"Nona Kaniya tenanglah, nona akan aman selama dalam lingkaran ini."
"Aku harus segera ketempat sumber suara seruling tersebut, mungkin masih ada yang perlu diselamatkan."
"Baiklah Raden, tapi tolong segeralah kembali."
Jaka indi segera berlari ke arah depan, dan tiba-tiba Jaka Indi teringat akan mustika Tasbih Citra Ghaib yang dimilikinya, diambilnya Tasbih tersebut dari tas pinggang yang dibawanya, kemudian dikenakan dilehernya, sambil terus berlari maju ke depan, menuju sumber suara seruling itu. Di jalan tanah hutan Alas Purwa yang basah dan lembab, Jaka Indi menggunakan gaya berlari dengan cara melompat ketempat-tempat yang tinggi, dengan berpijak pada batu atau dahan pohon layaknya seekor capung. Setelah beberapa kali lompatan, dalam jarak kurang dari sepuluh tombak tampak seorang gadis muda berwajah pucat berpakaian semacam kimono warna ungu dengan motif kembang-kembang, duduk bersila sambil memainkan suling yang terbuat dari gading, Jaka Indi kemudian mengambil posisi ke sisi sebelah kanan gadis tersebut dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Lantas dengan keris kyai sengkelat, Jaka Indi membuat lingkaran kecil mengelilingi dirinya seraya membaca surah al-falaq. lalu duduk bersila menghadap kearah gadis yang meniup seruling itu. Gadis berseruling itu terlihat dalam keadaan lesu dan lemah keadaannya, seperti sedang sakit parah, walau tubuhnya sedikit kurus, dan wajahnya pucat, tapi tidak mengurangi kecantikan wajahnya, matanya tampak sayu, dan bibirnya sedikit gemetar saat meniup seruling gading ditangannya, dihadapan gadis itu terdapat cangkir kristal yang kosong.
Terlihat berbagai mahluk berbisa seperti berbaris rapi mengelilingi gadis itu dalam jarak satu meter. Dengan tangan telanjang diambilnya beberapa hewan berbisa yang ada di hadapannya, dua kelabang warna ungu terang, dua katak kecil warna merah menyala, satu ular yang kepalanya segitiga warna hijau paspor, yang ukurannya sepanjang satu meter, tiga kalajengking dengan ekor kemerahan, semua satu persatu diambil racunnya dengan cara ditekankan kepalanya atau ekornya ke bibir cangkir untuk mengeluarkan racunnya. Setelah cangkir hampir penuh terisi oleh racun, mulailah gadis itu meminumnya. Secara perlahan wajah gadis itu berubah menjadi cerah, tubuhnya mulai terlihat segar dan bergairah, sorot matanya tampak mencorong tajam. Gadis itu kembali mengambil suling gadingnya dan meniupnya dengan nada tertentu. Semua binatang berbisa secara bertahap segera membubarkan diri menuju setiap sudut dan pelosok Alas Purwa ,hingga keadaan sekitar gadis itu tampak lapang dan bersih seperti semula. Selanjutnya gadis itu berkata.,
"Keluarlah dari persembunyianmu, aku tahu kau telah bersembunyi di sana sejak awal."
"Jaka indi merasa tercengang, apakah ia tahu persembunyianku, bukankah aku saat ini pakai mustika tasbih citra ghaib dan bukankah aku sedang tidak bisa terliha! ??"
"Kalau kau tak juga keluar, aku tidak akan mengampuni mu." Ucap gadis itu. Kemudian ia mulai meletakkan suling dibibir merahnya, dan meniup sulingnya dengan irama panjang mendayu-dayu.., membuat yang mendengar seolah berada di suatu alam impian dan fantasi ingin berbuat sebebasnya dan suara suling itu ternyata dapat membangkitkan birahi, yang sulit dikendalikan, tapi sekalipun demikian Jaka Indi masih dapat berpikir jernih, karena ia telah memasang perisai ghaib.
Sekonyong-konyong melayang turun sosok manusia berbadan kekar yang wajah serta tubuhnya ditumbuhi banyak bulu lebat menyerupai kera, wajahnya tampak menyeringai buas, matanya merah membara,. penuh diliputi hawa nafsu birahi, nafasnya memburu deras, sebuah gada ditangannya dilemparnya kesamping begitu saja, baju yang dikenakannya satu persatu dibuka dan dirobeknya seperti sedang merasa kepanasan.
"Bukankah itu salah satu pengawal Pangeran Abhinaya ?" Bathin Jaka Indi merasa heran.
Pengawal Pangeran Abhinaya seketika melompat menerkam tubuh gadis tersebut dan melucuti pakaian gadis itu dengan kasar dan penuh nafsu. Si gadis hanya tersenyum dan pasrah diperlakukan apa saja.
Jaka Indi menundukkan pandangannya, sebab ia tahu pada saat demikian tidak melihat akan jauh lebih baik daripada melihat. Saat jaka indi memutar badannya dan bersiap akan meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang singkat dan menusuk telinga. membuat Jaka Indi berpaling melihat kearah semula. Tampak tubuh pengawal Pangeran Abhinaya, yang sedang menindih tubuh gadis yang sudah dalam keadaan tidak berbusana, perlahan mulai mengkerut dan menyusut serta mengering, menyisakan kulit membungkus tulang. Gadis yang tertindih itu mengibas dengan salah satu lengannya, "Sungguh lelaki tak berguna," Jengeknya mencemooh. Hingga mayat kering itu terlempar ke semak hutan yang tak jauh dari sisinya. Jaka Indi merasa tubuh sendiri mulai lemas dan hampir-hampir tidak sanggup berdiri lagi. "Mungkinkah gadis itu adalah dia ?" Renung Jaka Indi.
Jaka Indi melompat menjauh dan berlari secepatnya kearah semula ia datang, Sesampainya ditempat Kaniya, tertampak Kaniya yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Lalu dilepasnya mustika tasbih citra ghaib yang dikalungkan dilehernya dan dimasukkannya dalam tas pinggangnya. Kemudian Jaka Indi cepat membopong Kaniya, dan berlari menuju lokasi kereta kudanya berada. Kedua prajurit pengawal Jaka Indi ditemukan dalam keadaan duduk mendeprok ditanah. Pengawal wanita yang bertubuh tegap, malah terlihat sebagian celananya basah, sedang pengawal wanita yang satunya tampak menggigil gemetar ketakutan.
"Hai.., ada apa dengan kalian..! Cepat kita menuju ke paviliun Kaputren,, Ada yang perlu bantuan pertolongan segera." Ujar Jaka indi dalam keadaan masih membopong Kaniya dan langsung masuk kedalam kereta.
Dengan gugup dan kaki masih gemetar, kedua prajurit pengawal naik ke depan kereta dan memacu kereta kearah paviliun Kaputren.
"Tuan Raden, maafkan kami.." Ucap salah satu prajurit pengawal wanita yang bertubuh tegap.
"Tadi kami melihat banyak sekali ular dan makhluk melata berbisa yang lewat didekat kami, lewat diluar lingkaran yang Raden buat, bukan hanya satu atau dua, tapi ribuan hewan melata yang berbisa. Raden, sungguh saya tidak merasa takut dengan pertempuran seberat apapun, tapi kalau ular, kecoak, kelabang dan kalajengking, apalagi jumlahnya ribuan, Iiichhh...!" Sungguh sangat menjijikan dan menakutkan, sampai-sampai saya pipis di celana sangking ngerinya.
"Aaiiih., sudahlah lupakanlah..." Seru Jaka Indi dengan sikap prihatin.
Di dalam kereta kencana. Jaka Indi membaringkan kepala Kaniya di pangkuannya, dan mencoba menyadarkan dengan menepuk pipinya perlahan, "Nona,, nona... bangunlah."
Selang berapa lama, mendadak kereta kuda berhenti. Hampir pada saat yang sama Kaniya juga mendusin dari sadarnya, Jaka Indi menyingkap tirai kereta, didengarnya prajurit pengawal berseru, "Tuan Raden kita sudah sampai."
Jaka Indi lantas membantu Kaniya turun dari kereta, Kejut dan girang Kaniya tak terkatakan, mendapatkan dirinya telah sampai dengan selamat di paviliun Kaputren,, tapi sebelum dia sempat mengucapkan terima kasih, tahu-tahu Jaka Indi sudah melangkah pergi dengan cepat masuk kedalam kereta,
"Langsung jalan ketempat peristirahatan paviliun Kaputran, dan setelah ini, kalian istirahatlah, seterusnya tidak perlu lagi mengawalku, aku nanti yang akan menjelaskan pada Panglima Dewi Salasika, Jelas Jaka Indi."
Waktu pada jam pasir yang ada pada kabin kereta telah menunjukan jam 01.12 dini hari, dan pada jam 01,25 Jaka Indi telah sampai di kamarnya.
Sungguh terkejut Jaka indi saat masuk kedalam kamar mendapati Dewi Yuna yang lelap tertidur di-pembaringannya. Jaka Indi terdiam beberapa saat memperhatikan Dewi Yuna yang sedang tertidur. Pada waktu tidur Dewi Yuna tampak terlebih cantik daripada waktu sadar, wajahnya terlihat polos dan lembut, bulu matanya yang lentik panjang menutupi pelupuk matanya, dadanya yang bernas tampak bergerak naik turun perlahan dibalik daster merah jambunya yang tipis, mengikuti irama nafasnya, mukanya bersemu merah bagai bunga yang sedang mekar. Jaka indi memandangnya dengan terkesima.
Jaka Indi terpana dan termanggu beberapa saat. Lalu menghela nafasnya dan mengalihkan pandangannya dari Dewi Yuna.
Terlihat dua mangkuk bubur sarang burung walet tersaji dimeja. "Aaiihh, sungguh gadis yang baik.."
Langsung disantapnya dua mangkuk bubur sarang burung walet yang mulai dingin dan dihabiskannya air kelapa muda, yang ada. Maklumlah Jaka Indi benar-benar kehabisan tenaga, letih dan merasa sangat lapar..
Jaka Indi mulai bersandar di kursi dengan perasaan lega, sepasang kakinya dijulurkan lurus ke depan untuk menghilangkan rasa penatnya.
Kemudian Jaka indi bangun berdiri menatap Dewi Yuna yang masih lelap tertidur, diambilnya sebuah selimut dari lemari pakaiannya yang kemudian dibentangkan untuk menyelimuti tubuh Dewi Yuna. Mendadak Dewi Yuna bersuara lirih dan mendusin terjaga, melihat Jaka Indi sedang berdiri menatapnya. Dewi Yuna langsung menubruk ke dalam pelukan Jaka indi.
Angin mendesir di luar jendela, pelita di atas meja bergoyang mengikuti hembusan angin.Tubuh Dewi Yuna terasa sedemikian lunak dan halus, begitu hangat dan terasa gemetar. kemudian terdengar keluhan perlahan.
Jantung Jaka Indi terasa berdetak dengan keras. Selama hidupnya belum pernah merasakan kehangatan demikian, butiran keringat mulai tampak menghiasi kening Jaka Indi, saking terbawa gairahnya ia pun merasa gemetar. Inilah untuk pertama kalinya, nafsu birahi yang terpendam segera akan meledak dalam sekejap .Entah sejak kapan mereka sudah berbaring di tempat tidur.
Lazimnya Jaka indi adalah seorang yang paling dapat mengendalikan diri dan perasaannya, tapi saat ini yang ada di pelukannya adalah wanita paling cantik dan paling mempesona yang juga istrinya. Sekarang ia merasa tidak tahan lagi.
Dalam keadaan demikian, memangnya pemuda mana yang bisa tahan?
Tangan Jaka indi mulai menggerayangi tubuh Dewi Yuna, terutama pada sepasang bukit kembar yang padat dan kenyal, lalu membuka pakaian Dewi Yuna. Tampak tubuh putih bersih dan mulus Dewi Yuna, dadanya yang padat berisi, serta lekukan tubuhnya yang sempurna, terpampang jelas dihadapan Jaka Indi.
Saat dada beradu dada, Jaka Indi dapat merasakan detak Jantung Dewi Yuna yang semakin keras, Seketika Jaka indi seperti telah berubah menjadi tak terkendali dibawah pengaruh nafsunya. Tapi pada saat terakhir itulah mendadak Jaka Indi seperti teringat sesuatu, yang membuatnya kaget dan seketika menyentak tubuh Dewi Yuna. Keruan Dewi Yuna dibuatnya terheran dan melenggong.. Lalu didengarnya Jaka Indi bergumam dengan suara gemetar, "Ti..ti..tidak... tidak boleh... untuk saat ini tidak boleh berbuat begini, ini belum waktunya.."
"Raden.. ada apakah ? Apa Raden baik-baik saja?"
Nafsu birahi yang menguasai Jaka Indi perlahan mulai mereda dan dapat dikendalikannya.
"Iya aku baik saja.. aku tidak apa-apa...." Sambil mengambil selimut dan menutupi tubuh polos Dewi Yuna.
"Tidurlah.. bisiknya lembut pada Dewi Yuna. Bukankah engkau belum lama kembali dari perjalananmu yang panjang, dan besok masih harus berkeliling menemaniku melihat keadaan negeri ini. Seraya Jaka indi mengubah posisi badannya, menjadi rebah terlentang menghadap langit-langit dan mulai memejamkan matanya. Dewi Yuna masih melenggong dan termangu atas sikap Jaka Indi. Melihat suaminya yang awalnya tampak diliputi gairah, tiba-tiba berbaring memejamkan mata, dan mulai tertidur, dalam hatinya, "Sungguh aku tidak memahami sifat manusia."
Dipan tempat tidur tersebut sebenarnya cukup lapang bila dipakai tidur sendirian, tapi terasa sempit bila dua orang tidur bersama, Dewi Yuna tidur saling bersentuhan lengan dengan Jaka Indi, ia merasakan tubuh suaminya yang menggigil kedinginan. Dipeluknya suaminya dan di rebahkannya kepalanya di atas dada Jaka indi, perlahan Dewi Yuna mulai lelap tertidur..
Jaka Indi sesungguhnya hanya berpura tidur, bukan sungguh telah tertidur, ia dapat merasakan tubuh halus licin dan dada lembut Dewi Yuna yang bersandar di atas tubuhnya, bahkan alunan nafas istrinya juga dapat dirasakan Jaka indi.
Saat ini Jaka Indi sedang dalam keadaan gundah dan masygul. Seorang lelaki muda sehat dan normal, jika dipeluk istri secantik ini, tapi pada waktu dia menginginkannya, justru apa boleh buat, harus sebisa mungkin menahan diri, tentu saja membuat dirinya tersiksa dan hatinya kesal tak keruan. Terbayang oleh Jaka indi bagaimana tubuh pengawal pangeran Abhinaya yang mengkerut dan menyusut, setelah "berhubungan badan" dengan gadis peniup seruling. Mengingat hal itu hatinya bergidik dan seketika menjadi kecut.
"Aku harus bersabar.." Pikir jaka Indi, sambil merenungkan keadaan yang dialaminya. Rambut halus Dewi Yuna dibelai lembut oleh sebelah tangan Jaka Indi. Andai tak teringat banyak hal yang masih harus dilakukan, rasanya Jaka indi tidak mau ambil pusing atas kemungkinan resiko kematian yang diterimanya.
Memeluk dan membelai rambut istrinya, membuat hati jaka Indi perlahan mulai merasa tentram,, perlahan rasa kantuk mulai menguasainya hingga membawa dirinya tertidur lelap.
[BERSAMBUNG]