Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAU GANTUNG JASADKU DI KAMAR ITU (Part 3 END)


Kuntilanak itu ternyata masih mengikuti Santi sampai ke rumah bude, kini makhluk itu membawa Santi kembali ke kos.

*****
JEJAKMISTERI - Suara motor Lintang menemani perjalananku kembalike rumah bude. Kali ini kami lebih banyak melamun daripada ngobrol seperti saat berangkat tadi.

Cerita Mbah Sarmi mengenai tragedi Nilam benar-benar membuatku berpikir bahwa betapa beruntungnya hidupku yang tidak harus berurusan dengan hal-hal mengerikan seperti santet yang meneror keluarga Nilam.

Ternyata dunia ini tidak hanya luas, tapi juga dalam. Bahkan di sekitar kitapun ada banyak hal yang tidak mampu kita ketahui dan terlalu dalam untuk dijangkau.

“Kamu masih kepikiran cerita Mbah Sarmi?” Tanya Lintang dengan suaranya yang menyatu dengan angin perjalanan.

“Iya, ternyata ada cowo yang kayak begitu ya.. Seharusnya pasangan itu ada untuk melengkapi hidup, bukan untuk tujuan mengerikan seperti itu” Jawabku.
Mendengar suaraku yang sedikit parau Lintang menghentikan motornya dan menoleh ke arahku.

“Kinan, aku mau mampir sebentar. Gapapa ya?” Ucap Lintang.

“Mau kemana emang?” Tanyaku.
“Sebentar aja.. searah kok, temenin ya..” Aku mengangguk mengiyakan. Lintang sudah membantuku seharian, tidak ada salahnya bila aku menemaninya sebentar.

Lintang melaju motornya ke tempat yang cukup sering kulewati. Kami melalui stasiun dan melewati jalan yang searah yang penuh dengan wisatawan dan pedagang.

Trotoar dan ornamen jalanan yang khas dengan kota ini memanjakan mataku hingga akhirnya Lintang memarkirkan motornya di alun-alun.

“Mau ngapain kesini Tang?” Tanyaku bingung.
“Minum es degan...” ucapnya sambil membantu melepaskan helmku dan meletakkan di motornya.

Aku melihatnya terus mengiranya bercanda, namun ternyata Lintang serius. Dia memesan dua gelas es degan dan mengajakku duduk di rumput menikmati pemandangan di tempat itu.
“Serandom ini?” Tanyaku.

“Iya.. gapapa kan?” Balas Lintang.
Aku berkali-kali menoleh pada Lintang, namun sepertinya dia memang hanya bermaksud bersantai dan menikmati pemandangan pohon beringin kembar yang ada di hadapan kami. Tapi mungkin ini ada baiknya, tepat setelah tegukan pertama aku seperti merasa beban dan rasa tegang yang kurasakan terangkat sedikit demi sedikit.

“Awas betah...” Ucap Lintang menggodaku. Aku memukul lengan Lintang sekedar merespon ucapanya.

“Kadang memang harus serandom ini.. nggak harus ada rencana, nggak harus banyak yang dipikirin.. Terlalu banyak hal yang bisa membuat kita tenang. Kita hanya perlu berhenti sebentar dan menarik nafas untuk menyadari berbagai hal baik di sekitar kita” Aku mengangguk setuju sambil menyeruput es degan di tanganku.

“Kok jadi melankolis begini sih?” Tanyaku. Kali ini dengan sedikit senyum setuju dengan ucapanya.

“Ini namanya melankolis ya? Kalau aku nyebutnya
‘ngaso’” Balas Lintang yang sekali lagi membuatku tertawa.

Lintang menyeruput es deganya lagi dan tiba-tiba menarikku berdiri untuk mengikutinya.

“Ikut aku bentar” ucapnya.
Ia mengarahkanku ke arah beringin kembar itu dan mengambil slayer dari tasnya.

“Tang.. jangan bilang...”
“Ssssst... Udah ngikut aja, kamu juga penasaran pingin nyobain kan” Balasnya.

Aku tertawa menutup mulutku menanggapi kelakuan random Lintang. Tapi dia benar, dari dulu aku ingin mencoba mitos yang ada di alun-alun ini namun tidak pernah kejadian karna aku memang pemalu.

“Tau kan aturanya?” Tanya Lintang.

“Berdoa ngucapin keinginan, gak boleh ngintip, dan jalan lurus melewati diantara dua pohon beringin itu?”
“Yak, Pinter...”
“Jangan jauh-jauh” Ucapku.
“Tenang, aku ikutin terus dari belakang” Jawab Lintang.

Aku memulainya. Sepanjang jalan aku hanya tersenyum-senyum dengan perbuatanku ini. Tapi setidaknya setelah ini aku tidak penasaran lagi. Langkah demi langkah kuraba dengan menghafal posisi dimana kedua pohon beringin kembar itu berada.

Namun setelah berapa lama tiba-tiba Lintang memanggil.

“Kinan... mau kemana?” Terdengar suaranya sedikit tertawa.

Aku membuka penutup mataku dan melihat ke depan, rupanya posisiku saat ini sudah sangat melenceng jauh hingga hampir menabrak sekumpulan orang.

Aku hanya tertawa melihat kegagalanku dan berlari kembali menuju gelas es deganku yang belum habis. Namun tepat sebelum sampai kembali, Lintang menarik tanganku lagi tepat di tempat aku memulai tantangan ini tadi.

“Sekali lagi ya..” Ucap Lintang.
Aku mencoba menolak, tapi Lintang segera memakaikan penutup mata itu lagi padaku.

“Udah ah lang, Malu..”
“Tenang, malunya bagi dua sama aku...” Ucap Lintang santai. Aku mengikuti permainanya.

Namun kali ini aku tidak mendengar suara langkah kaki Lintang di belakang. Aku terus meraba kemana arahku melangkah, namun aku sudah merasa hasilnya pasti akan sama saja.

“Kinan..”
Itu suara Lintang.. suaranya cukup jauh di hadapanku, aku tahu arah suara itu dari mana dan mengikutinya.

Sekali lagi Lintang memanggil namaku. Dan aku mengikuti kemana arah suara itu hingga tiba-tiba aku terhenti saat menabrak seseorang.

“Kinan..”
Terdengar suara Lintang di hadapanku. Aku mengambil kesimpulan, yang aku tabrak itu adalah Lintang.

“Kadang hidup ini memang nggak bisa ditebak, bahkan walau kita mencoba mengarahkan sebisa mungkin sesuai dengan harapan kita” Entah saat ini aku sedekat apa dengan Lintang.

Belum pernah aku mencium aroma parfumnya sedekat ini. Tapi… bukan itu masalahnya. Masalahnya.. kenapa tiba-tiba jantungku berdetak begitu cepat.

“Kisah Nilam dan Bira pasti akan meremukkan hati
semua yang mendengarnya. Tidak ada yang bisa menebak akan ada di posisi itu.." Ucap Lintang lagi.

“M...maksud kamu apa Lintang?”

“Aku cuma ngasi tahu, Aku ada disini Jangan pernah meragukan kehidupan.

Karena bisa jadi, aku ada disini untuk mendampingi kamu menyelesaikan masalah yang kamu hadapi” Ucap Lintang.

Aku tersenyum, kini aku mengerti maksud Lintang. Ia melakukan ini semua hanya untuk menghilangkan kekhawatiranku.

“Thanks ya Lintang..” Ucapku.

“Ada kejutan lagi.. Coba buka penutup mata kamu” Balas Lintang.
Aku menurutinya dan menurunkan penutup mataku dan benar.. Lintang tak jauh lebih dari sejengkal dari hadapan mataku.

Jantungku semakin bedegup kencang, namun ia segera menggeser tubuhnya dan menunjukkan apa yang ada di hadapanku.
Aku berada di tengah-tengah beringin kembar persis dengan tempat yang kutuju. Mungkin ini hanya mitos, tapi aku senang bisa menyelesaikan tantangan ini.

Tak hanya itu, merahnya langit kota ini membuatku tak mampu menghentikan senyumku. Seandainya bisa, aku ingin bilang
pada Lintang...

“Terima kasih Lintang atas pemandangan indah ini
dan semua usaha yang kamu lakuin untuk membuatku tenang..”

Namun aku mengurunkan niatku dan masih menikmati pemandangan senja di alun-alun kota teristimewa itu.
“Kinan..” Lintang memanggilku lagi, kali ini suaranya seperti sedikit ragu.

“B...Boleh nggak, kalau aku ngajak kamu kesini lagi lain kali?” Tanya Lintang sambil menggaruk kepalanya.

Aku menoleh padanya masih dengan senyuman di wajahku. Tapi kali ini aku tahu, aku memandangnya dengan tatapan yang berbeda.

“Heh! Masih bisa-bisanya nanya begitu setelah semua yang kamu lakuin ini! Plis ajak aku kesini lagi.. tunjukin pemandangan seindah ini lagi! Entah disini atau dimanapun, yang penting sama kamu!”

Sayangnya ucapan itu hanya ada di pikiranku. Aku menahan sekuat mungkin rasa senangku. Mungkin di kamar nanti aku akan senyum-senyum sendiri dan meneriakkan nama Lintang dengan menutup mulutku dengan bantal.

“Boleh..” sayangnya hanya itu saja jawaban yang akhirnya keluar dari mulutku.
Tapi sepertinya satu kata itu saja cukup untuk membentuk senyum di wajah Lintang. Merahnya langit senja menemani perjalanan pulangku menuju rumah bude. Kali ini ia tidak menurunkanku di mini market, namun mengantarku hingga rumah bude dan berpamitan.

“Nggak takut kesasar?” tanyaku.
“Kayaknya aku bakal sering kesini kan? jadi mau nggak mau aku harus hafalin jalan masuk ke komplek sini..” Jawab Lintang.

Sekali lagi aku tersenyum, aku tidak menyangka Lintang bisa membuatku melupakan semua kejadian buruk yang kualami sejak kemarin.

***

Santi terlihat mulai sehat, ia membantu bude mempersiapkan makan malam untuk kami di dapur.

“Ucah sehat san?” Tanyaku.
“Sudah Kinan, maaf ya ngerepotin.” Balasnya.
“Nggak ada yang direpotin kok San. Bude malah seneng kalau rumahnya rame.. iya kan bude?” Ucapku.

“Iya, sebenernya Kinan sudah bude minta untuk tinggal disini saja. Tapi dia bilang kampusnya jauh”

“Hihi.. maaf ya bude, tapi tiap libur Kinan pasti pulang kesini kok”

“Iya.. iya, bude ngerti. Udah.. sana bersih-bersih. Kita makan” Kami bertiga menikmati makan malam yang tenang tanpa membahas hal yang membuat kami khawatir sebelum-sebelumnya.

Aku hanya bercerita pada Santi bahwa sementara anak-anak kos mengungsi dulu sampai permasalah disana benar-benar selesai.

Aku tertidur dengan cepat malam itu, kelelahan yang menumpuk semenjak kemarin malam membuatku lelap dengan seketika.

Sayangnya, aku merasakan perasaan aneh yang membuatku terbangun dengan tidak nyaman. Lampu kamar memang sudah dimatikan, tapi dengan adanya lampu dari ruang tengah aku masih bisa melihat dengan jelas jarum jam menunjukan pukul tiga pagi saat itu.

Saat itu aku menoleh ke arah Santi yang tidur di kasur tambahan di bawah. Namun bukanya dalam posisi tidur, Santi malah terlihat duduk dengan tatapan mata yang kosong.

“San.. nggak tidur?” Tanyaku.
Santi tidak membalas pertanyaanku sama sekali seolah tidak mendengar suaraku.

“San... kamu nggak papa?” Panggilku lagi. Kali ini ia menoleh ke arahku secara perlahan. Aku mulai merasa ada yang aneh denganya.

Santi menoleh sambil tersenyum lebar memamerkan giginya dan mata yang menatap tajam ke arahku. Suara gemeretak terdengar dari giginya yang saling beradu.

Aku ingat senyum itu..
Senyum itu persis seperti kuntilanak yang berada di kamar Santi. Seketika tubuhku merinding dan tubuhku sulit untuk bergerak.

Aku mencoba berteriak, namun entah mengapa tidak ada suara dari pita suaraku. Wajah mengerikan itu memiringkan kepalanya dan
memperhatikan mataku baik-baik.

Sekilas aku mengira ia akan mendekat. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Santi kembali merebahkan tubuhnya dan tidur dengan memunggungiku.
Aku berniat keluar memanggil Bude, namun aku melihat Santi sekali lagi. Ia tidur dengan tenang seolah tidak terjadi apapun pada dirinya.

Akhirnya akupun berpikir kembali dan memutuskan untuk kembali tidur dibanding harus membangunkan bude malam-malam begini.

*****

Pagi setelahnya Santi bangun seolah tidak terjadi apa-apa denganya semalam.
“San, bener udah sehat?” Tanyaku memastikan kepadanya sebelum berangkat ke kampus.

“Udah Kinan.. tenang aja, nggak usah khawatir.” Balasnya dengan penuh percaya diri.

Melihat responya, aku berusaha berpikir positif dan bersiap untuk berangkat ke kampus bersama dengan menggunakan motornya.

Walaupun sudah tidak terlalu kepikiran, tapi aku masih sulit untuk berkonsentrasi menerima pelajaran di kampus saat ini.

Apalagi saat teringat kejadian semalam. Semoga saja tidak ada masalah dengan Santi setelahnya. Jam mata kuliahku dan Santi berbeda.

Dia selesai duluan, kami janjian jam tiga sore bertemu di depan halaman kampus tempat kami biasa menunggu di kursi taman.

“Naik apa kesini?” Tiba-tiba Lintang menghampiriku tepat setelah dosen keluar kelas.

“Naik motornya Santi, paling dia udah nungguin di
depan” Balasku.

“Tapi pulang ke rumah Bude kan? Nggak ke kos?” Tanya Lintang dengan wajah yang khawatir.

“Iya.. tenang aja, nanti kalau masalah kos udah diberesin sama Mas Danan katanya Mas Wiro mau sms aku” jelasku sambil berjalan kaki menuju halaman depan.

“Motor kamu diparkir di belakang kan? Kok ikut ke
depan?” Tanyaku.

“Ya elah nggak peka banget nih cewe, ya nemenin lah.. kalau nggak bisa nganterin pulang, nganterin sampe depan juga nggak papa” Jawab Lintang dengan santainya.

Aku tertawa mendengar jawabanya. Aku sudah tahu maksudnya, tapi kalau bisa mendengar langsung dari mulutnya rasanya sedikit berbeda.

Aku sampai di halaman kampus sesuai waktu yang
dijanjikan, namun Santi tidak terlihat di sana. Beruntung ada Lintang yang menemaniku mengobrol untuk mengusir kebosananku.

“Coba Santi di SMS, jangan-jangan kamu ditinggal” Ledek Lintang.

“Enak aja, Santi nggak kayak gitu..” Balasku. Namun sesuai kata Lintang, aku segera mengirim sms padanya menanyakan kabarnya namun tidak ada balasan.

Kami menunggu hingga hampir satu jam, namun keberadaan Santi tidak muncul juga.
“Coba cek motornya, masih di parkir apa sudah nggak ada” Tanya Lintang. Seseorang yang meminta bantuan mereka.

Tadi aku dan Santi parkir di parkiran depan, kamipun mengecek keberadaan motor Santi namun masih terpakir dengan kondisi sama persis seperti tadi pagi kami parkirkan.

“Masih ada Lintang, tapi kok jam segini dia belum keluar ya?” ucapku heran.

Lintang hanya menaikkan bahunya dan menyerahkan minuman botol yang baru saja ia beli.

“Minum dulu nih.. haus kan?”

“Makasi ya Tang..” Aku meminum pemberian Lintang sambil memikirkan kemungkinan apa yang sedang dilakukan Santi.

“Santi.. nggak mampir kos kan?” Tanya Lintang tiba-tiba.
Aku menoleh padanya. Memang itu yang kutakutkan saat ini. Sembari menunggu, akhirnya aku memutuskan menceritakan kejadian semalam pada Lintang.

“Semalem ada yang aneh sama Santi...” Ucapku.

“Aneh gimana?”
“Aku kebangun jam tiga pagi, dan Santi duduk dengan aneh di kasurnya. Dia menoleh dan tersenyum ke arahku. Wajahnya keliatan serem.” Ucapku.

“Serius kamu? Terus gimana?” Ucap Lintang yang raut wajahnya mulai berubah.

“Udah begitu aja, setelahnya dia kembali tidur dan memunggungiku. Paginya dia baik-baik saja seolah nggak terjadi apa-apa” Jelasku.

Lintang terlihat berpikir. Aku tahu ia memikirkan hal yang sama denganku saat ini.

Santi pergi ke kos..

“Aku mau cek ke kos..” Jawabku sambil segera mengangkat tasku.

“Nggak nunggu Mas Danan sama Mas Cahyo dulu?”
Tanya Lintang.

“Cuma ngecek, Santi ada disana atau nggak. Kalau nggak ada ya kita balik” Jawabku.

“Ya udah, aku temenin..” Kamipun berjalan kaki menuju rumah kos yang seharusnya tidak boleh kami datangi dulu. Namun rasa kekhawatiranku akan Santi memaksaku untuk memeriksanya.

“Kunci pagarnya kebuka Kinan..” Ucap Lintang.

Aku memperhatikan ke dalam rumah, terlihat pintu depan sedikit terbuka seolah ada orang di dalam rumah ini.

“Ada orang di dalam Tang, jangan-jangan itu Santi..” Ucapku.

“J..jangan Kinan, jangan masuk.” Ucap Lintang.

Kali ini aku tidak mendengarkan ucapan Lintang. Rasa khawatirku pada Santi membuatku tidak berpikir panjang dan masuk ke dalam rumah itu.

“Santi! Kamu di dalam?” Teriakku.

Tidak ada jawaban apapun dari dalam, Lintang terus menyusul dan ikut berteriak.

“Santi kalau kamu di dalem jawab..” Tambah Lintang.

Namun tetap saja tidak ada jawaban.

Aku menoleh ke arah jendela kamar Santi. Terlihat ada seseorang mengintip dari celah gorden lalu menyingkir.

“Ada orang di kamar Santi” Ucapku.

Akupun memberanikan diri untuk masuk. Lintang yang sudah tahu tidak ada gunanya menahanku akhirnya ikut masuk untuk menemaniku.

Suasana rumah masih sama seperti saat kami tinggal kemarin. Hari sudah sore hingga tidak banyak cahaya yang masuk ke rumah.

Aku segera menyalakan lampu dan suasana di rumah menjadi lebih terang.
“San... Santi” panggilku sambil mengetuk kamar
Santi.

Tidak ada jawaban sama sekali saat itu. Lintang mencoba memperhatikan semua sisi rumah namun tidak ada tanda-tanda ada orang lain di rumah ini. Kamar yang lainpun masih terkunci dari luar, tapi tidak dengan kamar Santi.

“San... aku masuk ya” Ucapku mencoba memastikan apakah ia ada di dalam. Mendengar ucapanku Lintang langsung mendekat berjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu padaku.

Aku membuka pintu kamar Santi perlahan, sekilas aku teringat sosok makhluk yang pernah ada di kamar ini saat aku dan Mas Danan menjemput Santi. Merasakan kegelisahanku, Lintang segera menggenggam salah satu tanganku saat aku membuka pintu kamar Santi.

Tidak ada..

Tidak ada siapa-siapa di kamar itu. Tapi aku yakin sekali ada seseorang yang mengintip dari kamar ini saat kami masih di luar tadi.

“Nggak ada siapa-siapa Kinan” Ucap Lintang.
Aku semakin bingung. Kalau Santi tidak ada di rumah ini, berarti ia ada di mana?

Perlahan aku keluar meninggalkan kamar Santi. Lintang menutup kembali pintunya, namun sekilas aku kembali merasakan seolah ada sesosok wajah yang memandangku tepat sebelum pintu itu tertutup.

Perasaan merinding kembali menyelimuti tubuhku.
Seandainya lebih lama disini, mungkin hal buruk akan terjadi.

“Kita cabut sekarang Lintang..” Ucapku.
Lintang setuju, ia membiarkanku jalan di depan untuk meninggalkan rumah ini.

Namun tepat sebelum sampai pintu, aku mendengar suara dari kamar belakang.

“Ada suara Tang..” Ucapku.

“Dari kamar belakang ya?”
Aku mengangguk. Kamipun mengurunkan niat kami untuk kembali dan berpikir untuk mengecek kamar belakang.

“Kinan, perasaanku nggak enak. Kita cari orang lagi, ajak Mas Wiro atau siapa. Lagian sudah mau maghrib” Ucap Lintang.
Sebenarnya aku setuju, namun setelahnya terdengar suara seseorang melantunkan lagu dengan menggumam dari kamar belakang.

Entah mengapa aku merasakan bahwa itu adalah suara Santi.

“Itu Santi Tang.. nggak salah lagi” Ucapku. Lintang menghela nafas mendengar reaksiku.

“Ya udah kamu nunggu disini, nggak akan aku biarin kamu ke kamar itu lagi” Ucap Lintang.

Akupun menuruti ucapan Lintang dan menunggu di dekat pintu rumah. Lintang berjalan mengecek ke kamar belakang.

Seiring dengan langkah kaki Lintang, tiba-tiba pintu kamar belakang terbuka perlahan. Suara gumaman Santi terdengar semakin jelas.

Aku melihat dari jauh sesuatu yang berada di kamar itu.

Itu benar Santi...

Tapi dia berbeda. Wajahnya terlihat pucat pasi dan
sambil tersenyum memainkan sisir di rambutnya.

“San.. Kamu ngapain San?” Lintang mencoba mendekati Santi, namun Santi tidak menjawab dan malah tertawa kecil dan menatapku dari celah
pintu.

“Lintang, Dia kesurupan...” Ucapku.
“Kita nggak bisa biarin dia kayak begini..” Ucap Lintang. Aku setuju denganya.

Lintang terlihat setengah mati melawan rasa takutnya dan membaca doa-doa yang cukup panjang. Aku tidak pernah menyangka dibalik santainya seorang Lintang ternyata dia juga cukup hafal doa-doa panjang. Mendengar itu mendadak wajah Santi berubah.

Ia terlihat marah dan menatap ke arah Lintang. Santi berdiri dan bersiap menerjang Lintang, namun ia tertahan saat Lintang kembali mengeraskan doa-doa yang ia baca.

“T..Tinggalkan tubuh Santi...” Perintah Lintang dengan suara yang gemetar.

Makhluk di tubuh Santi tidak gentar, ia terlihat tidak bisa mendekat ke Lintang dan akhirnya berteriak dengan suara-suara aneh dan mencakar tubuhnya sendiri.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu bergetar.

Aku menoleh ke arah luar dan terlihat sepasang makhluk yang terbungkus kain kafan menatap dari depan kaca jendela seolah menahan kami untuk keluar. Tubuhku gemetar, seketika aku merasa kami sudah terjebak di rumah ini.

“Lintang... d..di luar, ada pocong” Ucapku yang segera berjalan mendekati Lintang.

Makhluk di tubuh Santi semakin tersenyum melihat kami yang semakin takut.

Tak cukup sampai disitu, tak jauh dari posisi Santi tiba-tiba terdengar suara tangisan bersamaan dengan munculnya sosok wanita dengan wajah mengerikan dengan tali menggantung di lehernya.

“I..itu roh Nilam?” Tanya Lintang.

Aku memperhatikanya lebih jelas, semua yang terjadi pada roh itu persis sesuai yang di ceritakan mbah Sarmi.

Suasana tempat ini tidak pantas lagi disebut rumah. Saat ini, tempat ini lebih pantas disebut sarang makhluk halus.

“Kita cari jalan keluar lain Kinan, ada pintu belakang?” Ucap Lintang.
Aku ingin menjawab, namun tiba-tiba suaraku tidak keluar. Tiba-tiba tubuhku panas dingin, sesuatu seperti ada disekitarku dan mengelilingiku.

Samar-samar terlihat bayangan makhluk yang kulihat di kamar Santi di pikiranku. Aku menoleh pada Santi, tiba-tiba dia terbaring lemah di lantai kamar dan berusaha untuk berdiri seolah sudah mampu menguasai dirinya.

“L...Lintang, Tolong...”

Aku ingin berkata seperti itu, namun kata-kata itu tidak keluar sama sekali. Anehnya wajahku tersenyum sendiri dan mengeluarkan tawa yang aneh. Makhluk yang merasuki tubuh Santi, kini mencoba merasukiku..

“K..Kinan! Kamu kenapa?” Lintang yang menyadari kondisiku segera menghampiriku yang hampir terjatuh. Wajahnya terlihat begitu khawatir. Ia berusaha menahan rasa takutnya dan membacakan doa sambil menggenggam tanganku.

Aku terus membaca doa yang sama dalam hati berusaha bertahan agar makhluk ini tidak menguasai tubuhku. Tapi yang terbentuk di wajahku hanyalah senyuman aneh dari makhluk yang merasukiku.

Keadaan semakin parah ketika sosok pocong yang sebelumnya ada diluar kini melayang mengelilingi aku dan Lintang dan menatap kami dengan wajah mereka yang mengerikan.

Bau busuk tercium di ruangan ini, sepertinya keberadaan pocong itu yang membawa bau ini.

Aku melihat wajah Lintang yang mencoba memberanikan dirinya. Ia terlihat tidak berniat meninggalkanku sama sekali. Dengan pocong yang mengelilingi kami, aku yang kesurupan, sosok roh Nilam yang terus menatap ke arah kami.

Lintang masih terus disini dan membacakan doa-doa untuk melindungiku. Keadaan semakin mencekam ketika kaca-kaca jendela mulai bergetar dan suara benda yang pecah dari arah dapur. Suara langkah kakipun ikut mendekat ke arah kami.

Aku hampir tidak dapat mempertahankan kesadaranku. Namun sebelum aku kehilangan kesadaran tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan keras.

“Bener mas, ada orang!”

Aku kenal suara itu, itu suara Mas Wiro. Terdengar langkah beberapa orang juga ikut mendekat.

Saat itu aku melihat senyum di wajah Lintang.

“Kalian hebat bisa bertahan sejauh ini”

Aku tahu itu adalah suara Mas Cahyo. Ia membacakan doa seperti yang kami bacakan sebelumnya namun ia membaca dengan lebih tegas dan seolah ada ketegaran yang kuat di setiap kata-katanya.

Seketika aku kembali bisa menguasai tubuhku. kini
sosok kuntilanak itu menjauh bersama sosok pocong yang mengelilingi kami.

“Makasi Mas Cahyo..” Ucap Lintang yang segera membawaku mundur ke belakang mereka.

Mas Cahyo membantu Santi yang masih terlihat lemah untuk menjauh dari kamar belakang.

“Sudah, tenang saja.. habis ini semuanya akan kembali tenang” Balas Mas Cahyo.

Tak berapa lama aku melihat Mas Danan datang menyusul masuk ke dalam rumah.

Ia bersama dengan seorang perempuan yang umurnya lebih tua dari kami semua.

Mereka langsung masuk menuju kamar belakang dan wanita itu memperhatikan setiap sisi rumah ini seolah berusaha mengingat sesuatu. Matanya terlihat berkaca-kaca menahan tangis.

“Itu siapa?” Tanyaku pada Mas Cahyo.

“Dia orang yang meminta tolong pada kami untuk menyelesaikan masalah ini..” Jawab Mas Cahyo.

Aku tak menyangka, ternyata keberadaan Mas Danan dan Mas Cahyo di tempat ini bukan kebetulan. Melainkan ada seseorang yang meminta bantuan mereka.

“Dia siapa?” Tanyaku yang masih belum puas dengan jawaban Mas Cahyo barusan.

“Mbak Vera...”

Mendengar jawaban Mas Cahyo seketika aku dan Lintang menoleh ke arah kamar itu menyaksikan apa yang ada disana.

Mengetahui Mas Danan dan Mbak Vera mendekat, sosok hantu di rumah ini terlihat marah dan mencoba menyerang mereka berdua. Namun Mas Danan tetap tenang di sisi Mbak Vera.

Mas Cahyo hanya berdiri menatap semua makhluk itu dengan wajah yang kesal, dan seketika terdengar suara Auman hewan buas menggema di rumah ini bersamaan dengan kemunculan bayangan menyerupai kera raksasa.

“Sekali saja kalian menyentuh temanku, akulah yang kalian lawan...” Mas Cahyo memberi ancaman yang membuat semua makhluk di ruangan ini mundur.

Aku takjub dengan apa yang ia lakukan. Makhluk yang sedari tadi membuatku dan Lintang dalam keadaan bahaya bisa ketakutan hanya dengan gertakanya.

“Nilam.. ada yang mau ketemu” Ucap Mas Danan. Sebuah doa dibacakan Mas Danan sambil menyentuh kepala mbak Vera.

Seketika mbak Vera seperti melihat sesuatu.
“M..Maafin aku Nilam...” Suara mbak Vera terdengar parau mencoba menahan tangis melihat sosok Nilam saat ini.

“Aku udah ngebuat kamu sampai seperti ini. maafin aku Nilam” Kali ini mbak Vera tidak dapat menahan tangisnya hingga air mata menetes di lantai rumah itu.

“Mas Danan, mas bisa nolong Nilam kan? Apa yang harus saya lakukan supaya Nilam bisa tenang?” Ucap Mbak Vera setengah memohon pada Mas Danan.

Mas Danan tersenyum dan menatap ke arah Nilam.

“Nilam sudah memaafkan kamu sejak dulu...” Ucap Mas Danan.

“Maksud Mas Danan?”
Benar, aku tidak mengerti maksud Mas Danan. Kalau memang Nilam sudah memaafkan Mbak Vera kenapa Nilam masih gentayangan? Dan kenapa harus membawa mbak Vera kesini?

“Roh Nilam tidak bisa tenang karena setan-setan yang dikirimkan melalui santet oleh keluarga Bira masih menahanya disini.. Merekalah yang mengganggu penunggu kos dan membakar dendam roh Nilam" Jelas Mas Danan.

Aku menoleh ke arah Mas Cahyo berharap ada penjelasan lain darinya.

“Sebenarnya mudah untuk membersihkan sisa santet ini setelah menemukan perantaranya. Tapi sebelum menolong mereka yang telah tiada, lebih penting menolong mereka yang masih hidup...” Ucap Mas Cahyo sambil mengarahkan matanya ke arah Mbak Vera.

Roh Nilam mendekat ke arah mbak Vera, Mas Danan membacakan doa pendek dan seketika wajah roh Nilam berubah. Wajahnya terlihat cantik tanpa luka diwajahnya.

“Dendamku hanya kepada Bira dan keluarganya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak menaruh dendam padamu. Kita teman.. Jadi jangan merasa bersalah lagi... Itu yang mau Nilam sampaikan” Ucap Mas Danan. Seketika raut wajah Mba Vera berubah.

“Setelah semua yang aku lakuin kamu masih nganggep aku teman?” Ucap Vera. Roh Nilam mengangguk sambil tersenyum.

Sekali lagi air mata mbak Vera tertumpah dengan suara tangisan yang memenuhi ruangan.

Semua yang ada di ruangan ini pasti merasakan sakitnya beban yang Mbak Vera tanggung selama ini.

“Mbak Vera sebelumnya sudah mau bunuh diri... rasa bersalah menghantuinya bahkan walau sudah terlewat bertahun-tahun” Ucap Mas Cahyo Akhirnya aku mengerti, tujuan utama Mas Danan dan Mas Cahyo adalah menyelamakan Vera dari rasa bersalah yang menghantuinya.

“Sudah Mbak Vera, kita anterin Nilam supaya bisa tenang ya” Ajak Mas Danan.

Mbak Verapun mengangguk dan Mas Danan memimpin untuk membacakan doa.

Kamipun mengikutinya dengan harapan setiap doa kami bisa menghantarkan Nilam untuk beristirahat dengan tenang setelah semua siksaan yang ia alami selama hidup dan matinya.

Perlahan roh Nilam menghilang dari kamar belakang yang menyimpan banyak cerita mengerikan itu.

Aku menarik nafas lega mengetahui akhirnya masalah tentang Nilam bisa selesai.

“Mas Wiro, Mas Lintang.. bisa bantu bawa mereka ke tempat yang aman dulu? Masih ada yang harus kami selesaikan..” Ucap Mas Cahyo.

Mereka menyanggupi dan membawa aku, Santi, dan mbak Vera untuk menunggu di angkringan Mas Wiro.

Tepat sebelum meninggalkan rumah sekali lagi aku memperhatikan sekeliling rumah ini.

Mungkin saja Mas Cahyo dan Mas Danan ingin membersihkan sisa-sisa santet yang dulu dikirimkan Bira dan keluarganya ke rumah ini. Aku menoleh terakhir kali ke arah dua pemuda itu.

Seingatku saat masuk tadi aku tidak melihat Mas Danan membawa benda apapun, tapi kenapa tiba-tiba sekarang ada sebilah keris di genggamanya.

***

Mas Wiro menyajikan beberapa gelas teh hangat untuk kami. Sebagian posisi tenda ditutup agar tidak ada pengunjung yang datang selain kami. Setidaknya sampai kami semua mulai tenang..

“Mas Wiro pisang gorengnya sebakul ya!” Terdengar suara Mas Cahyo yang memasuki tenda.

“Sebakul? itu perut apa gudang sembako?” Ledek Mas Danan membalas ucapan Mas Cahyo.

Ternyata tidak butuh waktu lama untuk mereka menyusul kami kesini. Mereka datang dengan santainya seolah tidak ada kejadian besar sebelumnya.

“Sudah beres masalahnya mas?” Tanya Mas Wiro. Mas Cahyo duduk di dekat mbak Vera dan melepas sarung yang hampir tidak pernah lepas dari bahunya. Ia menunjukkan beberapa benda dari balik sarung itu.

“Ini perantara santet yang dikirimkan oleh Bira dan keluarganya..” Ucap Mas Cahyo.

Aku berdiri dan memperhatikan benda-benda itu. Ada sebuah kain kafan dengan tanah kuburan di dalamnya, sebuah tusuk konde yang terbuat dari kuningan, dan benda-benda lain berupa kertas dengan berbagai tulisan.
Melihat benda itu saja aku sudah merinding. Bukan karena bentuknya yang menyeramkan, tapi karena masih ada manusia yang memiliki hati jahat yang memanfaatkan benda-benda dan ilmu seperti itu.

“Mas Danan, berarti kosnya sudah aman untuk kami tinggali? Kita bisa tidur disana malam ini?” Tanyaku memastikan.

“Sudah, tapi jangan lupa terus berdoa.. supaya rumah kos itu dijauhi sama roh atau makhluk yang berniat buruk” Jawab Mas Cahyo.

“Berarti sudah nggak ada makhluk halus di rumah itu?” Santi ikut memastikan.

“Bukan nggak ada, tapi udah ga ada yang akan ngeganggu lagi. Penunggu asli rumah itu masih disana...” Jelas Mas Danan.

“Inget sosok menyerupai Mbak Rini yang memperingatkan mbak Kinan sebelum kejadian kemarin? Itu adalah penunggu rumah itu yang mencoba melindungi kalian..” Aku memang teringat kejadian itu.

Seandainya itu memang benar, semoga saja keberadaanya tidak bersinggungan denganku dan penghuni kos yang lain.

Malam itu aku dan Santi memutuskan untuk kembali tidur di kos dan memberi kabar ke bude. Hampir semua yang diucapkan Mas Danan benar.

Rumah ini sudah kembali nyaman persis seperti alasan awal aku memilih tempat ini untuk ditinggali.

***

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Aku sedang berada di motor Lintang menuju rumah Mbah Sarmi setelah menyelesaikan perkuliahan pagi. Dari jauh aku melihat Mbah Sarmi duduk menikmati udara segar di teras rumahnya. Kali ini ia melamun sambil tersenyum.

“Kulo nuwun mbah...” (Permisi Mbah) ucapku sambil salim kepada mbah sarmi yang disusul oleh Lintang.

“Ngelamunin apa mbah?” Tanya Lintang mencoba menggoda namun mbah hanya menjawabnya dengan senyuman.

“Mbah... sudah denger ceritanya belum?” Tanyaku.

Mbah bergeser sedikit dan mempersilahkanku untuk duduk.

“Nilam sudah tenang ya nduk?” Ucap Mbah Sarmi.
“Iya mbah, tahu dari siapa?” Tanyaku heran.
“Mas Danan sama Mas Cahyo ya?” Ucap Lintang
mencoba menebak. Mbah tersenyum lagi.
“Kok kamu tahu?” Tanyaku pada Lintang.

“Liat tuh.. ada pisang setumpuk disana. Sudah pasti itu bukan hasil panen mbah. Siapa lagi yang bawa kalau bukan Mas Cahyo?” Jawab Lintang.

Benar ucapan Lintang. Sudah ada tumpukan pisang yang terlihat disana namun aku ragu mbah bisa menghabiskan itu semua.

Kamipun menceritakan kejadian saat menenangkan roh Nilam. Mbahpun memperhatikan ceritaku dengan seksama dan dengan mata yang berkaca-kaca.

“Syukur Nduk, kamu sudah bisa tenang di alam sana” ucap mbah sarmi sambil beberapa kali menatap langit.

Setelah beberapa lama berbincang terlihat sebuah mobil taksi berhenti di depan rumah mbok sarmi. Seorang wanita turun dari sana. Aku memperhatikan wanita itu dan dalam sekejap aku bisa mengenalinya.

Itu adalah mbak Vera..

“Wah Kinan, Lintang.. disini juga?” Ucap Mbak Vera yang segera salim ke mbok sarmi yang terlihat bingung.

“Aku Vera mbah.. temenya Nilam,” ucapnya memperkenalkan diri sambil setengah duduk di hadapan mbah sarmi.

Mbah Sarmi mencoba mengingat dengan cukup lama hingga akhirnya ia tersenyum dan mengelus-elus rambut Mbah Vera.

“Ya ampun nduk.. sudah lama banget, kenapa baru mampir kesini?” Ucap Mbah.

“Maafin Vera mbah, Vera punya salah sama Nilam. Tapi sekarang semua sudah selesai” Jelasnya.

“Nilam nggak marah sama kamu, mbah pingin bilang itu nduk...” kali ini mata mbah sarmi berkaca-kaca lagi.

Mbak Verapun segera memeluk mbah sarmi.

“Maafin Vera ya mbah..”
Tidak banyak kata-kata setelahnya. Hanya pelukan hangat dan tetesan air mata yang menular hingga ke mataku sekarang.

Kami melanjutkan pertemuan ini dengan obrolan ringan sampai mbak Vera mengeluarkan sebuah benda.

Kebaya berwarna hijau.

“Mbah, dulu Nilam pernah bilang ke Vera. Dia bilang pengen beliin mbah kebaya warna hijau. Katanya buat dipakai ke hajatan-hajatan kampung... ini sekarang Vera bawain” Ucap Mbak Vera.

“Nilam masih inget to nduk?” Ucap Mbah Sarmi sambil tersenyum.

Mbak Vera hanya mengangguk mengiyakan sementara mbah sudah memeluk kebaya hijau itu dengan wajah yang sumringah. Aku merasa perbincangan mereka akan semakin dalam dan mengajak Lintang untuk meninggalkan mereka.

Mungkin kami akan sering mampir ketempat ini sekedar untuk menikmati ketenangan sambil menemani mbah sarmi.

“Kita mau ke mana habis ini? alun-alun lagi yuk!” Tanyaku pada Lintang.

Lintang menggeleng.

“Terus kemana?”
“Ada tempat seru, tapi agak jauh.. kamu siap gak?” Tanya Lintang.

Aku mengangguk dengan semangat.

“Namanya bukit bintang. Habis ini balik ke kos dulu ambil jaket. Terus kita berangkat”

“Emangnya mau ngapain kita kesana ?” Tanyaku.

“Aku Cuma mau nunjukkin sama bintang-bintang disana, kalau yang namanya Kinan itu jauh lebih cantik dari bintang manapun yang bisa dilihat di tempat itu” Ucap Lintang yang segera menarik tanganku menuju ke motornya.

Iya! Aku tahu! saat ini wajahku sedang memerah!

Tidak ada respon lain yang kupikirkan selain memukul punggungnya dari belakang sambil berteriak..

“Dasar Lintang gombal!”

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Lintang, tapi sepertinya aku tahu kalau dibalik helmnya itu Lintang sedang tersenyum dengan reaksi saltingku.

-TAMAT-

close