Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Satu Malam Di Kampung Gaib Gunung Malabar

Dari sekian banyak tempat yang pernah saya jelajahi dan singgahi, baik di Jawa maupun luar Jawa. Pangalengan adalah salah satu tempat yang sangat berkesan, hingga beberapa kali saya ke kota kecamatan yang bagi saya yang asal pesisir Jawa sangat dingin menurutku. Meski pada kali pertama saya ke sini ada satu pengalaman yang mencekam, tepatnya di salah satu rumah singgah di sekitaran Situ Cileunca.

Dari beberapa kali ke Pangalengan, pada kesempatan ini saya ingin berbagi cerita dengan kerabat akarasa ketika sedang mendaki gunung Puntang, masih satu area dengan gugusan pegunungan Malabar. Siapa yang akan menyangka dibalik keindahan yang sangat luar biasa di pegunungan Malabar, yang hampir di segala penjuru mata memandang hamparan hijau perkebunan bagaikan gelaran raksasa permadani yang membungkus pegunungan ini.

Saya masih ingat, saat itu masih belum lama terjadi gempa di Tasikmalaya yang imbasnya masih juga terjadi di Sukamanah, Kec. Pangalengan. Terlihat ada banyak tenda pengungsian dan beberapa rumah di kampung ini rubuh dan banyak yang retak-retak di sana sini.

Tapi peristiwa yang akan saya ceritakan kali ini adalah sebuah pengalaman nyata yang sangat tidak masuk akal. Hari itu, kami berempat yang dua di antaranya adalah warga local, Kang Asep dan Mang Dadang dan satu teman saya dari rumah , Sutrisno biasa saya panggil Tris. Di rumah Kang Asep inilah tempat kami menginap saat di Pengalengan ini. Kami berempat berangkat dari rumah Asep sekitar pukul 09.00 pagi dengan membawa bekal yang sudah kami persiapkan pada malam harinya , dengan rencana awal kami akan bermalam dan mendirikan tenda di Curug Siliwangi.

Setelah sebelumnya singgah dulu di makam Bosscha dalam perjalanan selanjutnya kami tidak menemukan kejadian apapun. Selain hawa dingin yang membekukan kulit. Sesekali saja kami bertemu hewan liar yang lari tunggang langgang melihat kemunculan rombongan kecil kami.

Tiba di ujung gunung Puntang, perjalanan mulai mendaki, menapaki jalan setapak yang mulai licin akibat hujan pada hari sebelumnya. Gunung Puntang yang gagah perkasa itu nampak jelas di hadapanku, seperti mengundang kami untuk menjelajahinya. Tidak peduli meski harus melawan dingin padahal matahari sedang pada puncak tengah hari.

Sementara dibelakang saya di kejauhan, terhampar perkebunan teh dan perkampungan penduduk yang tersusun rapi. Perkebunan teh nampak indah di sela-sela perkampungan itu. Eksotis! Sesekali saya berdehem sambil menhela nafas lantaran jalan yang kami tapaki mulai menanjak membuat tenggorokanku kering.

Memasuki belantara pinus gunung Puntang, kami menempuhnya dengan aman tanpa ada ganjalan apapun sepanjang pearjalanan. Namun, peristiwa yang mengerikan itu mulai kami rasakan ketika berada di tengah hutan pinus ini. waktu itu jam tanganku telah menunjukkan pukul 3 sore. Mendadak, cuaca dilangit berubah cepat. Awan hitam menyelimuti langit seperti hendak turun hujan. Pandangan kami pun mulai ikut samar lantaran pohon-pohon pinus yang tinggi disekitar membuat kegelapan semakin pekat. Kental!!

Di atas pohon, burung-burung hutan bersuara keras bersahut-sahutan. Monyet-monyet hutan berkoak seperti member isyarat. Demikan pula binatang-binatang yang lain yang hidup di atas tanah, mereka bersuara seperti memperingatkan akan adanya bahaya. Seketika, di dalam hutan itu ramai oleh suara hewan yang bersahutan. Sesekali burung-burung yang berukuran besar terbang berkepak mengejutkan lantaran sayapnya yang hampir satu meter lebarnya.

Dalam hati saya mulai terasa aneh. Mungkin aka nada sesuatu yang akan terjadi? binatang-bianatang itu bersuara keras bukan lantaran kedatangan kami, tapi ada hal lain yang akan ada di situ.

Meski bukan seorang pendaki yang professional, setidaknya pengetahuan dasar saya tahu dan maklum jika alam mulai menunjukkan hal-hal aneh, berarti aka nada peristiwa yang tidak kami inginkan. Setidaknya seperti ada gejala gunung akan meletus atau aka nada gempa lagi, pikir saya. Tapi hingga sepuluh menit kemudian tak terjadi apappun, kami pun terus berjalan mendaki setapak demi setapak.

Kini, kelelahan mulai menerpa saya dan Tris. Bahkan, sesekali saya mengeluh minya istirahat. Tapi Mang Dadang dengan halus menolak. Katanya ini bukan waktu yang tepat untuk istirahat. Kami pun terus melangkah menembus keremangan di tengah-tengah pohon tinggi menjulang. “Hati-hati, Mas. Ini ada yang tidak beres”, bisik Kang Asep yang berjalan di depan saya.

Dan, belum lama setelah saya mengeluh, tiba-tiba kabut putih turun merangsek di sela-sela pohon besar. Namun jelas kabut putih yang membuat kulit semakin dingin itu turun menyeruak seperti asap. Tentu saja pemandangan di sekitar kami makin gelap. Kabut tebal itu menutup pemandangan kami hingga tak lebih dari 5 meter saja. Mang Dadang yang memang sudah sering ke gunung Puntang ini dan kebetulan ada paling depan dengan setengah berteriak, meminta kami agar tidak saling berjauhan dan meminta kami untuk saling berpegangan tangan satu sama lain.

Saya dan Kang Asep yang semenjak awal tadi mencium akan adanya hal yang tidak diinginkan ini sudah mempersiapkan diri. Saya sadar jika salah bergerak dan melangkah, jurang curam di sisi kiri dan kanan kami telah menunggu. Melihat satu kenyataan demikian, Tris yang memang baru pertama kali ikut mendaki nampak sangat panik.

Beberapa menit lamanya kami diam di tempat. Lampu senter yang dinyalakan Mang Dadang sedikit menerangi kami di tengah gumpalan kabut tebal itu. Dalam keaadaan seperti itu, tentu saja kami tidak ingin berjalan, sebab kami kehilangan arah. Sesaat kemudian, kami memdengar suara bergemuruh dari kejauhan. Saya tidak bisa membayangkan suara apa itu. Rasa takut dan curiga mulai menghampiri benak kami. Mungkinkah itu suara letusan gunung atau hantu yang lari memburu kami. Tapi Mang Dadang mengatakan itu tiupan angin yang menerpa pepohonan. Dan benar saja, beberapa saat kemudia tiupan angin kencang itu, membuat saya semakin menggigil kedinginan. Tapi beruntung, tiupan angin kencang itu sedikit demi sedikit bisa menyapu kabut. Alhamdulillah!

Namun apa yang terjadi justru sungguh membuat kami bingung. Setelah angin kencang itu bertiup dan menyapu kabut, akhirnya pemandangan kembali terbuka lebar. Tapi mengapa kami berada di tengah padang ilalang. Bukankah tadi kami sudah melewati ilalang ini. Bingung dan rasa takut makin menyelimuti kami, tanpa terkecuali. Saya, bahkan Kang Asep dan Mang Dadang sekalipun tak tau apa yang tengah terjadi.

“Kang, kenapa kita jadi di sini?” saya bertanya pada Kang Asep yang sudah pernah berkali-kali mendaki gunung Puntang ini.

“Saya juga tidak tahu. Ini ada yang tidak beres. Tapi sebaiknya kita tetap diam di sini untuk sementara,” jawabnya.

Lebih setengah jam kami duduk bergerombol di tengah ilalang yang tingginya melebehi leher saya. Kami hanya duduk sambil terus berdoa. Namun akhirnya, Mang Dadang yang memang sangat menguasai medan di Gunung Puntang ini mengambil tindakan. Dia mengajak kami berjalan. Tapi sebelumnya dia minta saran dulu pada Kang Asep kemana arah yang akan kami tuju.

Selangkah demi selangkah kami terus menyeruak di tengah padang ilalang. Namun hampir setengah jam perjalanan, apa yang kami tuju belum juga tercapai. Sepertinya kita jalan di tempat. Lokasi yang ditunjuk Mang Dadang itu masih berada nun jauh di sana, dan kami pun belum mencapainya. Sementara waktu terus berjalan, dan hari mulai nampak gelap. Mang Dadang mulai panik. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

“Coba kita sekarang kita jalan ke sana!” kali ini Kang Asep yang mengarahkan kami sambil menunjuk kea rah kanan.

Meski ragu, tapi kami memang tidak punya pilihan lagi. Kami kembali berjalan di belakang Kang Asep yang berjalan di depan sambil menyingkirkan ilalang yang menghalangi langkah. Tapi selama apapun kami melangkah, rasanya apa yang kami tuju itu tak jua mendekat. Kami masih berada di tengah ilalang yang sepertinya tanpa batas itu.

“Kita tersesat, Mang. Ada kekuatan lain yang menyesatkan. Sebaiknya kita jangan melangkah terlalu jauh. Semakin jauh melangkah kita bisa mati” , saran saya karena semenjak tadi menyadari adanya keganjilan. Seperti kejadian yang pernah saya alami saat mendaki Gunung Lawu.

Rupanya Mang Dadang dan Kang Asep mendengar saran saya. Akhirnya kami sepakat untuk diam di tempat sambil terus berdoa sedapat mungkin. Dan mendirikan tenda Kang Asep di tempat ini juga. Mempersiapkan diri untuk bermalam.

Benar saja, hanya beberapa saat setelah satu-satunya tenda yang kami bawa itu telah berdiri. Langit mendadak gelap, malam serasa amat cepat menyongsong kami. Dan di tengah kegelapan, tak satupun kami berempat bisa memejamkan mata.

Di tempat ini, jangankan saya. Bahkan, Mang Dadang atau Kang Asep pun tidak tahu berada di mana. Saya lihat langit, gelap gulita, tak nampak bintang atau benda-benda langit yang bisa member petunjuk. Langit kala itu benar-benar gelap, seperti bukan langit yang biasa kami lihat. Di sekeliling kami pun hanya padang ilalang saja yang bisa kami lihat. Tak ada suara binatang malam atau burung hantu yang menandakan adanya kehidupan. Kami seakan berada di alam lain.

“Sudahlah, Mas. Kita berdoa saja, lalu tidur sambil terus saling mengawasi”, akhirnya Mang Dadang yang kami andalkan pun bersuara putus asa pada Tris teman saya yang sama-sama berasal dari Tuban. Ya, memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berdoa lalu tidur. Tapi rasa takut tetap saja ada di benak kami. Yang saya takutkan jika ketiduran tiba-tiba ada binatang buas yang langsung menerkan tanpa ada perlawanan.

Tapi seperti terkena sirep, setelah menyantap roti perbekalan kami, ternaya saya bisa tertidur juga. Mungkin semuanya. tak ada kejadian apapun sepanjang malam aneh yang mencekam itu.

Pagi harinya saya kembali terperanjat dan kaget bukan kepalang. Bukan lantara salah satu dari kami di mangsa binatang buas di sekitar tenda kami. Ternyata, tenda yang kami dirikan tak jauh dari kebun kubis dan kacang panjang milik penduduk. Bahkan hanya berjarak tak lebih 300 meter di bawah dari kebun kubis dan kacang panjang itu ada beberapa rumah milik penduduk sekitar.

Masih tak percaya, saya bangunkan yang lainnya. Seperti saya, mereka pun terkesima tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mang Dadang dan Kang Asep buru-buru keluar tenda sambil bersyukur. Kami sempat bengong sebentar dan saling berpandangan dan tanpa menunggu lama kami langsung mengemasi tenda dan langsung menuju rumah penduduk yang berjumpah empat rumah itu.

Tapi seorang bapak di sana malah diam saat saya dan Mang Dadang menghampirinya. Cara memandangnya terasa aneh. Matanya tak berkedip, terus menatap Mang Dadang dan saya.

“Kalian dari mana?” tanya orang tua itu dalam bahasa sunda.

“Kami tersesat, lalu mendirikan tenda, Pak. Tapi ternyata kami berada di sana!” kataku sambil menunjuk kebun kubis dan kacang panjang di atas.

“Makanya, jangan sembarangan naik gunung Puntang. Bukan satu dua orang yang sudah disesatkan jin gunung Puntang. Untung saja kalian masih selamat. Biasanya ada saja yang mati kedinginan di tengah gunung itu” ujarnya.

Akhirnya setelah sejenak singgah di rumah pak tua tadi dan menikmati hidangan wedang jahe. Sebelum siang kami pamit pulang ke Sukamanah. Akhir kata sekian dulu oleh-oleh pengalaman di tatar pasudan tepatnya di Pangalengan ini. Haparan saya melalui tulisan ini Kang Asep membaca berkesempatan membacanya dan semoga selalu dalam keadaan sehat sekaligus berkenan memberikan kontaknya yang aktif. Kami tidak kecewa meski pun belum sempat ke Curug Siliwangi, semoga di lain kesempatan yang lebih baik saya bisa sekedar membasuh muka di alirannya. Semoga. Sekian dan matur nuwun…
Selesai


KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
close