Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 4) - Tumbal Mayat Hidup

Hanya satu rumah yang menyala di desa yang dihampiri Danan.
Saat memutuskan untuk masuk, ia dikagetkan dengan jasad-jasad yang terbaring rapi dengan mata yang terbelalak.


JEJAKMISTERI - Petunjuk arah yang diberikan oleh paklek membawaku ke sebuah desa yang terletak tak jauh dari pesisir pulau jawa. Sebuah desa yang dikelilingi dengan banyak hutan jati dan aku masih harus masuk cukup dalam untuk menemukan desa yang Paklek maksud.

Tepat saat matahari terbenam aku berhasil mencapai tempat itu. Sebuah desa dengan rumah-rumah kayu warga yang terletak berjauhan. Terlihat hampir setiap warga memiliki kebunya sendiri.

Aku mencoba mencari keberadaan warga, namun tidak ada yang terlihat. Bahkan cahaya lampu dari rumah-rumah wargapun tidak kutemukan.
Sepeda motorku terus kulaju berharap bisa menemukan petunjuk tentang apa yang dikatakan Paklek di telepon.

Sampai akhirnya aku berhenti pada sebuah rumah yang cukup besar. Hanya rumah itulah yang terdapat cahaya, dan kurasa cahaya itupun juga berasal dari lentera minyak yang dinyalakan dari dalam rumah.
Ada yang janggal...

Seharusnya rumah dan desa ini sudah dimasuki oleh listrik. Tapi mereka yang didalam lebih memilih menggunakan lampu minyak di dalam dan memasang beberapa obor di depan. Mereka seperti bersiap menyambut sesuatu.

Sayangnya tidak ada petunjuk apapun di desa ini sehingga mau tidak mau, aku harus masuk ke rumah itu.

“Kulo nuwun..” (Permisi)
Ucapku sambil mengetuk pintu rumah yang cukup besar itu. Sayangnya sama sekali tidak ada yang membalas.

Aku mencoba mengetuk lagi dengan lebih keras, namun bukanya seseorang yang keluar, tapi daun pintu yang terbuka sendiri dengan ketukanku.
Pintu itu terbuka perlahan tapi bukan penghuninya yang kutemukan, bukan juga ruang tamu atau sejenisnya.

Melainkan sebuah pemandangan yang tidak pernah kusangka.
Sebuah lentera minyak terletak di tengah-tengah ruangan yang lapang tanpa adanya perabotan apapun disana. Yang membuat bulu kudukku merinding adalah pemandangan di sekitar lampu itu.

Ada hampir sepuluh manusia terbujur kaku dengan mata yang terbelalak dan mulut yang terbuka. Hanya sebagian dari mereka yang terlihat wajahnya, sisanya tertutup oleh kain kafan yang menyelimuti mereka.

“Ada tamu tidak diundang..” terdengar suara seseorang yang berjalan dari arah belakang bangunan.
Dia adalah seorang kakek tua yang berjalan menggunakan tongkat. Janggut putihnya menggantung sepanjang perutnya dengan ikatan kepala yang cukup aneh.

“Si..siapa kamu? Apa maksud ini semua?”
Aku tidak bisa bersikap sopan. Kekuatan yang mengerikan sudah terpancar sejak dia menampakan dirinya ke arahku.

“Dudu urusanmu” (Bukan urusanmu) ucap kakek itu.

Perkataanya itu berbarengan dengan mengetukkan tongkatnya ke lantai kayu di bawahnya. Seketika dihadapanku muncul sosok makhluk terbungkus kain kafan yang telah memerah dengan darahnya. Wajahnya hitam membusuk dengan bau yang sangat menyengat.

Aku yang panik segera mengambil jarak dan membaca situasi ini. Pocong itu mencoba melayang mendekat seolah ingin melekatkan dirinya pada sukmaku. Aku tidak mau mengambil resiko dan membacakan sebuah doa dan seketika pocong itu jatuh tergeletak layaknya sebuah jasad tanpa nyawa.

“Tu..tunggu?! Jasad? Pocong ini jasad fisik? Apa yang kamu rencanakan kakek brengsek!” Teriakku kesal.
Mendengar umpatanku kakek itu malah tertawa terkekeh-kekeh.

“Orang sakti lagi, kkhekhekhe... kita masih butuh jasad orang sakti” ucapnya sambil mengetukan tongkatnya lagi.

Kali ini bukan sosok pocong yang muncul dihadapanku. Melainkan lima orang yang menggenggam pusaka berwujud cemeti, keris, parang, kujang, dan tombak. Anehnya tidak ada ekspresi di wajah mereka. Kulit-kulitnya sudah mengelupas mengeluarkan nanah dan bau busuk.

“Kakek busuk! Kamu mengendalikan mayat-mayat ini?” teriakku.

“Khekhekhe... kamu juga akan bergabung dengan mereka sebentar lagi. Itupun kalau kamu pantas! Kalau tidak lebih baik ragamu menjadi makanan mereka..” ucap kakek itu.

Sebuah serangan pecutan mencoba meraihku yang masih tertegun di dekat pintu. Akupun menghindar dan menjauh dari rumah itu. Sayangnya kelima orang yang menyerangku ternyata bukan makhluk biasa.

Tiba-tiba sang membawa keris sudah berada di belakangku bersiap menusukku dari belakang. Aku berhasil menghindar tapi kerisnya berhasil menggores salah satu lenganku. Di satu sisi jasad pendekar yang membawa parang sudah melompat untuk menebaskan parangnya ke leherku.

Dengan secepat mungkin aku menarik Keris Ragasukma dari sukmaku dan menahan seranganya. Seketika kami terpental dengan kekuatan dari pusaka kami masing-masing.

Baru sempat mencoba berdiri sebuah tombak sudah melayang hampir menusuk perutku, beruntung aku bisa menyadarinya dan menghindar. Namun sisi perutku terluka cukup dalam dari serangan barusan.

“Gowo jasad bocah kuwi ning njero nek wis rampung” (Bawa jasadnya ke dalam jika sudah selesai) ucap kakek itu yang meninggalkan kami masuk ke belakang rumah lagi.
Benar-benar mengerikan. Aku hampir tidak berkutik melawan kelima pendekar ini. Namun aku tidak mau menyerah.

Akupun membacakan sebuah ajian pada kepalan tanganku.
Tepat saat pendekar parang itu mencoba menyerangku lagi aku menahan seranganya dan melemparkan ajian lebur saketi, sebuah ajian pukulan jarak jauh yang seketika memementalkanya cukup jauh dariku.

Sayangnya bersamaan dengan serangan yang berhasil kulontarkan kepada pendekar parang itu, secara senyap serangan dari pendekar pembawa keris berhasil melukai pundakku.
Akupun mencoba melompat mengambil jarak mencoba membaca situasi ini.

Pendekar parang yang terpental oleh seranganku kembali berdiri seolah tidak merasakan sakit sama sekali.
Sebaliknya, pendekar pembawa keris pusaka itu berdiri di depan pendekar lainya dan menusukkan kerisnya ke tanah.

Seketika bekas luka goresan dan tusukkan dari keris itu terasa sangat panas, panas sekali seolah terbakar sesuatu.

Pendekar yang lain mengambil kesempatan itu untuk menyerangku hingga aku memutuskan untuk melarikan diri ke hutan-hutan jati dan bersembunyi di balik salah satu batang. Namun aku tahu, ini tidak akan bertahan lama.

Suara langkah mengendap terdengar menelusuri hutan mencari keberadaanku. Aku berharap gelapnya hutan ini bisa menyembunyikanku dari mereka.
Suara langkah kaki itu terhenti, akupun mencoba mengintip memastikan keberadaan mereka.

Sialnya, ternyata wajah salah satu mereka sudah berada tepat di hadapanku lagi. Ia menggunakan cemetinya untuk mengikatku ke salah satu pohon jati tempatku bersembunyi.

Sang pendekar tombak sekali lagi melemparkan tombaknya untuk menghabisiku, namun dengan cepat aku memisahkan sukmaku dari ragaku dan menggunakan keris ragasukma untuk memotong lengan pendekar cemeti itu hingga aku bisa terlepas dan kembali ke tubuhku.

Saat tali cemeti itu melonggar akupun segera menghindar, namun kekuatan hitam yang menyelimuti tombak itu membuatku terpental ke semak-semak dan seketika memuntahkan darah dari mulutku.
Aku benar-benar kesulitan menggerakkan seluruh tubuhku.

Aku membayangkan bahwa mungkin aku akan mati di tempat ini. Mungkin aku bisa menghadapi puluhan demit, tapi saat menghadapi lima orang sakti dengan pusakanya, ini terlalu berat bahkan untuk melarikan diripun aku tidak bisa.

Saat kelima pendekar itu mendekat ke arahku tiba-tiba di hadapanku terlempar sebuah kain kafan putih yang segera menyelimuti tubuhku. Ada beberapa kalimat beraksara jawa yang ditulis dengan darah di sekujur kain itu.

“Sssst... jangan berisik, tetap pakai kain kafan itu dan kita pergi dari sini” ucap sosok seorang pemuda yang kurasa mencoba untuk menolongku.
Kami berdua berjalan mengendap-ngendap di dalam kegelapan hutan.

Sama sepertiku, pemuda itu juga menggunakan kain kafan serupa dan kelima pendekar itu benar-benar tidak bisa menemukan keberadaan kami.

Mereka hanya terusik dengan suara yang terjadi saat kami menginjak semak atau ranting. Namun suara hewan malam berhasil menyamarkan kelengahan kami.

***

“Bener eyang! Ada orang di desa!” ucap pemuda yang menyelamatkanku tepat saat memasuki sebuah rumah di desa yang tak jauh dari tempat yang kami datangi.

“Piye uwonge le?” (Bagaimana orangnya nak?) ucap seorang pria yang sudah paruh baya yang menghampiriku dengan tergesa-gesa.

Aku yang sudah merasa tak mampu menahan rasa sakitpun segera ambruk di lantai kayu rumah itu sambil menahan rasa perih dari sayatan keris pusaka pendekar itu.

“Le, siapin obat.. Mbah coba keluarin dulu racunya” Ucap bapak tua itu.

Ia membacakan doa, mengambil selembar daun yang terletak tak jauh darinya dan menutup kedua luka yang diakibatkan oleh keris itu. Saat itu juga daun itu menghitam seolah menghisap racun dari goresan keris itu. Ia melakukanya berkali kali hingga menghabiskan beberapa helai daun.

“Sa...sakitt!” ucapku saat mencoba rasa sakit yang tak tertahankan dari obat ramuan yang dibawakan seseorang yang menyelamatkanku tadi.

“Tahan dulu, sakitnya cuma sebentar. Akan bahaya kalau tidak diobati” ucap bapak itu.
Berkali-kali aku berteriak.

Rasa-sakitnya benar-benar tidak tertahankan, namun aku tahu berangsur-angsur rasa sait yang disebapkan oleh pusaka pendekar-pendekar itupun perlahan pudar berganti dengan rasa sakit dari obat yang dioleskan kepadaku.

Beruntung, rasa sakit dari pengobatan itu menghilang tepat sebelum aku kehilangan kesadaran dengan sakitnya cara pengobatan itu.

“Wis, uwis rampung. Kono leren sik” (sudah, sudah selesai. Sana istirahat dulu) ucap bapak tua itu.

“Nggih mbah, matur nuwun” (iya mbah, terima kasih) ucapnya.
Aku mencoba mengatur nafas dan membacakan amalan penyembuh untuk memulihkan lukaku.

Bapak tua yang sebelumnya berniat kembali ke belakang terhenti seolah menyadari bahwa aku juga memiliki kemampuan sebelum melanjutkan niatnya.
Sejenak aku menenangkan pikiran dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa atas kesempatan hidup yang ia berikan sekali lagi padaku.

Terdengar suara dentingan gelas dan piring yang diletakan tak jauh dari tikar tempatku bersila sekarang.

“Kalau sudah agak enakan, diminum dulu” terdengar suara bapak itu tak jauh dari tempatku berada.

“Nggih mbah” ucapku yang segera membuka mata dan mengambil segelas teh hangat yang disiapkan untukku.

“Panjenengan niki sinten to?” (Anda ini siapa to?) tanyanya.

“Kulo Danan mbah, Dananjaya Sambara. Saya diinfokan sama Paklek Bimo untuk ke desa ini” jelasku..

Sebenarnya aku merasa canggung memanggilnya mbah, namun karena pemuda tadi juga memanggil seperti itu akupun mengikuti cara memanggilnya.

“Owalah, keponakane Bimo.

Saya Widjan, orang-orang sini memanggil saya Mbah Widjan” ucapnya.

“Salam kenal Mbah Widjan, mohon maaf sebelumnya. Saya mewakili paklek yang tidak bisa datang. Paklek juga sedang ada di desa lain dengan masalah-masalah serupa” jelasku.

Mbah Widjan menghela nafas. Dari gerak-geriknya aku tahu dia bisa memaklumi. Tapi terdapat rasa khawatir di wajahnya.

“Saya yang seharusnya minta maaf, saya pikir tidak ada lagi yang akan membantu kami. Jadi saya ungsikan warga desa ke tempat yang aman. Aku tidak menyangka Mas Danan malah sampai di sana tanpa sepengetahuan kami” ucapnya.

“Nggak pak, saya yang salah. Saya lengah” Balasku.
Mbah Widjanpum menyeruput gelas kopinya sembari memberi jeda dalam pembicaraan kami.

“Sebenarnya kakek tua itu siapa Mbah? Apa tujuanya datang ke desa ini?” tanyaku penasaran.
Mbah Widjan meletakkan cangkir kopinya dan bercerita kepadaku.

“Ada pemicu munculnya sosok-sosok mengerikan di berbagai sudut pulau jawa ini mas” ucap Mbah Widjan.

“Kerajaan Setra Gandamayit?” balasku menebak.
Mbah Widjan mengangguk.

“Kakek tua itu dulunya leluhur warga desa ini. bisa dibilang dia adalah nenek moyang warga desa ini” ucap Mbah Widjan.

“Dulu warga desa menghormatinya, dan selalu ziarah ke makamnya tiap hari-hari besar.
Berdasarkan cerita turun-temurun, kakek tua itulah yang babad alas membangung desa ini”

“Nenek moyang? Kenapa dia bisa hidup hingga sekarang? Dan mengapa dia menyerang keturunanya sendiri?” tanyaku penasaran.

“Dia tidak bisa mati, kesaktianya dihargai oleh kerajaan dedemit di setra gandamayit dan menjadikanya salah satu dari kaumnya. Dia diberi gelar Mantri Lemah Sangit karena kemampuan-nya mengendalikan jasad orang-orang sakti yang sudah mati” Jelas Mbah Widjan.

“Dia dipanggil dengan nama Ki Wasto Langkir”
Mbak Widjan bercerita, beberapa hari yang lalu tiba-tiba makam Ki Wasto Langir meledak oleh sebuah benda berwujud bola api yang jatuh dari langit. Setelah itulah terjadi berbagai kejadian aneh.

Beberapa warga ditemukan mati bunuh diri di desa. Anggota yang melihat prosesnya merasa aneh seolah orang-orang yang bunuh diri itu dikuasai oleh kesadaran lain. Mereka dikubur dan didoakan dengan layak. Sayangnya itu semua hanya permulaan dari musibah ini.

Tiba-tiba ada warga yang melihat Ki Wasto Langir muncul di dekat desa. Setelahnya tiba-tiba jasad mereka yang mati bunuh diri hilang dari kuburanya dan pocongnya meneror warga desa. Beberapa teman saya mencoba mengusir pocong itu dan menghadapi Ki Wasto Langir.

Namun sayangnya mereka gugur, dan jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang.
Belakangan diketahui semua warga yang bunuh diri masih ada keturunan murni dari Ki Wasto Langir. Dan Ki Wasto Langir bisa mengendalikan jasad manusia sekaligus dengan kesaktianya.

“Gila, kalau saya tidak merasakanya tadi. Mungkin saya tidak akan percaya dengan hal seperti ini” ucapku.
Mbah Widjanpun menggeleng, sepertinya ia sendiri juga tidak menyangka akan menemukan hal seperti ini.

“Mas Danan dan Paklek sendiri apa menemukan sosok-sosok yang ada hubunganya dingan ini?” tanya Mbah Widjan.
Akupun menceritakn tentang sosok Nyai Wijul, siluman ular di pedalaman hutan, hingga padepokan ronggo mayit yang kami hadapi.

Ceritaku sempat membuat Mbah Widjan menjatuhkan gelasnya, kaget dengan semua ceritaku.
Sambil bercerita samar-samar di luar aku mendengar suara mulai ramai. Tak lama kemudian pemuda yang tadi menyelamatkanku datang dan memberi kabar ke Mbah Widjan.

“Warga sudah siap lagi mbah” ucapnya.

“Siap apa mbah?” tanyaku bingung.

“Kita disini belum aman mas. Kami masih harus berpindah-pindah desa atau tempat persembunyian. Ki Wasto Langir masih mengincar jasad-jasad keturunanya” ucap pemuda itu.

Mbah Widjan memperkenalkan salah satu cucunya yang ternyata bernama Panji itu. Wajahnya memang tidak terlihat asing.
Akupun ikut keluar melihat prosesi perpindahan warga yang sudah siap berangkat.

Ada beberapa orang juga yang kulihat memiliki kemampuan membantu keberangkatan mereka.

“Mereka siapa mbah? Apa mereka punya ilmu juga?” tanyaku.

“Mereka murid-murid saya dan murid teman-teman saya yang sudah gugur.

Awalnya kami cukup percaya diri dengan ilmu kanuragan yang kami punya. Namun semenjak kemunculan Ki Wasto Langir, kami sadar di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi” jelas Mbah Widjan.

Aku sangat mengerti ucapanya. Saat inipun kami belum siap menghadapi Ki Wasto Langir. Akupun ikut bersiap dengan rombongan itu dan meninggalkan desa kecil ini.

Beberapa orang yang memiliki kendaraan bermotor membawakan peralatan dan sebagian menyusuri hutan jati menuju lokasi selanjutnya. Murid-murid Mbah Widjan menuntun mereka dengan teratur. Aku melihat dengan jelas rasa lelah di raut wajah mereka.

Baru sekitar satu jam perjalanan, perlahan terdengar suara dentuman dari arah desa yang kami tinggalkan tadi. Sepertinya Ki Wasto Langir sudah menemukan desa itu.

“Ayo lebih cepat!” Perintah murid-murid Mbah Widjan.

Warga desapun mempercepat langkahnya. Namun itu hanya sebentar. Tiba-tiba tepat saat bulan purnama terlihat jelas di atas kepala kami, ada satu warga yang bertingkah aneh. Ia membentur-benturkan kepalanya ke pohon jati.

“Mas! Kenapa kamu mas?!” teriak seorang perempuan yang kuduga adalah istri dari orang itu.
Tak hanya satu, ada beberapa lagi warga yang tiba-tiba melakukan hal serupa.

“Mbah ini gimana mbah?” Tanya Panji.

“Ikat! Tahan mereka yang terpengaruh” perintah Mbah Widjan yang segera dituruti oleh murid-muridnya.
Perhatianku tertuju pada salah satu warga yang kehilangan kendali. Wajahnya terlihat tersenyum seolah memiliki suatu arti.

Ia menarik nafas sedalam-dalamnya dan tiba-tiba berteriak dengan suara yang terdengar hingga seluruh hutan.

“Mbah Widjan! Dia mencoba memberi tahu lokasi kita!” ucapku.
Seketika wargapun panik. Mbah Widjanpun bingung untuk mengambil keputusan.

Aku melihat keringatnya mulai menetes.
Melihat hal itu aku memanggil Panji.

“Panji, Mbah Widjan.. bawa semua warga pergi dari sini. Biar aku yang menahan mereka di sini” ucapku yang tidak dapat lagi memikirkan cara lain.

Setelah ini aku harus memikirkan siasat untuk melawan Ki Wasto Langir dan mayat-mayat pendekarnya itu. Aku juga berpikir, seandainya tidak menghentikanya disini. Ia akan bergabung lagi dengan demit yang lain dan semakin membawa bencana.

“Nggak Mas Danan, itu bunuh diri namanya” ucap Mbah Widjan.

“Setelah melewati perbatasan timur ada sebuah padepokan wayang bernama Padepokan Ki Joyo Talun.

Bawa warga desa ke sana, ada teman-temanku disana dia akan menjaga kalian semua” ucapku.

Mbah Widjan dan Panji terlihat bingung namun teriakan warga desa yang panik seolah menggugah hatinya.
“Panji, bawa warga desa..”

“Nggak mbah, Panji di sini..” balas Panji seolah sudah membaca maksud Mbah Widjan.
Ucappan Panji disusul dengan beberapa muridnya yang ingin ikut tinggal dengan Mbah Widjan.

“Saya ikut Mbah Widjan” ucap seorang pemuda yang dengan mantap memegang sebuah pisau kuno di ikatan pinggangnya.
Beberapa pemuda juga melakukan hal yang sama. Mbah Widjan yang melihatnya tidak memiliki pilihan lain.

Iapun membagi murid-mudirnya dan menyisakan yang terhebat untuk menahan Ki Wasto Langir.

“Mbah, Ijinkan Panji memakai pusaka ini mbah” ucap panji pada Mbah Widjan sembari membawa sebuah kotak.

“Nggak, belum bisa panji. Masih ada beberapa amalan yang harus kamu lakukan sebelum menggunakan pusaka ini” ucapnya.

“Maaf mbah, amalan itu akan Panji selesaikan setelah ini. Tapi kalau kita mati disini, amalan itu tidak akan pernah selesai” ucapnya.

Aku melihat niat Panji. Sepertinya ia sepenuh hati ingin mencurahkan jiwa dan raganya pada pertempuran ini.
Mbah Widjan menghela nafas. Sepertinya ia berpikir bahwa Panji ada benarnya bisa jadi pertempuran kali ini menewaskan salah satu dari mereka.

“Kali ini saja...” ucap Mbah Widjan.

“Baik Mbah” ucap Panji.
Mbah Widjan membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah tombak pendek yang tajam di kedua ujungnya.

“Gunakan Tombak Lembu Warok ini semampumu dan sebaik-baiknya ya le..” titah Mbah Widjan.

Panjipun menerima pusaka itu dan segera memainkanya di hadapan kami. sepertinya ia mencoba membiasakan untuk menggunakanya.
Kami menunggu cukup lama di dalam keheningan malam di hutan ini. Kami tahu dengan jelas, Ki Wasto Langir pasti akan melewati tempat ini dan menemukan kami.

Benar saja, mereka datang ke hadapan kami dengan bergerombol Ki Wasto Langir diangkut dengan menggunakan singgasana kayu tua yang dibawa oleh beberapa anak buahnya.
Tidak seperti saat menghadapinya tadi. Kini ia datang dengan membawa lebih banyak anak buah.

Lima pendekar pusaka, beberapa pendekar tangan kosong, hingga beberapa pocong yang kurasa sebagian adalah warga desa.

“Khekehkeh... aku panen mayit wengi iki” (Aku panen mayat malam ini) ucapnya.

Malam ini pertempuran di hutan jati dengan diterangi bulan purnama, dimulai dengan serangan lima pendekar yang hampir saja menghabisi nyawaku. Kali ini aku sudah sigap dengan keris Ragasukma ditanganku sejak awal.
Beberapa kali pusaka kami saling beradu.

Beberapa pohoh jatipun tumbang dengan besarnya energi dari pertarungan kami.
Tombak lembu warok, ternyata itu adalah sebuah pusaka yang istimewa. Panji melemparkan tombak itu ke arah Ki Wasto Langir untuk menyerangnya secara langsung, sayangnya dapat dihindari dengan mudah.

Namun hebatnya tak berapa lama tombak itu sudah kembali ke tangan panji lagi.
Mbah Widjan menggenggam kerisnya sendiri yang berukiran naga. Dengan kerisnya itu ia bisa tidak ada satupu serangan anak buah Ki Wasto Langir yang membuatnya terpental.

Sepertinya murid-muridnya yang dipilih untuk tinggal juga dipercayakan pusakanya masing-masing.

“Aku tidak punya waktu main-main” ucap Ki Wasto Langir.
Iapun mengetuk tongkatnya lagi dan seketika muncul lengan dari dalam tanah yang memegangi setiap kaki kami.

Saat itu juga cemeti anak buah ki wasto melukai tubuh Mbah Widjan, sebuah tombak dari anak buah Ki Wasti juga melayang mementalkan pusaka Panji. Kami benar-benar tidak bisa bergerak.

Aku tidak mau menyerah begitu saja, seketika aku mengingat aksara dari batu yang dibawa cahyo yang telah dituliskan oleh Sena pada lembaran kulit. Seketika aku menuliskanya di keris ragasukma dengan darahku dan memastikan aksara itu tetap tertulis saat kubawa dalam wujud sukma.

Akupun memisahkan sukmaku dari raga dan menyerang pendekar cemeti itu. Dan benar saja tepat saat aku menghujamkan kerisku di lenganya, seketika makhluk itu kesakitan.

“Apa yang terjadi?” Tanya Panji.
Aku kembali ke ragaku dan memberitahukan hal ini pada mereka.

“Salin aksara ini di pusaka kalian, gunakan untuk melepaskan diri dan serang mereka!” ucapku.

“Ini apa?”
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan mbah, mungkin saja ini bisa berhasil!” ucapku.
Merekapun bergiliran saling melindungi menyalin aksara itu di pusaka mereka.

Dan benar saja, pertarungan ini mulai seimbang.
Serangan kami menimbulkan rasa sakit pada mayat hidup yang dikendalikan oleh Ki Wasto Langir. Kami bertigapun berhasil menghabisi sang pendekar cemeti yang sempat melukai Mbah Widjan.

Sayangnya yang masih membuatku khawatir adalah Ki Wasto Langir sama sekali tidak gentar. Melihat sisi petarungan mulai berubah iapun maju ke medan tempur dan membuat beberapa aksara di tanah yang ia injak.

Lemah sanging ing pangwasaningsun, ora ana pusaka sing nduweni hak kanggo nduduhake kekuwatane ing kene.
Tepat saat ia selesai mengucapkan kata-kata itu aku merasakan kekuatan keris ragasukma menghilang.

Saat aku beradu keris aku terpental dengan jauh seolah tidak ada kekuatan yang mengisinya.

“Mbah! Tombak Lembu Warok?!” ucapnya panik saat pusakanya itu tidak kembali ke tanganya.
Mbah Widjan sendiri terpental jauh hingga terluka saat kerisnya tak lagi melindunginya.

“Kkhekehkeh... semua pusakamu hanya sampah di atas tanah kekuasaanku” ucap Ki Wasto Langir.
Kini aku mengerti, ternyata rapalan tadi adalah ilmu untuk menghapuskan kemampuan pusaka kami di wilayah kekuasaanya.

“Gimana mbah? Kita pasti mati” ucap Panji mulai putus asa.

Kamipun mengambil jarak dari mereka mencoba memikirkan strategi berikutnya.

“Mbah kita lari mbah!” ucap Panji sambil mengeluarkan kain kafan yang ia gunakan untuk menyelamatkanku tadi.
Aku tetap diam pada tempatku.

Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana cara mengalahkan Ki Wasto Langir. Sekarang aku sadar, saat berhadapan seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mengalahkanya.
Apabila mereka berkumpul, akan semakin sulit untuk mengalahkan mereka.

“Kalau kita tidak mengalahkanya sekarang, mustahil mengalahkanya bila mereka sudah bersama demit yang lain” ucapku.
Mbah Widjan seolah setuju dengan ucapanku. Iapun melangkah kedepan dan berdiri di sisiku.

“Pusaka kita sudah tidak berdaya lagi, ini namanya bunuh diri” ucap Panji.
Mendadak aku tersenyum sendiri dan teringat sesuatu.

“Aku pernah mendengar perkataan seseorang, dia bilang.. apabila aku tidak berdaya tanpa pusakaku, berarti aku belum pantas memiliki pusaka itu”
Mendengar ucapanku Mbah Widjan menatapku sambil tersenyum. Kamipun menulis ulang aksara yang diberikan sena di kedua lengan kami.

Aku mengingat satu persatu ilmu dan doa-doa yang pernah kupelajari dan menerjang keempat pendekar yang tersisa dan melawanya berdua dengan Mbah Widjan.
Ajian lembur saketi, aku mementalkan pendekar keris dengan pukulan jarak jauh. Goresan kerisnya akan sangat merepotkan.

Dengan bantuan aksara dari sena, kini ia tersungkur dan memuntahkan cairan hitam dari mulutnya.
Mbah Widjan sepertinya juga memiliki ilmunya sendiri. Ia menghindari setiap serangan dari pendekar tombak dengan lihainya.

Amalan api, aku menahan pendekar yang membawa kujang mencegahnya merapalkan mantra. Setelahnya aku menghadapi satu lawan satu sang pendekar parang.
Panji dan murid Mbah Widjan seolah terkesima melihat niat kami.

Sepertinya kini Panji mengerti mengapa ia belum bisa dipercayakan yang memang seharusnya diturunkan olehnya.
Iapun mengingat-ingat kemampuan yang ia miliki.

Murid Mbah Widjan lainya mengikuti ilmu yang digunakan Mbah Widjan dan akhirnya bisa menghabisi pendekar tombak itu hingga memisahkan kepalanya dari badanya.

Sayangnya Ki Wasto Langir yang geram kembali mengetuk tongkatnya lagi hingga puluhan mayat-mayat lain ikut berdatangan dan mencoba menghalangi pergerakan kami.

“Kalau mereka masih belum cukup, aku masih bisa memanggil ratusan lagi khekehkehe...” Tawanya.

Namun tawanya terhenti saat tiba-tiba Panji muncul di sebelahnya dengan tubuhnya yang tertutup kafan putih bertuliskan aksara kuno.

“Tangkap Mbah!” teriak panji sambil melemparkan tongkat pusaka senjata Ki Wasto Langir.

Akupun tertawa, sepertinya aku pernah mengalami kejadian seperti ini.
Mbah Widjan menangkap tongkat itu, membaca sebuah mantra dan mematahkan tongkat itu menjadi dua. Aku melihat aliran kekuatan hitam keluar dari tongkat itu.

“Bocah-bocah brengsek!!” ucapnya.

Sebelum Ki Wasto Langir Murka, Panji segera melarikan diri sejauh mungkin darinya. Namun yang menjadi permasalahan sudah banyak dedemit yang dipanggil dan masih ada tiga pendekar yang harus kami hadapi.

“Bagaimana Mbah Widjan? Bagaimana cara melawan puluhan mayat ini bersamaan” tanya salah seorang murid Mbah Widjan.

“Tenang saja, aku merasa Tuhan mempunyai cara untuk melindungi kita di pertempuran ini” ucapnya.

Aku kagum dengan kata-kata itu. Mbah Widjan sama sekali tidak khawatir dengan keadaan ini.
Akupun menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya kali ini aku tidak punya pilihan lain. Aku kembali menarik keris ragasukma ke tanganku dan meletakanya di hadapanku.

“Bodoh, pusakamu sudah tidak ada artinya..” ucap Ki Wasto Lengsir meremehkanku.

Aku tersenyum dan membacakan sebuah mantra kuno diajarkan oleh leluhurku...

𝘑𝘢𝘨𝘢𝘥 𝘭𝘦𝘭𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘣𝘰𝘵𝘦𝘯 𝘯𝘥𝘶𝘸𝘦 𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥
𝘒𝘶𝘭𝘰 𝘯𝘪𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪
𝘚𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘭𝘰𝘬𝘢 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘬𝘩𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯
𝘒𝘦𝘵𝘶𝘩 𝘮𝘶𝘭𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯 𝘯𝘢𝘮𝘱𝘢𝘯𝘪
𝘛𝘦𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘴𝘢 𝘛𝘦𝘬𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘥𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯…

Seketika cahaya rembulan tertutup awan dan langit semakin gelap. Perlahan hujan turun rintik-rintik membasahi hutan jati ini.

“Tidak mungkin, pusakamu...” ucap Ki Wasto heran.

“Kau yang Bodoh, aku tidak akan menyerang membabi buta tanpa rencana” ucapku sambil menoleh ke arah aksara yang ditulis Ki Wasto di tanah.
Kini aksara itu sudah rusak tak berbentuk.

“Berarti pusaka kita?” ucap Panji yang segera aku balas dengan anggukan sambil tersenyum.

Kini Mbah Widjan dan murid-muridnya kembali menggenggam pusakanya masing-masing.
masalahnya, sekarang aku harus siap-siap menghadapi Nyi Sendang Bawel yang pasti akan menceramahiku.

Sosok wanita berselendang muncul dari dalam rintikan hujan. Ia mendatangiku dengan wajah marahnya, walaupun begitu ia tetap terlihat cantik bagiku.

“Kamu sudah siap mati?” ucap Nyi Sendang Rangu.

“Maaf nyi, maaf aku tidak punya pilihan lain. Daripada aku mati sia-sia, lebih baik aku mencoba memanggil langkah terakhir yang kubisa” ucapku sesopan mungkin.

Nyi Sendang Rangupun melihat sekeliling tempat ini.

Puluhan jasad pocong yang baru saja mati, jasad dari dalam tanah, hingga beberapa jasad hidup yang menggenggam pusaka dikendalikan oleh seseorang.

“Titah Setra Gandamayit...” ucap Nyi Sendang Rangu.

“Nah itu...” ucapku

“Diam!!! Aku tahu ucapanmu! Siapa yang kau maksud Nyi Sendang Bawel!” Ucapnya.

Aku lupa, Nyi Sendang Rangu bisa membaca isi hati seseorang. Tapi sungguh lucu jika dia marah hanya karena kata-kata itu.

“Tapi kamu kumaafkan karena kamu bilang aku tetap terlihat cantik”

Aku menepuk dahiku. Jelas, aku tidak bisa mengerti isi kepala dari makhluk ini.

“I...Itu siapa Mas Danan?” tanya Panji.

“Bidadari...” jawabku pada Panji dengan berhati-hati, jangan sampai jawabanku menyinggungnya lagi.

Nyi Sendang Rangupun seketika muncul di hadapan Ki Wasto Langir.

“Khekeh.. dewi penjaga sendang, tidak kusangka kau akan patuh dengan manusia rendahan seperti mereka” Ucap Ki Wasto.

Saat Nyi Sendang Rangu mendekat, seketika wajahnya menjadi begitu menyeramkan menyerupai mayat yang sudah mati ratusan tahun yang lalu.

“Mas Danan! Itu!!” teriak panji yang ketakutan.

“Ssst! Aku jelaskan nanti!” ucapku memotong perkataan Panji.

“Aku tidak pernah patuh pada siapapun kekuali pada Yang Maha Kuasa, segala yang kulakukan atas kemauanku sendiri tanpa perintah siapapun” ucapnya memperingatkan Ki Wasto.

Kali ini aku tahu Ki Wasto terlihat gentar, apalagi tongkat pusakanya kini tak ada lagi di tanganya. Tak berapa lama hujan turun semakin deras membasahi hutan jati. Ada kekuatan tersembunyi di setiap tetesan hujan ini.

Seketika semua jasad yang dimanfaatkan oleh Ki Wasto Langir terjatuh dengan berbagai roh yang berterbangan dari dalam mayat-mayat itu.

“Hujan ini? hujan ini yang memisahkan roh suruhan Ki Wasto dengan jasad-jasad itu?” Tanya mbah Wildan.

Akupun mengangguk sambil tersenyum. Kini aku terduduk di tanah berusaha menikmati luka-luka yang terukir di tubuhku akibat pertempuran ini.

“Sudah selesai” ucapku.

“Selesai? Mas Danan yakin dia.. eh, maksud saya Bidadari itu bisa mengalahkan Ki Wasto?” tanya Panji.

“Iya, kalau dia mau...” ucapku.

Kami semua menatap kedua makhluk dari jaman ratusan tahun yang lalu itu berhadapan.

“Bergabunglah dengan setra gandamayit, kau akan mendapat jabatan yang setara prabu” ucap Ki Wasto Langir.

“Apa?” coba ulangi lagi.

“Kau akan mendapatkan kekuasaan setara prabu, bahkan diatasku!” ucapnya dengan ketakutan.

“Kalau begitu, sebagai seseorang yang pantas berada diatasmu, aku perintahkan kau mati di sini!” Ucap Nyi Sendang Rangu.

Ki Wasto Terlihat ketakutan namun ia masih bisa tersenyum.

“Ka..kau pasti sudah tahu aku tidak bisa mati” ucapnya.

“Berarti setelah ini semuanya akan semakin menyakitkan untukmu” ucap Nyi Sendang Rangu.

Seketika Nyi Sendang Rangu sudah ada di belakang ki wasto.

Ia menggenggam kepalanya dan mematahkanya hingga terpisah dari tubuhnya. Aku memicingkan mataku melihat kejadian itu.
Tak cukup sampai di situ, Nyi Sendang Rangu menginjak tubuh ki wasto hingga hancur dan terbenam di tanah.

Anehnya kepala yang di genggam nyi sengang rangu tetap hidup dan terus berbicara.

“Kau!! Kau jin yang berpihak pada manusia! Kupastiakan kau akan dihabisi oleh Prabu, raja kami makhluk yang pantas menyandang gelar Batara” ucap Ki Wasto.

“Kakek tua, bicaramu semakin ngawur” Ucap Nyi Sendang Rangu sambil menarik lidah ki wasto hingga putus dan membuangnya ke tanah.

Tidak ada yang bisa berkata-kata melihat tindakan itu.

Setelahnya Nyi Sendang Rangu datang menghampiriku. Mbah Widjan dan Panjipun panik. Tapi saat mereka melihat Nyi Sendang Rangu kembali berubah menjadi cantik, merekapun mulai menghela nafas.

“Sekarang giliran hukumanmu karena sudah memanggillku” ucap Nyi Sendang Rangu.

Mbah Widjan dan Panji terlihat menelan ludah saat mendengar kalimat itu. Tapi aku selalu percaya bahwa Nyi Sendang Rangu bukanlah makhluk yang jahat.

“Ada puluhan jasad di hutan ini, kalau tidak mau bernasib seperti kakek tua ini. Kamu harus menguburkan mereka semua dengan layak” ucapnya.

“Itu memang sudah menjadi niatku” balasku sambil tersenyum.

“Satu lagi, yang kalian hadapi akan lebih berbahaya dari kakek tua bangka ini. Aku mengijinkanmu membaca mantra itu lagi” Ucapnya.

“Terima kasih Nyi.. saya berhutang lagi” balasku.

Nyi Sendang Rangu mulai menghilang di balik derasnya hujan. Namun ia sekali lagi menoleh.

“Seandainya kamu ingat, mantra leluhurmu itu masih memiliki bait yang tersisa..”
Seusai mengatakan itu hujanpun reda bersama kepergian Nyi Sendang Rangu.

Kelanjutan dari mantra leluhur?
Samar-samar aku mengingatnya saat bertarung bersama eyang Widarpa di alam Brakaraswana. Namun karena itu di alam ghaib, otaku tidak mengingatnya dengan benar.

Benar, Aku harus mencari mantra itu. Mungkin saja mantra itu bisa sedikit membantuku untuk menghadapi pertempuran nanti.

***

Berita kekalahan Ki Wasto Langir segera disampaikan ke warga desa. Tepat saat matahari terbit mereka berbondong-bondong datang membantu kami menguburkan jasad-jasad yang hampir semua tidak bisa dikenali.
Mungkin beberapa jasad ini berasal dari beberapa ratus tahun yang lalu.

Mbah Widjan dan Panji juga turut membantu menyiapkan liang untuk jasad-jasad itu dan membacakan doa-doa untuk mereka.

“Untung mas nggak ada di sini, mungkin dia bisa jadi korban kalau ada di pertempuran semalam” ucap Panji mengobrol pada Mbah Widjan.

“Jangan bicara begitu, setiap orang punya takdirnya sendiri” balas Mbah Widjan.
Sepertinya aku mengerti arah perbincangan mereka dan mendekati mereka.

“Ada orang aneh di kantorku yang bikin jelangkung cuma buat membohongi teman kantornya, itu semua agar dia bisa mengetahui weton teman-temanya dan melindunginya” ucapku.
Panji tertawa mendengar ceritaku.

“Dibalik tingkah anehnya itu, saat ada temanku yang kesurupan dia datang paling cepat dan membantu. Bahkan ia menyelidiki sendiri tentang sosok yang meneror kantor” ucapku sambil mengeluarkan sebuah buku kuno yang diberikan kepadaku.

Mbah Widjan meletakkan cangkulnya dan mendekat ke arahku.

“Rizal menitipkan ini pada saya Mbah, mungkin saja ada petunjuk dari buku ini” ucapku.
Mendengar nama Rizal disebutkan. Panji segera datang menghampiriku.

“Mas Danan pernah ketemu Mas Rizal? Benar dia juga sedang menyelidiki ini?” tanya Panji dengan raut wajah yang berubah heran.

Aku mengangguk dan menceritakan bahkan saat ini Rizal masih sering ke rumah sakit memastikan ketiga teman kami yang sukmanya di ambil tetap dalam kondisi stabil. Ia juga masih mengirim informasi setiap ada petunjuk.
Mbah Widjanpun tersenyum mendengarkan ceritaku.

“Panji, inget itu.. bahkan walaupun tidak memiliki bakat, dia tetap memiliki pertempuranya sendiri” ucap Mbah Widjan.

“Iya mbah, Panji nggak boleh kalah sama Mas Rizal” ucapnya.

Butuh waktu seharian untuk menguburkan semua jasad yang ada di hutan ini. Setelahnya kami bersiap pergi ke Padepokan Sena untuk mengamankan warga desa sekaligus bersiap untuk menghadapi kejadian berikutnya.

Bertambah satu lagi orang-orang yang membantu pertempuran ini. Semoga saja waktu kami cukup untuk mengumpulkan mereka-mereka yang memang dipilih oleh Tuhan untuk menyelesaikan bencana ini.

Satu hal yang masih menggantung di pikiranku. Apa yang sedang dilakukan paklek hingga ia tidak bisa berkutik untuk menolong kami?
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Cuplikan Part 5 :
Paklek dikejutkan oleh sosok manusia berilmu hitam yang mengincar warga desa untuk tumbal kesaktianya.

sayangnya paklek kesulitan menghadapi ilmu yang tidak ia mengerti itu. Makhluk itu bisa memisahkan kepalanya atau bahkan berubah menjadi bola api.

Yang paklek tahu, ilmu itu hanya dimiliki oleh orang-orang sakti di tanah dewata.
close