Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANTET MALAM SATU SURO (Part 1) - JAGAT PETENG


(Kisah Kelam Sumerep)
Ini merupakan sebuah cerita yang mengisahkan tentang Sumerep yang merupakan dalang dibalik Santet malam satu suro yang menewaskan banyak orang.

*****
JEJAKMISTERI - Jawa Tengah, Akhir tahun 1954 (26 tahun yang lalu, beberapa bulan sebelum terjadinya santet malam satu suro)

"Wati, kowe kudu kawin karo sing jenenge Surip. Wong wedok koyo kowe ra pantes ngulur-ngulur waktu," (Wati, kamu harus menikah dengan yang namanya Surip. Perempuan seperti kamu tidak pantas mengulur-ngulur waktu) Ucap Bu Asih (Ibu Wati)

"Buk e, aku pingin kawin kalau hatiku sudah benar-benar mantap. Sampai saat ini, aku belum bisa pergi dari genggaman Sumerep," Jawab Wati

"Kamu? Menyukai Sumerep? Sejak kapan?" Teriak Ibu Asih

Wati terdiam. Dia tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri yang selama ini menyukai seorang pria yang dicap jelek oleh keluarganya.

Sumerep namanya. Kedua orang tuanya bertindak sebagai dukun di desanya. Tanpa banyak alasan, para warga menjauhi keluarga Sumerep.

Salah satu hal yang mendasari bahwa warga tidak menyukai keluarga Sumerep adalah karena mereka tergolong orang-orang yang telah musyrik terhadap ajaran agama dan melawan norma alam yang berlaku.

"Ora! Aku ora sudi yen awakmu kawin karo Sumerep. Pingin dadi opo anakmu, hah? Pikir! Due utek digunakake!" (Tidak! Aku tidak sudi kalau kamu menikah dengan Sumerep. Mau jadi apa anakmu, hah? Pikir! Punya otak digunakan!)
Teriak Bu Asih kepada Wati.

"Bu, tolong jangan paksakan hatiku untuk mencintai orang yang tidak aku cintai, bu. Aku punya pilihan sendiri. Apakah karena keluarga Sumerep adalah keluarga yang terpandang jelek jadi ibu tidak mengizinkan aku menikah dengannya?" Tanya Wati

"Kamu tahu, keluarga mereka adalah keluarga yang bersekutu dengan Iblis! Jika suatu saat kalian menikah dan melahirkan seorang anak, maka anak itu akan menjadi benih Iblis yang akan menghancurkan desa ini!" Jelas Bu Asih

"Bu, ra elok ngomong koyo kuwi!" (Bu, tidak baik bicara seperti itu!) Ucap Wati

Bu Asih terdiam. Dia memalingkan mukanya dari pandangan Wati.
"Bu, ibu marah kepada Wati?" Tanya Wati

"Kamu tahu Wati. Kita adalah keluarga terpandang di desa ini. Jangan sampai kamu nodai keluarga ini gara-gara urusan cinta busukmu itu!" Ucap Bu Asih sambil menatap tajam Wati

Bu Asih selalu tegas terhadap pegangan dari turun temurun keluarganya. Dia percaya bahwa, jika ada satu trah (keturunan) yang bukan berasal dari keluarga terpandang, maka trah (keturunan) berikutnya akan menjadi sengsara.

Dalam tradisinya juga seperti masih mengkasta-kastakan seseorang. Mereka yang terlahir dengan keluarga yang berprofesi buruk, maka akan menjadi sebuah sorotan dan pengecualian untuk bergabung bersamanya apalagi menikahi salah satu keluarganya.

Dunia hitam dan gelap seperti ini telah merasuki setiap manusia yang menginginkan kesempurnaan tanpa tahu bahwa sejatinya kekurangannya adalah bentuk dari kenyataan yang nyata.

Bu Asih meninggalkan Wati seorang diri di kamarnya. perasaan Wati hancur berantakan ketika sang ibu telah melarang penuh akan maksud keinginannya.

Setelah Bu Asih keluar, masuklah Pak Mukso (Bapak Wati). kedatangan Pak Mukso membuat Wati lega, karena bapaknyalah yang mengerti akan perasaannya.

''Nduk, carilah laki-laki yang bisa membuatmu bahagia'' Ucap Pak Mukso

''Wati hanya ingin menikah dengan Sumerep, pak. Wati tak pernah melihat sisi jelek seseorang atau profesi orang tuanya. Jika bapak berada di posisi Wati, mungkinkah bapak akan menerimanya?'' Tanya Wati

''Memang benar. Terkadang cinta mengalahkan sisi negatif seseorang, namun bagaimana jika seseorang yang kamu cintai adalah orang yang salah dan membuat kehancuran dalam dirimu sendiri?'' Tanya Pak Mukso

''Naluri terbesar manusia itu berada dalam hatinya, pak. Akal hanyalah pembatas bagi perasaan dan emosi seseorang,'' Ucap Wati

''Sebenarnya, ada sesuatu yang tidak kamu ketahui tentang Sumerep itu, nduk,'' Ucap Pak Mukso

Wati memandangi wajah bapaknya dengan tajam, seakan-akan ada satu atau dua kalimat yang membuatnya paham akan larangan dari ibunya mengenai perasaan salahnya itu.

''Apa itu pak?'' Tanya Wati

''Keluarga Sumerep dikenal dengan keluarga yang sering melakukan JAGAT PETENG" (Dunia Gelap/Hitam) Ucap Pak Mukso

''Jagat peteng?'' Tanya Wati

''Sejenis ilmu hitam yang membawa pasukan iblis untuk menyerang orang-orang,'' Jelas Pak Mukso

''Pak, mana mungkin keluarga Sumerep membunuh orang. Tidak semua dukun itu jahat, pak. Mereka juga mempunyai naluri cinta dan kasih sayang terhadap sesama,'' Ucap Wati

''Lalu bagaimana jika yang munculnya adalah sebuah dendam yang mengerogoti naluri manusianya?'' Tanya Pak Mukso

''Dendam?''

Wati terdiam. dia paham akan maksud dari perkataan Bapaknya. setiap manusia yang mempunyai naluri cinta dan kasih sayang dia juga pasti mempunyai naluri dendam jika hal yang diinginkannya tidak sesuai dengan apa yang terjadi.

''Dendam adalah musuh utamanya!''

Pak Mukso mengelus-ngelus rambut Wati dengan penuh kasih sayang. Dia tidak mau Wati merasakan sesuatu yang mengerikan ketika berurusan dengan orang yang sangat ditakuti itu.

''Percayalah, kamu akan paham apa maksud dari Ibu yang nasehatkan kepadamu,'' Senyum Pak Mukso

Wati hanya mengangguk paham. Dia sempat ingin menyangkal mengenai pernyataan dari keluarga sumerep. Namun nyalinya menciut ketika yang diajak bicara adalah orang tuanya sendiri.

Malam kelabu, Wati masih menunggu kepastian hatinya untuk menerima orang baru dalam hatinya.

Dia adalah Surip. Pria yang beruntung karena dilahirkan dari keluarga yang mampu dengan jabatan yang lumayan disegani di tempatnya.

Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi juga tidak pendek, di bawah matanya terdapat tahi lalat. lalu, hal yang unik dari Surip adalah keberadaan lesung pipi yang banyak memikat para wanita di desanya. namun tidak bagi Wati. dia adalah tipikal orang yang tidak melihat fisik.

Wati lebih menyukai pria yang kalem dan bersahaja seperti Sumerep. berbeda dengan Surip, Sumerep sangat sederhana.

Keesokan harinya, Bu Asih mengundang Surip beserta keluarga untuk mendatangi rumahnya. Mereka dijamu dengan aneka makanan tradisional, juga minum-minuman yang masih sangat sederhana sekali.

Wati tida ingin keluar kamar kala itu. Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa Ibunya benar-benar akan menjodohkannya dengan Surip.

''Watine pundi, bu?'' (Watinya mana, bu?) Tanya Surip

''Eh, bentar ya dik Surip. mungkin dia malu ketika bertemu dengan orang baru seperti dik surip,'' Senyum Bu Asih

*******

Wanita berparas jawa itu segera memanggil Wati yang sedang berada di dalam kamar.
"Nduk, ayo metu!" (Nak, ayo keluar!) Tegas Bu Asih

Wati masih memegangi kedua tangannya sambil meneteskan air mata, jika bukan karena orang tuanya, mungkin Wati sudah lari dari rumah.

"Mangke bu, sekedap malih" (Nanti bu, sebentar lagi) Ucap Wati dari dalam kamar.

Bu Asih kembali menuju ruang tamu dan menemui Surip yang sudah menunggu Wati sedari tadi.

"Sebentar lagi Wati akan datang, dik. Monggo diminum dulu," Senyum Bu Asih

"Nggeh bu." Jawab Surip

Mereka pun mulai membahas pernikahan yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Bu Asih dan Pak Mukso berpendapat bahwa pernikahan mereka dilaksanakan sesuai adat jawa.

Hal ini ditujukan agar kedua mempelai memperoleh kelanggengan dan kesejahteraan. Setelah disepakati, mereka pun meminta hari untuk pernikahan jatuh di antara weton keduanya.

Weton keduanya yang dianggap cocok, maka disepakatilah hari selasa pahing di bulan ketiga.

"Wati ta'sih lami nggeh bu?" (Wati masih lama ya bu?) Tanya Surip

Baru saja Surip mengatakan itu, Wati datang dengan mengenakan kebaya dan menyanggul rambut yang tampak Ayu.

"Itu nak, Wati anakku." Ucap Bu Asih

Surip terkesima dengan kecantikan Wati yang begitu mempesona.

Baru kali ini, kembang desa yang dikatakan oleh para warga ternyata benar. Surip benar-benar terhipnotis dengan tatapan Wati yang memandanginya walau hanya sebentar.

"Bagaimana nak? Ayu toh?" Canda Pak Mukso

Surip tersenyum sambil memandangi wajah Wati.

"Pernikahan kalian akan diadakan secara adat jawa. Sesuai dengan adat yang berlaku, kedua pengantin dilarang keluar rumah sampai hari pernikahan itu tiba." Jelas Pak Mukso

Orang dulu percaya, bahwa ketika kedua calon pengantin ingin menikah dan keluar rumah maka akan ada sesuatu

Yang bisa membahayakan bagi keduanya.

Setelah mereka membahas semua presepsi pernikahan beserta dengan konsepnya, Wati langsung teringat dengan sosok Sumerep.

Dia tahu bahwa tindakan ini menyakiti hati Sumerep namun karena kedua orang tuanyalah pernikahan ini tetap berjalan.

Usai sudah pertemuan antara keduanya. Tinggal menunggu hari-hari dimana mereka akan bertemu. Mereka akan menjalankan tugas sebagai pasangan suami isteri yang mengisi satu sama lain.

Pak Mukso dan Bu Asih tidak mengetahui dilema apa yang sedang dirasakan oleh Wati saat itu. Mereka berdua hanya mengira bahwa Wati menyetujui pernikahannya dengan Surip.

Namun, bagaimana jadinya jika hati Wati masih merindukan seseorang yang dicintainya?

Hari-hari berlalu Wati hanya berada di kamar sambil menatap cermin miliknya. Air matanya terus berjatuhan merindukan sosok pria yang telah mencuri hatinya dan enggan mengungkapkannya karena adanya batasan diantara keduanya.

Kedua orang tua Wati tidak menerima secara ikhlas kilas balik masa lalu orang tua Sumerep yaitu Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih Dewi Sari yang merupakan dua dukun yang memiliki santet mematikan.

Santet tersebut bisa menyiksa bahkan membunuh korbannya dengan perlahan namun menyakitkan.

Santet itu bernama, SANTET GETIH SEWU Dan SANTET BALUNG MAYIT.

Santet ini merupakan santet yang banyak ditemui namun jarang diketahui untuk zaman millenial sekarang.

"Tok! Tok! Tok!" Suara ketukan pintu dari luar kamar Wati. Pak Mukso dan Bu Asih nampak kasihan dengan Wati yang selalu berada di kamar.

"Sekedap, bu." (Sebentar, bu) Wati membukakan pintunya dan mendapati kedua orang tuanya sedang berdiri sambil memasang wajah memelas.

"Nduk, kamu harus tahu ini," Ucap Pak Mukso

"Tahu apa, pak?" Tanya Wati

"Tentang ilmu kanuragan kedua orang tua Sumerep, yaitu Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih." Jawab Pak Mukso

Pak Mukso dan Bu Asih mengarahkan Wati menuju ruang tamu. Mereka akan menjelaskan secara detail tentang siapa itu "Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih" yang ditakuti di desanya tersebut.

"Ada apa dengan kedua orang tua Sumerep, pak?" Tanya Wati

"Kamu tahu, alasan utama mengapa kami berdua tidak menyetujui menikahi Sumerep?" Tanya Bu Asih

"Karena Sumerep anak dukun, kan?" Jawab Wati

Pak Mukso dan Bu Asih saling memandang. Keduanya benar-benar tak habis pikir bahwa Wati spontan menjawab pertanyaan mereka dengan cepat.

"Bukan hanya itu. Dukun juga ada yang bekerja demi kebaikan, namun tidak dengan kedua orang tua Sumerep," Jelas Bu Asih

Wati hanya terdiam sambil memainkan jari-jemarinya. Wajahnya tertunduk lesu, dia tampak tak bersemangat menjalani hari-hari berikutnya.

Apalagi dia akan menikah dengan Surip. Orang yang baru dikenalnya baru-baru ini.

"Sudah, nduk. Lupakan Sumerep. Dia tidak layak denganmu," Wati terkejut mendengar jawaban ibunya yang tidak mengetahui sedikitpun dilema hati yang sedang ia rasakan.

"Maksud ibumu, Sumerep bukan menantu yang kita harapkan. Karena kedua orang tuanya adalah pembunuh tanpa menyentuh paling berbahaya di desa bahkan daerah ini!"

"Kenapa bapak dan ibu begitu egois? Kenapa bapak dan ibu tidak pernah sedikitpun mengetahui isi hati Wati? Wati capek, bu! Wati ingin bebas! Ingin memilih suami yang sesuai dengan hati Wati!" Teriak Wati sambil menangis

"Nduk, bukan itu maksud ibu..." Ucap Bu Asih

"Wati capek, bu... Capek!" Ucap Wati

"Kamu belum mengenal secara dalam mengenai kedua orang tua Sumerep, nak. Mereka berdua pernah terlibat dalam kasus santet yang membahayakan. Bahkan, hampir semua orang desa mengetahui santet tersebut!" Jelas Pak Mukso

Wati perlahan memandangi wajah bapaknya sambil membuka kedua tangannya yang masih menutupi air matanya.

"Ada dua jenis santet yang digunakan olehnya, santet yang pertama bisa menyiksa orang-orang yang dikehendakinya. Santet itu bernama SANTET GETIH SEWU!" Ucap Pak Mukso

Wati tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya itu.

"Kamu memang belum lahir, nduk. Namun penderitaan itu masih terasa hingga banyak dari warga sini memilih keluar kota untuk lari. Namun santet yang tipe kedua lebih berbahaya lagi...

...Santet itu bernama SANTET BALUNG MAYIT. Santet ini bisa mengejar orang yang dikehendakinya sampai meninggal. Bahkan dengar-dengar dari tuturan para warga yang memiliki saudara korban dari santet ini, mereka tidak ada cara lain selain membunuh dirinya sendiri!" Jelas Pak Mukso

Hati Wati terenyuh mendengar penjelasan santet yang dimiliki oleh kedua orang tua Sumerep tersebut.

"Berarti, Sumerep juga mempelajari itu?" Tanya Wati

"Sudah pasti, nak!" Jawab Bu Asih

Hati Wati mulai bimbang. Dia tidak menyangka bahwa Sumerep juga mempelajari santet tersebut

"Jadi kamu paham kan alasan kami berdua menjodohkanmu dengan Surip?" Tanya Bu Asih

"Paham bu. Maafkan Wati yang berprasangka buruk kepada ibu dan bapak," Ucap Wati

"Iya nak. Kami paham kok dengan isi hatimu, sekarang, istirahatlah." Senyum Bu Asih

Wati kembali menuju kamarnya. Dia memang sudah seharusnya untuk melupakan Sumerep.

Pak Mukso dan Bu Asih tampak lega ketika melihat anak semata wayangnya tegar kembali.

Berita tentang pernikahan Wati dengan Surip pun terdengar di telinga Sumerep.

Sumerep merasa sakit hati. Dia pun menghadap kepada kedua orang tuanya dengan hati yang terluka, sambil menundukkan kepala dan badannya, Sumerep berbicara empat mata kepada keduanya

"Bu, pak...
"Kenapa, nak?"Tanya Ki Mergosukmo

"Aku ingin berbicara sebentar" Ucap Sumerep sambil meneteskan air mata. Dia teringat hajat yang akan dilakukan oleh Wati di beberapa hari ke depan.

"Wati akan menikah kan?" Tanya Nyi Kasih

"Kok ibu tahu?" Tanya Sumerep

"Seluruh warga desa geger dengan berita tersebut, apakah kamu menyukai Wati?" Tanya Nyi Kasih (Ibunya)

"Iya, bu. Aku mencintainya," jelas Sumerep

"Kamu tidak boleh menikah dengannya," Ucap Ki Mergosukmo (bapaknya)

"Ke-kenapa pak?" Tanya Sumerep

"Mereka memiliki pantangan yang bisa membunuh kita semua," Jelas Ki Mergosukmo

"Pantangan?" Tanya Sumerep

"Orang-orang Mukso sangat berbahaya." Jelas Ki Mergosukmo

"Tapi pak..." Potong Sumerep

"Kamu tahu? Mereka semua yang telah membuat kita terpojokkan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas profesi yang kita lakukan. Tapi orang-orang mereka sangat berbahaya, bahkan dengan kekuatanku saja belum tentu menghancurkan mereka!"

Sumerep terdiam, dia bahkan terharu mendengar ucapan bapaknya.

"Satu lagi, jangan kau dekati Wati. Karena, jika orang-orang tahu, kamu akan dihakimi oleh para warga!" Jelas Ki Mergosukmo

"Nak, kita adalah dukun. Kamu tahu kan? Dukun selalu dipandang jelek oleh masyarakat!"

Nyi Kasih dan Ki Mergosukmo selalu terbuka terkait apa yang dilakukannya terhadap Sumerep.

"Ba-baik, pak, bu." Ucap Sumerep sambil undur pamit

Sumerep pun meyakini bahwa pandangan kedua orang tuanya terhadap orang tua Wati salah, begitu juga kedua orang tua Wati.

Pandangan terhadap kedua orang tuanya juga salah. Karena mereka belum bertemu dan belum saling kenal jauh.

Inilah yang membuat keduanya saling menjelek-jelekkan satu sama lain.

Sumerep pun berkeinginan untuk memberitahukan hal ini kepada Wati agar Wati bisa memahami maksudnya

***
-Satu hari sebelum pernikahan Wati-
***

Para warga saling bahu membahu untuk membantu pesta pernikahan Wati dan Surip yang akan dilakukan selama 7 hari 7 malam.

Pesta pernikahan itu sangat istimewa. Dengan adat jawa dan para orang-orang penting yang menjadi tamu utama.

"Wati, tolong ambilkan teh di dapur," Ucap Bu Asih

"Nggeh, bu." Wati pun segera menuju dapur. Tamu di depan rumahnya sudah berdatangan secara bergantian.

Ketika Wati ingin menyiapkan teh untuk para tamu, dia mendengar suara ketukan pintu dari pintu belakang dekat dapur.

"Tok! Tok! Tok!"

Wati pun curiga dengan suara ketukan itu. Karena tidak ada satupun tamu yang mengetahui mengenai pintu belakang rumahnya,

"Siapa ya?" Tanya Wati

Suara ketukan pintu itu semakin terdengar dengan jelas.

"Tok! Tok! Tok!"

Wati membuka secara perlahan pintu itu, dia terkejut, ketika orang yang mengetuk pintunya adalah SUMEREP!

"Mas Sumerep?"

"Wati,"

"Mas sedang apa?"

"Bagaimana kabarmu, Wati?"

"Mas, tolong pergi dari sini sebelum orang tuaku tahu!"

"Tidak, Wati! Aku tidak akan pergi!"

"Mas, tolong. Aku tidak ingin ada hal yang membahayakan yang mengenai, mas. Tolong pergi dari sini!" Ucap Wati sambil memohon

Sumerep memegangi kedua tangan Wati.

"Aku akan pergi, asal kau ikut denganku!" Pinta Sumerep

"Ngga, mas. Gak bisa!"

"Kenapa?"

"Aku akan menikah!"

Dreg!

Jawaban itu seolah-olah merobek-robek hati Sumerep sekali lagi. Dadanya begitu sakit mendengar kata itu diucapkan oleh orang yang disukainya.

Sumerep berusaha tegar.
"Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu Wati,"
Jelas Sumerep

"Sampaikan sekarang mas! Sebelum kedua orang tuaku tahu!" Ucap Wati sambil menengok arah depan rumahnya. Dia mendengar suara teriakan Ibunya yang memanggil-manggil namanya sedari tadi.

"Kedua orang tua kita tidak memahami kita. Orang tuaku membenci orang tuamu dan sebaliknya!"

"Kita sama-sama ditakdirkan untuk mencintai, namun orang tua kita adalah batasan dari kita sendiri. Aku sadar, aku anak dukun, tapi apakah karena profesi orang tuaku cinta ini bisa kutahan?" Tanya Sumerep sambil meneteskan air mata, dia berharap Wati bisa terenyuh.

Tiba-tiba, Bu Asih datang..
"Wati kok lama ba... SUMEREP! Ngapain kamu megang-megang anakku? Wati lepaskan pegangan itu!" Teriak Bu Asih

Wati langsung melepaskan tangannya.

"Bu, sudah... Dia gak ngapa-ngapain kok,"

"Bapaaaak! Sini pak!"

Teriakan Bu Asih membuat Pak Mukso datang bersama dengan orang-orangnya,

"Ada apa bu?" Tanya Pak Mukso

"Lihat, pak! Anak dukun itu masih berani menginjakkan kaki di rumah kita!" Teriak Bu Asih

"Mulyo, bereskan Sumerep!" Pak Mukso menyuruh Mulyo untuk menghabisi Sumerep beserta para anak buahnya.

Sumerep segera kabur dari pandangan Wati. dia tidak heran jika Wati mengkhianati apa yang dulu pernah disepakatinya. Sumerep juga telah melanggar pantangan orang tuanya untuk tidak menemui Wati.

Pikir Sumerep, dengan bertemu Wati dia bisa mendapatkan apa yang dikehendakinya.

Namun, dia tidak sadar bahwa, Wati telah diracuni pikirannya oleh kedua orang tuanya untuk tidak mendekati Sumerep.

''Arep mlayu mendi kowe Sumerep!'' (Mau lari kemana kamu Sumerep!) Teriak Mulyo sambil membawa seluruh pasukannya

Sumerep meneteskan air mata lelahnya. Air mata penyesalan, sakit hati dan kecewa. Tidak disangka dalam dirinya bahwa Wati telah memilih Surip dibandingkan olehnya yang setia menunggu bahkan rela menjadi sampah masyarakat namun hatinya tetep sebersih mutiara di lautan lepas.

Dia terus berlari dan berteriak. Seluruh emosi jiwanya dia keluarkan dengan tidak memperdulikan orang lain lagi. Dia tidak percaya lagi apa itu cinta!.. yang dia tahu sekarang adalah

''Bahwa Cinta memiliki kasta. yang tinggi enggan mencari yang rendah!''

*****

Para suruhan Pak Mukso terus mengejar Sumerep yang dipimpin oleh Mulyo. Sumerep tak habis pikir bahwa perkataan dari orang tuanya benar-benar terjadi.

Naasnya, ketika Sumerep ingin menuju ke dekat rumahnya, dia tersandung sebuah batu dan terjatuh. Kaki kanannya terluka dan membengkak.

"Arghhhhh!"

Mulyo yang melihat Sumerep terjatuh langsung mengerahkan pasukannya untuk menghabiskan Sumerep.

Mereka menendangi tubuh, wajah, perut, kaki dan tangan Sumerep. Bahkan beberapa dari mereka yang melihat kaki Sumerep terluka enggan melewatkan hal itu. Kaki Sumerep dipukul berkali-kali dengan balok kayu hingga menyebabkan patah tulang.

Sumerep menangis sejadi-jadinya. Perkataan kasar yang dilontarkan oleh Mulyo serta bawahannya masih terngiang-ngiang dalam pikiran Sumerep.

"Anak Iblis! Anak dukun! Enyah kau dari pandangan kami, bajingan!" Teriak salah satu dari bawahan Mulyo

Darah segar mengucur secara bergantian di tiap tubuh Sumerep. Bersamaan dengan itu, hujan turun sebagai penenang kalbu Sumerep. Sekeras apapun orang-orang memukuli Sumerep, turunnya hujan membuat penderitaan Sumerep mengurang.

Tetesan hujan yang turun tanpa pandang bulu kemana dia akan mendarat mengartikan satu hal pada Sumerep. Dia tahu, manusia itu banyak macamnya. Ada yang layak dijadikan sebagai teman dan ada juga yang harus dihindari karena dia bisa menyakiti satu sama lain.

"Sudah hentikan, dia sudah tidak bisa apa-apa lagi! Dia akan mati sebentar lagi!" Ucap Mulyo kepada bawahannya

"Tapi? Bagaimana kalau dia ketahuan hidup oleh Pak Mukso?" Tanya bawahan Mulyo

"Tidak akan! Dia akan mati karena pendarahannya yang sangat banyak!" Ucap Mulyo

"Tinggalkan Dukun gadungan ini sekarang! Dia tak akan mampu bertahan lagi!" Jelas Mulyo

Sumerep masih memegangi perutnya yang terluka cukup parah, kaki kanannya sudah patah, beberapa gigi di mulutnya sudah tanggal.

Sumerep tergeletak lemah di bawah rintikan hujan yang menghujaninya terus menerus. Hujan itu seakan-akan membasuh luka-luka Sumerep yang dibuang oleh orang-orang Mukso.

Hatinya bergejolak marah, namun tubuhnya tak mampu mengerahkan seluruh emosinya secara dalam.

Dia benar-benar sudah mati harapan. Wanita yang dicintainya akan menikah, lalu dia juga dihabisi dengan kejam sampai tak bisa bergerak oleh orang-orang Mukso.

Bahkan, sekarang dia juga telah melanggar pantangan orang tuanya. Sumerep kala itu benar-benar merasa hina sekali.

Setelah orang-orang Mukso dibawah pimpinan Mulyo telah pergi meninggalkannya, tiba-tiba datanglah dua orang yang dikenalinya.

Kedua orang itu adalah, Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih.

"Bagaimana? Mereka lebih iblis daripada iblis, kan?" Tanya Ki Mergosukmo

"Pak... Bu..." Ucap Sumerep dengan wajah penuh darah

Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih membangungkan tubuh Sumerep.

"Getih kudu dibales getih!" (Darah harus dibalas darah!) Ucap Ki Mergosukmo

Sumerep dibawa ke rumahnya. Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih merencanakan penyerangan total!

Sedangkan di rumah Wati telah berdiri dengan tegap Pak Mukso dan Bu Asih yang menantikan kehadiran Mulyo serta bawahannya,

"Bagaimana keadaan Sumerep?" Tanya Pak Mukso

"Dia sekarat. Bisa dipastikan dia akan meninggal karena kehabisan darah!" Ucap Mulyo

Pak Mukso mendekati Mulyo dan membisiki sesuatu pada Mulyo.
"Jangan sampai kau bilang bahwa Sumerep sudah mati dihadapan Wati. Bilang saja bahwa Sumerep kabur melarikan diri! Paham?" Tanya Pak Mukso

"Nggeh, pak."

Pak Mukso mempersilahkan Mulyo untuk kembali berjaga-jaga.

Semenjak kejadian pengeroyokan Sumerep, keadaan sebelum pernikahan menjadi damai dan nyaman.

Wati juga tampak tak memperdulikan Sumerep karena dia yakin bahwa Sumerep benar-benar melarikan diri dari kejaran Mulyo dan bawahannya.

Hari pernikahan Wati dan Surip.

Acara waktu itu benar-benar sangat ramai. Surip tampak gagah rupawan seperti Arjuna. Sedangkan Wati cantik mempesona bagaikan Chitrangada dalam babat Mahabarata.

Keduanya sangat cocok untuk dijadikan pasangan suami isteri yang sah.

Di hari pernikahan Wati dan Surip, pandangan Pak Mukso tampak waspada melihat kanan-kiri dan depan belakang sekitarannya.

Dia takut bahwa ada serangan mendadak yang menyerang salah satu dari keluarganya atau bawahannya.

"Apa yang kau resahkan, pak?" Tanya Bu Asih

"Apakah Sumerep akan menyerang kita semua dalam kondisi seperti ini?" Tanya Pak Mukso

"Berpikirlah yang jernih, pak. Mulyo kan sudah menghabisi nyawa Sumerep. Tidak mungkin dia menyerang kita dengan santetnya." Ucap Bu Asih

Pak Mukso belum memberitahukan soal Sumerep terhadap isterinya, Bu Asih. Bahkan dalam hal segenting ini, dia masih merahasiakan fakta dibalik Sumerep.

"Semoga saja dia benar-benar tidak menyerang kita!" Ucap Pak Mukso sambil melemparkan puntungan rokoknya

Acara pernikahan tersebut berjalan hingga 7 hari 7 malam. Sangat mewah dan benar-benar istimewa.

Para warga desa menikmati setiap suguhan yang diberikan oleh kedua mempelai pengantin.

Mereka semua benar-benar dikucuri oleh anugerah dari pernikahan Surip dan Wati

Ki Mergosukmo menyiapkan berbagai perlengkapan untuk menyantet seluruh keluarga Pak Mukso.

"Hari dimana ketika Wati dan Surip ingin merasakan berbulan madu, dia akan merasakan neraka santet yang sebenarnya!" Ucap Ki Mergosukmo

Nyi Kasih berusaha menghilangkan setiap luka yang dimiliki oleh Sumerep, namun kaki kanannya memang sudah patah dan tak bisa disembuhkan.

"Santet Getih Sewu. Santet ini akan menyerang orang yang dimaksud dengan pendarahan organ dalam yang sangat mengerikan! Aku akan tunjukkan betapa mengerikannya santet ini!"

Pak Mukso menyembelih seekor ayak cemani. Lalu dia menaruh sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Mukso seperti tanah depan rumahnya di dalam sebuah wadah yang terlebih dahulu dipenuhi dengan getih (darah).

Hingga akhirnya, dia merapalkan sebuah mantra khusus untuk menyerang Surip yang akan dijadikan korban pertama.

Kenapa Surip? Karena, ketika Surip dulu yang dijadikan korban, maka semua keluarga akan merasakan kejutan yang hebat dari serangan mematikan ini.

Setelah usai acara besar-besaran di rumah Wati. Surip pun mengajak Wati untuk istirahat.

Pengantin baru yang baru selesai acaranya biasanya menaruh nafsu yang menggebu-gebu diantara keduanya.

Surip telah dulu membukakan baju dihadapan Wati. Dia memberikan sinyal kepada Wati untuk melayaninya,

"Kamu siap, Wati?" Senyum Surip

"Mas... Tapi kita baru selesai acara," Jawab Wati

"Aku kuat kok. Untuk melayanimu semalaman, aku akan kerahkan jiwa dan ragaku!" Ucap Surip

Wati tak bisa menolak ajakan tersebut. Namun dirinya merasa belum siap untuk digagahi oleh Surip. Entah karena pikirannya masih terpaku kepada Sumerep atau karena kelelahan.

Surip pun mencoba mendekati Wati dengan lebih dekat untuk merayunya dengan rayuan yang memikat.

"Mas, aku belum siap," Ucap Wati sambil memalingkan wajahnya

"Wati, tidak baik menolak ajakan suami" Jelas Surip

"Tapi aku kecapean mas," Ucap Wati

"Tidak lama Wati. Setidaknya nafsuku tersalurkan kepadamu" Jelas Surip

Wati terus dipaksa untuk berhubungan intim kepada Surip.

Ketika Surip telah menyentuh kedua pundak Wati, Wati merasa sangat risih dan memalingkan wajahnya terus menerus.

"Ayo Wati. Kita sudah halal untuk melakukan ini," Ucap Surip

"Tapi aku belum siap mas!"

Surip pun memaksa dan mendorong Wati, namun Wati masih terus menolak.

Hingga akhirnya, ketika bibirnya hampir menyentuh pipi Wati, kedua tangan Wati mendorong keras tubuh Surip hingga Surip terpental. Kepalanya menabrak lemari.

Di situlah keanehan terjadi. Surip berteriak kesakitan. Bukan karena kepalanya yang terbentur lemari tapi...

Seluruh tubuh Surip dipenuhi benjolan berwarna merah. Dia merasakan kegatalan yang benar-benar menyiksa

"Watiiiiii!" Teriak Surip sambil memegangi wajahnya yang penuh benjolan merah aneh itu

"Mas! Kenapa! Mas Surip!" Teriak Wati dengan wajah ketakutan

"Panas Wati! Panasss!"

Santet pertama yang dilayangkan oleh Ki Mergosukmo mengenai Surip. Santet Getih Sewu itu memberikan pendarahan yang membuat seluruh organ tubuh seperti terbakar dari dalam tubuh.

"Wati! Tolong akuuuuu!' Teriak Surip

Wati pun berlari keluar kamar. Dia memberitahu hal ini kepada Pak Mukso dan Bu Asih yang sedang berada di kamarnya.

"Pak! Bu! Mas Surip kena teluh!" Teriak Wati

Pak Mukso dan Bu Asih lantas menuju ke kamar Wati dan mereka sangat terkejut ketika melihat tubuh Surip sudah penuh dengan darah.

"SURIIIIIIIPPPPPP!" Teriak Pak Mukso

"BRUK!"

Surip terjatuh dengan darah yang mengucur deras. Wajahnya tidak berbentuk lagi, benjolan merah itu tampak nyata dan membuat Pak Mukso serta Bu Wati sangat ketakutan dibuatnya!

Surip meninggal dunia. Santet itu merenggut nyawa Surip dan menjadi catatan hitam bagi keluarga Wati yang diserang oleh Santet di malam dimana dia ingin merasakan kenikmatan dunia.

Wati menjerit sejadi-jadinya. Dia tak rela suaminya meninggal dunia.

*****

Tubuh Surip sudah tidak berbentuk lagi. Darah berceceran dimana-mana. Santet yang diarahkan kepada Surip membuat keluarga Pak Mukso panik dan kebingungan

"MASSSSSSSS!" Tangis Wati sambil meratapi kematian Surip yang sangat mengenaskan itu.

Pak Mukso dan Bu Asih berusaha untuk menenangkan Wati, namun Wati belum bisa menerima kepergian suaminya.

Wati memeluk tubuh Surip yang penuh darah itu dengan penuh penyesalan.

Tepat hari dimana dia akan merasakan kebahagiaan, seakan-akan dunia telah menghukumnya dengan kematian Surip, suami yang baru saja dia nikahi.

Kematian Surip ini membuat geger para warga. Mereka menilai bahwa keluarga Pak Mukso memiliki musuh yang sangat berbahaya.

Musuh itu adalah orang yang pernah disakiti oleh keluarga Pak Mukso sendiri. Perihal sakit hati ataupun sesuatu yang telah dirusak oleh Keluarga Pak Mukso merupakan satu pandangan yang didapati oleh para warga kala itu.

Akhirnya, untuk berjaga-jaga, Pak Mukso mengerahkan seluruh pasukannya untuk berjaga-jaga di tempat kediamannya.

Selain itu, mereka juga merencanakan sesuatu agar santet itu tidak bisa menyerang kembali.

"Kematian Surip bukanlah kematian yang biasa. Pihak keluarganya tidak menerima akan kematian yang sangat mengenaskan tersebut. Karena itu, kita harus berjaga-jaga. Jika ada orang yang mencurigakan mendekati rumah ini, segera habisi orang itu!" Ucap Pak Mukso dengan ultimatumnya.

Lain hal dengan itu.

Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih merawat luka Sumerep yang belum kunjung sembuh.

"Berapa korban lagi agar Sumerep bisa sembuh?" Tanya Nyi Kasih

"Setidaknya, 5 orang sudah cukup. Sisanya adalah peringatan terakhir!" Jelas Ki Mergosukmo

Sumerep masih terbujur kaku. Dia belum sepenuhnya sadar bahwa Surip telah menjadi korban dari santet getih sewu (santet darah 1000).

"Malam ini penjagaan di rumah Mukso sangat ketat. Hati-hati, jangan sampai ketahuan" Jelas Ki Mergosukmo.

Nyi Kasih mengangguk paham.

Ketika malam hari dimana para penjaga suruhan Pak Mukso mengambil alih penjagaan rumah, Nyi Kasih memasang sebuah buhul (tali santet) yang berguna untuk meneror seluruh penghuni rumah.

Lolosnya Nyi Kasih dari tatapan para penjaga yang kejam itu membuahkan hasil. Ketika buhul tersebut terpasang, muncullah dua sosok yang menakutkan. Sosok itu adalah gede duwur dan siluman monyet.

Bisa dikatakan, asal usul dari santet malam satu suro adalah perpaduan antara santet milik Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih. Dan Sumerep hanya memperkuat jangkauan dari santet itu sendiri.

"Mas, kok hawane ora penak yo?" (Mas, kok hawanya tidak enak ya?) Tanya bawahan Mulyo kepada temannya yang kebetulan sedang berjaga-jaga di bagian belakang rumah.

Nyi Kasih segera membacakan mantra dari balik pepohonan. Dia berhasil menyelinap masuk ke bagian belakang rumah untuk memasang buhul dan kembali dengan selamat tanpa diketahui oleh para penjaga bawahan Mulyo.

"Perihal kematian Surip, apakah kamu percaya bahwa itu karena santet?" Tanya orang itu pada temannya.

"Baru kali ini aku menyaksikan kematian yang sangat mengerikan sejak zaman penjajahan dulu. Apa santet itu masih berseliweran ya?" Tanya balik temannya.

"Aku pikir, ketika kita memukuli Sumerep, dia segera ditolong oleh kedua orang tuanya yaitu Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih. Sepertinya dalang dari perbuatan ini adalah mereka berdua."

Mereka saling membahas satu sama lain mengenai kematian misterius Surip.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul sosok gede duwur dengan tubuh yang sangat besar.

"Mas... Mas... Kuwi opo?" (Mas... Mas... Itu apa?)

Sosok gede duwur itu menyerang mereka dan melemparkan keduanya hingga kepalanya terbentur pepohonan jati di belakang rumah.

Dua penjaga itu pingsan di tempat. Sedangkan sosok Gede Duwur itu memasuki dalam rumah Pak Mukso lewat pintu belakang.

Keberadaan keluarga Pak Mukso yang sedang diujung ketakutan ditambah lagi dengan serangan dari Nyi Kasih membuat kekacauan makin parah.

Entah apa tujuan dari Nyi Kasih sendiri, namun yang dijadikan sebagai prioritas utamanya adalah Pak Mukso dan Bu Asih.

Mulyo yang kala itu sedang mengecek bagian belakang rumah, dia melihat pintu belakang terbuka dengan sendirinya.

"Loh, kok pintune kebuka?" (Loh, kok pintunya terbuka?) Ucap Pak Mulyo

Langkah kaki Mulyo sedikit diperlambat. Gerakannya seperti orang yang akan menyergap maling yang sudah ketahuan basah olehnya.

Semakin dia mendekati bagian belakang rumah, dia merasakan aura kematian yang sangat mengerikan. Suhu ruangan seketika menjadi dingin, angin bertiup kencang, barang-barang di dapur mulai berjatuhan.

Gemerlap bulan sudah tertutup awan gelap yang menambah kesan seram.

Ketika Mulyo hendak menengok ke arah kiri, sontak dia terkejut ketika melihat belasan para penjaga sudah terkapar tak berdaya. Ada yang mengeluarkan banyak darah dari mulutnya, ada juga yang sempat kejang-kejang bahkan ada yang sudah meninggal dunia.

"IKIH OPO??" (INI APA?)

Wusssh...
Sekelebat bayangan hitam langsung berdiri tegak di belakangnya. Suara auman persis serigala terdengar jelas di telinga Mulyo. Perlahan, pundaknya disentuh dan dia merasakan sesuatu yang keras dan tajam seperti silet.

Mulyo merasakan sesuatu yang tidak beres dari belakang tubuhnya. Dan benda yang memegangi pundaknya seolah-olah akan mencengkram kuat dan melemparkannya dengan cepat.

Ketika Mulyo membalikkan pandangannya ke arah belakang, dia terkejut bukan kepalang. Detak jantung Mulyo menjadi sangat kencang, seluruh tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin berjatuhan secara bergantian.

Sosok yang ditemui oleh Mulyo adalah SOSOK GEDE DUWUR,

"ARGHHHHHH!"

Diangkatnya tubuh Mulyo hingga dia tidak menjejakkan kakinya ke lantai rumah Pak Mukso lagi. Air liur dari gede duwur itu berjatuhan bak melihat mangsa yang siap untuk dilahap.

"AM... PPPUU...UUNNNNN" Ucap Mulyo dengan ketakutan.

Anehnya, ketika Mulyo mengucapkan hal itu, sosok Gede Duwur itu meletakkan tubuh Mulyo kembali. Mulyo selamat dari ancaman Gede Duwur itu.

Mulyo masih menatap sosok Gede Duwur itu dengan tatapan takut. Dia takut jika Gede Duwur itu benar-benar akan memangsanya.

Sosok Gede Duwur mundur ke arah kegelapan dan menghilang bersamaan dengan datangnya angin yang memasuki pintu belakang rumah Pak Mukso.

Mulyo hanya terdiam. Tubuhnya masih bergetar hebat. Dia masih ketakutan ketika tubuhnya diangkat oleh sosok Gede Duwur itu.

"Gede Duwur? Aku ndak salah lihat, kan?" Tanya Mulyo sambil menampar-namparkan pipinya dengan tatapan kosong.

Dia juga menoleh ke belakang dan masih dengan suasana dan keadaan yang sama.

Para penjaga itu masih tergeletak.

Lepas Mulyo melihat ke suasana yang tidak mengenakkan itu, dia berteriak sekencang-kencangnya.

"Arghhhhhh!"

Teriakan itu membangunkan Pak Mukso dan juga Bu Asih serta Wati sendiri.

Mereka bertiga langsung menuju ke arah sumber teriakan itu berasal.

"Ada ap... Gusti! Mulyo ke-napa ini?" Tanya Bu Asih

Dengan wajah yang berderai air mata, Mulyo menjawab pertanyaan itu.

"Dia mulai membalas dendam!" Ucap Mulyo

"Di-dia siapa mas?" Tanya Wati

"Sumerep!"

Bruk! Hati Wati bagai disambar petir! Dia teringat kembali akan Sumerep.

"Sumerep? Kenapa dengan Sumerep? Pak, Bu? Apa yang kalian lakukan kepada Sumerep tempo hari yang lalu?" Tanya Wati

Pak Mukso hanya terdiam. Bu Asih dan Mulyo menantikan jawaban dari mulut Pak Mukso mengenai pertanyaan langsung dari Wati

Wati segera mendekati Bu Asih dan bertanya kepadanya dengan nada meminta jawaban.

"Bu, Sumerep kenapa? Apa yang sudah bapak lakukan kepada Sumerep? Kenapa orang-orang disini pada tergeletak?" Tanya Wati

"Pak, tolong jawab..." Ucap Bu Asih dengan pelan

Pak Mukso melangkah maju menuju pintu belakang rumah, dia mengambil nafas terlebih dahulu sebelum memulai jawaban yang sesuai.

"Kejadian tempo hari bisa dikatakan sebagai penyebab utama kejadian aneh yang menimpa keluarga kita. Teror ini benar-benar memakan jiwa!" Jelas Pak Mukso

"Kejadian apa pak?" Tanya Wati sambil mendekati Pak Mukso

"Bapak menyuruh para bawahan bapak untuk menghabisi Sumerep. Mematahkan kakinya dan membuatnya terluka parah!"

Bu Asih dan Wati terkejut mendengar hal itu, mereka berdua tidak percaya.

"Kematian Surip, adalah akibat dari kejadian tempo hari! Surip di santet menggunakan santet getih sewu. Seluruh organ tubuhnya mengalami pendarahan dan tumbuh benjolan merah aneh yang membuat kita sulit mengenali tubuh Surip yang asli!" Jelas Pak Mukso

"KURANG AJAAAAR! KENAPA BAPAK LAKUIN ITU SEMUA? KENAPA?" Teriak Wati

"Supaya kamu bahagia, Wat!" Jawab Pak Mukso

"Gak pak! Wati gak pernah bahagia selama bapak dan ibu serta para bawahan bapak menyakiti orang-orang disekitar kita!" Teriak Wati

Pak Mukso tahu perasaan hati yang dialami oleh anak semata wayangnya itu.

Dia memang sulit untuk menerima kenyataan yang telah berlalu.

"Ini sudah akhir bagi kita semua!" Senyum Pak Mukso

"Akhir? Apa maksudnya pak?" Tanya Bu Asih

"Malam satu suro akan datang."

"Ada apa dengan malam satu suro?" Tanya Wati

"Kita akan berperang! Sebelum malam satu suro itu datang, kita harus menghabisi keluarga Sumerep!" Jelas Pak Mukso

"Apa? Apa yang ingin bapak lakukan?"

Wati langsung menekuk leher Pak Mukso dari belakang,

"Wati hentikan!" Ucap Mulyo

"Berisik! Kalian semua adalah iblis bertopeng manusia! Jika kalian tidak melakukan hal itu kepada Sumerep, andaikan kalian tidak mengganggu dan menyakitinya! Seorang dukun pun akan marah jika harga dirinya diinjak-injak!"
Teriak Wati

"Arghhhhh!" Pak Mukso merasa kesakitan.

Dia sulit untuk bernafas.
"Wati hentikan! Bapakmu bisa mati Wati!" Teriak Mulyo

"Berisik! Kamu! Mau saja disuruh iblis berwujud manusia ini! Jika kamu ingin menuruti perintah itu! Aku akan menekuk leher bapakku sampai patah!"

Bu Asih menangis melihat kejadian ini

Dia tak tahu harus berbuat apa.

"Wati, sudah nduk! Hentikan!" Ucap Bu Asih

Wati memandangi wajah ibunya dengan belas kasihan.

"Bu, maafin Wati!" Ucap Wati

Disaat Wati sedang lengah, Pak Mukso membalikkan keadaan dimana tubuh Wati langsung diangkatnya ke depan
"Bruuuk!"

Tubuh Wati terangkat dan dihantamkan ke lantai oleh Pak Mukso. Wati pingsan dengan seketika.

"Kamu membuat masalah menjadi repot, Wati!" Ucap Pak Mukso

Bu Asih dan Mulyo yang melihat sikap asli Pak Mukso langsung terkejut.

"Apa yang bapak lakukan pada Wati?" Tanya Bu Asih

"Dia hanya pingsan sesaat" Ucap Pak Mukso

Bu Asih mengambil sebilah pisau dan mengacungkan pisau itu ke arah Pak Mukso, suaminya sendiri.

"Hanya pingsan? Kau tarik tubuh anakmu sendiri dan kau hantamkan tubuhnya ke lantai? Kau hanya menjawab dengan kalimat hanya pingsan?"

Pak Mukso mendekati Bu Asih, sebaliknya Bu Asih mundur ke belakang.

"Kau tahu? Alasan terbesar masalah ini muncul adalah karena wanita cerewet seperti kalian! Jika kalian diam sejenak, pasti masalah ini akan selesai!"

Bu Asih terdiam mematung, Pak Mukso menjambak rambutnya.

"Jadi, ikuti saja alur permainannya!" Jelas Pak Mukso sambil mengambil pisau yang berada di tangan Bu Asih

Sekejap suasana hening, Pak Mukso bergerak lagi menuju bagian belakang pintu rumahnya.

Dia memandangi langit yang gemerlap cerahnya tertutup awan.

"Sebentar lagi, JAGAT PETENG akan mengawali peperangan ini!" Ucap Pak Mukso

Mulyo dan Bu Asih hanya terdiam ketika keduanya mendengarkan kata..

-JAGAT PETENG- 

Yang terbilang sangat misterius itu.

Sumerep masih berada dalam rawatan Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih.

"Sebentar lagi hari yang kita maksud tiba. Sebelum kita meninggalkan Sumerep, dia harus menjadi penerus sebagai pemegang trah (keturunan) ilmu hitam ini," Jelas Ki Mergosukmo kepada Nyi Kasih

Sumerep belum sadarkan diri. Tampaknya, luka yang diberikan oleh para anak buah Mukso memberikan efek yang sangat dalam bagi Sumerep sendiri.

"Jagad Peteng akan segera tiba!" Ucap Ki Mergosukmo

Nyi Kasih membereskan segala peralatan yang digunakan untuk persiapannya.

Jagat Peteng atau dunia gelap merupakan sebutan bagi malam kelam dimana pertumpahan darah antara Ki Mergosukmo dan Mukso berkecamuk hebat. Dari keduanya akan bermunculan para bibit baru untuk saling menghancurkan.

"Aku yakin, Mukso akan menyerang kita setelah tempatnya hancur berantakan!" Ucap Ki Mergosukmo

Ki Mergosukmo memandangi bulan yang sudah mulai redup.

"Cara satu-satunya adalah dengan mentransfer seluruh ilmu hitam kita kepada Sumerep untuk menghancurkan anak cucu Mukso!"

Keesokan harinya, Pak Mukso menemui langsung Mulyo. Dia memberikan sebuah surat yang berisi.

"Pergilah dari tempat ini. Karena tempat ini akan menjadi awal dari perpecahan besar yang melibatkan aku dengan Ki Mergosukmo. Nikahilah putriku dan kembalilah tepat setelah aku pergi!"

Surat itu diterima oleh Mulyo. Dia tahu bahwa Pak Mukso dan Bu Asih akan mengorbankan nyawanya untuk keselamatan anaknya, Wati.

"Baik, pak. Aku akan membawa Wati ke daerah B (tidak disebutkan)."

Sesuai dengan perintah Mulyo. Selepas itu, Pak Mukso mencari orang kepercayaan untuk menjaga Mulyo dan juga Wati. Orang itu bernama Ramli. Bawahan Mukso yang diambilnya langsung untuk melindungi seluruh keluarganya.

"Ramli akan menemani perjalanan kalian. Datanglah kemari ketika semua sudah selesai, bawalah keluargamu untuk menempati rumah setelah aku pergi!"

Wasiat terakhir dari Pak Mukso adalah pergi dari tempatnya dan kembali jika dirinya dan juga Bu Asih telah pergi (meninggal dunia).

Tujuan Pak Mukso dan Bu Asih adalah ingin menghancurkan keluarga Sumerep agar ketika Mulyo kembali, semuanya telah hilang dan sirna.

Setelah dirasa selesai, Ramli mendatangi rumah Pak Mukso. Dia ditugasi untuk menjaga Mulyo dan Wati ke tempat yang aman. Tempat itu adalah daerah B, Jawa Tengah.

Wati belum sadarkan diri, di waktu pagi buta, mereka bertiga berangkat untuk menghindari kekacauan yang akan terjadi.

Kekacauan tersebutlah yang akan memunculkan stigma mengenai ikatan ilalang dan daun pandan yang tertempel di depan rumah dan tiap kamar.

Konon, untuk menghindari peperangan dan kekacauan tersebut, seluruh warga memasang ikatan ilalang dan daun pandan agar terhindar dari santet

Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih berhasil mentransfer segala ilmu hitamnya kepada Sumerep. Entah dengan cara apa yang dilakukannya, tapi menurut narasumber, keduanya harus mati-matian mentransfer ilmu tersebut yang akan memunculkan sebuah pembaruan dari santet yang mematikan yaitu...

SANTET MALAM SATU SURO!

-Malam penyerangan-

Pak Mukso menyuruh bawahannya yang masih tersisa untuk membakar rumah Sumerep.

"Bakar dan hancurkan semuanya secara sembunyi-sembunyi!" Ucap Pak Mukso yang menyerang secara bergerilya dan tertutup.

Pak Mukso dan Bu Asih telah siap berada di rumahnya. Dia menggunakan pakaian adat jawa,

"Apa Wati bisa hidup tenang?" Tanya Bu Asih

"Kita hanya meredam perpecahan untuk saat ini. Jika seluruh keturunan Ki Mergosukmo telah hancur, Wati bisa hidup dengan bahagia," Senyum Pak Mukso

"Aku takut jika hal yang serupa juga terjadi kepada Wati di masa mendatang. Apalagi, santet itu sangat mematikan," Ucap Bu Asih

"Tenanglah bu, semua akan berjalan dengan lancar," Jelas Pak Mukso

Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih telah siap untuk melakukan santet untuk yang ketiga kalinya.

"Nak, Sumerep. Bangun, nak" Ucap Ki Mergosukmo

Sumerep yang sudah tampak lebih sehat dari sebelumnya terbangun dan melihat kedua orang tuanya menggunakan pakaian rapih adat jawa.

"Bapak dan Ibu mau kemana?" Tanya Sumerep

"Pergilah ke hutan di dekat sungai. Buatlah padepokan disana. Jangan ada yang mengetahui rahasia di balik dirimu yang sebenarnya. Lihatlah lukamu, sudah hampir sembuh kan?" Tanya Ki Mergosukmo

"Loh, kok. Lukanya..."

Luka Sumerep tiba-tiba menghilang. Efek transfer energi ilmu hitam dari kedua orang tuanya memberikan penyembuhan cepat dari luka Sumerep.

"Sekarang pergilah. Bawa semua barang-barang peninggalan bapak dan Ibu" Jelas Ki Mergosukmo

"Bapak dan Ibu mau kemana?" Tanya Sumerep

"Kelak kamu akan tahu, nak. Sekarang, jika kamu ingin selamat, turuti perkataanku. Sebentar lagi, Jagat Peteng akan dimulai. Semua akan penuh dengan emosi, dendam, benci dan panas. Jangan pernah kembali lagi sebelum waktunya tiba" Ucap Ki Mergosukmo

Sumerep menatap wajah kedua orang tuanya. Seperti ada sesuatu yang akan ditinggalkan dari keduanya.

"Ibu dan Bapak mau berperang?" Tanya Sumerep

"Kamu harus teruskan trah (keturunan) dari ilmu hitam yang kamu dapatkan" Ucap Ki Mergosukmo

"Trah (Keturunan) apa pak?" Tanya Sumerep

Ki Mergosukmo tidak menjawab. Dia pun membukakan pintu belakang dan sekali lagi dia melihat warna langit yang menggelap sepenuhnya.

"Getih harus dibales getih!" (Darah harus dibalas darah!) Ucap Ki Mergosukmo sambil menatap Sumerep.

Sumerep meneteskan air mata penyesalan, dia tahu, gara-gara dirinya perpecahan ini membludak dan terus membesar.
"Pak, jangan pergi..." Ucap Sumerep

Nyi Kasih mendekati Sumerep.

"Pergilah nak, sudah waktunya kamu pergi. Mereka akan datang dan kita akan segera menghabisinya!"

Suara langkah kaki yang menggetarkan sekitaran rumah Ki Mergosukmo terasa jelas oleh Sumerep.

"Kembalilah jika semua sudah membaik. Ingat, kamu kembali bukan untuk mendamaikan namun kamu harus menggunakan rapal ireng yang akan diketahui nanti!" Ucap Ki Mergosukmo

Rapal Ireng yang dimaksud oleh Ki Mergosukmo adalah gulungan hitam yang berisi perjanjian antara dirinya dengan sosok gede duwur yang dipercaya sebagai ikatan keduanya.

Sumerep segera membawa barang-barangnya dan melakukan apa yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya.

Sumerep segera pergi dari rumahnya lewat pintu belakang menyusuri hutan. Dia juga harus membangun sebuah padepokan yang berguna untuk meneruskan ajaran ilmu hitam orang tuanya dan mendapatkan rapal ireng agar bisa mengikat diantara keduanya.

"Mereka datang..." Ucap Nyi Kasih

Ki Mergosukmo langsung menutup seluruh jendela dan tidak lupa pula pintu belakang yang digunakan oleh Sumerep untuk melarikan diri.

Setelah itu, keduanya masuk ke dalam ruangan khusus. Tujuannya untuk memanggil Gede Duwur sebagai ikatan diantara keduanya.

"Mbah, kulo ngundang jenengan kangge dadiake jagat peteng!" (Mbah, saya memanggil kamu untuk menjadikan jagat peteng / dunia gelap) Ucap Ki Mergosukmo

Nyi Kasih mengikatkan usus ayam cemani kepada kayu lalu dia patahkan hingga menjadi tiga bagian.

Ki Mergosukmo membacakan rapal ireng yang digunakan untuk memanggil Gede Duwur untuk membunuh seluruh bawahan Mukso yang hendak menyerang rumahnya.

Sedangkan bawahan Mukso sendiri telah mengelilingi rumah Ki Mergosukmo dan menyirami tiap sisi rumah Ki Mergosukmo dengan bensin.

Sedangkan Pak Mukso dan Bu Asih memasuki kamarnya. Mereka berdua bagaikan pengantin baru.

"Jagat Peteng sudah dimulai. Trah (Keturunan) dari Ki Mergosukmo akan hancur. Kita hanya menunggu waktu saja" Jelas Pak Mukso

Ki Mergosukmo juga mulai membuat perhitungan yang setimpal kepada Pak Mukso dan Bu Asih.

Dia akan melancarkan santet getih sewu sekali lagi. Keduanya saling menyerang. Nyi Kasih membereskan para bawahan Mukso sedangkan Ki Mergosukmo membunuh Pak Mukso dan Bu Asih sendiri.

Para bawahan Mukso mulai melancarkan aksinya. Mereka membakar rumah Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih.

Api mulai membesar dan membakar rumah yang di dalamnya masih terdapat Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih.

Namun bersamaan dengan itu, sosok Gede Duwur telah muncul dari belakang mereka

"Ge.. gededuuuwuuuurrr!" Teriak salah satu dari mereka.

Gede Duwur itu melemparkan mereka yang turut membakar rumah Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih.

Beberapa dari mereka ada yang tersangkut di pohon dengan mata yang tertusuk dahan, beberapa lagi yang di tenggelamkan dalam tanah hingga tidak berbentuk lagi, ada juga yang tubuhnya di remas hingga tulang belulang mereka remuk dan hancur.

Bersamaan dengan itu, Bu Asih merasa ada sesuatu yang aneh yang muncul dari tengkuk lehernya.

Satu benjolan merah yang keluar secara tiba-tiba tanpa sebab.

"Pak, ini apa?" Tanya Bu Asih sambil menunjukkan benjolan itu kepada suaminya.

"Sudah dimulai..."

"Apa yang dimulai?"

Pak Mukso tersenyum lalu memeluk isterinya, dengan seketika, seluruh tubuh Bu Asih muncul banyak benjolan merah.

Bu Asih teriak kesakitan dan merasa tubuhnya panas, namun Pak Mukso tidak melepaskan pelukan eratnya.

"Pak! Panas! Awakku panas!" Teriak Bu Asih sambil menangis

Perlahan darah mengucur deras dari mulut, hidung dan telinga Bu Asih. Santet getih sewu telah menyerang Bu Asih terlebih dahulu.

Pak Mukso masih mendengar suara Bu Asih yang meminta untuk dilepaskan dari pelukannya, kedua tangan Bu Asih memukul-mukuli tubuh Pak Mukso dengan harapan agar suaminya, Pak Mukso, bisa melepaskan pelukan erat tersebut.

Namun, lambat laun suara teriakan Bu Asih mengecil. Gerakan dari kedua tangannya juga sudah sedikit demi sedikit berkurang tenaga.

Bu Asih meninggal dunia!

Pak Mukso menangis sejadi-jadinya. Dia lalu meletakkan jasad isterinya di tempat tidur. Kedua tangan Pak Mukso penuh darah yang berasal dari pendarahan isterinya, (Bu Asih), akibat terkena santet getih sewu yang diserang oleh Ki Mergosukmo.

Tidak memakan waktu yang lama, kini giliran Pak Mukso yang mengalami hal yang sama. Mula-mula dari wajahnya muncul satu benjolan merah, lalu menebar ke leher dan berlanjut kepada perutnya dan menyebar hingga ke seluruh tubuhnya.

Seluruh organ tubuhnya hancur dan mengalami pendarahan. Mulut, hidung dan telinganya mengeluarkan banyak darah.

Pak Mukso berteriak sekencang-kencangnya. Namun tidak ada satupun warga yang mendengar teriakan kelabu dari mulut seorang pembenci sepertinya.

Pak Mukso tewas di tempat!

Jagat Peteng menandai berakhirnya peperangan di antara keduanya. Sosok Gede Duwur itu telah menyelesaikan tugasnya dan menghilang di kegelapan malam.

Ki Mergosukmo dan Nyi Kasih tewas dilahap si jago merah dan jasadnya menjadi abu yang bercampur dengan reruntuhan rumahnya.

Namun, Sosok Gede Duwur itu akan berganti tuan dan kembali menjalankan tugasnya untuk melaksanakan perintah dari tuan sebelumnya yaitu Ki Mergosukmo agar menuruti perkataan dari anaknya yaitu Sumerep.

Sumerep akan menguasai dan menundukkan Sosok Gede Duwur itu ketika dia berhasil mempelajari Rapal Ireng yang sempat dikatakan oleh kedua orang tuanya sebelum melarikan diri dari rumahnya untuk membangun padepokan!

Cerita ini masih berlanjut hingga sampai pada kehidupan Wati dan Mulyo yang menikah dan kembali lagi ke tempat asal Wati dengan membawa seluruh keluarga Mulyo dan tangan kanannya yaitu Ramli.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close