Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 7) - Diatas Bumi di kolong Langit

Kabut hitam terlihat memudar bersamaan dengan perginya dedemit penguasa kerajaan Setra Gandamayit. Gerimis masih turun membasahi tubuh kami yang tidak berdaya, namun perlahan air yang di bawa oleh Nyi Sendang Rangu ini memulihkan kekuatan kami sedikit demi sedikit.


JEJAKMISTERI - “Terima kasih Nyi, aku terselamatkan lagi” ucapku yang berusaha mempertahankan kesadaranku dan menahan setiap rasa sakit yang menjalar di tubuhku.
Nyi Sendang Rangupun mendekat kepadaku, wujudnya kembali berubah bak bidadari cantik yang seolah bersiap mengantarku ke nirwana.

“Sudah kukatakan, rapalkan matra itu saat menghadapi mereka” ucapnya sambil menyeka darah di wajahku dengan selendangnya.
Wajahnya terlihat sedih, tapi memang sepertinya inilah luka-luka terberat yang pernah kuterima.

Aku bahkan tidak bisa menghitung lagi berapa banyak tulangku yang patah akibat pertarungan tadi.

“Maaf Nyi, setidaknya aku ingin berusaha menghadapinya dengan kekuatan kami terlebih dahulu” balasku.

“Kekuatan kalian? Jangan sombong.. setinggi apapun ilmu kalian, kalau kalian tidak mengandalkan Yang Maha Pencipta ilmumu tidak lebih dari permainan anak-anak” ucap Nyi Sendang Rangu dengan sedikit marah.

Yah, mungkin aku salah. Aku bermaksud untuk berusaha semampuku terlebih dahulu. Kesalahanku, aku sudah mengetahui kengerian makhluk-makhluk itu namun tidak berani mengambil resiko memanggil Nyi Sendang Rangu.

“Maafkan aku Nyi, aku masih harus banyak belajar menjadi seorang manusia yang setia mengandalkan Sang Pencipta” ucapku.
Aku menoleh kepada Cahyo yang masih tertegun di bawah hujan ini.

Sebuah pukulan besar untuknya Ketika mengetahui bahwa pria bertopeng itu juga berasal dari desa Cahyo. Desa yang seluruh warganya dihabisi oleh sosok Ludruk Topeng Ireng yang juga membunuh orang tua Cahyo.

“Sudah Jul, obati dulu luka-lukamu. Nanti biar aku bantu mencari informasi tentang pemuda bertopeng itu” ucapku berusaha menenangkan Cahyo.

“Nggak usah gaya kamu, yang ada kamu tuh yang sudah babak belur” balasnya sambil mendekat dan berusaha mencari posisi untuk membantuku berdiri dengan posisi yang tepat.
Nyi Sendang Rangu menghadang tepat di hadapan kami berdua.

Sepertinya ada suatu hal yang penting yang ingin ia sampaikan.
“Dua puluh empat jam.. jangan bertindak apa-apa sebelum itu” ucap Nyi Sendang Rangu seolah memberi perintah.

“Maksudya apa nyi?” tanya Cahyo.

“Aku akan pergi selama dua puluh empat jam, mungkin ada cara untuk menggagalkan rencana mereka. Namun bila kalian gegabah dan mati, tidak ada lagi yang bisa menggagalkan rencana mereka” jelasnya.
Kami saling bertatapan, sepertinya Nyi Sendang Rangu memiliki sebuah rencana.

“Bagaimana kalau makhluk itu menyerang lagi Nyi” tanyaku.

“Yang terpenting, jangan mati sebelum aku Kembali” ucapnya yang segera pergi menghilang dibawah tetesan gerimis. Bersama itu, hujanpun perlahan berhenti dan bulan purnama Kembali menerangi padepokan ini.

Mbah Jiwo segera menghampiri Paklek dan membantunya untuk memulihkan diri. Di sisi lain terdengar suara mobil mendekat ke arah kami. Itu mobil pick up milik mas Jagad. Ia dan Dirga turun dari mobilnya dan segera menghampiri kami.

“Maaf Danan, kami terlambat!” ucapnya dengan cemas dan dengan bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya ia juga mengalami pertarungan.

“Nggak mas, kalian tepat waktu. Andai saja keris Dirga tidak membantu tadi, mungkin nyawa kami tidak akan selamat” balasku.

Wajah mas Jagad dan Dirga terlihat sangat cemas Ketika melihat hampir seluruh padepokan porak poranda dengan pertarungan tadi. Ada satu bangunan yang masih memiliki atap, kamipun memutuskan untuk mengobati luka-luka kami di tempat itu.

Aku menoleh ke arah Paklek, ia menggendong tubuh Sena yang tidak sadar karena serangan Ki Ronggo Gupolo untuk membawanya ke bangunan itu. Wajah Sena penuh dengan darah.

“Paklek, Sena?” tanyaku khawatir.

“Dia masih hidup.. jangan khawatir” ucap Paklek.

Aku melihat sekeliling dan benar-benar bersyukur tidak ada korban jiwa diantara kami semua. Ada beberapa anggota padepokan Sena yang terluka cukup parah, Pak Waja dan Mbah Widjanpun mulai berusaha untuk Kembali berdiri dengan seluruh luka-lukanya.

***

Paklek menidurkan Sena di sebuah meja kayu, ia memeriksa denyut nadi Sena dan menutup luka-lukanya dengan obat-obatan yang disediakan oleh teman-teman Sena.

“Pak, Mas Sena bisa selamat kan?” tanya Mas Tono.

“Semua tergantung keteguhan hati Sena” balas Paklek.

Paklek sekali lagi menggores tanganya dengan Keris Sukmageni. Darahnyapun mengaliri bilah putih keris itu dan berubah menjadi tetesan api. Saat api itu menetes di tubuh Sena, seketika luka-lukanya mulai menutup. Namun entah mengapa aku merasa itu saja tidak cukup.

“Dia tidak sadar Paklek?” tanyaku.

Paklek tidak menjawabku, ia membacakan doa pada pergelangan tanganya dan menggenggam beberapa bagian tubuh Sena sembari menggerakanya. Aku tahu Paklek berusaha sekuat mungkin memulihkan Sena.

Di tengah kecemasan kami dan di tengah usaha Paklek, tiba-tiba jari tangan Sena bergerak dan perlahan mengepal seolah termakan emosi. Tak lama setelahnya Sena tiba-tiba duduk dan membuka matanya dengan kaget. Matanya terbelalak dan mencoba mengenali keadaan di sekitarnya.

“Sena?! Tenang Sena” ucap Cahyo.

Sena malah menatapnya dengan mengerutkan dahinya. Ia malah memerhatikan tangan dan seluruh tubuhnya.

“Ini.. tubuh Sena?” ucapnya.
Tu..tunggu apa maksud ucapan Sena?

Iapun menoleh pada Paklek, namun kali ini ia seperti meneranwang wajah Paklek.

“Kamu Bimo? Bimo Sambara, adik dari Bisma Sambara?” ucap Sena dengan suara yang berbeda, aku melihat Paklek berusaha untuk tidak panik.

“Nggih Kulo Bimo, Panjenengan niki sinten?” (Iya saya Bimo, dan anda ini siapa?)

“Kowe kenal aku, aku Ki Joyo Talun..” (Kamu kenal saya, Ki Joyo Talun)
Sontak wajah seluruh orang di tempat itu kaget mendengar pengakuan Sena.

Ki Joyo Talun? Ayah Sena? Dia sudah meninggal.. aku sendiri melihat kepalanya dipermainkan oleh sinden-sinden pengabdi setan di hutan saat menuju ke Langgar Watubumi.

“Njenengan benar-benar ayah Sena?” tanyaku.
Ki Joyo Talun menoleh ke arahku, kali ini ia tersenyum.

“Kamu Danan kan? Putra Bisma.. kalau begitu yang memanggil Sena tadi Cahyo? Saya banyak mendengar cerita kalian dari Bisma” ucapnya.
Sena berusaha untuk berdiri meninggalkan meja tempat ia dirawat.

Jelas kami semua masih bingung dengan kesadaran yang mengambil alih tubuh Sena. Ia berdiri menyaksikan kondisi padepokan yang hancur sambil menghela nafas.

“Maaf Ki? Kalau anda benar Ki Joyo Talun, bagaimana dengan Sena?” tanyaku.

“Jangan paksakan diri kalian, tenanglah dan pulihkan diri kalian terlebih dahulu” balasnya.
Pak Waja mengerti maksud Ki Joyo Talun, iapun memintaku dan Cahyo untuk duduk mengambil posisi yang nyaman.

“Sembari menunggu Paklek pulih, biar saya yang membantu memulihkan tubuh kalian” ucap Pak Waja.
Kamipun menuruti perintah Pak Waja, rasa sakit di tubuh ini benar-benar sulit unduk kutahan sejak tadi.

Tapi, aku jadi tahu hebatnya seorang Pak Waja. Dia memiliki ilmu aksara yang sangat kuat, dibalik keseharianya yang sering menyembuhkan seseorang, ternyata ia juga memiliki ilmu yang dapat menghadapi sosok dedemit tadi.

“Berarti Pak Waja belajar ilmu pengleakan juga ya? Sejak kapan?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Haha… ilmu yang saya punya ini tidak bisa dipelajari hanya dari satu kehidupan saja” ucapnya.
Seketika aku dan Cahyo bertatapan.

“Maksudnya reinkarnasi? Ilmu dipelajari sejak kehidupan sebelum-sebelumnya?” tanya Cahyo.

“Iya, saya menganggap ilmu ini wasiat dari leluhur ataupun kehidupanku sebelumnya.. tapi sekarang bukan itu hal yang penting, kita bisa membahasnya setelah semua ini selesai” jelasnya.

Kami setuju, terlalu panjang bila membahas hal itu saat ini. Ini adalah hal menarik bagi kami. Mengenai reinkarnasi memang banyak diceritakan di kisah pewayangan, namun hal itu tidak lagi relevan untuk kepercayaan yang berkembang saat ini.

Tapi itulah misteri alam semesta yang membuat alur kehidupan ini menjadi semakin menarik.

***

Paklek mendekap pada Ki Joyo Talun seolah ingin memulai perbincangan serius.
“Kalau anda Ki Joyo Talun? Lalu siapa orang yang dibunuh oleh sinden-sinden kemarin?” Tanya Paklek.

“Itu saya..”
Paklek terlihat semakin bingung.

“Saya sadar bahwa tragedi ini cepat lambat akan terjadi. Tugas terbesar dari keturunan padepokan Ki Joyo Talun adalah menjaga Azimat Wayang Durga.

Rasa khawatirku membuatku memutuskan memisahkan salah satu sukmaku dan ikut bersemayam bersama dengan azimat wayang durga” ucapnya.
Aku memang pernah mendengar cerita manusia yang tetap hidup walau Sebagian sukmanya di tahan.

Namun untuk memisahkan salah satunya atas kemauan sendiri? selama ini aku menganggapnya sebuah kebodohan.
“Memisahkan sukma? berarti.. ki tidak bisa hidup seperti manusia pada umumnya kan?” ucap Paklek.

“Saya gegabah, tanpa sukma cahaya saya menjadi manusia yang biadab dan membuat banyak masalah. Bahkan aku bertanggung jawab atas kematian Nyai Lindri”
Sepertinya kami bisa mengerti maksud Ki Joyo Talun.

Sosok ayah Sena yang dikagumi Sena itu ternyata berubah drastis karena telah kehilangan sukmanya yang saat ini sedang mengisi tubuh Sena.

“Sudah Ki, penyesalan tidak akan menghasilkan apapun.. saya tahu Ki Joyo Talun memiliki maksud yang penting kan saat ini?” tanya Paklek.

“Benar” jawabnya.
Ki Joyo Talun berlari keluar ke arah pelataran yang telah hancur oleh pertarungan tadi. Setelah menunggu beberapa lama ia kembali dengan membawa sebuah keris aneh dengan panjang menyerupai sebuah pedang.

Ia memilih beberapa barang dan membawanya dalam sebuah tas kain.
“Saya harus menghentikan demit-demit itu” ucapnya sambil bergegas meninggalkan tempat ini.

Belum sempat meninggalkan padepokan, Mbah Jiwo bersiap menghadang Ki Joyo Talun yang merasuki tubuh Sena itu.

“Apapun rencana panjenengan, itu tidak akan cukup” ucap Mbah Jiwo.

“Ini adalah tanggung jawab seluruh keturunanku” ucapnya.

“Memangnya Ki Joyo Talun tahu keberadaan makhluk-makhluk itu?” tanya Mbah Jiwo.

“Ada satu tempat yang mampu menghubungkan sisa-sisa keberadaan di masa lalu hingga saat ini. Tempat kami mencari pencerahan yang kami butuhkan.. Langgar Watubumi” ucapnya.

Aku mengingat jelas tempat itu. Itu adalah tempat Cahyo bertemu dengan sosok kera aneh yang katanya berasal dari masa lalu. Giridaru.

“Walau begitu, kami tidak akan membiarkan Ki Joyo Talun pergi seorang diri” ucap Mbah Jiwo.

“Terserah apa yang kalian rencanakan, namun aku akan tetap ke sana. Walau hanya beberapa detik akan kutahan kekuatan Azimat Wayang Durga itu” ucapnya.
Saat itu juga Cahyo meninggalkan tempatnya, ia segera berlari dan ikut menghadang Ki Joyo Talun.

“Kami tidak bisa membiarkan satu nyawa hilang dengan sia-sia, setelah kami pulih kami berjanji akan membantu Ki Joyo Talun" tahan Cahyo.

Ki Joyo Talun seolah tidak beniat mendengarkan perkataan Cahyo. Ia mengeluarkan keris besar itu dari sarungnya dan menancapkanya ke tanah.

Hanya dengan sebuah gerakan sederhana itu Cahyo dan Mbah Jiwo terpental dengan hembusan angin yang disebabkan oleh keris itu.

“Ki! Jangan! Kau juga mempertaruhkan tubuh Sena!” teriakku yang mencoba menyusulnya namun segera tertahan dengan cengkraman Pak Waja.

Ki Joyo Talunpun menatap sebentar tubuh anaknya yang ia rasuki itu, sayangnya ia tidak berubah pikiran. Ia segera berlari dengan cepat menuju arah sebuah hutan. Aku tahu bahwa itu adalah arah ke Langgar Watubumi.

“Tidak usah dikejar” perintah Paklek.

“Tapi Paklek?!” bantah Cahyo.

“Dia tidak akan mengubah keputusanya. bila kita memaksa, itu akan menambah kerugian di pihak kita”
Benar ucapan Paklek, bila kami memaksa menahan Ki Joyo Talun, luka kami akan semakin bertambah. Kami tidak boleh membuat langkah gegabah lagi.

Setelah kepergian Ki Joyo Talun Paklek dan Pak Waja berusaha memulihkan kami. Dirga dan Jagad mendengar cerita-cerita pertarungan tadi dari mas tono dan anggota padepokan Sena.

Sebenarnya mereka anggota padepokan Sena bingung harus berbuat apa dengan Sena yang dirasuki Ki Joyo Talun. Namun mereka yang bahkan sudah sulit untuk berdiri tidak mungkin menahan Sena.

***

Part 7 - Diatas Bumi di Bawah Langit

Angin berhembus begitu kencang di tempat ini. Pemandangan di sekitar bukit ini hanyalah permadani hijau dari pemandangan hutan-hutan di sekitarnya.
Bukit batu.. aku melihat kuburan bapak berada di hadapanku saat ini.

“Coba kamu bayangkan, apa yang akan ayahmu lakukan bila ia yang harus dihadapkan dengan kejadian itu”
Terdengar suara yang sudah lama tidak kudengar.

“Mbah Buto Lireng?” tanyaku mencari asal suara itu.

Tak lama setelahnya terlihat bayangan sosok raksasa yang sangat besar. Sosoknya lebih besar dari Buto Lireng saat terakhir kali kutemui. Ia benar-benar sebesar bukit ini.

“Bapak pasti bisa menjalankan tugas ini lebih baik, bahkan ia bisa menyelamatkan orang-orang walaupun dengan membawa penyakitnya” ucapku sambil mengagumi betapa hebatnya sosok bapak saat itu.

“Sehebat-hebatnya Bisma adalah mendidik anak sehebat dirimu.
Itulah kehebatan terbesar seorang Bisma Sambara dibanding dengan semua ilmu lain yang ia miliki” Ucap Buto Lireng.
Aku Senang mendengar ucapan Buto Lireng, namun entah mengapa aku malah ingin menitikan air mata saat mendengarnya.

Di sini, di bukit batu inilah tempat dimana aku benar-benar mengagumi kehebatan bapak. Bukan karena ilmunya yang tinggi, namun keteguhanya menghadapi segala masalah dan perasaan tulusnya yang bahkan bisa membuat Buto Lireng yang dulu merupakan musuhnya bisa menjadi sahabatnya.

“Aku ingat Mbah, walau sudah kalah berkali-kali, tanpa pusaka, dan bahkan dengan membawa penyakitnya, bapak tetap bisa mengalahkan Ki Jaruk dalang demit itu” ucapku.
Buto Lirengpun duduk bersila sambil menatapku dengan wajah yang sepertinya mulai membatu itu.

“Menurutmu, apa yang bisa membuat ayahmu sampai berhasil walau dengan segala kekuranganya itu?” tanya Buto Lireng.

Ilmu? Strategi? Bantuan? Itu memang benar. Tapi bukan itu yang menentukan kemenangan Bapak, pikirku.

“Memang tidak masuk di logika mbah. kalau tanpa ijin dari Yang Maha Kuasa, semua yang dimiliki Bapak tidak akan cukup untuk mengalahkan Ki Jaruk” jawabku.

“Nah, sekarang kamu sudah sadar kan kenapa Bisma yakin akan tetap menang saat itu?” tanya Buto Lireng.

Aku mengkaji ucapanku sendiri. Benar, bila Tuhan sudah berkehendak.. kami pasti akan mengakhiri bencana ini. Sekuat apapun musuh kami, pasti selalu ada jalan untuk mengakhirinya.

“Hitung setiap usaha dan semua hal yang telah kamu lakukan hingga terpilih untuk menghadapi bencana ini, jawaban permasalahanmu ada di situ” ucap Buto Lireng yang segera menutup kembali matanya yang terlihat sebesar pohon beringin saat itu.

Saat mata itu tertutup saat itu aku merasa mataku terbuka dan melihat Paklek berada di hadapanku.

“Paklek?” tanyaku heran.

Pak Waja melepas kompres di dahiku dan mengecek suhu tubuhku.

“Panasnya sudah turun Paklek, luka-lukanya mulai pulih” terang Pak Waja.

“Bagus, sekarang tinggal si panjul..” ucap Paklek yang segera meninggalkanku dan menuju ke Cahyo yang sedang terbaring.

Kondisi Cahyo sama denganku, ia di kompres dengan beberapa luka yang masih harus diperban bahkan setelah Paklek dan Pak Waja yang mencoba memulihkan mereka dengan ilmunya.

“Cahyo?! Cahyo kenapa Paklek?” tanyaku panik.
Sayangnya saat aku hendak berdiri, Pak Waja menahanku.

“Tenang Mas Danan, Ini hanya reaksi tubuh kalian karena menerima luka sebanyak ini” Jelas Pak Waja.

Cahyo terlihat tidak tenang. Nafasnya bertambah cepat dan semakin cepat sampai tiba-tiba ia terduduk dan terbangun dengan wajah panik.

“Kliwon!”

Cahyo berteriak memanggil nama kecil temanya itu dengan panik.

“Tenang dulu, tarik nafas dulu” ucap Paklek.

“Kliwon menuju ke sini Paklek! Beri dia petunjuk ke arah tempat ini!” pinta Cahyo.

Mendengar ucapan itu aku teringat mimpiku barusan. Sepertinya aku dan Cahyo diberi petunjuk lewat mimpi oleh mereka.

“Tenang mas, itu hanya mimpi.. tenangkan diri dulu” ucap Pak Waja.

“Nggak Pak, itu bukan mimpi. Pertarungan ini bukan hanya pertarungan kita lagi.
Ini sudah menjadi pertarungan mereka yang ingin menjaga Jaman ini..” ucapku.
Paklek dan Pak Waja menatapku dengan heran, namun dari mimpi itu aku melihat kemantapan di mata Cahyo. Sama sepertiku saat ini.

“Langgar Watubumi itu tempat kita bertemu dengan Giridaru kan Danan?” ucap Cahyo yang bersiap mengenakan sarungnya.

Aku mengangguk sambil mengambil tas selempangku dan mengenakan sepatuku.

"Kalian mau kemana?" Tanya Mas Jagad.

“Tidak ada lagi tempat yang membuat kami tenang saat ini selain medan pertempuran” ucapku sambil menatap ke arah langit yang berada di darah Langgar Watubumi.
Sekumpulan awan hitam berkumpul di sana, di tempat sekumpulan candi-candi kecil yang berdiri di tengah hutan.

“Mas, I..itu?! Itu Naga?” tanya Dirga panik melihat sosok ular besar berkaki turun dari arah awan hitam itu.
Bentuk naga itu persis seperti yang tergambarkan di relief-relief candi dan cerita-cerita jawa jaman dulu.

Ada makhota di kepalanya yang menggambarkan naga itu memiliki tingkatan yang tidak sembarangan.
Sepertinya makhluk-makhluk itu berhasil memulihkan Azimat Wayang Durga itu.
Kini tidak ada lagi pertanyaan dari semua orang yang berada di padepokan.

Memang belum semuanya pulih, tapi kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi sampai azimat itu memanggil sosok yang tidak masuk akal.

Kami menaiki mobil Mas Jagad dan motor untuk mencapai hutan di dekat langgar watubumi.

Ada sebuah jalur besar disana yang seperti dibuat dengan ilmu tebasan yang tidak sembarangan.

“Jalur ini baru kan nan?” Tanya Cahyo.

“Iya, apa mungkin ini buatan Ki Joyo Talun?” balasku.

“Mungkin saja.. tapi dengan ini kita bisa sampai lebih cepat ke langgar watubumi” balas Cahyo.

Paklek dan yang lain tidak banyak berkata apa-apa dan mengikuti kami.
Sepanjang kami berlari kami mendengar lagi suara gemuruh petir berwarna merah.

Ada dua kilatan petir yang muncul bersamaan. Bersamaan dengan itu terdengar suara raungan sepasang makhluk buas dari arah sana.

“Suara ini?!” tanya Dirga.

“Songgokolo, dan Gondokolo” gumam Mas Jagad.
Ia tidak mungkin melupakan suara itu.

Suara makhluk yang ia kembalikan ke alam baka setelah menghancurkan kedua katalisnya Keris Benggolo ireng dan keris benggolo abang.

Dengan rasa cemas, kami mempercepat langkah kami. Sekali lagi terdengar suara gemuruh mendekat seolah memanggil suatu sosok.

Namun kali itu gemuruh itu berhenti, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi hal itu.
Benar saja, tepat saat kami mendekat, terdengar suara pertarungan dan kobaran api dari tempat itu.

Kami menyibakkan semak hutan yang menutupi jarak pandang kami sampai akhirnya kami tiba ditempat yang dulu pernah kami datangi.
Tidak.. ini tidak lagi sama.

Candi-candi sisa reruntuhan yang dulu kami lihat kini hancur lebur tak berbentuk.

Aliran sungai yang dulu kami lihat begitu jernih kini berubah menjadi merah berkat darah dari sekumpulan jasad manusia tanpa kulit yang berada di pangkal sungai itu.

“Setan-Setan brengsek!” Umpat Cahyo.

Aku berusaha menahan emosinya dan memperhatikan kondisi sekitar terlebih dahulu. Tak hanya jasad manusia, sisa-sisa tubuh demit alas dan organ tubuh raksasa juga bergelimpangan di tempat ini. Tidak sulit bagi kami untuk mengetahui apa penyebapnya.

Gelombang tebasan benda yang menyerupai pisau raksasa membantai demit-demit yang muncul dari kibasan Azimat wayang Durga.

Itu adalah kemampuan keris seukuran pedang yang digunakan oleh Ki Joyo Talun dengan menggunakan tubuh Sena.

Aku merasa malam mengerikan kemarin baru saja terlewat, namun saat ini langit kembali telah memerah. semerah aliran sungai di langgar watubumi yang telah dipenuhi oleh darah.

Paklek, Pak Waja,dan yang lainya masing-masing juga membaca doa sebelum memasuki medan pertempuran ini.

Kami sudah berserah kepada Yang Maha Kuasa atas hasil dari pertarungan ini. Yang dapat kami pastikan, kami akan berusaha hingga tetes darah terakhir kami untuk menghentikan bencana ini.

Demit-demit itupun menyadari kedatangan kami. Berbagai sosok demit yang pernah kami kalahkan muncul juga di hadapan kami.

“Mereka yang membuat kita tersiksa lagi” ucap Songgokolo pada adiknya.

“Sebelum memulai tugas kita, membunuh mereka adalah sebuah keharusan” tambah Gondokolo.
Kedua iblis yang dulu menghuni keris kembar itu bersiap menerjang, namun beberapa buah bola api malah lebih dulu menyerang ke arah kami.

Aku berjalan kaki dengan tenang sembari membaca mantra yang diturunkan oleh leluhur dengan keris di genggamanku.

Jagad lelembut boten duwe wujud..

Tepat saat bola api itu menyerang, Pak Waja yang merubah wujudnya menjadi bola api sudah mendahuluiku dan menerjang bola api itu hingga menimbulkan ledakan di langit di atas kami.

Kulo nimbali...

Songgokolo dan Gondokolo menerjang dengan cepat hingga langkah kakinya menyisakan api di tanah. Namun sekali lagi, sebelum seranganya mencapaiku dan Cahyo, Dirga dan mas Jagad sudah berlari mendahului kami.

“Empat wujud Keris Dasasukma!” Dirga berteriak memecah kerisnya menjadi empat wujud. Satu tergenggam di tanganya, satunya melayang ke tangan mas Jagad, dan kedua sisanya melayang menyerang setan kembar itu.

“Mereka urusan kami Danan!” ucap Mas Jagad.

Surga loka surga khayangan..

Nyai Wijul demit nenek kerdil dan kakek yang menggendongnyapun menghampiri kami. Ada mantra yang dibacakan dari mulutnya, namun sebuah tombak melayang ke arahnya dan kembali ke tangan Panji.

“Dia demit yang hampir mencelakai Rizal cucuku di kantorku kan Danan?” Tanya Mbah Widjan.

“Biar aku eyangnya dan Panji adiknya yang membalasnya”

Ketuh mulih sampun nampani..

Segerombolan anggota Padepokan Ronggo Mayit bersama pemuda bertopeng hitam itu bersiap menyerang Cahyo, namun kali ini serangan mereka tertahan dengan sekelompok murid Mbah Widjan.

“Jogorawu!!” teriak pemuda bertopeng itu sembari mengibaskan wayang yang sebelumnya ia ikat di punggungnya.

Seekor sosok kera hitam raksasa muncul mencoba menghadang Cahyo, namun Mbah Jiwo sudah ada di hadapanya dengan melempar sebuah bolah hitam.

Serangan Jogorawu tertahan oleh kekuatan besar dari sosok makhluk besar bertubuh hitam berwajah kerbau. Ki Maesa Ombo..

“Cahyo! Jangan kabur! Aku lawanmu!” teriak pemuda bertopeng itu.

“Dendamu itu urusanmu, masalah remehmu bukan yang terpenting saat ini” ucap Cahyo sambil terus berjalan bersamaku
Ia mencoba mengejar Cahyo, namun Paklek menahan seranganya dan menghempaskan cukup jauh dari arah Cahyo.

“Pergi! dia harus ngerasain sandal Paklek biar sadar akan tingkahnya” perintah Paklek pada kami.
Aku ingin tertawa, namun kali ini situasinya benar-benar tidak memungkinkan. Masih ada tiga sosok mengerikan yang ada di hadapan kami.

Dewi ular purba..

Ki Ronggo Gupolo yang sedang mengendalikan Azimat Wayang Durga..
Dan sosok Naga hitam besar bermahkota yang baru saja dipanggil oleh meraka.

Tekan asa tekan sedanten...

Hujan deras turun bersamaan dengan kibasan ekor dewi ular purba yang mengarah kepada kami, namun serangan itu tertahan hanya dengan lirikan Nyi Sendang Rangu yang tiba-tiba berada di hadapan kami. Hanya hembusan angin yang tersisa dari kibasan ular itu.

“Aku tidak pernah mengerti, kenapa laki-laki tidak tahan menunggu sebentar saja" ucapnya sambil menatapku dan Cahyo.
Dua ekor besar yang berasal dari dewi ular purba dan naga hitam itu bersiap melenyenyapkan kami.

Namun sebelum kami bersiap, Nyi Sendang Rangu tersenyum dan menahan kami berdua.

Ekor ular itu terpental hanya dengan sosok seekor kera kecil berubah menjadi wujud rohnya sang panglima kera alas wanamarta.

“Kliwon!” ucap Cahyo tersenyum.

Satu lagi ekor naga hitam menerjang kami dari langit. Ekor naga itu semakin besar dan semakin besar tapi sekali lagi ketika akan mendekati kami Nyi Sendang Rangu mengibaskan selendangnya dan serangan itu tertahan oleh sosok yang sangat besar.

Aku tersenyum, itu adalah sosok raksasa penguasa bukit batu.

“Mbah Buto Lireng!” teriakku.

Ia menoleh seolah memberi salam padaku.
“Jangan berlebihan, mantramu masih belum selesai!” ucap Buto Lireng mengingatkanku.

Benar, masih ada beberapa bait lagi. saat aku akan meneruskan, tiba-tiba gempa besar melanda sekitar kami. Dari beberapa tempat terlihat angin topan menjalar ke arah kota.

Kami bingung dengan apa yang terjadi. Berbagai ilmu, ledakan, kabut hitam, dan api terlihat di sekitar kami. Belum pernah aku melihat pertarungan seperti ini sebelumnya

***

“Lanjutkan pertarungan kalian bila ingin benar-benar menghancurkan tanah ini!”

Terdengar suara sosok wanita yang berwibawa dari cahaya hijau yang muncul dari arah selatan.

“Letusanku mampu menghancurkan pulau ini, apa kalian mau mendahuluinya?”

Kali ini suara sosok cahaya merah terdengar dari arah barat.

“Hutanku sudah mampu menghilangkan peradaban, apa itu yang ingin kalian ulangi saat ini?”
Suara itu terdengar seperti suara hewan buas dari cahaya hitam di arah timur.

“Kalau kalian teruskan, energi sebesar ini bisa mempengaruhi alam, jangan bodoh”

Suara perempuan dari utara terdengar seolah memperingati kami.
Aku menatap Cahyo, itu adalah suara-suara sosok besar yang menjaga keseimbangan di tanah Jawa ini. Sepertinya Nyi Sendang Rangu juga menghargai keberadaan mereka.

“Tidak mungkin mengakhiri ini tanpa bertarung, dan tidak ada tempat yang mampu menahan energi sebesar ini” ucap Nyi Sendang Rangu.
Raut wajah Cahyo seolah mendapatkan suatu pemikiran.

“Ada..” jawabnya ragu sambil menatapku.

Aku mencoba membaca arti tatapanya. memang aku memikirkan suatu tempat, tapi itu sangat beresiko. Mungkin itu juga yang dipikirkan oleh Cahyo.

“Dimana?” tanya Nyi Sendang Rangu.

Kami harus mempertaruhkan hal ini, setidaknya itu satu-satunya yang dapat kami pikirkan saat ini.

“Jagad Segoro Demit..” jawabku bersamaan dengan Cahyo.
Wajah Nyi Sendang Rangu berubah semakin serius menanggapi ucapan kami. Sepertinya ia menerima pendapat kami walau sebenarnya inipun pilihan beresiko.

Jagad segoro demit memiliki kesadaranya sendiri. Ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Semakin lama berada di sana, kesadaran manusia bisa diambil alih oleh alam itu.

“Kekuatanku cukup untuk menoreh goresan yang mengarah ke dimensi itu, tapi harus ada kunci yang menghubungkan ke sana” ucap Nyi Sendang Rangu.

Mendengar ucapan itu, kliwon yang sudah mengambil wujud Wanasudra melompat ke arah kami dan menjatuhkan sebuah pisau batu pusaka bertuliskan aksara kuno.

“Ini pusaka mas linus..” ucap Cahyo sembari menyerahkanya kepada Nyi Sendang Rangu.

“Dulu benda itu yang mengeluarkanku dan kliwon dari Jagad segoro demit”

“Harus ada yang menarik semua makhluk di tempat ini” tambah Nyi Sendang Rangu.
Terdengar dari arah belakang kami, Gondokolo terpental oleh serangan Jagad.

Dengan secepat mungkin Jagad datang menghampiri kami.

“Ayo kita pindahkan nyi, kemampuan pusakaku bisa memindahkan semua makhluk ini selama ada yang menjaga terbukanya gerbang itu” jelas Jagad.

Sebuah pemandangan yang tidak terdugapun terjadi. Sebuah gerbang menuju alam terkutuk yang dulu sekuat tenaga ingin kami tutup kini justru kami harapkan sebaliknya.

Retakan gerbang dimensi terbuka di atas kami. Bukan retakan yang besar, namun energi yang besar muncul dari sana. Aku melihat ada beberapa sosok makhluk mencoba mendobrak keluar dari gerbang itu, namun Nyi Sendang Rangu menahan dengan kemampuanya.

Mas Jagad hanya berdiri di bawah gerbang itu dengan menggenggam pusaka pisau batu itu. Ia mengenakan sebuah gelang emas yang bentuknya mirip pusaka kerajaan. Seketika gelombang dimensi yang tak beraturan tenang oleh ilmu mas Jagad.

Aku sadar ada perubahan dari permukaan tanah seolah ada energi yang berasal dari mas Jagad menyebar ke tanah ini dalam radius besar.

“Pengaruh kesadaran alam ini begitu besar, selesaikan dengan cepat!” Teriak Mas Jagad sambil menusukkan pisau itu ke tanah tempat ia menebarkan energinya.

***

Pohon-pohon mati, padang tanpa hembusan angin, udara yang dingin dan ketakutan yang terus menghantui..
Tidak salah lagi, ini adalah Alam Jagad Segoro demit.
Suara pertarungan seketika berpindah ke tempat ini. Ki Ronggo Gupolopun merasa kaget dengan perubahan ini.

“Ternyata ini rencana busuk kalian” ucap dalang demit itu.
Ia yang kesal kembali merubah dirinya menggunakan wayang Rahwana dan memukul Ki Joyo Talun hingga terpental ke arah kami.

Ki Ronggo Gupolo menancapkan Azimat wayang durga di tanah. Tanpa dikendalikan oleh Dalang demit itu, Azimat itupun menarik setiap sosok demit di alam ini.

“Tempat apa ini?” Tanya Ki Joyo Talun.

“Tempat terbaik untuk kita mengamuk!” ucap Cahyo.

Kali ini ia mengikatkan sarungnya di pinggang dan menepuk dadanya berkali-kali.

“Wanasura! Keluar!”
Cahyo berteriak memerintah sosok kera itu keluar dari tubuhnya. Seketika sosok kera raksasa muncul di hadapan kami.

Kliwon menyambut kehadiran wujud saudara kembarnya itu dan mengaum sekeras-kerasnya menyatakan kekuatanya.
Cahyo menaiki Wanasura dan membantu kliwon menghadapi dewi ular purba.

Kali ini serangan mereka bersahutan hingga ular besar yang sebelumnya sulit untuk dilukai kini mulai merasa gentar.
Kini adalah giliranku. Aku memasuki alam pikiranku mencoba mengingat setiap kata yang pernah diucapkan oleh Eyang Widarpa saat menolongku melawan brakaraswana.

Sambungke rong alam kasebut
Rina malam dadi siji
Raga lan jiwo iso nyawiji..

***

Saat itu seketika aku merasakan sekitarku menjadi hening dan gelap. Aku menatap ke arah sekitarku dan perlahan terdengar suara tawa dari seorang kakek tua dari sekeliling tempat ini.

Aku ingat sekali suara itu, suara tawa yang datang saat nyawaku dalam bahaya.
Di hadapanku, ada sosok seorang kakek tua yang seharusnya tidak ada di tempat ini. Ia terus tertawa terkekeh melihatku.

***

“Eyang? Kenapa eyang masih ada di sini?” tanyaku.

Seketika tawanya terhenti dan menghampiriku dengan tatapan kesal.

“Nek kowe arep mati ojo nyusahke uwong, dasar bocah asu” (Kalau kamu mau mati, jangan nyusahin orang, dasar bocah asu)
Aku tersenyum mendengar umpatanya, namun mengapa air mata ini malah ingin menetes.

Bersamaan dengan kemunculanya, rambutku memanjang dan memutih, taring muncul dari mulutku. Kuku di tanganku memanjang dan menjadikanya sebagai cakar. Seketika kekuatan besar mengalir ke arahku.

Alam hitam yang menyelimutiku menghilang bersama sosok eyang widarpa yang menyatu bersamaku.

“Danan?! Tidak mungkin? Itu eyang widarpa?” Tanya Cahyo heran.

“Nggak Danan, itu pasti bukan eyang” tambah Paklek.

Aku menatap seluruh tubuhku. Ini persis saat aku melawan brakaraswana dulu. Tapi…

“Tidak usah bingung..” Ucap Nyi Sendang Rangu.

“Itu adalah peninggalan Widarpa.. saat ia masih hidup, kisah hidupnya membuat sosok jin di sekitarnya kagum.
Banyak dari mereka ingin mengamalkan ilmunya hingga mengambil sosok widarpa. Dan yang kamu temui barusan adalah salah satunya” jelas Nyi Sendang Rangu.

Kini aku mengerti. Sosok tadi adalah Jin yang mengingat semua ingatan dan ilmu eyang widarpa.

Yah.. tidak mungkin Eyang kembali, akupun tidak rela itu terjadi bila Eyang sudah nyaman di sana.
Dan untuk makhluk apapun yang mengambil wujud dan ilmu eyang ini...

“Eyang jin, bantu aku selesaikan ini” ucapku.

“Sopo sing mbok sebut eyang jin bocah asu!” (Siapa yang kamu panggil eyang jin bocah Asu) balasnya dengan suara yang berasal dari mulutku juga.
Akupun sedikit tersenyum, bahkan cara bicaranyapun benar-benar sama.

Ki Ronggo Gupolo menggunakan menghantamkan pukulanya ke arahku, namun kali ini aku dengan mudah menghindarinya dan menusukkuan kerisku ke punggungya.
Ia terluka, namun aku tahu luka itu akan segera menutup sehingga aku mengayunkan cakaran untuk melukainya lebih lagi.

Ki Ronggo Gupolo tidak ingin diam, ia merasa perlawanan kami membahayakan dirinya. Ia menendangku sekuat tenaga, namun kali ini aku bisa menahanya walau sedikit terseret.

“Nyi Sendang Rangu! Kenapa malah santai-santai di pundak Buto Lireng” ucap Cahyo mencoba menyenggol Nyi Sendang Rangu.

“Bocah berisik, kalau aku ikut bertarung kesadaran kalian akan segera diambil oleh alam ini, lagipula aku sudah tidak lama bertemu dengan Raksasa bukit batu yang tampan ini” ucapnya sambil tersenyum ke arah Buto Lireng.

Buto Lireng membalas senyumnya sekaligus menahan serangan api dari mulut siluman naga itu.

“Bisa-bisanya kamu menggodaku di saat seperti ini” ucap Buto Lireng yang dibalas senyum sipu Nyi Sendang Rangu.

“Batara Naga Udyorekso, tidak mungkin kau dikalahkan oleh raksasa tua itu kan?” ledek Ki Ronggo Gupolo sambil terus melawanku.
Merasa terpancing dengan ucapan Ki Ronggo Gupolo, sosok yang dipanggil dengan sebutan Batara Nogo itu membakar tubuhnya dengan api hitam dan menerjang Buto Lireng hingga tubuhnya terjatuh.

“Jaga bicaramu dalang brengsek” ucap sosok naga itu menggema di pertarungan.

“Hahahah... waktu kita tidak banyak, biar kubantu untuk menghabisi mereka semua” balas Dalang demit itu yang meninggalkan pertarungan dan menaiki tubuh Batara Nogo.

Ki Ronggo mencabut beberapa benda dari ikat pinggangnya. Sebuah batu akik besar ia tempelkan di punggung batara nogo.

“Pusaka padang Kurusetra..?” ucap Batara Nogo menyadari kekuatan dari batu itu.

“Seluruh makhluk di tempat ini dalam kuasamu, selesaikan semua dan kita bangkitkan seluruh pasukan kita…” ucap Ki Ronggo Gupolo.

Cahaya hitam menyelimuti tubuh naga itu dan membuatnya berubah menjadi sosok raksasa bersisik naga dengan pakaian layaknya seorang raja.

Ki Ronggo Gupolo tetap berdiri di bahyu Batara Naga dan mengarahkanya untuk menyerang Buto Lireng.
Pertempuran dua raksasa besar tidak dapat terelakkan, bahkan ukuran kami hanya setinggi mata kaki mereka.

Berbeda dengan tadi, kali ini Batara Naga dapat dengan mudah menjatuhkan Buto Lireng. Ia melompat dan menginjakkan kakinya ke tubuh Buto Lireng hingga matanya terbelakak menahan serangan itu.

Tak puas dengan seranganya, Dalang demit itu melemparkan sebuah benda lagi dari ikat pinggangnya dan berubah menjadi tombak tajam besar yang digenggam oleh Batara Naga

“Ini akibatnya kalau menentang kami” ucap Batara Naga bersiap menghabisi Buto Lireng.

Aku tidak tingal diam begitu saja, sebuah mantra telah kubacakan pada Keris Ragasukma yang membuatnya disinari dengan cahaya kilatan putih.

Dengan cepat aku menangkis serangan tombak raksasa itu dan membuat lenganya terpental.

"Bangun Mbah, kita hadapi bersama" ucapku.

Buto Lireng mencoba menahan sakitnya dan berdiri.

“Jangan lengah, sepertinya makhluk ini yang terkuat diantara mereka” ucap Buto Lireng.

Batara Naga kembali mencoba menyerang Buto Lireng, tapi kali ini Buto Lireng bisa menahanya walau dengan susah payah.

Akupun berusaha melompat setinggi-tingginya menaiki tubuh Batara Naga.
Dengan sigap aku menghunuskan kerisku lagi ke tubuh Ki Ronggo Gupolo, namun ia berhasil menahan seranganku dengan kerisnya.

Kami bertarung di atas tubuh batara nogo, sesekali aku mencoba menusukkan kerisku ke tubuh sisik naga ini tapi selalu gagal. Sisik ini sangat keras, bahkan dengan wujudku saat inipun aku tak mampu menembusnya.

“Kamu tidak pantas menodai tubuh Batara Naga” ucap Ki Ronggo Gupolo yang seketika berada di depan dan belakangku secara bersamaan.

Aku mencoba menyerang sosok yang berada di belakangku, namun sosok itu menghilang dan seketikan sebuah keris menancap di punggung bahuku.

Aku tidak berhenti sampai di situ. Kini aku menahan tangan yang menyerangku dan menusukkan Keris Ragasukma tepat pada lehernya.

“K..kkkurang ajar!” ucapnya kesal mencoba berbicara dengan kerisku yang menancap di tenggorokanya.

Aku tidak mencabut Keris Ragasukma dan membiarkanya terus menancap di sana. Dengan tanganku yang menyerupai cakar aku mencabik-cabik tubuh Ki Ronggo Gupolo danging demi danging hingga tidak ada organ yang tersisa di tubuhnya.

Aku tidak yakin itu akan menghabisinya namun setidaknya itu memberiku waktu.
Saat Ki Ronggo Gupolo tak berdaya aku memisahkan ragaku dan melayangkan sukmaku ke arah mata batara nogo dan menancapkan wujud ghaib Keris Ragasukma.

Nyi Sendang Rangu yang sadar dengan strategiku menangkap tubuhku yang terjatuh.
Sewu geni sukmo langit, pati geni samber nyowo
Aku mengucapkan sebuah mantra yang terdapat dari ingatan di dari wujud ini.

Seketika kedua kerisku yang menancap di mata Batara Naga dan leher Ki Ronggo Gupolo meledak dengan api yang sangat besar membakar rongga mata hingga tulang-tulang Ki Ronggo Gupolo.

“Arrrggh! Bocah brengsek!” Teriak Batara Naga yang setengah matanya terbakar oleh api itu.

“Tidak buruk bocah” ucap Buto Lireng sambil menghantamkan pukulan pada Batara Naga hingga kehilangan keseimbangan.

“Hebat! Tinjumu yang terkuat Mbah Buto Lireng!” Teriakku yang mendadak teringat saat Buto Lireng menolongku dari wayang buto yang menyerangku saat kecil.

“Hahaha... ini belum seberapa, apa kamu ingat ini bocah?”
Buto Lireng membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganya. Aku ingat gerakan itu, gerakan sama yang kupelajari dari bapak.

“Eyang! Jangan bilang??!!”

“Hahaha... Bukan kamu saja yang mempelajari ilmu dari Bisma!” ucap Buto Lireng seolah ingin memamerkan seranganya itu. Akupun tidak mau kalah dan membacakan mantra serupa pada genggaman tanganku.

Tepat saat Batara Naga hendak kembali berdiri dan Ki Ronggo Gupolo mulai pulih, kami melancarkan serangan itu.
Ajian Lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh dalam wujud terkuat yang pernah ada kini dilontarkan oleh Buto Lireng ke tubuh Batara Naga dan membuatnya terpental.

Serangan itu bersamaan dengan mendaratnya seranganku di tubuh Ki Ronggo Gupolo.
Darah hitam bermuncratan bagai hujan dari mulut Batara Naga dan Ki Ronggo Gupolo.

“Naga Tua! Sudah cukup! Tolong aku.. hentikan mereka!” ucap Ki Ronggo Gupolo yang mulai kewalahan.

Aku terus menghajarnya berkali-kali, ini adalah gerakan eyang widarpa yang selalu ia gunakan untuk membantai demit alas. Tidak kuberikan sedikitpun kesempatan untuk tubuhnya beregenerasi.

Wanasura dan Wanasudra terlihat mengamuk, ia menjadikan dewi ular purba itu sebagai bulan-bulanan. Ada yang aneh dengan kedua tubuh kera raksasa itu, seluruh tubuh mereka dipenuhi perhiasan seorang panglima.

“Cahyo! Itu pusaka mereka?” Tanyaku.

Cahyo yang menaiki tubuh Wanasura tertawa mendengar pertanyaanku.

“Heh! Bukan kamu saja yang punya jurus rahasia.. di alam ini mereka bisa menarik pusaka dari jamanya” teriak Cahyo bangga.

Aku melihat Cahyo sudah menguasai medan tempur. Wanasudra menahan leher ular itu dengan tubuhnya yang membesar dengan pengaruh pusakanya.

Cahyo melompat dari tubuh Wanasura, mengambil sarungnya dan menutup wajah sosok dewi berselendang hitam yang tubuhnya menyatu dengan kepala ular itu.

Ajian penguat raga telah dibacakan di tubuh Wanasura sehingga sebuah serangan besar dilancarkan sekuat tenaga ke tubuh dewi itu.
Sekali lagi pemandangan mengerikan terjadi.

Wanasura dengan buasnya memisahkan tubuh ular dan tubuh ularnya hingga darah kembali membanjiri tanah di tempat ini.

“Naga tua brengsek! Jangan bilang kau kalah hanya dengan serangan remeh itu!” Protes Ki Ronggo Gupolo.

Namun kenyataanya serangan Buto Lireng memang terus memberondong Batara Naga.

Batara Naga berusaha menghindar dan terbang ke arahku. Ia mendekat ke arah Ki Ronggo Gupolo.

“Bagus, singkirkan manusia itu.. kita habisi mereka!” ucap Ki Ronggo Gupolo.

Batara Nagapun mengangkat tubuh Ki Ronggo Gupolo. Tapi...

Tapi bukan menolongnya, ia malah memakan tubuh Ki Ronggo Gupolo dan mengunyahnya seperti makanan kecil.

“Apa ini? Lepaskan aku naga brengsek!” ucap Dalang demit itu.

“Sudah! Aarrrhhggh!! Maafkan aku!!”

Batara Naga tidak peduli, ia tetap mengunyah tubuh Ki Ronggo Gupolo hingga habis dan menelanya.

Sungguh menjijikkan, akupun segera berlari mundur menjauh dari dirinya. Ada yang aneh, di tubuh Batara Naga muncul motif aneh yang menghiasi sisiknya.

Ada kekuatan besar yang menyelimutinya.

“Mundur Danan!” teriak Buto Lireng.

Akupun menurut, namun Batara Naga terlalu cepat, seketika pukulanya mendekat mencoba melumatku. Beruntung Buto Lireng berhasil menabraknya dan membuat pukulan Batara Naga meleset.

Sayangnya di tangan satunya sudah terdapat kabut hitam yang membungkus tanganya. Dengan sigab Batara Naga mengarahkan lenganya itu dan menembus perut Buto Lireng.

“M..Mbah!” Teriakku panik.

Sebuah lubang besar terbentuk di tubuh Buto Lireng dan membuatnya terkapar di tanah.

“Mbaaahhhh!”

Batara Naga melompat menuju Cahyo, dengan mudah Wanasura dan Wanasudra dihempaskan begitu saja.

Ia mengambil tubuh dewi ular itu dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Ki Ronggo Gupolo. Melumatnya hingga habis.

Aku merasakan kekuatan besar semakin mengalir dari tubuh Batara Naga. Kali ini muncul satu buah mata di dahinya. Entah bagaimana kami harus melawan sosok sekuat itu.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close