Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 5) - Wasiat Tanah Dewata

Suara kentongan terdengar ke seluruh penjuru desa. Belasan orang berlarian mengejar suatu sosok yang baru saja keluar dari salah satu rumah yang sudah dikerubuti oleh warga.


JEJAKMISTERI - “Di sana! Tadi ke arah sana!” Teriak seseorang sambil menunjuk ke arah pepohonan.
Sebaliknya dari arah rumah terdengar suara tangisan yang memecah keheningan malam itu. Suaranya begitu lirih hingga membuat siapapun yang mendengarnya iba.

“Anak saya, tolong anak saya...” ucapnya dengan tak henti-hentinya menangis.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk membantu ibu itu. Anak yang seharusnya ia timang-timang setelah berjuang mempertaruhkan hidupnya, kini telah menjadi tumbal sosok makhluk yang merupakan perwujudan sosok pengguna ilmu hitam.
Yang bisa dilakukan saat ini adalah menangkap pengguna ilmu hitam itu agar tidak ada lagi korban dari makhluk itu.

“Anak saya mbok, anak saya. Saya akan berikan apa saja asal anak saya selamat,” ucap ibu itu.

“Yang sabar ya nduk, belajar untuk ikhlas..” ucap seseorang wanita yang lebih berumur berusaha menghibur perempuan itu.

Tangisanya semakin menjadi-jadi ketika ia mendengar bahwa anaknya tidak lagi selamat. Wargapun sudah mencari semalaman namun tidak ada seorangpun yang berhasil menangkap makhluk itu.

Malam itu dihiasi dengan tangisan seorang ibu yang bahkan tidak pernah bisa melihat sosok bayi yang dikandungnya.
Keesokan harinya, warga yang khawatir dengan ibu itu mendatangi rumahnya. Betapa kagetnya ia saat menemukan ibu itu telah mati gantung diri.

Ia tidak kuat mengetahui kenyataan bahwa ia telah kehilangan anaknya..
Belakangan diketahui bahwa suaminyapun sudah meninggal kecelakaan kerja di perantauan.

Selama ini ia bertahan hidup seorang diri untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya agar bisa menjumpai anaknya yang ia jaga sepenuh hati. Satu-satunya alasan ia bertahan hidup kini telah hilang, anaknyapun mati dengan cara yang mengenaskan.

***

Part 5 - Wasiat Tanah Dewata

(Sudut Pandang Paklek)

Desa Rangitaru, sebuah desa terpencil yang terletak di ujung timur pulau jawa. Beberapa kali aku gagal menemukan jalur yang tepat untuk tiba ke tempat ini.

Namun setelah beberapa kali bertanya (dan disesatkan) akhirnya aku bisa menemukan jalur yang benar.
Ada sebuah papan nama yang menunjukan nama desa itu di hadapanku, sayangnya dibawahnya juga terdapat tulisan + 12Km, dan arahnya menunjuk ke arah hutan.

Aku sudah hampir mengeluh melihat masih jauhnya perjalanan yang harus kulalui. Tapi untungnya Pak Soka yang merupakan kepala desa itu sudah meminta beberapa warganya untuk menjemputku menggunakan motor yang sudah dimodif untuk melalui jalur yang ternyata sangat tidak santai.

Perjalanan menuju desa dihiasi dengan pepohonan dan beberapa hewan kecil yang melompat dari pohon ke pohon. Sudah ada jalur yang terbentuk di tempat ini, sepertinya mobil kecil bisa melewati jalur ini walaupun dengan susah payah.

Saat melewati balai desa, terlihat warga sedang berkumpul seolah membahas sesuatu yang serius. Aku tidak bisa mengacuhkan pandanganku dari pertemuan itu.

“Paklek saya antar ke tempat istirahat dulu saja ya, nanti saya jemput lagi” ucap pemuda yang menjemputku menggunakan motornya.

“Itu, Pak Soka di balai desa kan? Kita ke situ dulu saja, kayaknya masalahnya lagi di bahas” balasku.

“Nggak papa Paklek? Nggak mau istirahat dulu?” tanyanya sopan.

“Sudah nggak papa, kita ke sana dulu saja sambil kenalan” balasku.
Pemuda itupun memutar motornya dan mengantarku ke balai desa.

“Kulo nuwun” (Permisi) ucapku yang sepertinya sedikit membuyarkan perbincangan mereka.

“Ealah, Pak Bimo. Sudah sampai to? Nggak istirahat dulu?” Pak Soka segera berdiri dari tikarnya dan menyambutku.

“Sudah pak, istirahatnya nanti saja mumpung lagi pada kumpul” balasku.

Akupun berkenalan dengan beberapa warga desa secara singkat. Benar saja, mereka sedang membahas kejadian kemarin. Kejadian yang ternyata sudah memakan korban jiwa.

“Desa ini sedang di teror makhluk pengguna ilmu hitam Pak” jelas Pak Soka.

“Kemarin ada korban seorang anak bayi yang baru saja lahir, dan ditambah lagi ibunya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya”
Pak Soka menceritakan mengenai sosok makhluk yang sedang meneror desa.

Ia mengincar janin bayi, dan ketika tidak ada bayi yang akan lahir ia mengincar anak kecil atau bahkan orang dewasa.

“Sudah ada yang pernah melihat wujudnya pak?” tanyaku penasaran.

“Pernah ada orang pintar yang berhasil menjebak makhluk itu pak, iapun memanggil warga. Namun sebelum warga sempat sampai, tiba-tiba terlihat cahaya kobaran dari arah orang pintar itu” Jelas Pak Soka.

“Cahaya?” tanyaku penasaran.

“Maksud Pak Soka, saat kami sampai orang pintar itu sudah mati dengan seluruh badan yang gosong, mati terbakar” tambah salah satu warga.
Mendengar kisah itu aku segera mengerti sekelam apa permasalah yang dimiliki desa ini hingga Pak Soka harus memanggilku.

Padahal di sekitar desa inipun harusnya banyak orang sakti yang harusnya bisa membantu permasalahan di desa ini.

“Untuk itu pak, sebelum Pak Bimo membantu kami, saya ingin mewanti-wanti agar Pak Bimo tidak memaksakan diri. Kami tidak ingin ada korban yang bertambah lagi” ucap Pak Soka.
Aku mengangguk dan mengerti maksud Pak Soka.

“Tenang saja pak, saya tahu batasan saya” balasku.

Pak Soka pun melanjutkan ceritanya. Menurutnya dulu pernah ada kasus serupa tentang makhluk yang mengincar janin. Tapi itu sudah puluhan tahun yang lalu saat Pak Soka masih kecil. Iapun heran mengapa makhluk itu kini kembali muncul dan menyerang desa.

Perbincangan di balai desa saat itu tidak membuahkan hasil yang signifikan. Mereka hanya membentuk kelompok-kelompok ronda dan sistem keamanan desa untuk saling memberi tanda apabila melihat sosok itu.

Mereka juga mendata setiap wanita yang sedang hamil agar selalu didampingi saat tidak bersama anggota keluarganya.
Tapi kalau makhluk itu memang sesakti yang diceritakan. Mungkin sistem inipun tidak mampu menahan keganasan makhluk pencari tumbal itu.

***

Seusai pertemuan, Pak Soka mengantarku ke salah satu rumah warga yang dipinjamkan untukku beristirahat. Akupun menggunakan waktuku untuk membereskan barang dan mandi sebentar.

Saat aku keluar untuk mencari udara segar, aku melihat satu keluarga yang pergi membawa barang-barangnya meninggalkan desa, padahal langit sudah mulai gelap. Ada satu orang ibu hamil di antara mereka. Mungkin mereka bermaksud mengamankan diri dengan meninggalkan desa ini.

“Selamat malam Pak Bimo” ucap Pak Soka yang baru saja tiba.

“Malam Pak Soka, monggo” sambutku.
Pak Soka mengambil tempat duduk di sebelahku sambil membawa sebuah rantang yang berisi nasi dan lauk untukku.

“Masakan istri saya, nanti dicobain ya Pak Bimo” ucap Pak Soka.

“Wah, menu istimewa nih” balasku.

Pak Soka mengajak kami berjalan-jalan mengelilingi desa Ragitaru.
Kami berbincang mengenai keadaan desa ini yang menurut Pak Soka benar-benar mengkhawatirkan.

Pak Soka juga sempat mampir ke kantor kecamatan, namun permasalahan yang diceritakan Pak Soka dianggap tidak masuk akal.

“Saya khawatir kalau makhluk itu sama sekali tidak bisa ditangani, akan semakin banyak warga yang jadi korban.
Semakin banyak ia mendapat tumbal, dia akan semakin kuat kan pak?” tanya Pak Soka.

“Betul pak, makanya kita perlu secepat mungkin mencari petunjuk”

Di tengah perjalanan aku melihat seorang pemuda yang tadi mengantarku baru saja sampai di rumahnya dengan membawa belanjaan.

“Pak Bimo sudah kenalan sama Egar kan tadi?” tanya Pak Soka.

“Oo, namanya Egar. Saya lupa nanya tadi” jawabku.

“Dia salah satu pemuda yang paling rajin. Sekolahnya memang tidak tinggi, tapi dia dengan senang hati membantu warga jadi semua orang senang denganya” ucap Pak Soka.

Ucapan Pak Soka benar. Pertama kali ketemu Egar saja aku sudah merasakan tingkah sopanya.

“Di dekat sini ada sungai pak?” tanyaku yang samar-samar mendengar suara gemericik air yang mungkin jaraknya cukup jauh.

“Ada pak, dulu sungai itu sering digunakan warga untuk mandi dan mencuci baju. Tapi semenjak jaman lebih modern, sungai itu hanya sebagai tempat memancing dan tempat istirahat warga desa saja” jelas Pak Soka.

Banyak perbincangan santai antara aku dan Pak Soka. Tapi sebagian besar adalah keresahanya tentang desa ini.
Saat kami berniat untuk kembali, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari arah yang tidak jauh dari tempat kami berada.

Saat itu juga aku dan Pak Soka segera berlari menuju arah kentongan itu.

“Kenapa mas? Ada apa?” tanya Pak Soka.

“Tadi ada di sana mas, ada di atas pohon. Ada makhluk aneh yang ngeliatin dari sana” ucap salah satu warga yang bertugas berjaga saat itu.

Kami menoleh ke arah yang ia tunjukkan, namun tidak ada apapun di sana.

“Nggak ada apa-apa mas, makhluk itu lari ke arah mana?” tanya Pak Soka.

Warga itupun menunjuk ke arah hutan.
Aku memastikan setiap titik yang di tunjuk oleh warga itu.

Memang ada bekas residu yang tersisa dari makhluk yang pernah ada di sana. Satu yang pasti, kalau makhluk itu sampai menyisakan jejak seperti ini, itu artinya makhluk itu memang memiliki ilmu yang tinggi.

“Pak, amankan warga ya.. jangan ada yang keluar dulu” ucapku.

“Pak Bimo mau ke mana?”

“Saya coba periksa ke hutan dulu” balasku.

“Ja..jangan pak! Bahaya!” teriak Pak Soka.
Aku tidak menghiraukanya dan segera berlari meninggalkan Pak Soka dan warga desa menuju ke dalam hutan.

Bukan gegabah, tapi bila sisa energi makhluk itu masih terbaca olehku mungkin aku bisa menemukan dimana makhluk itu bersembunyi.

Makhluk itu tidak berjalan di tanah, ia melayang. Aku masih merasakan pekatnya energi hitam dari udara yang ia lewati.

Aku mendengar suara sungai tak jauh dari tempatku, tapi energi itu tidak mengarah ke sana. Makhluk itu mengarah ke arah jalan masuk desa.
Seketika akupun panik, bila firasatku benar maka makhluk itu bisa saja mengincar mereka.

Tttiiiiiin!!!!

“Toloong! Tolong!”

Suara klakson motor terdengar bersahutan bersama dengan suara beberapa orang yang meminta pertolongan. Aku berlari secepat mungkin ke arah suara itu dan terlihat sekumpulan orang sedang berusaha bertahan dari sesuatu.

Benar dugaanku, makhluk itu mengincar rombongan keluarga yang tadi bermaksud meninggalkan desa.
Ada satu orang terbaring di sana dengan tubuh yang sudah menghitam terbakar dengan sisa api di tubuhnya.

Masih ada dua orang laki-laki dan satu orang ibu yang hamil yang berusaha bertahan dari makhluk yang belum sempat kulihat wujudnya.

Aku berhenti sejenak mencari keberadaan makhluk yang menyerang mereka, sampai akhirnya terlihat keberadaan sebuah bola api besar yang menyerang ke arah salah seorang pemuda yang berada di sana.

“Minggir!” Teriakku sembari membacakan sebuah doa untuk menahan serangan makhluk itu.

Sayangnya rupanya energi makhluk itu terlalu besar. Amalan penolak ilmu hitam yang kugunakan tidak cukup untuk menahanya dan membuat kami terpental dengan ledakanya.

“Jangan jauh-jauh dari saya!” perintahku pada mereka.

“Bapaknya yang dimintai tolong sama Pak Soka tadi?” Tanya ibu hamil itu.

“Iya, tetap waspada kalau ada yang melihat wujudnya segera teriak” ucapku.

Makhluk itu tidak menyerang membabi buta. Hampir dapat dipastikan sosok ini benar manusia yang mencari ilmu.

Tepat ketika sinar rembulan tertutup awan tiba-tiba sosok itu kembali mendekat. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini bukan bola api. Makhluk itu muncul dengan kepala dan mata yang besar dengan taring yang panjang hingga kebawah.

Sisa-sisa api dari wujud bolanya masih terlihat di rambutnya yang panjang.

“Leak?” ucap warga itu.

“Itu wujud Rangda, kalau memang benar ini akan menjadi pertarungan yang sulit” balasku.

Makhluk itu berwujud seperti kuyang, namun organ tubuhnya tidak terlihat, tertutup dengan rambutnya. Dan samar-samar aku masih bisa melihat bayangan tangan dan kakinya.

Sosok itu melayang seolah bersiap memakanku dengan mulutnya yang besar, namun saat aku berbalik ingin menyerangnya sosoknya menghilang.

“Pak! Tolong!” ucap ibu yang sedang hamil itu.

Seketika makhluk itu sudah ada di hadapan ibu itu dan menggigitnya. Makhluk itu mengincar kepala ibu itu, namun ia sempat menghindar sehingga gigitanya menyerang bahunya.

Aku tak tahan lagi, kali ini aku mengambil keris sukmageni dari tas kainku.

Dengan segera aku menyerang sosok makhluk pengguna ilmu leak itu, namun dengan cepat ia bisa menghindar.

Seolah sadar dengan kekuatan keris sukmageni, ia menjaga jarak dariku. Aku belum mau menyerah dan menerjangnya.

Tepat saat seranganku menggoresnya, seketika sosoknya berubah kembali menjadi bola api dan membakar tanganku.

Rasa panas benar-benar hampir membuatku tidak mampu bergerak. Namun aku tahu bahwa makhluk itu tidak akan berhenti.

Sekuat tenaga aku membacakan mantra untuk memanggil kobaran api yang mungkin bisa menyeimbangi kobaran apinya. Geni Baraloka..

Wujudnya yang berupa bola apipun beradu dengan geni baraloka. Sebuah ledakan yang menyilaukan menerangi gelapnya hutan saat ini.

sayangnya ia tidak juga tumbang, bahkan ia seolah tidak terluka sama sekali.

Samar-samar aku melihat bekas goresan bilah hitam keris sukmageni di pipi makhluk itu.

Tidak mau menghilangkan kesempatan, akupun membacakan mantra yang diberikan penempa keris ini dan memunculkan api hitam dari bekas luka setan itu.

Seketika makhluk itu meronta kesakitan. Iapun menerjang kearahku, aku bersiap menahanya namun tiba-tiba sosok itu menghilang dari pandanganku.

“Bapak!!! Bapaak!!” Teriak ibu tadi.

Aku menoleh ke arahnya, sosok makhluk itu sudah tidak terlihat di sekitar kami.

Namun kami kecolongan. Suami dari ibu yang mengandung itu sudah terbaring di tanah bersimbah darah.. Tanpa kepala...
Menyadari kericuhan tadi warga berbondong-bondong menghampiri kami dan kaget dengan apa yang terjadi. Wajah panik terlihat diantara mereka semua.

Bagaimana tidak mereka menemukan kami bersama jasad yang terbakar hingga gosong, dan sebuah jasad tanpa kepala.

Ibu yang selamat itupun kini hanya menangis tanpa henti sementara pemuda yang mengantar mereka bahkan tidak dapat beribicara setelah melihat kejadian tadi.

“Maafkan saya Pak Soka, saya gagal menyelamatkan mereka” ucapku.

Pak Soka menghampiriku dan melihat bekas luka bakar di lenganku.

“Sudah Pak, kalau pak bimo saja tidak bisa apalagi kami.
Lebih baik kita obati luka pak bimo dulu, kita tidak tahu kapan makhluk itu akan kembali lagi” balas Pak Soka.

Kamipun kembali ke desa, beberapa warga mengantarkan Ibu yang sedang hamil itu untuk tinggal bersama istri Pak Soka sementara warga berkumpul ke balai desa.

***

“Ilmu leak?” tanya Pak Soka bingung.

“Bukanya itu hanya ada di pulau Bali saja?“

Aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi itulah yang kulihat. Aku menceritakan sosoknya yang berubah menjadi bola api dan kadang berwujud Rangda.

“Leak, atau Pengleakan itu ilmu pak, sebuah ilmu aksara.. sebenarnya justru menurut serat calonarang ilmu pengeleakan itu dimulai di sini, di Jawa Timur, tapi bisa jadi ada teori yang berbeda” Jelasku.

“Kami sempat menduga itu adalah sosok seperti kuyang, tapi kuyang tidak bisa melukai manusia dewasa sampai terbakar seperti itu” balas Pak Soka.

Di tengah perbincangan kami tiba-tiba ada seorang yang mendekat kepada saya.

“Maaf Pak Bimo, tanganya biar saya periksa” ucapnya dengan sopan.

“Oh tidak usah repot-repot pak, tadi sudah saya obati” balasku.

Pria itu mendekat kepadaku dan tetap memaksa untuk mengobati tanganku.

“Bukan begitu pak, kalau memang luka ini dikarenakan ilmu leak itu mungkin luka ini bisa berkepanjangan” ucapnya.

“Iya paklek, biar diperiksa sama Pakde saja” ucap Egar.

Rupanya pria ini adalah Pakde, atau paman dari Egar yang sama sepertiku, ia dimintai tolong untuk menangani makhluk itu.

Mendengar alasan itupun aku menunjukkan tanganku padanya. Ia melihat tanganku dan membacakan sebuah mantra yang lebih mirip sebuah doa dari agamanya.

Benar ucapanya, walaupun aku sudah menutup lukanya rupanya ada benda seperti asap menguap dari kulitku.

“Itu apa Pak?” tanyaku.

“Ini racun, kalau ia pengguna ilmu leak dia pasti sudah biasa dengan wujud racun yang tidak terlihat.

Seandainya ia membacakan mantranya, racun ini akan bereaksi” jelasnya.

Mendengar penjelasanya akupun mengambil kesimpulan bahwa ia buka orang biasa. Namanya Pak Waja.
Egar yang meminta pertolongan Pak Waja pakdenya untuk membantu desa ini.

Ia baru saja datang tadi sore, mungkin saat kami melihat Egar memasuki rumahnya tadi.

“Pengguna ilmu leakpun seharusnya tidak seagresif ini dalam mencari tumbal” ucapku melanjutkan pembicaraan.

“Kecuali pengguna ilmu itu punya niat lain, ia sedang mengejar suatu ilmu atau tujuan serupa” balas Pak Waja.

Mendengar ucapan Pak Waja seketika aku teringat kejadian saat Cahyo kembali dari desa yang ia tolong dan berkata tentang kerajaan setra gandamayit.

“Kerajaan demit setra gandamayit” ucapku menggumam.

Pak Soka dan Pak Waja pun memperhatikanku yang sedang berpikir. Namun wajah Pak Waja lebih terlihat kaget.

“Pak Bimo tahu mengenai itu?” tanyanya.

“Kedua keponakan saya sedang berurusan dengan itu, biar saya pastikan dulu” saat itu juga aku pamit kepada warga dan kembali ke rumah.

Ada perasaan yang mengganjal saat teringat akan Danan dan Cahyo yang sedang berurusan dengan demit-demit dari kerajaan demit kuno itu.

Aku mengambil posisi senyaman yang kubisa dan mencoba mencari keberadaan sukma danan yang terhubung dengan aliran darahku.
Dengan membacakan sebuah mantra aku berhasil memisahkan rohku dari raga dan segera menuju ke tempat dimana mereka berada.

***

“Danan, mantra leluhurmu.. mungkin itu satu-satunya cara kita keluar dari situasi ini!” terdengar suara cahyo yang berada di tengah pertarungan.

Melihat situasinya sepertinya mereka memang tidak punya pilihan lain. Serangan mereka sama sekali tidak ada yang bisa melukai musuh yang mereka hadapi
Sena dan teman-temanya sudah tidak mampu bertahan dari serangan berbagai pria berbaju hitam.

Sebagian dari temanya pun sudah terluka. Apalagi Cahyo bertarung dalam keadaan terluka.

Saat itu danan meletakkan kerisnya di dadanya dan membacakan sebuah mantra.

Jagad lelembut boten duwe wujud..

Sayangnya sebelum ia menyelesaikan mantra itu, tubuh Cahyo terpental menabrak tubuh Danan.
Perasaanku benar, mereka juga sedang dalam bahaya.

Akupun kembali membacakan mantra sembari menggerakkan tanganku dan memanggil api andalanku untuk menghentikan sosok roh kera raksasa jelmaan yang menyerang mereka.

“Paklek! Itu paklek!” Teriak Cahyo merasa Senang.

Iapun segera melompat ke arah api putih itu dan membakar luka yang ada di lenganya untuk memulihkan lukanya itu.

Tepat saat apiku membakar kera raksasa itu, tiba-tiba sosok itu mulai menghilang. Ia seperti kembali ke wujud benda berbentuk wayang.

Sungguh, aku pernah menghadapi makhluk seperti itu.

Aku teringat kisah Cahyo yang mengusir siluman ular raksasa di reruntuhan hutan dengan batu dari reruntuhan itu. Mungkin saja itu bisa berguna untuk melawan makhluk-makhluk itu.

“Panjul watu sing mok gowo kuwi iso ngelarani demit ulo dekwingi to?” (Panjul! Batu yang kamu bawa bisa melukai ular kemarin kan?) ucapku mengingatkan mereka.

Mereka sadar dengan cepat dan mulai memanfaatkan batu itu untuk melawan musuhnya.

Aku menyaksikan itu dari jauh, menggunakan geni baraloka dalam wujud sukma dan keadaan terluka sangat menguras tenagaku.
Ada hal menarik yang ditemukan sena. Ia menggunakan aksara di batu itu pada lengan cahyo sehingga mereka bisa menyerang makhluk-makhluk itu.

Padepoakan Ronggo Mayit, Siluman Ular Raksasa, Nyai Wijul.. makhluk-makhluk ini terhubung dengan takdir bangkitnya kerajaan demit kuno itu. Apabila dugaanku benar, pengguna ilmu leak itu juga mencari tumbal sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan posisi di kerajaan demit itu.

Akupun kembali ke ragaku dan segera kembali menghampiri balai desa. Hanya tersisa Egar, Pak Waja, dan Pak Soka yang masih berbincang soal kedatangan Pak Waja.

“Besok makhluk itu akan mencari tumbal lebih banyak lagi, aku merasa besok makhluk itu akan lebih ganas” ucapku membuyarkan perbincangan mereka.

“Maksud Pak Bimo?” tanya Pak Soka.

“Kami sudah menemui sosok-sosok demit yang berebut tahta untuk kebangkitan kerajaan demit setra gandamayit. Nyai Wijul, Padepokan Ronggo mayit, dan siluman ular raksasa.. mereka mencari cara untuk meningkatkan kesaktian mereka.

Jika pengguna ilmu leak itu salah satu dari mereka, maka besok malam makhluk itu akan lebih berbahaya” ucapku.
Pak Waja berdiri dan menghampiriku.

“Sudah pak bimo, tenang dulu.. pasti ada cara untuk menghadapi makhluk itu” ucap Pak Waja.

Pak Soka yang mendengar ucapan Pak Waja hanya menghela nafas. Sepertinya rasa khawatirnya semakin memuncak saat tau kegagalanku melindungi warga desanya tadi.
Malam itu aku memutuskan untuk bermeditasi memulihkan tenagaku.

Perasaanku sangat tidak nyaman seolah merasakan akan ada permasalahan yang sangat besar besok.
Besoknya kami bersiap memperketat penjagaan dan mengatur posisi pemuda yang berjaga. Tidak ada satupun orang yang dibolehkan berkonfrontasi dengan makhluk itu.

Tugas mereka hanya menginformasikan kepadaku dan Pak Waja.
Aku berkeliling mencoba mencari jalur keberadaan energi makhluk itu namun sama sekali tidak kutemukan. Satu-satunya jalan adalah menunggunya ia datang untuk menyerang kami.

Hari semakin sore, kamipun meminta warga untuk berkumpul di lokasi yang berdekatan. Para pemuda mengatur warga untuk mengisi rumah-rumah yang berada di posisi aman.

“Mbak Yatmi kemana?” tanya seorang warga.

“Nggak tahu, Mbak Parti juga nggak kelihatan” balas seorang warga lain.
Merekapun saling mengecek satu sama lain, tapi ada keanehan di sini.
Ada beberapa warga perempuan cukup banyak tidak bisa ditemukan di desa.

Awalnya kami menunggu mereka datang karena mungkin masih ada keperluan di rumahnya. Tapi mereka tidak kunjung datang.
Wajah Pak Waja terlihat bingung saat itu.

“Pak Bimo, Pengguna ilmu leak itu ada yang bisa menggunakan pengasihan juga, apa mungkin?”

Pak Waja membiarkanku membaca pikiranya.
Aku teringat tentang berita pertarungan kedua pengguna ilmu leak di jawa timur beberapa puluh tahun silam. Dua bola api saling beradu kekuatan. Dan kejadian itu terjadi di siang hari.

Aku mengambil kesimpulan makhluk ini tetap bisa beraksi di siang hari.

“Pak, Kita cari warga yang belum datang!” ucapku.
Suara motor terhenti di depan rumah. Egar bersama temanya berhenti di depan balai desa dengan wajah penuh keringat.

“Arah sungai pak! Arah sungai! Ada beberapa warga yang ke arah sana” ucap Egar.
Mengetahui hal itu kamipun pergi menuju tempat yang ditunjukan oleh Egar.

Pak Soka ikut mengantar kami sementara warga di desa dijaga oleh para pemuda sementara kami mengecek keberadaan warga yang hilang.
Benar saja, terlihat beberapa perempuan berjalan mengarah menyeberangi sungai. Mataku mengikuti ke mana arah mereka menuju, dan ternyata mereka menuju ke sebuah gua kecil tertutup semak yang berada di salah satu hutan itu.

Pak Waja membacakan mantra dan menyentuh masing-masing kepala wanita-wanita itu dan satu-persatu dari merekapun mendapatkan kesadaranya kembali.

“Egar, bawa mereka kembali ke desa” perintah Pak Waja.

“Siap Pakde” jawab Egar yang dengan cekatan mengarahkan wanita-wanita itu kembali ke desa.

Aku merasakan dengan jelas kekuatan dari dalam goa itu, sudah jelas makhluk itu bersembunyi di sini.

Aku berpikir makhluk itu akan melawan kami dengan wujud bola api lagi.

Tapi tidak... kali ini ia keluar dari goa tempatnya bersembunyi dan keluar dan menatap kami dari mulut gua itu.

Manusia, wujudnya benar-benar seorang manusia yang mengenakan baju adat bali berwarma hitam. Ia keluar dan memandang kami dengan kesal.

“Tidak ada ampun untuk kalian” ucapnya yang sama sekali tidak ingin berkompromi.

Tanpa sadar, ternyata di sekeliling kami sudah ada sosok makhluk berwujud Rangda yang siap menyergap kami. sepertinya orang itu mengundang teman-temanya atau pengikutnya untuk menghabisi kami.

Aku menelan ludah tak menyangka akan menghadapi situasi ini.

“Pak Soka, sebaiknya ikut dengan Egar. Tolong sampaikan pesanku untuk melanjutkan tugasnya” ucap Pak Waja.

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya, namun Pak Sokapun menuruti permintaan Pak Waja dan segera pergi.

Salah satu Rangda bersiap mengejar Pak Soka, namun aku segera menahanya dan bersiap menyerangnya dengan bilah hitam keris sukmageni.

Sayangnya sebelum aku sempat menyentuhnya, sosok itu berubah menjadi bola api.

Beruntung aku sadar dengan kejadian sebelumnya dan segera menghindar.

“Habisi, setelah itu kita nikmati kepala warga desa itu” perintah sosok manusia tadi.
Aku menghitung ada tiga sosok Rangda ditambah sosok itu yang masuk ke dalam goa dan keluar dengan wujud Rangda.

Aku menduga dialah yang paling kuat diantara semua makhluk ini.

“Pak Bimo, ada satu cerita yang saya ingin pak bimo tahu.. Di tanah kelahiran saya di pulau dewata, ilmu ghaib memiliki dua cabang, Pengiwa (kiri) dan penengen (Kanan)..
Ilmu pengiwa adalah ilmu dengan jalur nafsu, salah satunya adalah ilmu pengleakan ini walaupun sebenarnya penggunaanya tergantung dari pemilik ilmu juga..” Ucap Pak Waja.

Aku belum mengerti dengan apa yang ingin disampaikan olehnya.

Yang aku tahu makhluk-makhluk itu mulai menerjang ke arah kami.

“Seorang balian seperti saya mengutamakan ilmu penyembuh yang merupakan ilmu Penengen (kanan).
Tapi pak bimo harus tahu, untuk mencapai ilmu penengen yang sempurna.. seorang balian penengen juga harus menguasai ilmu pengiwa untuk tahu cara menanganinya” tambahnya.

Ma...maksudnya? Pak Waja juga menguasai ilmu seperti orang itu?

Saat itu langit mulai gelap, Tepat saat seluruh Rangda itu mendekat, tiba-tiba tubuh Pak Waja berubah menjadi sosok bola api berwarna kuning. Ukuranya lebih besar melebihi yang kuhadapi kemarin.

Mereka saling berbenturan menciptakan suara dentuman yang terdenar hingga ke penjuru hutan. Keempat bola api merah dan sebuah bola api kuning berkejaran diantara pepohonan di tengah hutan itu.
Aku masih tidak menyangka dengan apa yang kulihat.

Berarti Pak Waja juga merupakan salah satu dari mereka?
Pikiran ini berkecamuk menilai apakah ilmu Pak Waja merupakan ilmu yang benar atau malah salah?

Namun aku melihat keadaan dimana keempat bola api merah itu memojokkan bola api kuning hingga terjatuh di tanah menciptakan lubang di tanah.

Pak Waja kembali muncul kali ini dalam wujud Rangda mirip seperti mereka sebelumnya. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa.

Wujud Pak Waja seketika berubah menjadi mengerikan seperti makhluk yang kemarin menyerangku.

Semakin lama aku berpikir semakin banyak pula luka yang didapatkan oleh Pak Waja. Sepertinya aku harus menunda pemikiranku dan fokus untuk melindungi warga desa terlebih dahulu.

Sebuah bola api besar kembali menyerang Pak Waja, aku tahu dari cacatnya api yang ada di sisinya bahwa itu adalah makhluk yang menyerangku kemarin.

Akupun membaca mantra untuk membangkitkan api hitam dilukanya sehingga bola api itu kesakitan dan kembali ke wujud Rangdanya.

Saat ketiga bola api sisanya menyerang, aku menepisnya satu persatu dengan bilah hitam dari keris ragasukmaku. Sama seperti sebelumnya, walaupun bisa menahan seranganya, api dari kobaran itu tetap membakar lukaku.

Akupun membaca sebuah mantra lagi dan memanggil api putih yang mampu memutihkan angkara murka. Aku berharap api ini bisa menahan ilmu-ilmu hitam yang digunakan untuk menyerangku.

Pertarungan semakin sengit dengan setiap luka goresan yang kudaratkan di tubuh makhluk-makhluk itu, sayangnya itu semua harus kubayar dengan luka bakar di tangan ini.

Entah sampai kapan geni baraloka bisa terus menyala menahan agar lengan ini tidak menjadi abu sebelum pertempuran ini berakhir.

Aku dan sosok Rangda Pak Waja saling melindungi punggung masing-masing, namun aku merasa seolah serangan-serangan ini tidak pernah berakhir.

Aku berkali-kali membaca mantra api hitam untuk membakar luka mereka, namun mereka masih sangat kuat untuk menahan itu semua. Entah serangan apa lagi yang bisa kudaratkan kepada mereka. Inilah salah satu ilmu yang paling sulit yang pernah kuhadapi.

Sebuah ledakan terjadi lagi atas serangan Pak Waja dan Rangda itu dan menyebabkanku terpental. Saat itu juga, seolah tidak ingin melewatkan kesempatan salah satu bola api merah bersiap menyerangku dan menghabisiku.

Aku sudah bersiap dengan apapun yang terjadi dan menahan seranganya dengan keris sukmageni ditanganku. Saat itu hal aneh terjadi...

Bola api yang menyerangku tiba-tiba padam dan berubah menjadi kepala manusia yang terjatuh bersama organ-organya.

Aku kaget melihatnya dan segera mencari posisi terbaik untuk bertahan.

“Egar berhasil! Kita hanya perlu mengulur waktu..” ucap Pak Waja yang sekejap kembali ke wujud manusianya.

Berhasil? Mengulur waktu? Maksudnya ini semua sudah direncanakan oleh Pak Waja?

“Berarti kita hanya perlu menahan mereka selama mungkin?” tanyaku memastikan.

Pak Waja yang sudah kembali melayang dalam wujud Rangdanya hanya mengangguk dan menahan setiap serangan dari makhluk lainya.

Sepertinya tubuhnya sudah hampir tidak kuat menahan semua serangan itu.

Ilmuku adalah ilmu api, sangat tidak menguntungkan bila berhadapan dengan makhluk yang mengandalkan api. Sepertinya ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk bertahan.

Aku menggoreskan jariku pada bilah putih keris sukmageni, seketika darahku mengalir di bilah putih dan berubah menjadi tetesan api. Akupun menereskan api itu ke arah Pak Waja. Seketika seluruh luka ghaib dan luka pertarungan yang ia dapat pulih seketika.

“Maaf Pak Waja, kemampuanku belum bisa menandingi mereka, tapi dengan cara ini Pak Waja bisa bertarung lebih lama” ucapku.

Wujud Rangda Pak Waja menatapku seolah mengerti rencanaku. Ia bertarung sekuat tenaga, dan setiap lukanya semakin parah aku kembali memulihkanya.

Berbeda dengan ketiga Rangda yang tersisa, tubuhnya mulai penuh dengan luka. Dan saat benturan terjadi lagi, salah satu Rangda kembali berubah menjadi kepala manusia dengan organ tubuh di bawahnya.

Saat mengetahui rencana Pak Waja, kedua makhluk itu kembali menjadi bola api besar lagi dan bersiap menyerang Pak Waja dengan seluruh kekuatanya. Aku tidak yakin Pak Waja bisa bertahan dari serangan itu.

Akupun bersiap untuk membantu menahan serangan itu, namun sekali lagi sebelum serangan itu sempat mendarat bola api itu kembali berubah menjadi kepala manusia.

Kini tinggal satu sosok bola api yang bersiap menyerang kami. Posisi kini berbalik, aku yakin kami bisa menghabisinya.

Ketika kami bersiap menerima seranganya tiba-tiba bola api itu berbalik arah dan pergi meninggalkan hutan. Akupun mencoba mengejarnya, namun Pak Waja menahanku.

“Sudah pak bimo, jangan dikejar.. kita tidak tahu apa dia masih memiliki teman seilmu juga” ucap Pak Waja.

Akupun menerima alasan Pak Waja dan mengecek luka-lukanya.

“Pak Waja harus jelaskan ini semua kepada saya” ucapku sambil membantunya berdiri.

“Kita kembali ke desa dulu, makhluk itu juga terluka parah. Ia tidak akan kembali ke tempat ini lagi dalam waktu lama” balas Pak Waja.

Aku tidak menghiraukan dulu sosok kepala yang sebelumnya sempat berubah menjadi bola api itu. Tapi sepanjang perjalanan Pak Waja bercerita.

Pengguna ilmu leak bisa merubah dirinya menjadi berbagai macam hal mulai dari hewan, benda, Rangda, sesuai tingkatanya.

Namun mereka yang terbuai dengan kesaktian instan mendapat pusaka untuk bisa mendapatkan ilmu leak namun tidak sempurna.

Hanya kepala mereka yang melepas dan menjadi Rangda untuk mencari tumbal demi kesempurnaan ilmu mereka.

“Aku meminta Egar mencari tubuh mereka dan menghancurkan pusakanya yang biasa berbentuk kain, sebenarnya Egar juga seorang melik yang dianugerahi kemampuan” jelas Pak Waja.

Saat sampai di desa, kami memberitahukan bahwa keadaan sudah aman dan warga bisa pulang ke rumahnya masing-masing. Hanya tersisa Egar dan Pak Soka yang ingin mendengar cerita dari kami.
Kami tidak menceritakan dengan detail pertarungan kami.

Apalagi saat Pak Waja berubah menjadi Rangda. Tapi Pak Soka bisa menerima bahwa kami berhasil karena Egar menuntaskan tugasnya menghancurkan pusaka yang digunakan tubuh Rangda yang menyerang kami.
Aku menatap Egar, dia hanya seorang pemuda biasa.

Saat menatapnya aku teringat pada danan dan cahyo, mungkin saja dia juga memiliki takdir yang besar seperti kedua bocah itu.

Rasa penasaranku pada Pak Waja kuteruskan dengan berbincang di rumah singgah sembari bertukar ilmu untuk memulihakan diri dari luka-luka tadi.

“Kepercayaan kami mengacu dengan Rwa-bhineda dimana setiap hal memiliki dua sisi, baik buruk, positif negatif, atas bawah.. dan semuanya akan terus ada di alam ini. Hal ini juga berlaku pada ilmu pengleakan pak bimo” cerita Pak Waja.

Aku mengangguk, kepercayaan ini juga dianut leluhur kami di jawa sebelum ajaran agama masuk kedalam kehidupan masyarakat.

“Ilmu baik bisa menjadi buruk bila dimanfaatkan untuk hal duniawi, dan ilmu pengiwa (kiri) bahkan bisa menjadi hal baik bila tujuanya untuk mengobati atau menangkal” jelasnya.

Seperti yang sempat diceritakan saat bertarung tadi. Mungkin maksudnya kita harus memahami seluk beluk ilmu hitam itu untuk bisa menangkalnya.

“Tapi aku tidak menyangka kejadian tadi, seorang yang bertingkah bijak seperti Pak Waja tiba-tiba bisa berubah wujud menjadi Rangda yang mengerikan” ucapku.

“Mungkin ilmu itu diturunkan ke saya karena suatu maksud pak bimo” ucap Pak Waja.

“Maksudnya?”

“Ilmu pengleakan akan sempurna bila bisa merahasiakanya dalam 100 kelahiran, tapi saat ini tingkat ilmuku berhenti disini”

“Berarti itu sebuah masalah besar?” tanyaku.

Pak Waja menggeleng.

“Aku merasa aku di takdir yang benar saat mengetahui pak Bimo sedang berurusan dengan kerajaan demit setra gandamayit. Saat itu aku merasa bahwa, ilmu ini adalah wasiat dari sang pemberi ilmu ini untuk berhadapan dengan tempat asalnya” jelasnya.

“Memangnya siapa pemberi ilmu ini Pak Waja?” tanyaku penasaran.

Pak Waja tersenyum, ”Ilmu ini berasal dari penguasa seluruh kerajaan di Setra Gandamayit”

***

Sangat panjang perbincangan yang terjadi semalam. Ada sebuah ilmu, pengetahuan, dan pandangan yang sebenarnya sangat berbeda dari yang aku ketahui saat ini. Namun aku sedikit membuka pikiranku akan hal ini.

Aku sempat mengirim pesan dengan cahyo. Ada sebuah desa yang membutuhkan bantuan, posisiku saat ini sangat sulit untuk menjangkaunya sehingga Danan yang akan berangkat ke sana.

Saat mengetahui bahwa Danan dan cahyo berkumpul di padepokan Ki Joyo Talun untuk bersiap menghadapi kerajaan demit itu, Pak Wajapun meminta untuk bergabung dengan kami.

Persis sesuai perkataan Danan, kami harus mengumpulkan sebanyak mungkin orang sakti yang bisa membantu kami menyelesaikan permasalahan ini.

“Semua dedemit akan berkumpul di tempat itu, demit lemah hingga demit terkuat. Mereka akan berebut posisi tertinggi disana.

Saat kerajaan itu sudah terbentuk akan mudah bagi manusia untuk terjerumus dalam hawa nafsu dan memalingkan imanya kepada makhluk-makhluk itu” ucap Pak Waja dengan wajah penuh kekhawatiran
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Cuplikan Part 6:
Dirga, mbah Jiwo, dan keberadaan orang-orang terdekat Danan mulai menyadari permasalahan yang mereka hadapi.

Sayangnya, Azimat Wayang Durga yang merupakan pusaka turun-temurun keluarga sena merupakan pusaka yang mampu memanggil sosok dedemit pengikut setan itu.

Padepokan Sena menjadi medan tempur antara Danan dan Cahyo melawan seluruh dedemit yang berhubungan dengan Kerajaan Setra Gandamayit..
close