Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 6) - Azimat Wayang Durga

Sudah siap memasuki medan perang?

Padepokan Ki Joyo Talun..

Sebuah nama yang seharusnya sudah berubah semenjak kepergian sang dalang. Namun Sena masih tetap mempertahankan nama itu dan bahkan menggunakan nama panggung Ki Joyo Sena untuk mengenang mendiang ayahnya.


JEJAKMISTERI - Megahnya padepokan ini sudah tidak lagi terlihat semenjak matahari tenggelam dan berganti dengan bulan purnama merah yang seolah mengawasi tempat ini.

“Cahyo, i..itu! itu kepala”

Wajah Sena terlihat panik, ia melihat sosok pasukan kepala tanpa badan berambut panjang melayang mendekati pendopo.

Cahyo segera keluar memastikan sosok itu, saat tepat ketika kepala-kepala itu semakin dekat, seketika kobaran api menyelimutinya.

Mereka tertawa terkekeh-kekeh bersiap menerjang ke arah Cahyo.

Dengan tinggi lompatan yang tidak masuk akal, Cahyo berhasil menghindari sosok itu sembari mengambil beberapa kerikil di tanah.

Ia membacakan mantra pada kerikil-kerikil itu dan melemparkanya ke tanah yang jauh dari dirinya.

Anehnya, sosok kepala yang terbakar itu tidak lagi menyerang Cahyo dan mereka terus menghantamkan dirinya ke kerikil-kerikil yang telah dibacakan mantra oleh Cahyo.

Belum sempat membereskan demit-demit itu, seketika seluruh anggota kelompok wayang sena dikagetkan dengan sosok ular-ular besar yang tiba-tiba sudah berada di atap dan sekitar rumah.

“Mas Sena, kita dikepung! Sekeliling padepokan dikelilingi ular!” teriak mereka.

Paklekpun ikut keluar bersama teman barunya yang bernama Pak Waja. Merekapun memastikan dimana saja ular-ular itu berada.

“Panjul! Bantu Paklek!” perintah Paklek.

Paklek membacakan mantra, sedangkan Pak Waja mendentingkan sebuah cawan kuningan yang suaranya meresahkan demit-demit dan ular-ular itu.
Bau yang menyengat dari mantra Paklek dan suara dentingan itu berhasil membuat ular-ular itu menjauh.

Namun mereka masih mengepung rumah seolah tidak ingin memberikan kesempatan kami untuk pergi.

“Hati-hati Paklek! Jangan lawan ular itu dengan api!” peringat Cahyo.

Paklek menahan seranganya dan memikirkan cara yang berbeda, “Api tidak mempan?”

“Bukan Paklek, kalau gosong kulitnya nggak laku dijual ke magetan..” balas Cahyo.

Seketika sendal jepit tua yang ikatanya hampir putus melayang tepat ke arah Cahyo tanpa pernah meleset.

“Magetan gundulmu!” teriak Paklek.

Cahyopun mengelus-elus kepalanya tempat sandal jepit itu mendarat.

“Kan lumayan Paklek” gerutunya. Namun Cahyo segera terdiam setelah melihat Paklek sudah menggenggam sandal satunya.

Pak Waja terlihat tertawa melihat tingkah mereka berdua.

Entah apa Pak Waja akan betah melihat tingkah konyol mereka berdua.

Paklekpun kembali membaca mantra, tak lama setelahnya kabut putih melingkupi ular-ular itu dan membuat sebagian dari mereka tertidur.

“Kok gak jadi pake amalan api Paklek?” tanya Sena.

Paklekpun pura-pura sibuk dengan tas kainya.

“Sayang, kalau kulitnya rusak nggak laku di jual” ucapnya dengan wajah polos.

Sena ikut tertawa mendengar perkataan Paklek.

“Siying, kilii kilitnya risik nggik liki di jiil” ledek Cahyo sambil memonyongkan bibirnya membalas perbuatan Paklek.

Dan tentu saja kalian sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya kan?

Yak betul! Cahyo berhasil mendapatkan satu sandal jepit yang tersisa tepat di kepalanya.

***

Di tengah tingkah konyol mereka, sebenarnya mereka sadar dengan bahaya apa yang akan menghampiri mereka selanjutnya. Jauh dari pandangan mereka terlihat beberapa pohon tumbang bersamaan dengan datangnya sosok-sosok besar mengarah ke padepokan.

“Buto Paklek” ucap Cahyo.

“Jangan gentar, ini baru salam perkenalan dari mereka” ucap Paklek.

Merekapun bersiap menghadapi makhluk apapun yang akan menyerang padepokan. Belakangan ini baru diketahui, rupanya Azimat Wayang Durga yang menjadi pusaka padepokan ini lebih dari sekedar jimat biasa.

Mereka membutuhkan Azimat itu untuk mengundang berbagai demit yang berasal dari kuburan paling mengerikan di dunia dan seluruh Jaman, Setra Gandamayit. Benda itu menjadi satu syarat bangkitnya kerajaan dedemit itu.

Saat sosok-sosok mengerikan itu telah berkumpul, kini saatnya mereka merebut benda itu dan siap menyerbu padepokan ki joyo talun.

Tapi.. bukan hanya demit-demit itu saja yang menuju padepokan Sena. Beberapa orang sedang menuju ke padepokan sena dari berbagai wilayah.

Orang-orang itu mendapatkan firasat bahaya dengan berbagai cara, dan mereka tidak akan membiarkan orang-orang yang melindungi azimat itu bertarung seorang diri.

***

(Melewati perbatasan jawa barat)

Suara rem mobil berdecit membuat badan mobil itu hampir saja terpental dan menabrak pembatas jalan.
Bukan tanpa sebab, Jagad terpaksa menekan rem mobilnya mendadak saat tengah melintas di tengah jalan.

Langit masih memerah saat itu, namun mereka dihentikan oleh sosok nenek yang tingginya hampir tiga meter dan berjalan dengan menyeret kakinya mendekati mereka.

“Dirga, kamu ngeliat itu juga kan?” tanya Jagad.

“Iya mas, Itu nenek jangkung” balas Dirga.

Jagad menoleh pada Dirga, ia tidak menyangka Dirga mengetahui tentang sosok itu.

“Nggak mas, Dirga ngarang. Nenek-nenek badannya tinggi, ya panggil aja nenek jangkung” ucap Dirga dengan wajah polos sambil terus memperhatikan makhluk itu.

Jagad hanya tersenyum kecut mendengar ucapan iseng Dirga itu.

“Ya sudah, turun dulu..” ucap Jagad.

Jagadpun merapikan posisi mobilnya, mengambil peralatan dan keluar dari mobil bersiap menghadapi makhluk itu. Sayangnya hal yang tidak mereka sangka terjadi..

Tepat saat mereka keluar dari pintu mobil, jauh di belakang mereka sudah ada sosok anak-anak kecil berlumuran darah dengan cakar yang panjang bersiap menyerang mereka.

“Mas Jagad, gimana ini mas?” tanya Dirga yang mulai panik.

“Cuma kurang beberapa jam lagi untuk sampai ke tempatnya mas Cahyo” ucap jagad.

Dirga mengatur nafasnya sambil bersiap memegang kerisnya. sementara itu nenek jangkung itu sudah bersiap menangkap mereka dengan tanganya yang menjuntai hingga ke tanah.

“Kayak biasa Dirga!” ucap Jagad.
Dirga menoleh ke arahnya, belum sempat bertanya jagadpun berteriak.

“Kabur!”

Saat itu juga jagad menarik tangan Dirga dan membawanya lari menuju sebuah tempat di hutan di pinggir jalan yang ia lewati.

“Kabur sih kabur mas, tapi jangan ke tengah hutan juga! Nambah masalah ini..” ucap Dirga yang semakin panik.

“Sudah, ikutin dulu. Jaga-jaga sisi belakang” jelas jagad.

Makhluk-makhluk itupun mengejar Jagad dan Dirga.

Makhluk berwujud anak kecil itu berlari cepat, namun sialnya mereka merasa bahwa nenek jangkung itu bisa tiba-tiba berada dimana saja tanpa mereka sadari.
Jagad membaca sebuah mantra, matanya terus mengarah ke sebuah pohon yang cukup tua.

Ada yang aneh pada pohon itu, ada sedikit kabut di bawahnya. dan anehnya lagi setiap jagad terus mambaca mantranya, kabut itu menjadi semakin pekat dan pekat.

“Lompat ke kabut itu!” Perintah jagad.

Kini Dirga mengerti, rupanya jagad sudah merasakan adanya gerbang ghaib di tempat itu. Dengan kemampuan jagad, ia bisa memasuki tempat itu entah untuk bersembunyi atau berpindah ke tempat yang aman.

“Dingin mas, ini lapis ke berapa?” tanya Dirga.

“Entah, mungkin lapis kedua” Balas jagad sambil berusaha menutup gerbang itu.

Merekapun berjalan melintasi sisi lain hutan-hutan itu mencari jalur dimana mereka bisa keluar.

“Kenapa tadi nggak kita hadapin saja mas? Kalau pake pusaka baru mas jagad, mungkin kita bisa menang” tanya Dirga.

“Jangan, kalau tenagamu habis dan kemampuanku tidak maksimal, Bukanya membantu kita malah akan jadi beban buat Danan dan Cahyo” balas jagad.

Dirgapun mengangguk setuju. Pasalnya dia juga sadar, walaupun sudah bertarung sedemikian rupa, ia masih sering kehilangan kesadaran karena kehabisan tenaga menggunakan kekuatan Keris Dasasukma miliknya.

“Pokoknya kita harus cari jalan keluar secepatnya dari sini, kita harus sampai disana sebelum pertempuran besar terjadi di sana...”

Merekapun mempercepat langkah mereka dan mencari cara untuk tiba di tempat Cahyo dengan cepat.

***

(Desa Lembah Keramat)

Sudah berhari-hari terdengar suara besi yang saling beradu di rumah Mbah Jiwo. Warga sebenarnya bertanya tanya tentang apa yang sedang dipersiapkan olehnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berani mengusik konsentrasi Mbah Jiwo sama sekali.

“Mbah Jiwo, permisi”
Seorang perempuan mengetuk pintu rumah Mbah Jiwo di malam hari. Mbah Jiwo yang mengenal suara itu segera menghentikan pekerjaanya. Ia membersihkan tubuhnya dan bergegas membukakan pintu.

“Ismi? Kamu sama siapa?” tanya Mbah Jiwo.

“Sama Dimas dan Rumi, itu lagi ngasi salam ke yang lain” ucap ismi sambil menunjuk ke arah kedua orang itu yang seolah berinteraksi dengan sosok tak kasat mata disana.

Mbah Jiwopun keluar dan memanggil kedua orang yang juga sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri.

“Dimas! Rumi!” ucapnya sambil melambai.
Wajahnya terlihat tersenyum lebar melihat kedatangan ketiga orang itu.

“Ayo masuk dulu saja, sudah malam” ucap Mbah Jiwo.

Merekapun menurut dan segera masuk ke rumah, Ismi berinisiatif ke dapur membuat minuman hangat untuk menemani perbincangan mereka yang sepertinya akan panjang.

Dimas dan Rumi bercerita banyak tentang masa kuliahnya dan ceritanya sehari-hari yang berhasil membuat Mbah Jiwo sesekali tersenyum.

Setelah pertemuan mereka, Dimas, Rumi dan Ismi sebenarnya cukup sering mampir ke rumah Mbah Jiwo sekedar menikmati udara desa sambil menengok keadaanya. Tapi untuk kali ini, tujuan mereka berbeda.

“Mbah tahu tujuan kalian kesini” ucap Mbah Jiwo.
Mereka bertigapun terdiam, mereka bingung ingin memulai dari mana.

“Aku dapet mimpi mbah” buka Dimas.

“Rasanya seperti ada bahaya yang besar, sepertinya Danan dan Paklek terlibat dengan hal itu”

Mbah Jiwo hanya menghela nafas dan memperhatikan ketiga cucunya tersebut.

“Tapi mbah nggak mungkin mengijinkan kalian kesana. Selain berbahaya, tidak ada juga yang bisa kalian lakukan disana” ucap Mbah Jiwo.

Rumi mendekat dan pindah duduk di samping Mbah Jiwo.

“Iya mbah, kita ngerti. Tapi kami kesini karena tahu, Mbah Jiwo pasti akan menyusul kesana kan?” ucap rumi sambil menggenggam tangan Mbah Jiwo dan mengelus pundaknya.

Mbah Jiwo setengah merunduk seolah ragu harus menjawab apa.

“Kami cuma ingin memastikan mbah nggak memaksakan diri, mungkin mbah memang memiliki peran dengan masalah ini. Tapi mbah juga harus ingat bahwa kita manusia juga punya batasan” tambah rumi.

Mata Mbah Jiwopun berkaca-kaca. Sebenarnya ia sudah sadar bahwa ikut campur dengan masalah ini sudah pasti mengancam hidupnya. Tapi bila keberadaanya bisa membantu walau sedikit, ia siap kapanpun bahkan walau harus mengorbankan nyawanya.

“Iya Rumi, Mbah akan jaga diri” Ucap Mbah Jiwo.
Ismipun mengeluarkan sebuah benda dari tasnya. Sebuah korek api dengan ukiran kuno yang dulu sempat diberikan kepadanya.

“Sepertinya saat ini benda ini lebih dibutuhkan oleh mereka” ucap ismi.

Dimas juga mengeluarkan beberapa batu bulat berwarna hitam dan menyerahkanya kepada Mbah Jiwo.

“Batu ini dulunya pernah didiami oleh ‘mereka’, setidaknya ajaklah mereka Mbah..” ucap Dimas.

Mbah Jiwo mengangguk. Ia mengerti maksud dari ketiga cucunya itu. Ia mengingat sosok-sosok yang pernah membantu dimas dan rumi saat mengantarnya ke lembah keramat. Mungkin saja mereka mau membantu Mbah Jiwo untuk melindunginya selama perjalanan.

Perbincangan serius itupun selesai saat itu juga. Mereka melanjutkan perbincangan santai sembari menikmati kudapan yang dibawa oleh ismi sebelum Mbah Jiwo harus kembali melakukan pekerjaanya.

Mbah Jiwo memperhatikan korek api yang diberikan oleh Ismi. Ia tahu kemampuan korek itu, namun instingnya sebagai penempa pusaka merasakan ada hal besar dibalik kesederhanaan korek api kuno ini.

***

Part 6 - Azimat Wayang Durga

Cahaya bulan purnama yang menyinari gelapnya malam tak lagi terlihat di hadapanku. Gelapnya kabut hitam dan berbagai sosok yang tak kasat mata memantau padepokan wayang Ki Joyo Sena dari seluruh sudut desa.

Suara dentuman terdengar sesekali dari arah padepokan sementara rumah-rumah di sekitar desa sudah tertutup rapat. Aku melajukan motorku lebih cepat hingga melihat keadaan yang sebenarnya.

Cahyo, Paklek, dan seseorang yang tidak kukenal berusaha melindungi padepokan dari sosok raksasa tak kasat mata yang mengincar padepokan.

“Mas! Itu.. buto??” Tanya Mbah Widjan yang panik dengan apa yang ia lihat.

“Jangan gentar pak, kita nggak sendiri.. yang tidak bisa bertarung biar menunggu di desa saja” ucapku yang sebenarnya tidak menyangka bahwa sudah terjadi pertarungan lagi di tempat ini.

Sesuai ucapanku Panji dan Mbah Widjan mengatur beberapa muridnya untuk bertahan di desa, sementara kami bertiga melaju ke padepokan.
Cahyo dan Paklek terlihat kerepotan menghadapi tiga makhluk besar itu sekaligus.

Mereka buto alas yang hanya setinggi dua kali manusia biasa, seharusnya mereka bisa menanganinya dengan mudah tapi sepertinya pertarungan sebelumnya membuat mereka menjadi kewalahan.

Aku memarkirkan motorku dan menghampiri makhluk itu. Dengan membacakan ajian pada kepalan tanganku akupun menerjang salah satu buto itu dan melepaskan sebuah pukulan jarak jauh.

“Danan?” Cahyo yang menyadari kedatanganku seketika tersenyum bersama jatuhnya salah satu buto yang menerima seranganku.
Menyusul seranganku, Panji melemparkan tompak pusaka miliknya sementara Mbah Widjan menghujamkan kerisnya di punggung salah satu buto yang tersisa.

“Masih ada lagi?” tanyaku pada Cahyo.

“Nggak tahu nan, dari tadi demit-demit dari berbagai ras dateng terus nggak selesai-selesai” ucap Cahyo.
Akupun melihat bekas tanah terbakar hingga beberapa ular yang sudah tidak berdaya. Sepertinya tempat ini benar-benar tidak aman.

“Paklek, Cahyo.. kenalin ini Mbah Widjan dan Panji” ucapku memperkenalkan mereka, namun sepertinya Mbah Widjan sudah mengenal Paklek saat menghubunginya dulu.

Paklekpun mengenalkan pada kami seorang pria yang bernama Pak Waja, seorang balian yang menurut penerawanganku juga memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Setelah memastikan tidak ada serangan lagi Senapun mengajak kami masuk sementara murid-murid padepokanya berjaga di depan.

“Paklek sudah menghubungi orang-orang yang mungkin bisa membantu kita, tapi ternyata beberapa dari mereka juga sudah mendapat wangsit dan petunjuk mengenai kejadian ini” jelas Paklek.

Aku mengangguk mengerti, sepertinya aku tahu siapa saja yang sudah dihubungi oleh Paklek untuk membantu kami.

“Tapi Paklek, kalau padepokan Sena tidak aman kenapa kita tidak pindah ke tempat lain saja?” tanya Panji.

“Padepokan ini menyimpan pusaka yang diincar oleh mereka, sebuah wayang jimat peninggalan keluarga Sena. Mereka datang untuk merebut benda itu” jelas Cahyo.

“Sepenting itu pusakanya?” tanya Panji lagi.

“Di tangan demit-demit yang berasal dari masa lalu itu, mereka bisa menggunakan Azimat Wayang Durga itu untuk memanggil dedemit yang terlahir dari kekuatan Dewi Durga dulu” jelas Cahyo lagi.

“Ada pusaka sehebat itu di tempat ini?” Tanya Mbah Widjan.

Sena datang mengantarkan beberapa gelas kopi dan meletakanya di hadapan kami.

“Keturunan saya dipercayakan untuk melindungi pusaka itu agar tidak digunakan sama sekali. Saat ini hanya saya yang mengetahui keberadaanya” sambung sena.

Aku tidak menyangka keberadaan pusaka itu benar-benar diincar oleh makhluk-makhluk itu. Terlebih aku tidak bisa membayangkan bila benda itu ada di tangan mereka.

“Berarti mau tidak mau kita harus mempertahankan tempat ini..” ucap Mbah Widjan.

“Setelah ini pasti akan ada serangan berikutnya, saya merasakan saat malam nanti akan ada beberapa dari demit kuno itu yang akan menyerang tempat ini” tambah Pak Waja.

Sudah pasti nanti malam akan jadi pertempuran besar.

Entah apakah tempat ini dapat bertahan dan bagaimana dengan desa sekitar?

“Warga desa gimana? Mereka harus di evakuasi! Tapi gimana caranya?” ucapku.

“Tenang sek Nan, sudah ada yang akan membantu mengevakuasi warga desa” ucap Cahyo.

“Tenang piye to Jul? Mbok pikir mindahin ratusan orang gampang?” (tenang gimana to jul? kamu pikir mindahin ratusan orang itu gampang) balasku.

“Tanya aja ama orangnya” ucap Cahyo sambil melirik ke arah seorang perempuan yang mengantarkan pisang dan kacang rebus untuk kudapan kami.

“Naya?” ucapku kaget.

“Iya mas Danan, tenang aja.. sebentar lagi bis-bisnya dateng, nanti naya yang bantu mindahin warga desa ke desanya Jatmiko kemarin” ucapnya.

“Eh, i..iya Nay” balasku.

“Tuh, tuh kan.. giliran sama Naya langsung jinak” ledek Cahyo.

“Ssst... cangkemu kuwi lho jul” (sst mulutmu itu lho jul) bisikku pada Cahyo. Sialnya, Bukanya diam dia malah semakin tertawa.

“Memangnya ada bis yang bisa jemput malam-malam begini nay? Mahal kan itu?” tanyaku.

“Tenang saja, saya minta bantuan bis perusahaan buat kesini”

Tiba-tiba terdengar suara seorang yang cukup ku kenal dari arah belakang.

“Nyai Kanjeng?” ucapku yang kaget melihat kemunculanya.

“Heh... bukan nyai kanjeng lagi, panggil bu Astri saja” ucapnya yang ditemani dengan Pak Gito.

Aku menengok kepada Cahyo, sedari tadi sepertinya ia menikmati reaksi kagetku semenjak datang ke tempat ini.
Pak Gito menceritakan bahwa Tika dan bu Astri mendapatkan mimpi yang serupa.

Sepertinya sosok-sosok ingon atau roh pelindung trah darmowiloyo yang tersisa memberi petunjuk pada mereka tentang kejadian ini.

“Awalnya kami sanksi apa ada yang bisa kami bantu perkara masalah ini, sementara kami hanya manusia biasa” ucap pak gito.

“Saat sampai disini mas Cahyo dan Paklek bercerita tentang kekhawatiran mereka kepada warga desa, beruntung saya masih bisa meminta bantuan perusahaan untuk mengirimkan beberapa bis untuk mengevakuasi warga. Semoga saja, bantuan kecil kami bisa berguna” tambah Bu Astri.

Saat mendengar penjelasan itu aku bernafas lega. Setelah warga desa bisa dievakuasi, sepertinya kami bisa bertarung dengan lebih leluasa. Sungguh sebuah bantuan yang tidak pernah kusangka.

Baru beberapa saat menikmati kudapan yang dibawa naya, tiba-tiba terdengar suara dering telepon yang segera diangkat oleh bu astri.

“Naya, kendaraanya sudah siap” ucap Bu Astri.

“Oh, iya bu.. Naya juga sudah siap, kita langsung saja” balas naya.

Kamipun mengecek keadaan di luar dan memastikan tidak ada makhluk apapun yang akan menyerang mereka. Ada beberapa makhluk yang mengintai, tapi sepertinya mereka tidak berniat untuk menyerang.

Saat kondisi sudah aman aku mengantarkan mereka bertiga hingga perbatasan desa dimana sudah tidak ada lagi makhluk yang berkeliaran.

“Naya, doain mas ya.. semoga mas dan yang lain bisa melewati malam ini dengan selamat” ucapku.

Nayapun menghampirku dan tersenyum.
“Selalu mas, nama mas Danan selalu ada di doa Naya. Belum pernah sekalipun Naya lupa mendoakan Mas Danan sejak kita bertemu” ucapnya.
Seketika wajahku memerah mendengarnya.

“Ma..makasi ya Naya” ucapku dengan jantung yang berdegup semakin kencang.

“Mas Danan pasti selamat, harus selamat.. soalnya mas masih utang satu hal sama Naya” ucapnya.

“Utang apa Naya?” tanyaku bingung.

“Mas masih lupa tentang pertemuan kita waktu kecil dulu di desa Kandimaya kan?” ucapnya.
Naya mengambil sesuatu dari rambutnya, seperti hiasan rambut berbentuk sisir kuningan yang biasa ia kenakan saat berdandan sebagai sinden.

Iapun mengambil tanganku dan meletakan benda itu ke telapak tanganku.

“Kembaliin ke Naya besok ya mas, nanti Naya ceritain kalau mas nggak bisa inget pertemuan pertama kita” ucapnya.

Malam yang tadi terasa mencekam seketika terasa begitu hangat dengan ucapan Naya. Akupun tidak rela melihat Naya meninggalkanku. Tidak ada yang dapat kuberikan kepadanya selain kecupan di kening dan doaku akan keselamatanya.

Aku tahu, tidak hanya aku yang sedang berjuang. Naya juga punya perjuanganya sendiri untuk memastikan warga desa aman setidaknya sampai besok. Namun hiasan rambut naya ini, sudah lebih dari cukup untuk memaksaku terus bertahan hingga berhasil mengalahkan demit-demit itu.

Saat aku kembali ke padepokan Paklek dan yang lain terlihat sedang membicarakan hal yang semakin serius.

“Keraton Segoro kidul, Alas Wetan, Giri Kulon, dan Pantai utara apa tidak ada pergerakan dengan kejadian ini?” Ucap Mbah Widjan.

“Keberadaan kerajaan demit ini sepertinya tidak mengganggu wilayah mereka, lagipula tidak benar bila kita mengharapkan bantuan mereka” balas Paklek.
Mbah Widjan mengangguk. Keberadaan empat keraton itu kadang memang sering menjadi acuan para pencari ilmu.

Namun keberadaan mereka hanya bersifat sebagai guru yang memberi petunjuk, bukan sosok yang akan turun langsung menghadapi hal seperti ini.
Hari semakin malam, belum ada tanda-tanda serangan lagi dari makhluk-makhluk itu.

nayapun sudah mengirim pesan padaku bahwa warga desa sudah di berangkat menuju desa Jatmiko yang tidak jauh dari desa ini.
Aku menoleh ke arah Cahyo, ia terlihat tidur di tikar ujung.

Sepertinya ia memang cukup lelah, tapi sepertinya ini pertama kalinya aku melihat Cahyo tertidur di saat seperti ini.

“Jul, bangun jul.. tidur di dalem aja, tar masuk angin” ucapku berusaha membangunkanya, namun ia tidak terusik sama sekali.

Aku merasa ada sedikit hal yang aneh, biasanya Cahyo tidak pernah melupakan sarungnya ketika tidur. Aku memastikan pergerakan matanya dan raut wajahnya terlihat cemas dan meneteskan keringat.

“Jul! Bangun jul! sadar!” ucapku sambil beberapa kali menepuk-nepuk wajah Cahyo. Namun ia tidak bereaksi.

Aku mencobanya lebih keras hingga menarik perhatian Paklek dan yang lain.

“Panjul kenapa nan?” tanya Paklek.

“Nggak tahu Paklek, aneh.. nggak bisa dibangunin, tidurnya terlihat gusar” ucapku panik.

Pak Waja sadar sesuatu dan segera mengambil tempat untuk memeriksa Cahyo.

“Kita lengah, mas Cahyo di serang” ucap Pak Waja.

“Di serang?” tanyaku bingung.
Pak Waja segera mengambil cawan kuningan beserta pemukulnya. Ia meletakkan benda itu di samping telinga Cahyo dan memukulnya hingga mengeluarakan suada dentingan.

Ada mantra panjang yang ia alunkan mengikuti suara denting cawan itu. Cukup lama, tapi aku melihat reaksi Cahyo semakin panik dan gusar hingga tiba-tiba ia tersadar dan langsung terduduk.

“Nan Danan!” ucapnya panik saat terbangun.

Aku mendekatinya dan segera menangkap pundaknya.

“Tenang jul, tenang.. tarik nafas dulu” balasku.
Cahyopun berusaha mengikuti ritme nafasku sebelum memutuskan untuk berbicara.

Paklekpun memberikan segelas air yang telah dibacakan doa dan setelahnya wajah pucat Cahyo perlahan mulai pulih.

“Mimpiku nggak wajar nan, ada yang maksa aku buat ngebunuh kalian semua” ucap Cahyo.

Akupun menoleh pada Pak Waja berharap ia bisa mengerti makhluk apa yang menyerang Cahyo.

“Dulu sempat ada kasus dimana ada makhluk yang bisa membunuh lewat mimpi. Sudah lama sekali, tapi saya sendiri belum mengerti wujudnya” jelas Pak Waja.

“Tadi saya hanya memanggil kembali sukma Mas Cahyo dan berharap ia bisa melawan dan mendapatkan kesadaranya”

Membunuh lewat mimpi? Benar ada makhluk seperti itu?
“Wujudnya nenek kerdil nan, ia selalu digendong di bahu kanan seorang kakek dengan posisi terbalik” jelas Cahyo.

Aku ingat ciri-ciri itu, dia adalah makhluk yang berhadapan denganku di kantor. Aku sama sekali tidak menyangka kekuatan dari nenek itu semengerikan ini.

“Nyai Wijul.. dia pemilik tusuk konde yang kubawa kemarin” jelasku.

Belum sempat berbicara lebih banyak tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak dengan kencang. Seseorang berbaju pemain karawitan menatap sena dengan mata yang tertutup namun raut wajahnya begitu aneh.
“Mas Tono?” ucap Sena.

Ternyata dia adalah salah satu anggota padepokan sena.

“Kekhekekhe... ngendi jimat kuwi? Kowe ra iso ngapusi, aku ngerasakke kekuatan jimat kuwi ning kene” (Di mana jimat itu? kamu tidak bisa bohong, aku merasakan kekuatan jimat itu di sini) ucap mas tono dengan suara seperti nenek-nenek.
Paklek segera menghampiri Mas Tono dan membacakan doa untuk mengusir sosok demit yang merasuki mas tono. Sayangnya itu tidak berhasil..

“Khekhekhe... percuma, aku orang ning kene. Nanging sedelok meneh bakal ono banjir getih ning panggonanmu iki” (Percuma, aku tidak disini, tapi sebentar lagi tempatmu ini akan terjadi banjir darah) Ucap Mas Tono.

Aku memperhatikan benar-benar keadaan mas tono, dia tidak kesurupan.
“Pak Waja, mantra tadi lagi. Mas tono nggak kesurupan. Dia tidur” panggilku pada Pak Waja.

Pak Wajapun mengerti dan melakukan hal serupa seperti yang ia lakukan pada Cahyo. Dan benar saja mas tono memberontak dengan keras karena kesadaranya sudah dikuasai lewat mimpinya. Beruntung ilmu Pak Waja bisa memulihkan mas tono.

Wajah Mas Tono terlihat bingung dan panik ia seolah tidak mengingat apapun yang terjadi dengan dirinya.

“Nenek kerdil! Pergi!!!” Teriaknya panik.

“Tenang Mas Tono, tenang..” aku berusaha menenangkanya dan memberikan segelas air.

“Atur nafas dulu Mas Tono, jangan panik” ucap Sena.

“I..iya mas Sena”

Saat Mas Tono sudah tenang, ia menceritakan hal serupa seperti yang diceritakan Cahyo. Ia memang tidak berniat untuk tidur, namun entah mengapa ia tertidur tanpa sebab hingga dikuasai sosok Nyai Wijul.

“Ya sudah, kumpulin semua anggota di tempat ini biar kita saling jaga, semakin malam akan semakin berbahaya” perintah sena.

Mas Tonopun setuju, dan hampir sepuluh orang berkumpul di ruang tengah padepokan ini yang sedari tadi menjadi tempat kami menunggu.

“Benar wayang jimat itu ada di sini Sena?” tanyaku sambil berbisik.
Sena mengangguk, namun sepertinya ia tidak ingin menjawab lebih jauh lagi.

Sementara itu Paklek membukakan ayat-ayat suci dan meminta seluruh anggota padepokan sena melakukan wiritan dengan membaca ayat-ayat tersebut.

Belum lama setelah semua orang berkumpul di ruangan ini, tiba-tiba seluruh lampu di padepokan ini padam. Tidak hanya di padepokan, seluruh listrik di desapun ikutan padam. Kali ini hanya cahaya bulan purnamalah yang menerangi seluruh desa.

“Mas saya ambil senter dulu” ucap salah satu anggota Sena.

“Jangan! Jangan ada yang keluar” ucap Mbah Widjan.

“Serangan sudah di mulai..”
Benar ucapan Mbah Widjan, aku merasakan sesuatu yang mengerikan berdatangan dari luar.

Beberapa dari kami menyalakan penerangan dari telepon genggam sementara sena mencoba menyalakan lampu minyak yang ada di ruangan yang biasa mereka gunakan untuk menerangi layar.

Dari atap, terdengar suara ular yang mendesis. Sayangnya suaranya tidak hanya berasal dari satu ekor ular.
Sesekali melintas cahaya kobaran api terlihat melalui jendela, benda itu mengitari bangunan ini berkali-kali.

“Kita keluar Paklek?” tanyaku.

“Belum, sebentar lagi.. lawan kita yang sebenarnya beru akan datang sebentar lagi” ucap Paklek dalam posisi meditasinya.
Benar ucapan Paklek, beberapa lama setelahnya terdengar suara tembang seorang sinden yang mendekat yang diiringi dengan suara kentrung sederhana.

Dari jauh terlihat sekumpulan obor berbondong-bondong menghampiri tempat ini..

“Padepokan Ronggo Mayit...” ucap Sena yang segera keluar dan menyambut mereka.
Saat aku keluar, seketika kesadaranku terganggu seolah rasa ngantuk memaksaku untuk terlelap.

Aku menoleh ke arah hutan, bayangan sesosok makhluk berada di sana. Seorang kakek yang menggendong nenek kerdil.

“Nyai Wijul...” ucapku yang segera membaca mantra pelindung ghaib dan menyambut kedatanganya.

Cahyo mencari suara desisan ular yang terdengar sedari tadi namun hanya ular-ular biasa yang ia lihat di atas genteng padepokan.

“i..itu! ular! Ular raksasa!” teriak mas tono.

Tersembunyi di kegelapan malam, di salah satu pohon terbesar melingkar ular seukuran rumah memantau kami dari ketinggian pohon. Dari kepala ular itu muncul sebagian badan berwujud manusia dengan selendang merah.

“Dewi ular candi ireng sinjang abang..” ucap Cahyo.

“Serius namanya sepanjang itu?” tanyaku.

“Nggak, biar keliatan serem aja. Kalau penasaran kamu yang kenalan gimana?” balas Cahyo.

“Emoh, diseneni Naya mengko” (Nggak mau, dimarahin Naya nanti) balasku.

“Asik, habis ada yang melepas rindu” ledek Cahyo.

“Melepas rindu Gundulmu..”

Melihat perbincangan kami, yang lainya hanya menggeleng melihat tingkah kami. Harusnya mereka sudah tidak merasa aneh lagi dengan jalan pikiran Cahyo yang otaknya setengah geser.

Sementara itu kami hanya memasang posisi siaga mempersiapkan apapun yang akan dilakukan oleh makhluk itu. Tapi ternyata serangan itu bukan dari mereka.

“Bintang jatuh?! Meteor!” Teriak anggota sena yang panik..

Jauh dari langit malam terlihat bola api besar yang berkobaran berwarana merah, benda bersiap jatuh ke pendopo seperti sebuah meteor yang siap menghantam.
Melihat hal itu, Pak Waja lari mendahului kami. Ia membacakan mantra dan membangkitkan ilmu aksara di tubuhnya.

Sebelum bola api besar itu sempat mendarat tiba-tiba Pak Waja berubah menjadi sosok Rangda dan berubah lagi menjadi bola api yang membara dengan warna kuning.

Kedua bola itu beradu tak jauh dari padepokan sehingga energi besar hasil benturan mereka merusak beberapa bagian bangunan pendopo.

Seolah menjadi tanda sebuah perang, Dalang demit dari padepokan ronggo Mayit itu mengibaskan beberapa wayang berwujud kurawa dan butho hingga berbagai sosok hitam berlari menerjang kami.

Aku sudah siap dengan keris ragasukmaku dan Cahyo sudah siap mementalkan kembali makhluk yang dikirimkan Dalang demit itu dengan kekuatan wanasura yang merasuk kedalam dirinya.

“Cahyo kita mulai rencana kita” ucapku yang dibalas anggukan oleh Cahyo.

Ia memasang kuda-kuda sementara aku melapisi keris ragasukma hingga kilatan cahaya menyelimuti bilah keris ini. Aku melompat ke arah Cahyo dan ia memantulkanku dengan kekuatan wanasura.

Tubuhku melesat seperti peluru dengan keris yang seketika menghantam dalang demit itu dan melobangi pundaknya. Salah satu tanganya terjatuh terpisah dari badanya bersamaan dengan besarnya lubang yang kubuat dengan Keris Ragasukma.

“Khekehekhe... mbok pikir iso mateni aku nganggo ilmu koyo ngene?” (kamu pikir bisa membunuhku dengan ilmu seperti ini?) ucap dalang itu.

Tidak butuh waktu lama, darah dan jaringan tubuh dalang itu kembali bergerak dan menyatu lagi dengan tubuhnya.

Aku tidak mempedulikan ucapanya, rencanaku yang sebenarnya harus kuselesaikan dalam beberapa detik.
Tepat ketika dalang demit itu pulih iapun menoleh ke arahku.

“Bocah setan!”
Dalang demit itu terlihat murka, dengan meninggalkan ragaku di salah satu pohon.

Aku memisahkan sukmaku dan melesat secepat mungkin ke tumpukan-tumpukan wayang yang digunakan dalang demit itu.
Ini adalah rencana Sena, ia mengatakan dengan menggunakan keris ragasukma yang telah dituliskan aksara mistis.

Seharusnya seranganku bisa menghancurkan wayang-wayang dalang itu agar ia tidak bisa menggunakanya.
Saat aku berhasil melubangi hampir semua wayang yang ia bawa, seketika roh buto dan kurawa yang menyerang padepokan hilang seketika.

Tapi tidak ada waktu untuk senang. Setelah ini aku harus kembali menghadapi seluruh pasukan padepokan ronggo mayit bersama pimpinanya itu.
Di tempat lain Cahyo melihat sosok dewi ular purba itu meninggalkan pohon tempatnya memantau kami.

Ia menghempaskan ekornya menghantam padepokan sena.
Cahyo melompat dengan kekuatan wanasura dan menahan serangan ular itu. namun anehnya Cahyo terpental dengan mudahnya.

“Jangan samakan kekuatanku dengan saat tertahan kekuatan reruntuhan itu” ucap dewi ular itu.

Dalam hitungan detik seketika ekor ular itu membelah pendopo padepokan sena menjadi dua bagian. Kayu-kayu dan puing-puing beterebangan ke segala arah dengan serangan makhluk itu.

“Sena, masih ada orang di dalam?” tanya Paklek khawatir.

“Tidak ada Paklek, semua sedang bertarung dengan anak buah dalang demit itu” ucap sena.
Sementara itu, Mbah Widjan mengejar keberadaan Nyai Wijul yang bayanganya masih memantau kami dari jauh. Ia mengajak Panji untuk menyerang makhluk itu bersamaan.

Panji melemparkan tombaknya yang dengan mudah dapat ditepis seorang kakek yang menggendong Nyai Wijul. Serangan itu berhasil mengalihkan kakek itu hingga Mbah Widja berhasil menghujamkan seranganya hingga keris mereka beradu.

Serangan itu berhasil mementalkan Mbah Widjan, namun tanpa sadar tiba-tiba bahu Mbah Widjan berlubang dan meneteskan darah.

“Mbah! Kenapa mbah diam saja?” tanya Panji?

“Diam?” wajah Mbah Widjan terlihat bingung.
Kakek tua itu tertawa melihat ekspresi mereka.

Rupanya serangan Mbah Widjan tadi adalah mimpi sesaat yang diciptakan Nyai Wijul sementara sang kakek tua itu menyerang Mbah Widjan dengan kerisnya.
Pertempuran sengit terjadi di berbagai sisi, tak jarang suara ledakan terjadi di berbagai tempat.

Tapi yang kutakutkan aku masih mendengar suara tawa makhluk-makhluk itu seolah saat ini mereka hanya mempermainkan kami saja.

Tidak ada waktu untuk mengulur waktu, akupun menggunakan seluruh tenagaku untuk melontarkan tubuhku menyerang anak buah dalang demit itu sembari memisahkan sukmaku untuk menyerang dan segera kembali untuk mengendalikan tubuhku.

Dengan cara ini aku bisa menghadapi banyak musuh sekaligus.
Sementara itu Paklek memanggil Geni baraloka andalanya dan memecahnya ke arah Mbah Widjan dan Cahyo yang sedang terluka. Ia terlihat bingung membagi konsentrasinya untuk memulihkan kami atau ikut bertarung.

“Khekhekeh... bocah tolol, kalian tidak sadar. Tidak ada satupun kesempatan kalian untuk menang” ucap dalang demit itu.
Dalang demit itu mengambil salah satu wayang berwujud rahwana di sebuah peti kayu.

Kali ini ia mengibaskanya dengan cara yang aneh dan mengangkatnya setinggi mungkin sambil membaca sebuah mantra.
Tak lama setelahnya wayang itu berubah menjadi kabut hitam dan menyelimuti tubuh sang dalang dan membuatnya membesar dengan wajah menyerupai sosok butho.

Pakaianyapun berubah seperti seorang raja di jaman pewayangan persis seperti wayang yang dia angkat tadi.
Tanpa sadar tiba-tiba dalang itu sudah berada di depanku dan memukul dadaku dengan tangan kosong.

Seketika aku mendengar suara retakan dari tulang rusukku bersamaan dengan muntahnya cairan merah dari mulutku.
Serangan itu datang bertubi-tubi hingga rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku bersama dengan pudarnya penglihatanku.

Melihat kejadian itu, tiba-tiba sebuah bola api kuning menyambar dalang itu dan melepaskanku dari serangan mematikan itu.

“Mas, kita menghindar” ucap Pak Waja yang kembali ke wujud manusia dan membawaku mundur dari medan pertempuran itu dalam wujud Rangdanya.

“₩ercuma, ora ono sijipun seko kowe kabeh sing iso ngalahke aku, Ki Ronggo Gupolo..“ (Percuma, tidak ada satupun dari kalian semua yang bisa mengalahkanku, Ki Ronggo Gupolo) ucapnya dengan sombong sambil berjalan kearah kami.

Paklek menerima tubuhku dari pak Wadja dan segera memulihkan lukaku dengan geni baralokanya.
Aku melihat ke arah sekitar, ucapanya itu bukan gertakan. Cahyo kewalahan melawan ular besar itu hingga padepokan sena hampir rata dengan tanah.

Mbah Widjan dan Panji masih mencari cara menangani ilusi yang dibuat Nyai Wijul.
Pak Waja bisa menandingi pengguna ilmu leak itu, namun dari jauh ia melihat beberapa bola api yang bersiap menyerang desa ini lagi.

“Jangan buang waktu! Ambil wayang itu!” perintah dewi ular purba itu setelah berhasil memporak porandakan padepokan sena.
Bola api merah yang berkobar mencoba menerobos padepokan. Namun sebelum mendekat Paklek membacakan sebuah mantra.

Yang kutahu, itu adalah mantra untuk mengaktifkan api hitam dari luka yang ia gores dengan bilah hitam keris sukmageni.

“Arrgghh..“ suara kesakitan terdengar ke seluruh desa yang membuat bola api itu perlahan jatuh dan kembali ke wujud rangda.

Tak lama setelahnya terdengar suara keris yang saling beradu di puing-puing padepokan sena. Sena sekuat tenaga menahan serangan Nyai Wijul yang tiba-tiba sudah berada di sana.

Aku yang sudah sedikit pulih, menyusulnya sembari menyerang kakek nenek itu dengan ajian lebur saketi yang membuatnya sedikit terpental menjauh dari sena.

Entah mengapa sena mati-matian mempertahankan tempat itu, aku menduga Azimat Wayang Durga ada tepat di tempat dia berdiri sekarang.
Beberapa anggota padepokan sena sudah terkapar di tanah, dan makhluk-makhluk itu mulai mengepung ke arah puing-puing bangunan ini.

Kamipun berkumpul di atas puing ini saling berpunggungan membentuk lingkaran melindungi setiap sisi yang mungkin di serang.

“Jadi pusakanya benar ada di sini?” tanya Cahyo.
Sena mengangguk.

“Ada dimana? Jangan sampai kita salah tempat” tanya Panji yang was-was.

“Di bawah kalian” jawab sena singkat.

“Sebelah mana? Tertimbun puing?” tanyaku.

Sena berusaha mengatur nafas, wajahnya benar-benar pucat mengetahui belum ada cara untuk melindungi pusaka itu.

“Azimat Wayang Durga ada di bawah kaki kalian, benda itu sebesar pelataran padepokan ini. Bapak menanamnya tepat di bawah pelataran pendopo ini agar bisa mengunci kekuatanya dengan ritual tanpa putus” jelas sena.
Kami seketika kaget mendengar penjelasan sena.

“Wayang apa yang ukuranya sebesar pelataran? Bagaimana mungkin itu bisa digunakan” ucapku bingung.
Namun Cahyo terlihat lebih geram.

“Sena bilang wayang itu dibuat dari kulit manusia dan bangsa demit. Berarti ada berapa manusia yang ditumbalkan untuk membuat wayang sebesar ini” wajah Cahyo terlihat semakin emosi.
Saat ini tidak ada jalan keluar bagi kami selain menghadapi semua serangan mereka.

Beberapa bola api mulai menerjang ke tempat ini lagi, dewi ular itu bersiap membanting tubuh ularnya menembus padepokan ini, sementara dalang yang mengaku bernama Ki Ronggo Gupolo itu berlari dan melompat setinggi-tingginya bersiap menghempaskan kepalanya yang menghitam ke arah kami.
Aku menoleh ke arah Nyai Wijul, sepertinya mulutnya membacakan mantra entah untuk merapal kutukan atau ilusi.

“Jangan keluar dari kobaran geni baraloka, nyawa kalian taruhanya” perintah Paklek yang mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuat kobaran geni baraloka menyelimuti seluruh tubuh kami.

“Wanasura! Kerahkan semua kekuatanmu!” Teriak Cahyo.

“Tombak Lembu Warok seandainya kamu punya kekuatan tersembunyi sebaiknya keluarkan sekarang” ucap Panji dengan tangan yang gemetar.

Pak Waja berjaga di atas kami dalam wujud bola api sebagai tirai awal menahan serangan mereka, semantara Mbah Widjan membacakan berbagai mantra untuk memperkuat pertahanan kami.
Hanya satu hal yang bisa kulakukan saat ini. mantra itu harus kubacakan.

Kuletakkan keris ragasukma didadaku dan membayangkan satu-satunya sosok yang mungkin membantuku.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...

Tepat seusai mantra itu kubacakan seluruh serangan dari makhluk itu manghantam kami semua. Kami semua terpental seolah seluruh pertahanan kami sia-sia.

Beruntung Paklek sempat memusatkan geni baralokanya di organ penting kami hingga kami masih bisa bernafas, tapi sepertinya tidak ada satupun dari kami yang bisa bergerak.
Dengan penglihatanku yang mulai kabur, aku melihat Ki Ronggo Gupolo menghancurkan pelataran padepokan sena dan mengangkat dengan kedua tanganya sendiri sebuah wayang hitam berwujud Dewi Durga.

Ia mengangkat wayang itu seorang diri yang bahkan tongkat penyangganyanya hampir seukuran tubuhnya sendiri.

“Ja..Jangan!” sena berusaha menahan kaki Ki Ronggo Gupolo dengan tubuhnya yang lemah, namun dengan mudah ia menendangnya hingga terpental dan memuntahkan darah.

“Se..sena!” aku berusaha berteriak, namun sepertinya tulang-tulangku patah aku hampir tidak bisa bergerak sama sekali.

***

Ki Ronggo Gupolo terlihat senang, ia mengibaskan wayang sebesar itu hingga angin besar bertiup memutar di seluruh desa.

“Aku ngundang sampeyan kabeh, demit-demit sing lair saka kekuwatan sing nata setro gandamayit”
(Aku mengundang kalian semua, demit-demit yang lahir dari kekuatan penguasa Setra Gandamayit) ucap Ki Ronggo Gupolo.

Tak lama setelah itu terdengar suara cekikikan dari berbagai arah. Suara teriakan kesakitan terdengar pilu seolah terbukanya sebuah gerbang penyiksaan.

“Gapura pisanan, demit alam pertama.. pilih penguasamu” perintahnya pada demit-demit itu.

Bersama dengan itu muncul berbagai makhluk dari dalam kabut, dari dalam tanah, jatuh dari langit.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Makhluk-makhluk itu bergerak menuju sosok-sosok yang kami lawan seolah memilih siapa yang memerintah mereka.

***

Terdengar suara langkah kaki terseok-seok mendekat ke arahku dan Cahyo. Itu Paklek..

Ia menggoreskan bilah putih keris sukmageni dan meneteskan darahnya ke bilah putih itu. Darahnya seketika terbakar menjadi tetesan api.

“Ia baru membuka gerbang pertama, gunakan cara apapun untuk menghancurkan pusaka itu” perintah Paklek.

Ia meneteskan api itu ke tubuhku dan Cahyo. Dalam sekejap tubuh kami berangsur-angsur pulih sementara Paklek kehabisan tenaga.

Perlahan aku mulai berdiri dan memberi isyarat pada Cahyo. Kami akan menggunakan rencana yang sama dengan tadi.

“Jangan sampai meleset” ucap Cahyo.
Aku mengangguk meresponya. dengan sekuat tenaga, Cahyo menahan telapak kakiku dan melesatkanku menuju wayang raksasa itu.

Dengan mantra yang kubacakan aku melapisi keris ragasukmaku dengan cahaya putih untuk memperkuatnya. Dalam sekejap aku sudah berada di hadapan wayang itu, saat itu juga aku menghujamkan kerisku ke arahnya.

Namun aneh, seranganku hanya lewat begitu saja tanpa menggores sedikitpun wayang itu. Saat itu aku berpikir, mungkin Sena bukan tidak ingin menghancurkan wayang ini. Namun ia sama sekali tidak menemukan cara untuk menghancurkan wayang Jimat ini.

“Makhluk bodoh, pusaka ini dibuat agar bisa bertahan sampai akhir zaman” ucap Ki Ronggo Gupolo dengan sombong.

Akupun jatuh tersungkur diantara hutan dengan sebuah kegagalan. Aku mengepalkan tanganku memukul tanah dengan kesal, aku tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan.

***

Samar-samar aku mendengar suara orang melangkah dari dari belakang.

“Coba sekali lagi mas, gunakan ini..”

Dari dalam hutan muncul seseorang yang suaranya tidak asing. Ia melemparkan sebuah batu berbentuk bundar berwarna hitam ke hadapanku dan muncul sosok makhluk berkepala kerbau di sana.

“Ki Mahesa Ombo, tolong lemparkan Danan sekali lagi ke sana” perintahnya.

Mbah Jiwo, itu suara Mbah Jiwo. Ia muncul dari belakangku dan menyerahkan sebuah benda yang tidak asing.

Sebuah korek api. Ini korek yang dulu dimiliki oleh Paklek..
Aku tidak mengerti maksudnya, namun aku juga tidak ingin banyak bertanya.

Makhluk bernama Ki Maesa Ombo itupun mengangkat tubuhku dan melemparkanku lagi ke arah Azimat Wayang Durga.
Berbagai demit beterbangan mencoba menghadangku. Aku pikir aku akan gagal sekali lagi, namun tiba-tiba terlihat beberapa sukma keris datang melayang menghabisi demit-demit itu.

Akupun tersenyum mengetahui hal itu. Dirga.. aku tahu itu pusaka Dirga. Rupanya ia sudah semakin dekat.

Azimat Wayang Durga itu masih terus dikibaskan dan memanggil berbagai macam demit.

Aku berhasil melayang tepat ke ujungnya, aku meraih ujung wayang itu dan menyalakan korek api pusaka yang diberikan Mbah Jiwo.

Tidak seperti biasa, korek itu menyala dengan api yang membara. Hanya dengan sedikit sentuhan ujung bagian wayang itu sudah terbakar perlahan.

Sekali lagi aku terjatuh. Suara retakan tulang sekali lagi terdengar di tubuhku. Namun itu bayaran setimpal bila dibandingkan dengan wajah cemas Ki Ronggo Gupolo saat ini.

“Bocah kurang ajar!! Apa yang kau lakukan?!” teriaknya.

Api itu terus menjalar membakar wayang itu, namun sosok Rangda hitam terbang ke arahnya dan menebas bagian yang terbakar hingga terlepas dari bagian utamanya.

Saat itu juga aku merasakan kekuatan hitam dari wayang itu berkuran dan tidak ada lagi makhluk yang bermunculan.

“Habisi bocah itu! dia harus mati dengan mengenaskan!!” ucap Ki Ronggo Gupolo.
Berbagai demit datang menghampiriku dan bersiap mengoyak bagian tubuhku. Cahyo segera berlari sekuat tenaga ke arahku, namun sebuah lilitan ular menangkapnya dan membantingnya hingga terluka.
Ini akhir?

Tidak.. seandainya ini akhir untukku, tapi aku yakin ini bukan akhir dari umat manusia.

Setetes air jatuh tepat di wajahku. Sedikit demi sedikit namun terus bertambah deras.

Demit-demit yang mencoba menghabisiku mengurunkan niatnya dan mundur ketakutan. Ada seseorang yang berdiri menjagaku bersama tetesan hujan yang semakin deras.
Aku tersenyum ditengah kondisiku yang mengenaskan ini.

Entah berapa kali aku harus berterima kasih padanya yang sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku.

Nyi Sendang Rangu...

“Dewi sendang, ternyata kabar burung itu benar. Kau berpihak pada manusia” ucap Ki Ronggo Gupolo.

Nyi Sendang rangu tidak menjawab. Kulitnya menghitam, selendangnyapun ikut menghitam, wajahnya terlihat amat murka. Saat ini ia terlihat lebih mengerikan dari seluruh demit yang ada di tempat ini.

Rupanya air pertama yang menetes ke wajahku bukanlah air hujan, itu adalah air mata Nyi Sendang Rangu yang melihat kondisiku saat ini.

“Kalian sudah membuatku marah..”

Nyi Sendang Rangu seketika ada di belakang Ki Ronggo Gupolo dengan tanganya yang dipenuhi kuku-kuku tajam menembus jantung dalang itu. Ia melakukan itu berkali kali hingga seluruh tubuhnya terpisah dan tidak dapat lagi menggenggam wayang itu.

Sosok bola api mendekat menyerang nyi sendang rangu namun ia tanpa ragu menangkapnya hingga membakar tanganya. Ia mencabik-cabok sosok itu yang saat itu berubah menjadi rangda.

“Ki Ronggo Gupolo… pulihkan tubuhmu dan bawa wayang itu pergi dari sini. Aku punya cukup banyak pengikut yang bisa kutumbalkan untuk memulihkan wayang itu” ucap Nyai Wijul yang akhirnya mengeluarkan suaranya.

Ia membacakan sebuah mantra memanggil kabut hitam pekat. Aku tahu dengan jelas, itu adalah gerbang yang akan memindahkan mereka ke alamnya.

Nyi Rendang Rangu yang mengamuk akhirnya kewalahan menghadapi Rangda dan dewi ular yang ikut menyerangnya.

Demit-demit itupun memasuki kabut itu dan pergi meninggalkan demit-demit alas yang baru saja mereka panggil.

Saat Ki Ronggo Gupolo hendak memasuki kabut itu, tiba-tiba ia tertahan..

Cahyo menggenggam erat Azimat Wayang Durga itu dengan seluruh kekuatanya.

“Tinggalkan benda ini!” perintah Cahyo.

“Cahyo Jangan!” aku mencoba menahanya, tapi tubuhku cukup sulit untuk bergerak.

Dengan mudah Ki Ronggo Gupolo mengibaskan wayang itu dan membuat Cahyo terpental.

Namun Cahyo tidak menyerah, ia kembali mengejar dalang demit itu namun ia terpental sekali lagi.

Bukan oleh serangan dalang demit itu, tapi sosok ada pendekar berpakaian karawitan yang menggunakan pecahan topeng ireng milik ludruk terkutuk itu yang menghadangnya.

Mereka beradu ilmu, namun kekuatan mereka terlihat seimbang. Cahyo yang merasa waktunya tidak banyak memanggil sekali lagi sosok kera raksasa sahabatnya itu.

“Wanasura!!”
Kali ini suara wanasura terdengar mengaum ke seluruh desa. Cahyopun segera bersiap menyerang pria itu.

Pengguna topeng ludruk itu malah tersenyum sambil memegang sebuah wayang yang ia ikatkan di punggungnya. Aku ingat, itu adalah wayang berwujud kera yang kami lawan saat mereka ketempat ini sebelumnya.

“Jogorawu!!” ucap pengguna topeng itu.

Seketika kekuatan besar mengalir ke seluruh tubuh pengguna topeng itu, ia dengan mudah menahan serangan Cahyo yang diperkuat dengan roh wanasura.

“J..Jogorawu?! Tidak mungkin!!” ucap Cahyo.
Pria bertopeng itu mengambil wayang itu dari punggungnya dan mengibaskanya.

Seketika suara kera besar terdengar mengaum dengan keras. Dan lagi sepertinya Cahyo mengenal sosok itu.

“Siapa kau?! Tidak mungkin itu Jogorawu!” ucap Cahyo panik.

Pria itu menoleh ke arah Ki Ronggo Gupolo yang telah masuk ke dalam kabut hitam itu.

“Cahyo.. anak beruntung yang selamat dari desa di gunung timur. Asal kau tahu, bukan kau saja yang selamat dari desa itu” ucap pengguna topeng itu sambil menunjuk ke wajah Cahyo.

“Apa maksudmu? Tidak mungkin masih ada warga yang selamat?!” Wajah Cahyo terlihat semakin panik.

“Mungkin saat kubuka topeng ini, kamu bisa mengenal siapa aku.. itupun kalau kamu bisa bertahan hidup sampai saat itu tiba” ucapnya yang segera pergi berlari menyusul Ki Ronggo Gupolo.

“Sudah Jogorawu, kita masih punya banyak kesempatan untuk membalaskan dendamu” ucapnya sambil menenangkan sosok roh kera raksasa yang masih ingin mengamuk itu.

Pria pengguna topeng itupun pergi meninggalkan raut wajah Cahyo yang kehilangan ekspresinya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close