu begitu cepat seolah sudah terbiasa melakukan penyergapan.
Beberapa kali kerisku beradu dengan mereka yang muncul mendekati Sena.

Cahyo mengikutiku sambil menghadang serangan dari roh kera raksasa yang bahkan bisa menumbangkan pohon di hutan.
Kali ini aku merasa posisi kami tidak diuntungkan. Tidak terpikirkan jalan keluar dari kami untuk selamat dari orang-orang ini.

“Cahyo, tahan mereka sebisa mungkin!”
Aku tidak menunggu jawaban dari Cahyo, menurutku ini satu-satunya jalan agar kami bisa selamat.

Aku memisahkan rohku dari raga dengan kemampuan keris rogosukmo. Dengan secepat mungkin aku membawa sukmaku melintasi hutan-hutan dan menghampiri sosok Dalang yang menyerang kami tadi.

Saat ia tidak menyadari kehadiranku, aku menghujamkan keris pada punggungnya. Namun sial, ia menyadari kedatanganku dan menahan seranganku dengan keris di tanganya.

Serangan kami saling beradu mengakibatkan dentuman ledakan yang keras hingga membuat beberapa anak buah dalang itu terpental. Tidak ada waktu lagi, aku yakin Cahyo kewalahan melindungi Sena.

Aku membacakan sebuah mantra yang diajarkan oleh Daryana. Sebuah mantra untuk memberi kekuatan pada Keris Ragasukma. Kekuatanya mampu membuat kilatan pada bilah keris ini yang harusnya mampu membuatnya menembus apapun.

Sekali lagi kami beradu serangan. Dalang itupun membacakan matra yang membuat kerisnya diselimuti kabut hitam. Saat serangan kami beradu, sekali lagi getaran hebat terjadi di tanah tempat kami berpijak.

Aku tak henti-hentinya membaca doa agar kekuatanku bisa mengalahkan dalang demit itu. Kali ini aku menang, lenganya terpental sehingga tubuhnya terbuka, dengan segera aku menghunuskan kerisku ke tubuhnya.
Tapi tidak..

Kerisku berhasil mencapai tubuhnya, tapi tidak sedikitpun ujung kerisku menembus tubuhnya. Dalang itu tersenyum dan bersiap menggunakan kerisnya untuk menyerangku.

Dengan sigap aku menarik sukmaku ke dalam tubuh untuk menghindari seranganya yang hanya berjarak beberapa jengkal lagi dariku.

“Nggak bisa! Dalang itu terlalu kuat!” teriakku pada Cahyo.

Aku melihat Cahyo menghadapi Roh kera itu hanya dengan satu tangan. Terdapat luka bersar berwarna biru di lengan kiri Cahyo.

“Danan, mantra leluhurmu.. mungkin itu satu-satunya cara kita keluar dari situasi ini!” ucap Cahyo.
Benar, tidak ada pilihan lain!

Sena dan teman-temanya sudah tidak mampu. Sebagian dari mereka sudah terluka. Cahyopun tidak bisa bertarung dengan keadaan seperti ini.
Aku meletakan kerisku di dadaku dan mengingat dengan jelas sebuah mantra yang diajarkan oleh leluhurku.

𝘑𝘢𝘨𝘢𝘥 𝘭𝘦𝘭𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘣𝘰𝘵𝘦𝘯 𝘥𝘶𝘸𝘦 𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥..

Belum sempat aku melanjutkanya, tubuh Cahyo terpental menabrak tubuhku. Kekuatan makhluk itu benar-benar diluar nalar.

Tapi tepat saat makhluk itu mencoba menyerang kami lagi. Kobaran api berwarna putih menahan pukulanya dan menghilangkanya perlahan. Lambat laun kera raksasa itu berubah kembali menjadi sosok wayang.

“Danan.. api apa itu?” Ucap Sena bingung.

Seketika aku dan Cahyo tersenyum. Terlihat sosok seseorang memperhatikan kami dari tengah hutan.

“Paklek! Itu paklek!” Teriak Cahyo merasa Senang.
Iapun segera melompat ke arah api putih itu dan membakar luka yang ada di lenganya untuk memulihkan lukanya itu.

“Itu Geni baraloka, ilmu andalanya paklek” ucapku.

Aku berlari menghampiri paklek yang datang dengan ilmu ragasukmanya. Samar-samar aku teringat kenangan masa kecilku saat Bapak dan Paklek bertarung melawan Ki Jaruk.

Pada saat itu memang Ilmu geni baraloka paklek berhasil mengalahkan demit yang dipanggil menggunakan wayang Ki Jaruk.
Paklek menghalangiku untuk menghampirinya. Sepertinya sukmanya tidak bisa bertahan lama bila menggunakan ilmu ragasukma dan geni baraloka secara bersamaan.

“Panjul watu sing kowe gowo kuwi iso ngelarani demit ulo dekwingi to?” (Panjul! Batu yang kamu bawa bisa melukai ular kemarin kan?) ucap paklek.
Seketika kami menyadari maksud paklek.

Cahyo dengan mudah dapat menghardik serangan para pengikut dalang itu dan mementalkanya satu persatu dengan kekuatan Wanasura. saat itulah aku berpikir bahwa inilah waktu untuk menyerang balik.

“Sena! Ikuti kami, jangan jauh-jauh!” Perintahku.

Akupun mengajak mereka mengejar ke arah dalang itu. Ternyata dalang itu sudah menunggu kami di mulut hutan.
Dengan sekuat tenaga Cahyo melemparkan batu yang ia temukan ke arah dalang itu. Dan benar saja batu itu bisa menusuk tubuh dalang itu hingga darah menetes dari lukanya.

“Berhasil!”
Dalang itu menarik batu itu dari tubuhnya dan melihat benda itu. bukanya merasa kesakita ia malah tertawa melihat pecahan batu itu.

“Khe..khekhe... ular, jadi dewi ular itu sudah bebas?!” ucapnya sambil tertawa.

Cahyo sekali lagi menyerangnya dengan lemparan batu itu dan berhasil melukainya lagi, namun ia tetap tidak merasa kesakitan.
Aku mencoba menyerangnya lagi dengan keris di genggamanku.

Dengan cukup sulit aku bisa menembus pertahananya dan menusuknya, sayangnya seranganku tetap tidak berhasil.
Cahyo mencoba melemparkan batu itu lagi kepada dalang itu.

“Cahyo! Berhenti!” Sena menahan Cahyo dan merebut batu itu darinya.

“Sena?!” Cahyo heran dengan kelakuan Sena, tapi sepertinya ia memiliki maksud.
Tak mampu mendahan serangan dalang itu, akupun terpental namun aku ingin mencoba satu hal.
Aku mengambil tusuk konde yang dari demit yang kulawan dulu dan menusukkan ke belakang punggungnya.

Dan benar... benda itu berhasil melubangi punggungnya. Namun tetap saja, ia tidak merasakan kesakitan.
Aku melihat Sena menggigit jarinya dan meraih tangan Cahyo. Ia menulis aksara yang terdapat di batu itu di lengan Cahyo menggunakan darahnya.

“Sekarang coba serang sekuat tenaga demit itu dengan lengan kananmu, sekuat tenaga! Aksara itu tidak akan bertahan lama” ucap Sena.
Aku mulai mengerti maksudnya. Cahyopun membaca mantra penguat raga dan memanggil kekuatan Wanasura di lengan kananya.

Ia melompat dari salah satu pohon dan mengambil momentum untuk menghujamkan pukulanya sekuat tenaga.
Tepat saat pukulanya menyerang dalang itu aksara di lenganya menyala. Pukulanya berhasil membuat dalang itu memuntahkan darah hingga terpental.

“Ki! Kenapa bisa begini ki?” tanya anak buah dalang itu.
Dalang itu tidak menjawab, ia malah mencabut tusuk konde yang kutusukkan padanya dan melihatnya.

“Khekhekeh... Nyai Wijul Dia juga sudah bangun” dalang itu tertawa lagi namun sepertinya ia sudah tidak kuat lagi berdiri.

Kami bersiap menyerangnya lagi, namun tiba-tiba kami terpental dengan serangan dari salah seorang yang berpakaian sama dengan para pengikut dalang itu, namun yang membuat kami tercengang adalah ketika melihat pria itu mengenakan belahan topeng hitam di wajahnya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadang kami.
Berbeda dengan anggota yang lain, Pria ini terlihat mahir dalam bela diri.

Kekuatan hitam terlihat dengan jelas menyelimuti tubuhnya.

“Topeng itu..” ucap Cahyo dengan tangan yang mengepal.
Tidak mungkin kami lupa, itu adalah topeng yang digunakan oleh sosok yang hampir membunuh kami dan mengakibatkan bencana.

Topeng yang sebelumnya dikenakan oleh penari ludruk yang membantai desa kelahiran Cahyo.

“Cukup! Kita bisa mengambil pusaka wayang itu kapan saja! Nyai wujil dan dewi ular itu sudah terbangun kita harus menghampiri mereka! Kekhekehke...” ucapnya Senang.

“Ki Joyo Sena, kita akan bertemu lagi. Padepokan Ronggo Mayit pasti akan merebut Wayang Jimat itu dari tanganmu”
Dalang itu berpaling meninggalkan kami. namun Wayang berwujud kera itu seolah memberontak dan ingin menyerang Cahyo kembali.

“Cukup Jogorawu! Dendamu kita balaskan nanti!” Tahan sosok-sosok bertopeng hitam itu.
Merekapun pergi berbondong-bondong meninggalkan padepokan Sena.

“Jogorawu..” Cahyo menggumam dan berpikir seolah mengenal nama makhluk yang disebutkan oleh orang itu.

Tak hanya itu, Aku merasakan perasaan amarah Wanasura terhadap sosok roh kera raksasa yang menyerang kami tadi.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. kita masuk kedalam ada yang ingin kusampaikan” ucapnya.

Aku memastikan tidak ada lagi sisa-sisa orang yang mengaku dari Padepokan Ronggo Mayit itu dan masuk mengikuti arahan Sena. Beberapa orang sudah bersiap mengobati kami dengan membawa baskom berisi air panas untuk mebersihkan luka-luka kami.

“Kita harus mengumpulkan orang-orang sakti sebanyak-banyaknya untuk menghadapi mereka, Padepokan Ronggo Mayit” Ucap Sena.

“Mereka itu sebenarnya siapa Sena?” tanyaku.

Senapun menceritakan tentang keberadaan Padepokan yang sejak awal keberadaanya hanya menggelar pertunjukan untuk para dedemit. Setiap permainanya bertujuan untuk mempersembahkan jiwa-jiwa para pengikutnya untuk mendapatkan kekuatan dari iblis.

“Apa yang membuat mereka seperti itu? harusnya mereka sudah tahu konsekuwensinya kan?” tanya Cahyo.

“Coba kalian tanyakan pertanyaan itu pada dukun atau orang pengguna ilmu hitam!” balas Sena.

Benar ucapan Sena. Jawabanya akan sama, mereka ingin semakin sakti agar dipandang di desanya, mendapatkan keSenangan duniawi, hingga membalaskan dendam mereka pada orang yang dibencinya.

“Merekalah yang akan mencari dan mengumpulkan demit-demit purwakala yang sudah ada di tanah ini bahkan sebelum manusia mengenal peradaban. Mereka yang akan menjadi pengikat setan-setan itu agar terus berada di alam ini” Jelas Sena lagi.

“Maksudmu ular raksasa yang kulawan, dan Nyai Wijul yang Danan lawan akan bisa muncul di alam ini seenaknya?” Tanya Cahyo.

“Tidak, bukan hanya itu.. sosok Songgokolo dan Gondokolo yang terikat oleh keris kembar juga mungkin bisa bangkit” ucapku teringat dengan demit dari alam baka itu.
Sena berpikir sejenak.

“Keris kembar? Setra Gandamayit pasti juga menyimpan pusaka seperti itu yang dibuat dari taring Raksasa kuno. Sama pusaka keris yang terbuat dari taring Batara Kala” ucap Sena.

Sena terlihat gusar. Kali ini ia yang terlihat lebih bingung daripada kami.

“Sudah Sena, tidak harusnya kamu segusar itu” ucapku.

“Tapi nan, alam kita dalam bahaya. Tatanan hidup alam manusia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat” ucapnya.

Mendengar itu Cahyo mendekat kearah Sena dan sedikit memijat pundaknya.

“Ada maksudnya Tuhan menurunkan kitab suci untuk jadi panduan kita dibanding kisah-kisah sejarah lainya. Karena sesulit apapun, Tuhan punya rencana terbaik buat umatnya yang ini Sena” ucap Cahyo.

“Jangan lupa, manusia tidak pernah berjuang sendiri. Pastikan kamu tidak melupakan itu” tambahku.
Aku pernah merasa sefrustasi Sena saat mengetahui bencana akan mendekat.

Namun saat itu orang-orang disekitarku mengingatkan tentang kebesaran Tuhan yang mempunyai rencananya sendiri untuk melindungi umatnya.

“Kalian benar, bila memang kita yang ditakdirkan untuk berurusan dengan hal ini, Tuhan pasti memberikan jalan untuk kita” ucap Sena.

Akupun tersenyum melihat Sena mulai tenang. Akupun teringat kedatangan paklek tadi, sepertinya ia juga sedang mencari petunjuk tentang keadaan ini.

“Berarti demit-demit yang pernah berurusan dengan kita bisa muncul kembali?” tanya Cahyo.

“jangan gentar, semenjak melawan mereka kitapun mengenal orang-orang hebat yang bisa membantu kita. Jangan lupakan mereka” balasku.
Sena menatapku seolah merasa terpancing untuk bicara.

“Setidaknya kita mengetahui satu hal, aksara di batu yang dibawa Cahyo bisa membuat serangan kalian berdampak pada makhluk-makhluk itu” ucap Sena.
Aku dan Cahyo saling bertatapan seolah menyetujui ucapan Sena.

“Aku akan mempelajari aksara ini, carilah ahli pusaka yang bisa mengukir aksara ini di kerismu Nan” ucap Sena.
Ini adalah sebuah kemajuan. Dengan adanya pengetahuan Sena, setidaknya kami bisa memberi perlawanan pada makhluk-makhluk itu.

“Danan, Paklek mengirim pesan.. ada serangan di desa pesisir selatan, sudah tujuh orang mati bunuh diri dengan tidak wajar” ucap Cahyo sambil membuka telepon genggamnya.
Aku mengambil teleponya dan membaca pesan yang dikirim paklek.

Aku ingat nama desa itu, itu desa tempat eyangnya Rizal teman kantorku tinggal.

“Biar aku yang kesana, kamu jaga Sena” ucapku pada Cahyo.

“Paklek nggak bisa ke sana?” tanya Cahyo.

“Dari wujud sukmanya tadi sepertinya dia sedang mengurus masalah yang lebih mengerikan, tadi sukmanya hanya bisa muncul sesaat” balasku.

Cahyopun menyetujui saranku. Padepokan Sena akan menjadi markas sementara kami untuk berkumpul sembari mencari bantuan dari mereka yang bisa menolong kami.
Mungkin harus ada dari kami yang mampir ke tempat Mas Jagad dan Dirga berada.

Tak hanya itu, mungkin kami harus menemui ahli pusaka seperti mbah Jiwo atau siapapun yang mungkin bisa membantu kami untuk menghadapi permasalahan ini.

Kerajaan demit dari Setra Gandamayit...

Entah pernah ada berapa kerajaan dulu saat tempat itu ada? Tapi ketika sisa-sisa demit itu berhasil bertahan hingga saat ini dan membangkitkan salah satu kerajaanya sudah pasti mereka bukanlah demit biasa.

Dan satu lagi yang membuatku cemas. Siapa yang mendapat berkah dari dewi Durga penguasa Setra Gandamayit untuk menjadi Raja di kerajaan demit itu?

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Cuplikan:
Danan menghampiri desa yang terletak di pesisir pantai, sayangnya tempat itu begitu sepi. hanya satu rumah yang lampunya menyala..

saat masuk ke rumah itu, ia dikagetkan dengan keberadaan banyak jasad yang berjejer rapi dengan mata yang terbelalak..

Ada sosok seorang kakek tua di rumah itu, dengan sebuah ketukan dari tongkatnya ia menghadirkan sosok jasad pocong di hadapan danan.

Bukan roh, melainkan jasad pocong yang dikendalikan oleh kakek tua itu..
close