Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Santet Malam Satu Suro (Part 2) - Rapal Ireng


Ini adalah kelanjutan dari Santet Malam Satu Suro "Jagat Peteng" Mengenai perjalanan Sumerep ketika dia berhasil lari dari serangan anak buah Mukso.

*****

JEJAKMISTERI - Jawa Tengah, Awal tahun 1955.
Semenjak tragedi berdarah yang dikenal dengan jagat peteng tersebut, banyak para warga yang memasang daun ilalang dan pandan yang melingkar.

Mereka percaya bahwa, santet itu belum berakhir dan akan terus merongrong keberadaan mereka saat itu.

Sumerep membuat padepokan di tengah hutan sesuai dengan arahan dari kedua orang tuanya. Dia mulai depresi berat karena harus ditinggalkan oleh kedua orang tuanya di sela-sela peperangan berdarah antara orang tuanya dengan Mukso dan bawahannya.

Hati Sumerep menambah hancur ketika dirinya harus hidup sendiri. Tanpa orang yang memperhatikannya dan juga tanpa orang yang sangat dicintainya yaitu Wati

Dibangunlah padepokan yang dia inginkan dengan bahan seadanya. Sumerep mulai mengasah kemampuannya dan mengaplikasikan santet tersebut dengan objek binatang-binatang di sekitaran hutan.

Bukan hanya itu saja, dia juga menguatkan fisiknya agar bisa menyatu dengan Gede Duwur seperti Ibunya yaitu Nyi Kasih.

Tidak lupa pula, untuk membuat transaksi perjanjian antara dirinya dengan Gede Duwur, dia juga harus menghafalkan Rapal Ireng yang tertinggal di reruntuhan rumah yang telah dibakar habis oleh anak buah Mukso waktu itu. Memang mustahil untuk mendapatkannya, namun Sumerep tidak terlalu terburu-buru dan ambisi untuk melakukan santet yang lebih mematikan dari yang dimiliki oleh kedua orang tuanya.

Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk Sumerep agar bisa melupakan kejadian yang menyakitkan tersebut.

Teruntuk sekarang, dia akan terobsesi terhadap santet yang belum dia pelajari.

Dia terus mempelajari, mendalami segala ilmu hitam yang dikembangkan oleh kedua orang tuanya.

Hingga akhirnya, dia menemukan sebuah ilmu hitam yang dikenal dengan nama,

"MANTRA BABI!"

Mantra Babi, sebuah mantra yang bisa membangkitkan jiwa-jiwa yang terkutuk.

Dengan bantuan ikatan perjanjian antara dirinya dan juga Iblis, orang yang terkena mantra babi akan dipengaruhi oleh Iblis yang merasukinya.

Namun, dia juga harus melakukan persyaratan yang sangat mengerikan. Diantaranya adalah menggunakan tulang mayit sebagai wadah dari kedatangan iblis tersebut.

Kombinasi antara mantra babi dan rapal ireng cukup kuat untuk membalaskan dendam kesumatnya terhadap Mulyo yang telah menyeret, memukuli, dan merobek kulitnya hingga mematahkan kaki kanannya setahun yang lalu sebelum terjadinya Jagat Peteng.

Rumah Wati hampir kosong beberapa bulan. Jasad Pak Mukso dan Bu Asih di makamkan di suatu tempat yang bahkan Wati sendiri tidak mengetahui tempatnya.

Yang memakamkannya adalah warga desa.

Desa S, daerah P, Jawa Tengah...

Mulyo dan Wati telah menikah di tempatnya, di daerah B. Akhirnya Mulyo mengajak seluruh keluarga besarnya untuk pergi berkunjung ke rumah Wati.

Awalnya, keluarga Mulyo menolak. Karena mereka tahu desas-desus latar belakang dari Wati yang sangat mengerikan.

Romo yang merupakan adik dari Pak Mulyo merasakan sesuatu yang kurang disukai olehnya.

"Mas, aku ngerasa ada yang janggal di desa ini. Kenapa tiap rumah mesti di pasang ilalang dan pandan melingkar?" Tanya Romo

Mulyo terdiam. Dia tahu soal itu. Dia tidak ingin membeberkan masa lalu isterinya yang memiliki latar belakang mengerikan.

"Kok diem mas?" Tanya Romo

"Wes, dek. Ojo takon aku, aku ra paham!" (Sudah, dek. Jangan tanyakan aku, aku tidak paham!) Jelas Mulyo

Mereka menuju Rumah Wati yang memang berada agak jauhan dari tetangga.

Wati dan Mulyo mengingat hal yang mengerikan di masa lalu yang sempat pernah terjadi.

"Mas..." Ucap Wati

"Ojo diteruske, wes biyien!" (Jangan diteruskan, sudah lalu!) Tegas Mulyo

Orang tua Mulyo dan beberapa anaknya yaitu Murni dan Aji menikmati suasana di desa tersebut.

"Pak, buk. Tempatnya enak, ya" Jelas Aji

"Aku jadi betah tinggal disini!" Jelas Murni

Orang tua Mulyo yaitu Pak Waris dan Bu Kurnia hanya menjawab dengan senyuman.

Di depan rumah Wati, Mulyo masih berdiri tegak bersama Wati. Romo, anak kedua dari pasangan Pak Waris dan Bu Kurnia merasakan sesuatu yang sangat menjanggal di rumah tersebut dan beberapa rumah penduduk di sekelilingnya.

Mulyo dan Wati melangkahkan kakinya lagi untuk pertama kali ke rumah milik peninggalan orang tua Wati yaitu Pak Mukso dan Bu Asih.

"Buka, dik." Ucap Mulyo

Wati membuka rumah itu yang tidak terkunci sama sekali.

"Braaak!" Pintu rumah Wati terbuka namun...

Romo yang melihat pemandangan dalam rumah Wati dari kejauhan, dia merasakan ada sesuatu yang bergerak cepat seperti sekelebat bayangan hitam dari dalam kamar.

Ketika Mulyo ingin masuk, Romo langsung menuju Mulyo dan memegangi pundaknya dari belakang.

Sontak saja Mulyo kaget.

"Mas... Rumah ini gak bener!" Ucap Romo

Mulyo perlahan melepaskan pegangan tangan yang menempel pundaknya.

"Tahu apa kamu tentang rumah ini, dek?" Tanya Mulyo

"Rumah ini menyimpan jiwa yang jahat!" Jelas Romo dengan tatapan tajamnya.

Mulyo tak menghiraukan perkataan Romo, dia terus berjalan dan memasuki rumah itu.

"Ayo semuanya masuk!" Ucap Wati

Seluruh keluarga Mulyo memasuki rumah itu. Hanya Romo yang tinggal sendirian di luar rumah sambil memandangi sekeliling rumah.

Ketika dia memandangi sebuah pohon di bagian belakang rumahnya, Romo melihat dua orang sosok mengerikan dengan wajah penuh darah dan posisi kepala menunduk ke bawah.

Romo berjalan mendekati sosok tersebut, dia mulai penasaran, apakah itu warga desa atau hal lain.

Kedua kaki dan tangannya gemetaran ketika hendak mendekati sosok itu.

Namun, ketika dia ingin mendekat lebih jauh, salah satu warga menghentikannya dengan memukul pundak Romo.

"Jangan di dekatin mas," Ucap warga itu.

Romo kaget bukan kepalang.

"Dug...!"

Jantungnya tidak berhenti berdetak kencang dan tangannya masih bergetar.

"Jangan di deketin. Mereka belum tenang!" Jelas warga tersebut.

"Ke-kenapa mas?" Tanya Romo.

Warga itu langsung membalikkan badan dan masuk ke rumahnya lagi.

Romo memandangi warga itu dan ternyata, kehadirannya telah menjadi sorotan para warga yang melihatnya dari balik pintu dan jendela, setelah Romo memandanginya satu persatu, mereka langsung menutup pintu dan jendelanya.

Romo merasakan bahwa kehadirannya telah mengundang sesuatu yang sudah lama terpendam di rumah itu.

Ketika Romo kembali memandangi tempat sosok itu berdiri tegak dengan wajah menunduk ke bawah, kedua sosok itu telah menghilang entah kemana.

Mulyo mulai mengecek satu persatu kamar yang nantinya akan digunakan oleh para keluarganya.

"Bu, Pak. Ibu sama Bapak bisa menempati tempat ini (kamar bekas Pak Mukso dan Bu Asih)" Jelas Mulyo

Wati lebih dulu masuk dan menyusuri kamar orang tuanya. Dia tak kuasa meneteskan air mata karena teringat akan sosok kedua orang tuanya yang harus meninggal dunia ketika berperang di suasana Jagat Peteng.

"Dek, kamu inget sesuatu?" Tanya Mulyo

"Mas, kalau ibu dan bapak gak ada disini, berarti ibu dan bapak sudah..." Ucap Wati

Mulyo langsung memeluk isterinya 'Wati', untuk menenangkan suasana hatinya yang teringat akan masa lalu yang kelam itu.

"Sudahlah, kita do'akan bersama-sama agar Ibu dan Bapak kamu tenang di alam sana" Jelas Mulyo

Mereka menempati tempatnya masing-masing. Kebetulan, rumah Pak Mukso lumayan luas dan memuat beberapa kamar.

Aji dan Murni menempati kamar depan, Wati dan Mulyo menempati kamar belakang, dan Romo dia menempati kamar yang berdekatan dengan kamar Wati dan Mulyo.

"Bu, aku boleh main-main di luar gak?" Tanya Aji

"Aku juga mau ikut, bu!" Ujar Murni

"Romo, tolong anterin adik-adik kamu keliling-keliling desa ini ya?"
Pinta Pak Waris

"Nggeh pak.."

Aji, Murni dan Romo berniat untuk berkeliling di dekat rumah besar milik Pak Mukso. Mereka ingin menikmati pemandangan alam yang mempesona dan tumbuh banyak pepohonan jati.

"Kira-kira, berapa tahun rumah ini gak dihuni dek Wati?" Tanya Bu Kurnia

"Gak ada tahunan, bu. Paling beberapa bulan" Ucap Wati

"Itu foto kamu kecil?" Tanya Bu Kurnia sambil menunjuk sebuah figura foto berukuran besar.

Foto itu seperti foto model ala ningrat. Wati dipangku oleh kedua orang tuanya dengan menggunakan pakaian adat jawa yang menambah wibawa dari foto itu.

"Iya, bu. Itu foto aku kecil" jelas Wati

"Umur berapa?" Tanya Bu Kurnia

Bu Kurnia semakin kepo akan keadaan dalam rumah Wati. Dia sempat-sempatnya menanyakan isi hal-hal yang tidak berguna lagi bagi Wati.

"Lima, bu" Jelas Wati

Wati segera menuju kamar namun belum sempat dia pergi, Bu Kurnia menepuk pundak Wati.

"Dek, kenapa rumah ini gak ada ilalang dan pandan yang melingkar?" Tanya Bu Kurnia

Wati terkejut mendengar itu. Dia membalikkan tubuhnya dam menatap wajah Bu Kurnia yang tanpa dosa itu. Bisa-bisanya dia mengorek-ngorek masa lalu yang hampir dilupakan oleh Wati.

"Itu karena..." Ucap Wati

"Karena apa?" Tanya Bu Kurnia dengan penasaran.

"Karena rumah ini belum sempat dipasangkan lingkaran ilalang dan pandan. Itu hanya adat, tidak ada maksud tertentu"
Jelas Mulyo ketika menjawab pertanyaan dari ibunya.

"Oooh begitu" Senyum Bu Kurnia.

Untuk beberapa kalinya, Mulyo menyelamatkan Wati,

"Bu, biarkan Wati istirahat dahulu. Dia juga lelah karena perjalanan panjangnya. Besok kita bisa cerita-cerita mengenai tempat ini" Ucap Mulyo

Wati pun langsung menuju ke kamar. Dia menahan emosi dan kesalnya kepada mertuanya, Bu Kurnia.

Mulyo mengetahui perasaan isterinya yang kalut dan penuh kekesalan.

Bu Kurnia melanjutkan membereskan barang-barangnya di rumah tersebut sedangkan Mulyo pergi ke kamar menemui Wati, isterinya.

Ketika berada di kamar, Wati langsung menutup wajahnya. Dia sangat tersentak mendengar perkataan pedas dari mertuanya yang dengan sengaja menceritakan masa lalu yang telah dia lupakan.

Mulyo memasuki kamar dan mendapati Wati sedang menangis, dia pun menutup pintu dan mendekati Wati untuk menenangkannya.

"Dek, sabar ya. Maksud ibu itu gak seperti itu, kamu harus bisa mengontrol perasaan dan emosimu" Ucap Mulyo

"Tak ada satu pun orang yang bisa menahan rasa sedihnya ketika diceritakan kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, sekuat apapun orang itu, dia juga pasti akan menangis"
Jelas Wati

"Aku tahu, apa yang dikatakan oleh ibuku salah, tapi kamu tidak usah masukan dalam hati"

Wati terdiam dan menghapus air matanya dengan kedua tangannya.

"Andaikan jagat peteng itu tidak terjadi dan andaikan tidak adanya keegoisan dalam diriku untuk berbicara dengan Sumerep, mungkin tidak ada pertumpahan darah seperti ini" Jelas Wati

Mulyo mengelus-elus rambut Wati yang halus dan disanggul itu.

"Dek, sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya jagat peteng. Semua sudah usai. Kita sudah bahagia. Aku akan selalu menjagamu dari apapun hal itu" Jelas Mulyo

Wati tersenyum dan benar-benar percaya akan segala perkataan Mulyo. Sepertinya, dia akan tumbuh kembali lagi sebagai wanita yang kuat dan penuh percaya diri.

Aji, Murni dan Romo menyusuri rumah-rumah warga yang sedari tadi tertutup dan tidak ada aktivitas apa-apa.

"Kok tempat ini sepi banget ya?" Tanya Aji

"Mungkin warga lagi ke sawah" Ucap Murni

"Siang-siang kok ke sawah?" Ucap Aji

Ketiganya terus berjalan hingga menemukan sebuah pemakaman yang letaknya berada di antara pepohonan pohon jati. Makam-makam itu berjumlah puluhan dan sepertinya bukan makam penduduk.

"Pemakaman jagat peteng?" Ucap Romo

"Kenapa mas?" Tanya Aji

"Gak papa dek. Kok makamnya cuman puluhan ya?" Tanya Romo

Mereka memasuki pemakaman itu dan melihat satu persatu nisan dari makam tersebut.

Murni memperhatikan satu nisan dan membandingkan kepada nisab lainnya.

"Mas, kok nisannya gak ada namanya?" Tanya Murni

Romo dan Aji mendekati Murni.

"Tahun 1954" Ucap Romo

"Tahun kemarin... Berarti kuburannya baru beberapa bulan ya mas?" Tanya Murni

Romo merasa ada sesuatu yang salah di tempat ini. Kenapa kuburan ini diasingkan dari tempat warga dan kenapa juga jumlahnya sangat terbatas.

Lalu, nama pemakaman itu sendiri adalah

PEMAKAMAN JAGAT PETENG

Romo langsung menarik kedua adiknya untuk segera meninggalkan pemakaman tersebut.

"Muleh! Muleh cepet!" (Pulang! Pulang cepet!) Ucap Romo sambil menarik tangan Aji dan juga Murni.

Dia rasa tempat ini ada maksud tertentu di masa lalu.

Malam harinya, semua keluarga dikumpulkan oleh Mulyo untuk membahas sesuatu.

"Nanti, rumah ini akan dijaga oleh tangan kananku, namanya Ramli. Mungkin dia akan datang besok. Dia yang bertugas menjaga rumah ini" Jelas Mulyo

"Mas Ramli tuh siapanya Mas Mulyo?" Tanya Murni

"Mas Ramli itu tangan kanan Mas Mulyo. Atau bisa disebut dengan suruhannya Mas Mulyo. Dia nanti yang membantu kita dalam segala urusan, baik keamanan atau kenyamanan kita di rumah ini" Ucap Mulyo

"Oooh, kaya hansip gitu ya?" Ucap Murni dengan polos

"Haha.. bener, seperti itu."

"Tempat ini akan menjadi tempat kita selamanya, Bapak dan Ibu bisa tinggal disini sambil mengurus lahan sawah milik peninggalan Pak Mukso!" Ucap Mulyo

Lahan dan kekayaan Pak Mukso sendiri sangatlah banyak, saking banyaknya, Pak Mukso sendiri memiliki banyak bawahan untuk mengatur semuanya. Namun, karena peristiwa jagat peteng, banyak bawahan Pak Mukso yang berjatuhan dan tewas. Dan akhirnya, direkrutlah kembali sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Mulyo untuk mengatur semua yang dibutuhkan.

"Apakah tempat ini disakralkan?" Tanya Pak Waris

Wati menatap Mulyo. Mereka berdua saling tatap-tatapan.

"Rumah ini merupakan rumah peninggalan keluarga ningrat. Tentu saja almarhum Pak Mukso sangat mensakralkannya" Ucap Mulyo dengan memplesetkan fakta dan nyatanya.

Wati tersenyum melihat suaminya pintar menenangkan sesuatu, dia juga terkesan dengan gaya bicara suaminya yang mampu mematahkan argumen orang yang diajak bicaranya.

"Apakah tempat ini pernah melakukan sesuatu kesalahan?" Tanya Romo

"Apa maksudnya?" Tanya balik Mulyo

"Tempat ini seperti menyimpan sesuatu yang misteri!" Ucap Romo

"Tempat ini sangat sakral, karena banyak sekali peninggalan-peninggalan di rumah ini. Wajar saja tempat ini masih banyak yang belum diketahui faktanya!" Jelas Mulyo

Romo hanya mengangguk. Dia tahu, itu bukanlah sebuah jawaban yang tepat. Namun itu hanyalah argumen untuk mematahkan fakta dari sesuatu yang terjadi.

"Aji dan Murni jangan main jauh-jauh ya" Ucap Mulyo

Romo menatap tajam kedua adiknya. Sebelumnya, Romo telah mengancam mereka berdua mengenai dimana saja mereka berkeliling.

Romo melarang kepada Aji dan Murni untuk menceritakan masalah pemakaman aneh yang berada jauh dari penduduk warga.

"Iya mas. Aji dan Murni gak main jauh-jauh kok" Senyum Murni.

"Ya sudah, mau tengah malam. Alangkah baiknya kita tidur semua, besok Ramli datang."

*****

Pertemuan itu segera ditutup karena waktu telah menunjuk pukul 11 malam.

Mereka semua mulai kembali ke dalam kamarnya masing-masing.

Dari sinilah, kejanggalan awal dirasakan.

Malam yang begitu dingin dan menusuk membuat Romo tak henti-hentinya berpikir keras mengenai masa lalu dibalik rumah ini.

Dia masih sempat memikirkan mengenai kedua sosok misterius itu bahkan perkataan dari warga yang berucap bahwa rumah ini terdapat beberapa penghuni yang belum juga tenang. Karena itu Romo masih mencari dengan jelas apa yang harus dilakukannya untuk memecahkan teka-teki masalah ini.

"Sepertinya ada sesuatu yang harus aku pecahkan dari rumah ini!"

"Tok! Tok! Tok!" Romo mendengar sesuatu dari luar kamarnya, seperti suara ketukan yang diketuknya berulang-ulang kali.

Romo merasa kurang percaya dengan suara ketukan itu, tidak mungkin kedua adiknya yang mengetuk pintu itu.

"Aji? Murni?" Ucap Romo

Dia pun mulai berjalan menuju pintu dan melangkah dengan perlahan.

Suara ketukan itu masih berbunyi. Masih penuh dengan rasa penasaran dibenak Romo.

"Ceklek.." Pintu itu dibuka oleh Romo.

"Loh, kok gak ada siapa-siapa?" Ucap Romo

Namun, ketika dia melihat ke arah pintu belakang rumah, telah berdiri tiga orang dengan wajah menunduk.

Keringat dingin Romo mulai bercucuran deras. Dua sosok yang berdiri diantara ketiganya adalah sosok yang dilihatnya ketika berada di pepohonan dekat rumah.

"Arghhhhhhhhh!"

Ketiga sosok itu berjalan cepat ke arah Romo dengan wajah penuh darah.

"Tolooonggggggg!"

Bruk!

Pintu kamarnya langsung dibanting begitu saja. Romo langsung menarik selimut dan bersembunyi dibalik rasa ketakutannya.

"Tok! Tok! Tok!" Suara ketukan itu berulang lagi.

Kali ini Romo tidak ingin bangun dari tempat tidurnya dan lebih memilih untuk menutupi dirinya.

"Dek, Dek Romi. Ini mas... Ada apa dek?" Tanya Mulyo dari luar pintu kamar.

Romo segera berlari ke arah pintu.

"Ceklek!.."
Romo mendapati Mulyo dengan berdiri tegak sambil membawakan teh hangat.

"Ada apa teriak-teriak?"

"Mas... Aku mau pulang!" Ucap Romo

"Loh kenapa?"

"Rumah ini banyak penghuninya!" Ucap Romo

Mereka berdua pun menatap sekeliling rumah yang begitu sakral dan mengerikan.

"Kemari, ikut mas ke ruang tamu" Ucap Mulyo

Romo pun mengikuti langkah kaki Kakaknya menuju ruang tamu.

Di ruang tamu, Mulyo mulai membuka pembicaraannya mengenai asal usul dari rumah yang dihuninya.

"Beberapa bulan kemarin, tepatnya ketika penghuni rumah pertama ini masih hidup (Pak Mukso dan Bu Asih) telah terjadi suatu tragedi yang memilukan" Jelas Mulyo

"Maksudnya? Kejadian apa mas?" Tanya Romo

Mulyo menghela nafas sebentar, dia memandangi foto yang terpampang di dinding rumah Wati yang menjadi kenangan terindah bagi Wati sendiri.

"Tragedi berdarah!" Ucap Mulyo

Romo tersentak mendengar jawaban dari sang kakak mengenai tragedi yang dimaksud tersebut.

"Tragedi berdarah itu disebut dengan nama -JAGAT PETENG- atau Dunia gelap!" Jelas Mulyo

"Jagat Peteng?" Tanya Romo

Seperti Romo mengetahui kalimat itu. Kalimat yang ditemukannya ketika mengunjungi sebuah pemakaman yang jauh dari penduduk warga.

"Jagat Peteng mengisahkan peperangan antara keluarga Pak Mukso dengan keluarga dukun, Ki Mergosukmo!" Ucap Mulyo

"Dukun? Apa hubungan keduanya?"

Romo menatap sekeliling rumah yang tampak memberikan aura merinding yang sangat begitu menggetarkan kalbunya.

"Keduanya memiliki kisah kisruh terhadap perjodohan yang tak direstui. Namun bukan itu masalah terbesarnya!" Jelas Mulyo

"Maksud perjodohan itu adalah Wati?" Tanya Romo

Mulyo mengangguk sebagai tanda membenarkan perkataan.

"Aku merupakan orang kepercayaan Pak Mukso. Aku juga yang mengetahui mengenai permasalahan inti dari jagat peteng itu sendiri!" Jelas Mulyo

"Karena perjodohan?" Tanya Romo

"Itu masalah sekundernya. Primernya, Pak Mukso ingin menguasai tanah ini. Dia tidak mau ada yang menentang kehendak dan perintahnya selama dia menjadi orang nomor satu di desa ini!" Jelas Mulyo

"Jadi, karena jabatan?" Jelas Romo

"Begitu kira-kira" Jelas Mulyo

Mulyo menyeruput teh yang dibawanya.

"Kamu harus tahu ini, dek. Kamu adalah orang pertama yang aku ceritakan mengenai inti dari masalah ini. Santet itu benar-benar mengerikan. Aku sendiri tidak terbayang akan menghadapi orang seperti dukun-dukun itu!" Jelas Mulyo

Romo memegangi dagu nya sambil memikirkan sesuatu.

"Lalu, bagaimana nasib dari Pak Mukso dan Bu Asih sendiri?" Tanya Romo

Mulyo menatap kanan-kiri sekelilingnya, obrolan mereka berdua seperti diawasi oleh sesuatu yang tidak terlihat.

"Mereka semua tewas!" Jelas Mulyo

Dreg! Hati Romo mulai tidak tenang. Jadi ketiga sosok yang dia lihat adalah korban dari kejamnya santet penyerangan di waktu jagat peteng yang diceritakan oleh kakaknya tadi.

"Apakah ada orang lagi yang tewas dari serangan itu?" Tanya Romo

"Ada. Dan sangat banyak sekali!"

"Namun yang lebih berkesan adalah kematian suami pertama Wati, yaitu Surip!"
Jelas Mulyo

"Suami pertama? Jadi Mbak Wati sudah pernah menikah sebelumnya?" Tanya Romo

"Suami pertama dari Wati merupakan orang terpandang. Pak Mukso sengaja menikahkan Wati dengan Surip agar dia mampu mendapatkan jabatan yang dikelola oleh orang tua Surip waktu itu. Namun lain lagi permasalahannya ketika orang yang dicintai Wati adalah pelaku dari penyerangan jagat peteng ini!" Jelas Mulyo

"Siapa?"

"Namanya adalah SUMEREP!"

Romo tidak bisa membayangkan betapa rumitnya Kisruh dan permasalahan yang dihadapi oleh keluarga pemilik rumah yang sekarang sedang dihuninya.

"Sumerep adalah pria yang disukai Wati. Kedua orang tuanya melarang Wati untuk menikah dengan Sumerep karena jejak keturunan yang sangat buruk, yaitu keluarga dukun!" Jelas Mulyo

Romo mengangguk paham.

"Sedangkan Wati, merupakan keturunan ningrat yang harus mempertimbangkan segala kehormatan dan harga dirinya ketika ingin menikah dengan pria manapun" Jelas Mulyo

"Lalu, mengapa Wati bisa menikah dengan Mas Mulyo?" Tanya Romo

"Itu karena surat wasiat. Aku diperintahkan oleh Pak Mukso untuk menikahi Wati dan menjaganya. Walaupun itu agak terpaksa, namun keputusan mutlak itu tidak bisa diganggu gugat lagi!" Jelas Mulyo

Romo terdiam sejenak, sedari tadi dia merasa ada sesuatu yang menatapnya dari luaran.

"Kamu beruntung dek. Kamu diberi anugerah untuk bisa merasakan dan melihat mereka yang telah tiada!" Ucap Mulyo

"Aku rasa penghuni tempat ini tidak menyukaiku mas. Terlebih lagi sosok itu"

Mulyo terdiam ketika jari telunjuk Romo menunjukkan ke arah jendela.

"Siapa yang kau maksud?" Tanya Mulyo

"Mukso!" Ucap Romo

Bruk!

Bingkai foto yang tertempel di dinding langsung terjatuh dengan sendirinya.

Mulyo dan Romo terkejut melihat hal itu.

"Sudah! Pergi ke kamar!"

Romo berusaha untuk melarikan diri namun ketika dia melihat ke arah pintu belakang, seorang wanita sedang menggantung di atap rumah dengan rambut menjuntai ke depan.

"Rumah ini..." Ucap Romo

"Romo, apa lagi yang kau lihat?" Tanya Mulyo sambil memandangi ke arah yang sama.

"Rumah ini telah sepenuhnya dikuasai oleh jiwa mereka!" Ucap Romi

Sosok wanita itu berjalan cepat ke arah Romo dan Mulyo dengan posisi terbalik dan kedua kakinya menyentuh atap. Sedangkan rambutnya menjuntai ke bawah.

Mulyo merasa kebingungan dengan sikap Romo, dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan situasi tersebut.

Sosok itu seolah-olah akan mencengkram tubuh Romo yang telah mengetahui keberaraannya.

Romo menarik tubuh Mulyo yang sedang kebingungan lalu memerintahkan untuk menundukkan kepala sambil memejamkan kedua matanya.

"Mas, sesuai aba-abaku! Menunduk dan pejamkan mata!" Ucap Romo

"Kenapa dek?" Tanya Mulyo

"Bu Asih hendak merasuki tubuh kita!" Jelas Romo

"Hah?" Tanya Romo dengan nada terkejut.

"Tap! Tap! Tap!"

Suara langkah kaki itu sangat jelas.

"Sekarang mas!"

Romo dan Mulyo segera menunduk dan memejamkan kedua matanya.

"Wussh..."

Suara angin berhembus dari arah tepat ketika dia menundukkan tubuh dan memejamkan kedua matanya.

Romo masih belum berani membuka kedua matanya, dia tahu keberadaan mereka masih bisa dirasakan.

"Dek? Udah boleh dibuka?" Tanya Mulyo

"Iya mas..."

Ketika Romo membuka kedua matanya, tepat di belakang mereka telah berdiri tiga sosok yang menyeramkan.

Ketiga sosok itu mendorong tubuh Romo secara bersamaan.

"Romooooooo!"
Teriak Mulyo ketika mengetahui tubuh adiknya terdorong dengan sendirinya.

"Bruk!" Tubuh Romo menabrak tembok.

Mulyo segera berlari dan mendekat ke arah Romo.

"Kamu ndak papa, dek?" Tanya Mulyo

Romo masih menatap ketiga sosok itu dari kejauhan, perlahan mereka menghilang sambil mengatakan sesuatu.

"R-A-P-A-L I-R-E-N-G"
(Rapal Ireng - Mantra Hitam) Ucap mereka lalu menghilang.

Romo menghela nafas.

"Mereka sudah pergi mas..."

Mulyo segera mengangkat tubuh Romo menuju kamarnya, sepertinya hari pertama Romo mendapat sambutan luar biasa dari penghuni rumah tersebut.

"Hati-hati dek..." Ucap Mulyo ketika membiarkan Romo mengangkat kedua kakinya ke atas kasur.

"Gimana keadaannya sekarang?" Tanya Mulyo

"Sepertinya kita harus segera menyelesaikan masalah ini mas. Ini ada kaitannya dengan jagat peteng yang mas katakan tadi!" Jelas Romo

"Jagat Peteng? Apa maksudnya?" Tanya Mulyo

"Mereka dipermainkan oleh sesuatu. Oleh sebuah mantra yang menguasai jiwanya" Jelas Romo

Mulyo memikirkan sesuatu yang mungkin itu ada kaitannya dengan almarhum Mukso.

"Pak Mukso tidak pernah mengatakan sesuatu mengenai mantra tersebut!" Ucap Mulyo

"Nama mantra itu adalah RAPAL IRENG!" Jelas Romo

"RAPAL IRENG? (Mantra Hitam?)" Tanya Mulyo

Rapal Ireng merupakan Mantra untuk mengaktifkan Gede Duwur sebagai senjata utama dalam santet tersebut.

"Tidurlah dek... Besok kita cari solusinya. Aku akan membantumu mencari nama dari Rapal Ireng tersebut" Jelas Mulyo

"Siap mas..."

Teror di hari pertama menjadikan Romo sangat percaya bahwa, pengguna santet tersebut adalah orang yang memiliki tingkat ilmu hitam yang tinggi.

Karena, dia juga bisa menguasai jiwa-jiwa yang masih penasaran dan dijadikannya sebagai alat untuk menyerang korban yang dituju.

Keesokan harinya, Ramli yang merupakan tangan kanan dari Mulyo datang.

"Selamat pagi, mas..." Ucap Ramli ketika memasuki rumah Wati yang terbuka.

Kebetulan keluarga Mulyo sedang sarapan pagi.

"Ramli... Ayo masuk sini" Ucap Mulyo. Dia langsung bangkit dan menuju ke Ramli.

Ramli menyalami satu persatu seluruh keluarga Mulyo.

"Bagaimana perjalananmu?" Tanya Mulyo

"Aman mas... Namun ada hambatan ketika aku memasuki desa ini" Jelas Ramli

"Halangan? Maksudmu gangguan?" Tanya Mulyo

"Benar mas..." Jelas Ramli

"Seperti apa?" Tanya Mulyo

"Di saat delman yang kutumpangi menuju desa ini, tiba-tiba di tengah jalan terdapat tiga ekor babi dengan organ dalam yang sudah terurai" Jelas Ramli

Romo tidak bisa menahan rasa mualnya, dia pun langsung menuju ke kamar mandi.

"Mungkin kamu tidak usah menceritakan itu mli"

Kondisi mereka sedang makan dan Ramli menceritakan kondisi yang tidak memungkinkan itu.

"Maaf mas..." Ucap Ramli

Romo kembali ke ruang makan, sedangkan Aji dan Murni telah usai makan dan langsung disuruh oleh Bu Kurnia dan Pak Waris untuk masuk ke dalam kamar.

"Silahkan cerita lagi..." Ucap Mulyo

"Ketiga babi itu menghalangi perjalananku untuk menuju desa ini. Seluruh organ dalamnya keluar. Namun anehnya kepalanya sudah tidak ada..." Ucap Ramli

"Aneh... Kok bisa ya?" Tanya Mulyo

"Mas Ramli, mas tahu Rapal Ireng?" Tanya Romo

Romo memotong pembahasan yang sedang dibahas oleh mereka.

"Rapal Ireng? Apa ini ada hubungannya dengan Ki Mergosukmo?" Tanya Ramli kepada Mulyo.

"Entahlah, kemarin malam, kami berdua diganggu oleh penghuni rumah ini" Ucap Mulyo.

"Maksudmu almarhum tuan Mukso?" Tanya Ramli.

"Benar... Bukan hanya tuan, tapi nyonya dan juga Surip, suami pertama Wati yang meninggal. Kami diteror hingga membuat Romo terpental dan menabrak tembok!" Jelas Mulyo.

"Mas, apa jiwa tuan dipermainkan?" Tanya Ramli.

"Maksudmu?" Tanya Mulyo balik.

"Sumerep itu memainkan tuan!"

Mereka bertiga membahas secara rinci mengenai Rapal ireng yang dimaksud.

"Aku pernah mendengar sedikit mengenai Rapal Ireng tersebut. Rapal Ireng ini berguna untuk memanggil sosok dari Gede Duwur yang dinisbatkan sebagai senjata dari santet tersebut" Ucap Ramli

Mulyo terkejut mendengar kata 'Gede Duwur' yang dimaksud.

"Gede Duwur? Aku pernah bertatap-tatapan langsung dengannya" Ucap Mulyo

"Bagaimana bentuknya?" Tanya Romo

"Berbadan besar dan tinggi sekujur tubuhnya dipenuhi oleh bulu, sorot matanya tajam. Seluruh kukunya panjang!"

"Mengenai Gede Duwur, sebenarnya dia akan terus bersemayam kepada tuannya sampai tuannya tersebut meninggal" Jelas Ramli

"Jadi, jika Sumerep belum mati Gede Duwur itu masih tetap ada?" Tanya Mulyo

"Semenjak kejadian Jagat Peteng, aku belum mendengar desas-desus kehidupannya!"

"Siapa pemilik pertama dari Gede Duwur?" Tanya Romo

Mulyo dan Ramli saling menatap, dia ragu mengatakan hal itu, namun semenjak penyerangan jagat peteng, beberapa bawahannya yang meninggal dunia karena Gede Duwur di dapati mendapat luka serius di sekujur tubuh.

"Kemungkinannya ada dua, entah itu Ki Mergosukmo atau Nyi Kasih" Jelas Ramli

Romo berpikir sejenak akan ucapan dari Ramli tersebut.

"Lalu, apakah kematian Tuan Mukso, Nyonya Asih dan Mas Surip itu karena Gede Duwur?" Tanya Romo

"Sepertinya tidak. Karena ketiganya memiliki pendarahan di dalam organ tubuh bukan di luar tubuh!" Jelas Mulyo

"Bila ketiganya tewas bukan karena Gede Duwur, berarti yang membunuh ketiganya adalah sejenis santet. Namun yang menyerang organ dalam!" Jelas Romo

Mulyo merasa bangga dengan pemikiran adiknya yang cepat tangkap itu.

"Lalu kira-kira siapa yang mengendalikan Gede Duwur tersebut?" Tanya Mulyo

"Aku rasa, santet yang menyerang ketiganya adalah santet getih sewu. Sedangkan yang menyerang seluruh bawahan tuan Mukso adalah..."

"Gede Duwur!" Sambung Romo

Ramli dan Mulyo mengangguk paham, keduanya mulai mengerti sedikit demi sedikit alur penyerangan santet tersebut.

"Lalu dimana Rapal Ireng itu berada?" Tanya Mulyo

"Yang pasti, Rapal Ireng itu berdekatan dengan jasad dari pengguna Gede Duwur!" Romo terus memberikan penjelasan terkait penyerangan jagat peteng yang belum diketahui oleh Ramli dan Mulyo.

"Pengguna santet yang terkenal disini adalah Ki Mergosukmo. Jadi pengguna Gede Duwur adalah..." Jelas Ramli.

"Nyai Kasih, betul kan?" Tanya Romo.

Mereka mengangguk paham.

Diskusi mereka ternyata membuahkan hasil. Romo sebagai orang yang memiliki kelebihan dalam merasakan hawa keberadaan mereka yang tidak bisa dilihat oleh mata menjadi sebuah kelebihan tersendiri untuk berjaga-jaga.

"Sebentar lagi malam satu suro, ingat, kejadian kemarin terjadi di malam satu suro. Kita mesti waspada" Ucap Mulyo

Ramli dan Romo mengangguk. Mereka berdua segera menghabiskan wedang yang sedari tadi dibiarkan begitu saja.

Akhir dari percakapan mereka ditandai dengan kehadiran Wati dengan wajah yang murung.

"Mas... Kita mesti bicara" Ucap Wati ketika datang dengan tiba-tiba.

"Ke-kenapa, dek?" Tanya Mulyo

"Di kamar saja, mas..." Ucap Wati

"Oooh, baik. Aku tinggal bentar dulu ya" Ucap Mulyo

Kini tinggal Ramli dan Romo yang masih berada di ruang tamu sambil menyantap hidangan dan wedang yang tersedia di meja, mereka berdua tampak memikirkan satu sama lain akan jagat peteng yang pernah terjadi sebelumnya.

"Kau tahu kisah percintaan Wati dengan Sumerep?" Tanya Ramli.

Romo menyeruput wedangnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari Ramli.
"Sedikit, mas. Itu juga diceritakan oleh Mas Mulyo"
Ucap Romo.

"Jika Wati tidak mengkhianati cintanya, maka Sumerep tidak akan menyerang santet ini. Cinta adalah awal mula dari segalanya!" Jelasnya.

"Cinta? Bukannya Mbak Wati waktu itu sudah dalam kondisi yang sangat pasrah?" Tanya Romo.

"Cinta adalah awal dari segalanya. Cinta kepada harta, cinta kepada seseorang, cinta kepada jabatan. Pilihannya ada dua, apakah cinta itu membawanya pada kebaikan? Atau kehancuran?"

Romo mengangguk paham. Memang ada benarnya juga apa yang dikatakan Ramli kepadanya, Wati mencintai Sumerep. Sedangkan Pak Mukso mencintai jabatan. Keduanya memiliki garis merah yang sama. Yaitu Harapan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Kalau begitu, bagaimana cara mematikan cinta jika membawa kepada kejahatan?" Tanya Romo.

"Yang kau harus ketahui adalah jati dirimu dahulu. Seseorang bisa dikatakan berhasil dalam bercinta jika dia memiliki jati diri. Karena darinya, kita bisa mengayuhkan arah kemana pun!"

Romo mendekatkan diri ke arah Ramli, dia tidak ingin ada seseorang yang mendengar perkataannya selain mereka berdua.
"Bagaimana jika cinta itu dikhianati? Sama halnya jika mengkhianati satu sama lain diantara keduanya?" Tanya Romo

"Maksudmu, jika aku dikhianati?" Romo mengangguk.

"Sudah jelas! Aku tidak menerima hal itu. Rasa yang tak ingin aku munculkan ketika berhadapan dengan cinta adalah ketika aku merasa benci karena dikhianati. Tapi itu adalah murni sifat manusia, hanya saja, bagaimana dia memposisikan rasa bencinya terhadap orang yang dicintai"

Cinta dan Khianat. Dua opsi yang saling bertabrakan ketika salah satu diantaranya tidak berada dalam rel yang sama.

Jalur yang memposisikan diantara keduanya, sampai dimana ketahanan cinta mereka berdua ketika ditimpa oleh berbagai masalah. Itu adalah sebuah instrumen khusus yang menyadarkan dan memposisikan cinta dan khianat dalam posisi yang tinggi dalam kehidupan manusia.

Tidak sedikit orang yang telah dikhianati dia akan membalas dendam. Tidak sedikit pula orang yang telah dicintai, dia akan melakukan apapun demi yang dicintainya.

Bersamaan mereka sedang membahas Cinta, Mulyo pun datang

"Mli, kamu satu kamar dengan Romo tidak apa-apa, kan? Kita baru saja menyiapkan kasur untuk kamu" Ucap Mulyo.

"Oalah, terima kasih mas"

"Mending istirahat dulu sana, mli. Kasian baru dateng dari jauh kan?" Ucap Mulyo

Ramli pun tersenyum, dia lalu bersiap mengangkat barang bawaannya, namun Romo dengan cepat mengangkatnya terlebih dahulu.

"Biar saya aja, mas. Gak baik kalo tamu ngangkat barang bawaannya" Ucap Romo

Ramli hanya tersenyum dan merangkul pundak Romo. Keduanya mendapatkan kedekatan yang sangat erat walaupun ini momen pertama kali bagi keduanya untuk menceritakan mengenai apa arti kehidupan yang sebenarnya.

Ketika melewati kamar Wati, Romo terkejut dengan sesuatu yang baru saja dilihatnya barusan.

Karena posisi pintu tidak ditutup, dia bisa melihat Wati sedang terduduk sambil mengelus-elus perutnya. Romo melihat ketiga sosok itu (Pak Mukso, Bu Asih dan Surip) dengan wajah penuh darah sedang mengelus perut Wati secara bersamaan.

"Argh!" Ucap Romo sambil menundukkan kepalanya ke arah bawa lantai.

Ramli tahu, Romo melihat sesuatu yang tidak bisa dilihatnya. Karena itulah dia mempercepat langkahnya.

Sesampainya di kamar, Ramli terduduk diam. Dia termenung dan membayangkan jika ketiga sosok itu mengganggu keluarganya.

"Ketakutan yang paling ditakuti oleh manusia adalah ketakutan yang belum tentu tahu kapan datangnya ketakutan itu sendiri. Manusia ingin bebas. Namun dia juga merasa takut, apa arti bebas jika rasa takut masih menghantui?" Ucap Ramli.

"Takut akan kehilangan. Pernahkah Mas Ramli merasakan hal itu?" Tanya Romo.

"Pasti. Itu adalah sifat alamiyah manusia. Karena kita punya rasa. Punya naluri dan keinginan. Pasti itu akan terjadi, namun pernahkan kamu kehilangan rasa takut?" Tanya balik Ramli.

"Kehilangan akan rasa takut?" Tanya Romo

"Ya, benar. Kehilangan akan rasa takut?" Tanya Ramli.

"Aku belum pernah, mas. Aku hanya pernah takut akan kehilangan" Jelas Romo

"Kau akan merasakannya nanti. Manusia akan menaiki tangga tersebut sesuai berjalannya waktu" Jelas Ramli

"AJIIIIIII!" Teriak Bu Kurnia dari kamar.

Ramli dan Romo terkejut mendengar teriakan Bu Kurnia dari dalam kamar.

"Ada apa Romo?" Tanya Ramli.

"Gak tahu, mas. Kayaknya ada sesuatu yang terjadi pada Aji, ayo mas! Kita keluar dulu!" Ucap Romo

"Ayo..." Mereka berdua keluar dan menuju kamar Aji.

Seluruh keluarga terkejut mendengar teriakan dari Bu Kurnia tersebut. Mereka bebarengan memasuki kamar Aji.

"Apa.. apa... mas?" Tanya Ramli kepada Mulyo.

"Ndak tau, mas. Sepertinya Aji kesurupan sesuatu!" Ucap Mulyo

Ketika Romo ingin menghampiri kamar Aji, dia mendengar suara asing dari dalam kamar tersebut.

"Mas, tunggu. Jangan masuk dulu" Ucap Romo

Ramli dan Mulyo mematuhi perintah Romo. Mereka berdua juga mendengar suara yang sama.

"Pak! Aji kenapa?" Teriak Bu Kurnia.

"Gak tahu bu, dari tadi dia ngomong gak jelas gini!"

Pak Waris dan Bu Kurnia mencoba untuk menghentikan Aji yang terus berbicara dalam bahasa jawa kuno.

Romo tersentak mendengar suara itu dari balik kamar Aji.

"Bahasa ini..." Ucap Romo

"Kenapa, dek?" Tanya Mulyo

"Bahasa jawa kuno!"

"Jawa kuno? Emang apa artinya?" Tanya Ramli

"Gupak pulut ora mangan nangkane yang berarti tidak turut menikmati manisnya keberuntungan tetapi ikut terseret dalam kesengsaraan dan penderitaan!" Jelas Romo

Mulyo langsung memasuki kamar Aji. Di dalam kamar Pak Waris dan Bu Kurnia sedang menahan Aji yang terus menerus mengucapkan kalimat aneh itu.

"Mulyo! Adikmu kesurupan!" Ucap Bu Kurnia.

"Murni mana bu?" Tanya Mulyo.

"Dia tadi keluar. Katanya mau main-main di sekitaran rumah, tapi belum kembali sampai sekarang!"

Mulyo kesal mendengar penjelasan itu.

Dia keluar lagi untuk mencari Murni.

"Mas mau kemana?" Tanya Romo.

"Mau cari Murni! Dia gak ada di kamar, katanya lagi main di sekitaran rumah!" Ucap Mulyo.

"Biar aku saja yang cari mas. Kalian berdua urus Aji saja!" Ucap Ramli.

"Kamu yakin mas?" Tanya Romo

Ramli mengangguk.

"Romo, cepat usir makhluk yang memasuki Aji sekarang!" Pinta Mulyo.

"Tapi dengan apa?" Tanya Romo.

"Apapun caranya! Kamu gak mau kan adik kita menjadi korban selanjutnya?" Tanya Mulyo.

Romo tersentak mendengar kalimat itu. Dia langsung kepikiran akan jahatnya santet yang menyerang.

Keluarga Wati saat jagat peteng menghantui hari-harinya. Romo langsung masuk ke dalam kamar bersama Mulyo, sedangkan Ramli, dia mencari Murni yang berada di luaran rumah.

Aji masih berucap kata-kata tersebut. Romo tidak tahu harus berbuat apa.

Wajahnya sangat pucat dan tatapannya tajam seperti dikendalikan oleh sesuatu.

Romo memegangi kepala Aji.

"Bu, Pak, Mas... Tolong pegangi bagian tubuh yang lain" Pinta Romo

Mereka mengangguk paham.

Kedua tangan dan kaki Aji dipegang erat oleh mereka bertiga. Romo mulai memejamkan matanya.

Dari telinga Romo terdengar suara aneh yang membisikinya.

"Adikmu akan mati! Dia harus menjadi korban pertama dari kesalahan orang-orang yang berada di sekelilingmu!"

Romo melepaskan tangannya dari kepala Aji.
"Kenapa, dek?" Tanya Mulyo

"Ini perbuatan Sumerep!" Jelas Romo

"Sumerep? Dia masih hidup?" Tanya Mulyo

"Dia akan mengambil jiwa Aji untuk dijadikan korban pertama dari kesalahan orang-orang yang berada di sekitarannya!"

"Gak mungkin! Kenapa harus Aji!" Teriak Bu Kurnia.

"Romo! Apa gak ada cara lain buat nyembuhin Aji?" Tanya Pak Waris

"Aku gak tahu, pak. Aji sudah dikendalikan. Aku gak tahu harus bagaimana!"

Tiba-tiba, dari mulut Aji keluar darah segar.

"AJIIIIII!" Teriak Bu Kurnia

"I... Ini!" Ucap Mulyo

"Kenapa mas?" Tanya Romo

"INI MIRIP SEPERTI SERANGAN JAGAT PETENG!"
Teriak Mulyo

"HAH?" Romo masih menatap dengan sayu tubuh adik kecilnya, Aji.

Darah itu terus keluar dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

"Mulyo, kita harus bagaimana?" Tanya Pak Waris

Wajah Mulyo benar-benar datar dan sangat kaku. Dia tak berkata sedikit pun, tubuhnya menjadi gemetar tak terkira.

"Mas? Mas Mulyo kenapa?" Tanya Romo

Jagat peteng yang dia ketahui sangatlah mengerikan. Bagaimana bisa terulang?

Seluruh korban yang terkena santet tersebut akan mengeluarkan banyak darah. Namun sangat mustahil bagi para korban untuk bisa selamat dari maut yang sudah berada di ujung tanduk seperti ini.

"Kita harus cari tabib! Dimana pun! Aku tak mau kehilangan satu orang pun disini!"

Mulyo langsung menggotong adiknya, Aji. Bu Kurnia masih menangis histeris melihat anaknya mengeluarkan banyak darah.

Pak Waris tampak kebingungan dan mengikuti arah dari Mulyo untuk mencarikan Tabib, sedangkan Romo masih berdiri di dekat Bu Kurnia

"Siapa pelakunya?"

"Kenapa Aji terkena serangan itu? Kenapa serangan itu tidak tampak? Kenapa serangannya begitu cepat? Kenapa santet ini tidak bisa aku rasakan?" Tanya Romo dengan wajah yang datar.

Bu Kurnia masih menangis. Dia tak tega melihat anaknya akan mati seperti apa yang dikatakan Romo.

Romo menatap sekeliling kamar Aji, dia tidak menemukan apapun yang bisa dijadikan sebuah jalan keluar.

"Romo... Bantu kakakmu mencari tabib! Cepat Romo! Sebelum terlambat!" Ucap Bu Kurnia dengan memohon-mohon kepada Romo.

Romo menatap wajah Ibunya.
"Bu...?" Tanya Romo

"Hiks... Hiks... Sebelum itu, Wati mengajak Aji dan Murni bermain. Aji disuruh minum sesuatu dan dia langsung tertidur, sedangkan Murni. Dia disuruh keluar untuk mencarikan sesuatu dibawah reruntuhan rumah! Ibu mendengarnya lewat pintu kamar ini!" Jelas Bu Kurnia

"Reruntuhan rumah?" Tanya Romo

"Ibu tidak tahu apa yang dikatakan oleh Wati, namun sepertinya itu bukan Wati yang kita kenal. Suaranya agak berat seperti orang tua berusia 45 tahunan!" Jelas Bu Wati

"Jangan-jangan...!"
Romo langsung berlari menuju kamar Wati, dan ternyata...

Ketika Romo membuka kamar Wati, dia mendengar ucapan yang sama seperti apa yang diucapkan Aji sebelum mengeluarkan banyak darah dari mulutnya.

"Gupak pulut ora mangan nangkane!" Ucap Wati sambil mengarahkan pisau ke perutnya.

"JANGAAAAN!"

Romo langsung berlari dan berusaha sebisa mungkin agar dia bisa mengambil paksa pisau tersebut dengan tangannya.

"Jleb!" Pisau itu mengenai daging dan mengeluarkan darah dari bekas tusukannya,

"Ro.. mo? Kamu ngapain?" Tanya Wati yang tampak baru sadarkan diri.

"Mbak Wati udah sadar?" Tanya Romo

"ARGHHHHHH! ROMOOOOOO! TANGANMU KENAPAAAA?" Teriak Wati

Pisau itu menusuk tangan Romo. Tetesan darah segar berjatuhan sedikit demi sedikit.

Romo mencabut pisau itu. Wati menutupi mulutnya dengan kedua tangan sambil berucap.

"Romo, maaf..." Ucap Wati

Romo segera mencari potongan kain untuk menutup lukanya.

Wati mengikuti Romo dari belakang.

"Romo... Sini biar aku saja yang mengikatnya!" Pinta Wati

Romo menyerahkan kain itu kepada Wati.

"Apakah mbak sadar?" Tanya Romo

"Romo, entah kenapa, hari-hari ini aku seperti dikendalikan oleh sesuatu. Aku tak bisa melakukan hal yang biasa aku lakukan. Ini seperti tak pernah terjadi dalam hidupku namun aneh rasanya..."

"Mbak kasih minuman apa ke Aji?" Tanya Romo

"Minuman? Aku tak memberi minuman apapun ke Aji" Ucap Wati

"Murni, mbak nyuruh Murni keluar kemana?" Tanya Romo

"Kamu kenapa menanyakan sesuatu yang tidak aku ketahui?" Tanya Wati

Romo terdiam sesaat. Ikatan kain untuk menutupi lukanya telah selesai.

"Santet itu menyerang rumah ini lagi!" Ucap Romo

"SANTET?" Tanya Wati dengan wajah tak biasa.

"Aji terkena serangan santet itu. Mulutnya mengeluarkan banyak darah. Murni, dia menghilang dari rumah ini!"

"Jadi, penyebab Aji dan Wati terkena santet adalah karenaku?" Tanya Wati

"Bukan! Mbak Wati hanyalah wadah saja. Itu karena, pikiran Mbak Wati masih kosong. Sehingga, Mbak Wati mampu dikendalikan!"
Jelas Romo

"Lalu siapa pelakunya?" Tanya Wati

"SUMEREP!" Jelas Romo

Mulyo terus menggotong adiknya Aji untuk meminta pertolongan warga.

"Bu, pak! Tolong... Tolong Carikan kami Tabib! Tolong bu, pak!" Ucap Mulyo

Namun tak ada satu pun pintu yang terbuka. Seluruh rumah sudah dia ketuk, namun tak ada satu pun yang ingin membukakannya untuk Mulyo.

"Mulyo..." Ucap Pak Waris

"Hiks... KENAAPAAA? KENAPA KALIAN SEMUA TIDAK INGIN MEMBUKAKAN PINTU UNTUK KAMI?" Teriak Mulyo sambil menangis

Tubuh Aji semakin melemah, sepertinya dia tak kuat lagi menahan luka dalamnya.

"Anak kecil itu mustahil untuk ditolong" Ucap salah seorang warga

Mulyo dan Pak Waris membalikkan wajahnya. Dia mendapati seorang warga membawa golok di tangan kanannya.

"Pak... Tolong kami..." Pinta Mulyo

"Aku tak menjamin dia bisa hidup lama. Tapi aku bisa membantumu!"

Mulyo gembira mendengar hal itu.

"Terima kasih, pak... Terima kasih!" Ucap Mulyo

Warga itu berjalan menuju ke arah rumahnya, dia sadari betul, bahwa serangan itu masih ada.

Mulyo dan Pak Waris mengikuti langkah dari warga itu sambil menengok kanan-kiri sekelilingnya

"Pak, masih jauh?" Tanya Mulyo

Warga itu tidak menjawab satu kata pun dari mulutnya. Perasaan Mulyo menjadi tak enak, seperti ada kejanggalan.

Berhentilah orang itu di sebuah rumah yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya.

"Masuklah..." Ucap orang itu

Mulyo dan Pak Waris masuk ke dalam rumah itu. Tubuh Aji yang belum juga sadarkan diri membuat Mulyo tampak khawatir.

"Baringkan anak itu" Ucap orang itu

Mulyo membaringkan Aji di sebuah karpet yang terbuat dari anyaman.

"Anak ini sudah terkena buhul (tali santet)"

"Buhul?" Tanya Mulyo

"Karenanya, aku tidak bisa menjamin keselamatan dari anak ini. Namun, bisa aku patahkan buhulnya (tali santetnya)" Ucap orang itu

"Siapa pelaku dari penyerangan buhul ini?" Tanya Mulyo

"Titisan Mergosukmo!"

*****

Orang itu melulurkan sesuatu di tubuh Aji. Lalu, dia mengambil sebuah wadah serta air untuk melihat buhul yang terkandung dari tubuh Aji.

"Perhatikan! Akan kuperlihatkan buhul itu, ingatlah, ini adalah kesempatan terakhir kalian. Selesai ini, kalian harus pergi dari tempat ini!"

Orang itu merapalkan sesuatu. Mulutnya berkomat-kamis sembari melulurkan perut Aji. Awalnya tidak terlihat tanda-tanda sesuatu yang menjanggal, namun beberapa menit kemudian, perut Aji tampak mengeras seperti batu.

"Ambilkan wadah itu..." Ucapnya

Mulyo mengambil wadah yang dimaksud. Wadah itu digunakan untuk mewadahi buhul yabg keluar dari perut Aji.

"Metuke, nang! Ojo ditahan!"
(Keluarkan, nak! Jangan di tahan!) Ucap orang itu kepada Aji

Mulyo dan Pak Waris tampak khawatir.

Dia melihat sisi ketidakmampuan Aji untuk mengeluarkan buhul dari perutnya.
"Bangunkan, dia. Aku akan menepuk-nepuk lehernya!" Ucapnya

Mulyo dan Pak Waris membangunkan Aji. Lalu mereka berdua menahan tubuh Aji agar tidak ambruk kembali.

"Metuke, nang! Metuke!" (Keluarkan, nak! Keluarkan!) Teriak orang itu.

Aji tiba-tiba terbangun, dia langsung mengarahkan mulutnya ke wadah yang telah dipersiapkan.

"Huwokkkkkkkk!" Suara dari mulut Aji yang dipastikan mengeluarkan sesuatu yang banyak namun ketika sesuatu itu telah keluar, bunyi dari sesuatu itu gemrincing seperti logam.

"Metuke nang! Metuke!" (Keluarkan nak! Keluarkan!)

"Huwwwwoooookkkk!"

Seluruh buhul itu keluar dengan sendirinya. Puluhan paku dan silet membanjiri wadah itu bersamaan dengan darah yang membasahinya.

"Aji..." Ucap Mulyo

Aji segera membalikkan wajahnya ke arah Mulyo, dia belum sepenuhnya sadar dan masih dikendalikan oleh titisan Mergosukmo.

"Iki kabeh salahmu. sampeyan bakal miwiti perang iki. kabeh bakal dadi batang!" (Ini semua salahmu. Kamu yang akan memulai peperangan ini. Semua orang akan menjadi bangkai/mati!) Teriak Aji dengan suara yang sangat berat dan mulut penuh akan darah, lalu dia pingsan tak sadarkan diri.

"AJIIII!" Teriak Mulyo

"Perang sebentar lagi dimulai!" Ucap orang itu

Mulyo menangis sejadi-jadinya. Dia menyesal telah melakukan apa yang dulu ia lakukan.

"Andai aku membunuhnya waktu itu! Pasti masalah ini akan selesai!" Teriaknya

Pak Waris tak bisa berkata-kata lagi, dia terkejut dengan masa lalu anaknya yang sangat kelam itu.

"Nak... Semua sudah terlambat. Kamu punya dua pilihan. Bunuh titisan Mergosukmo, atau kamu pergi dari sini. Namun kepergianmu juga akan percuma. Kamu harus membunuhnya agar tidak terjadi pertumpahan darah di pihakmu!" Ucap orang itu

"Dan terakhir, kamu tak akan pernah melihatku lagi. Karena, aku juga akan mati. Aku adalah warga asli desa ini yang pernah berguru kepada Ki Mergosukmo. Namun, lambat laun, aku membencinya karena dia telah membunuh banyak orang!" Ucap orang itu

"Tidak, kamu gak boleh mati!" Ucap Mulyo

"Pulanglah, sudah hampir petang. Isterimu juga terikat buhul olehnya namun buhul itu adalah bentuk ikatan yang tak akan pernah hilang!" Ucap orang itu

"Maksudnya?"

"Buhul itu adalah bentuk cinta mati titisan Mergosukmo terhadap isterimu!"

"Pulanglah sekarang..." Ucapnya

"Mulyo, kita harus pulang sekarang. Kita harus persiapkan diri kita untuk menjaga yang lain" Ucap Pak Waris

Mulyo mengelus-elus rambut Aji yang berantakan.

"Dek, yang sabar ya. Kakakmu pasti akan mengeluarkanmu dari jeratan ini!" Ucap Mulyo

Mulyo dan Pak Waris pun segera bangkit. Dia pamit undur diri.

Orang itu langsung menutup pintu dan seluruh jendela rumahnya, dia tahu akan ada sesuatu yang mendatanginya.

"Murniiii! Dek Murniii!" Teriak Ramli yang sedari tadi mengelilingi lingkungan disekitarnya.

Ramli terus berjalan menuju hutan. Dia telah berjalan jauh hingga waktu sudah hampir gelap.

"MURNIIIIII!" Teriak Ramli yang terus menerus memanggil nama Murni.

Ketika dia terus berjalan, Ramli mendapati sebuah pemakaman aneh yang jumlahnya hanya puluhan orang saja.

"Pemakaman jagat peteng?" Tanya Ramli

Ketika dia mulai memasuki pemakaman itu, dia terkejut melihat Murni sedang mengeruk tanah suatu makam.

"MURRRRNIIII!"
Ramli langsung berlari ke arah Murni. Tak ada satu orang pun di sekitaran Murni. Sepertinya Murni sedang dikendalikan oleh sesuatu.

Murni terus mengeruk tanah kuburan itu menggunakan tangan mungilnya.

"Murni, kamu kenapa, dek?" Tanya Ramli

"Huh huh huh huh," Ucapnya dengan mata melotot ke arah tanah kuburan itu.

"Hentikan Murni! Hentikan!" Teriak Ramli

Dia tidak tahu itu makam siapa. Namun, ketika dia melihat sesuatu yang tertulis di bagian bawah nisan kayu, di situ tertulis dengan jelas

"NYI KASIH!"

Ramli langsung menghentikan Murni yang masih mengeruk tanah kuburan itu dengan kedua tangannya.

Entah apa yang dilakukan oleh Murni. Sepertinya tubuhnya telah dikendalikan oleh seseorang.

Tak ada cara lain selain membuat pingsan Murni. Ramli pun memukul bagian leher Murni dengan satu pukulan yang membuat Murni tak sadarkan diri.

"Kuburan ini. Pasti ada hubungannya dengan Rapal Ireng. Apakah Sumerep berencana mengambil semuanya dengan mengendalikan orang lain?"

Ramli pun segera mengangkat tubuh Murni. Sudah saatnya dia meninggalkan pemakaman jagat peteng tersebut.

Namun, begitu dia beranjak bangkit. Dia merasa ada sesuatu yang berdiri tegak di belakangnya.

"Hawa merinding ini..." Ucap Ramli

Dia membalikkan tubuhnya ke belakang.

Dengan perlahan, dia menatap erat-erat sesuatu yang berdiri tegak di bagian belakangnya.

Kira-kira 4 meter dari tempat dia bangkit, telah berdiri tegak puluhan korban dari jagat peteng dengan wajah menunduk ke bawah.

"ARGHHHH!" Teriak Ramli dengan ketakutan.

Puluhan sosok korban dari jagat peteng itu menunjukkan jarinya ke suatu tempat dengan serentak.

Ramli membelokkan wajahnya ke arah dimana para sosok itu menunjukkan jari telunjuknya.

Terlihat dengan jelas seorang wanita dengan menggunakan kebaya yang gelap serta rambut acak-acakkan sambil menunduk sedang menggerak-gerakkan badannya ke kanan dan kiri.

Nafas Ramli sudah tidak stabil. Dadanya terasa sesak dan jantungnya semakin cepat berdetak.

Dia mulai mundur beberapa langkah dari tempat dia tegak.

"Tolong... Izinkan kami pulang"

Sosok-sosok korban jagat peteng itu mendekati Ramli dengan perlahan, sedangkan wanita yang menggunakan kebaya itu tertawa cekikikan seperti menikmati ketakutan yang ditampakkan oleh Ramli.

"Tolong... Jangan mendekat" Ucap Ramli

Sekujur tubuhnya penuh dengan keringat. Murni belum juga sadarkan diri. Yang harus dia lakukan sekarang adalah bagaimana dia bisa kabur dari cengkraman para sosok aneh tersebut.

Perlahan tapi pasti. Itu yang dilakukan oleh Ramli ketika dia berhasil lari dari cengkraman para sosok penunggu pemakaman jagat peteng.

Ramli terus kerahkan seluruh tenaganya agar bisa lari dari kejaran sosok yang diyakini sebagai Nyi Kasih tersebut.

Dia berhasil keluar dari hutan ketika maghrib menyapa. Ramli juga melihat cahaya dari rumah-rumah warga.

Namun ketika dia berhasil keluar dari hutan, sosok Nyi Kasih tersebut belum juga menampakkan tanda-tanda menyerahnya.

Kali ini, Nyi Kasih berada beberapa meter di hadapannya, dia memutar-mutarkan kedua tangannya sambil melenggak-lenggokkan badan seperti hendak menari.

Ramli terdiam sambil menjaga tubuh Murni agar tidak diambil oleh Nyi Kasih. Dia tahu, ada seseorang yang berhasil membangkitkan Nyi Kasih.

"Nyi, tolong... Pergilah!" Ucap Ramli

Ketika Ramli mengatakan hal itu, Nyi Kasih berhenti menari. Dia mengarahkan kedua tangannya ke wajah sambil menggerakkan jari jemarinya. Lalu dibukanya dengan perlahan.

Wajah Nyi Kasih kini berubah total menjadi sangat menyeramkan,

"To... Lo....Ng.. Pergilah!"
Pinta Ramli sambil memegang erat tubuh Murni yang tiba-tiba saja sangar dingin.

Nyi Kasih mendekati Ramli dengan perlahan, sedangkan Ramli mundur untuk menghindari jarak di antara dirinya dengan Nyi Kasih.

Semakin mendekat, langkah Nyi Kasih semakin cepat seperti hendak mencengkram Ramli.

"Nyi... Izinkan kami pulang" Pinta Ramli

Nyi Kasih bergerak cepat menuju Ramli dan menampakkan wajah aslinya ke arah Ramli.

Ramli terjatuh karena saking kagetnya. Jatuhnya Ramli membuat Murni sadarkan diri.

"Mas Ramli?" Tanya Murni

"Murni..." Ucap Ramli

"Mas... Ini kenapa?" Tanya Murni

Ramli mencoba bangkit dan melihat sekeliling tempat dia terjatuh.

"Kita harus pergi dari sini!" Ucap Ramli

"Kenapa mas?" Tanya Murni

"Karena kita diikuti oleh penunggu kuburan penjaga peteng. Kita baru saja berhadapan dengannya" jelas Ramli

Ramli menggedong tubuh Murni.
"Kamu pegangan yang kuat!" Ucap Ramli

Murni mengangguk. Lagi-lagi, hawa merinding itu dirasakan oleh Ramli. Namun arahnya dari pepohonan.

"Mas Ramli... Itu apa?" Tanya Murni sambil menunjuk ke arah pepohonan tersebut.

"Itu yang aku maksud!"

Nyi Kasih sedang berjingkrak-jingkrak sambil memainkan kedua tangannya. Namun kepalanya agak menunduk ke depan, rambutnya acak-acakan.

"Jangan lihat ke belakang, pejamkan mata kamu terus menerus..." Ucap Ramli

"Si-siap mas..."

Ramli mulai berlari. Sosok itu segera turun dan mengejar Ramli sambil tertawa cekikikan. Suaranya membuat sekujur tubuh Ramli dan Murni merinding.

"Mas..." Ucap Murni yang ketakutan

"Tutup mata kamu! Jangan lihat kemanapun!" Pinta Ramli

Keadaan yang lebih diunggulkan oleh Ramli. Dia berhasil keluar dari hutan dan memasuki wilayah penduduk.

Sosok Nyi Kasih menghilang hanya meninggalkan suara tawaan yang mengerikan dari dalam hutan.

Ramli dan Murni langsung menuju rumah. Mereka berdua selamat dari kejaran Nyi Kasih yang mematikan itu.

Di dalam rumah, Keluarga sudah menunggu dengan risau.

"Ramli! Kemana saja kau?" Tanya Mulyo

"Maaf, mas. Saya barusan menemukan Murni di suatu pemakaman jauh dari penduduk!" Jelas Ramli

"Pemakaman? Di sini ada pemakaman?" Tanya Mulyo

Romo terdiam. Dia tidak ingin memberitahu fakta tersembunyi dari desa tersebut.

"Pemakaman Jagat Peteng!" Jelas Ramli

"Hah?" Mulyo terkejut mendengar jawaban dari Ramli mengenai nama dari pemakaman tersebut.

"Dan ternyata, disana juga terdapat makam Nyi Kasih, isteri dari Ki Mergosukmo!"

Murni yang membenarkan itu langsung berlari ke arah Bu Kurnia. Dia menangis sejadi-jadinya.

"Kita harus meninggalkan rumah ini, mas. Kalau tidak, kita semua akan mati!" Jelas Ramli

"Tunggu, mas. Percuma kita lari kalau kita belum mendapatkan Rapal Ireng itu dan menghancurkannya! Semua tidak akan berguna kan?" Tanya Romo

Mulyo berada di keadaan yang membingungkan, di lain sisi dia harus membawa keluarganya kabur dari rumah itu, di lain sisi juga dia harus Mencari Rapal Ireng yang dimaksud.

"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Mulyo

Ramli dan Romo berpikir sejenak. Mereka tidak mau mengambil sebuah keputusan yang bisa mencelakakan semuanya.

"Aku yang akan mengambil Rapal Ireng itu. Kalian semua di rumah saja, tunggu sampai matahari terbit" Jelas Romo

"Sekarang?" Tanya Ramli

"Sekarang juga!"

"Bagaimana, mas?" Tanya Ramli kepada Mulyo

"Lebih cepat lebih baik! Aku akan menemanimu dek" Ucap Mulyo

"Tidak usah mas. Itu akan mempersulit keadaan saja. Biar aku sendiri yang ke pemakaman Nyi Kasih. Aku akan menggali makamnya dan mengambil Rapal Ireng yang terkubur bersamaan dengan jasad Nyi Kasih!" Jelas Romo

Mereka semua bersepakat. Romo yang akan berangkat ke tempat pemakaman tersebut. Dia juga yang akan menuntaskannya dengan cepat.

"Besok malam satu suro. Kita harus percepat waktu kita" Jelas Ramli

"Romo, hati-hati..." Ucap Mulyo

Malam itu juga, Romo berangkat menuju pemakaman tersebut. Ramli dan Mulyo menjaga keluarga yang lain.

Pak Waris dan Bu Kurnia menjaga Aji dan Murni agar tidak dikendalikan lagi oleh Sumerep.

Entah apa yang dipikirkan Romo sampai dia nekat untuk pergi menuju ke pemakaman jagat peteng tersebut.

Yang dia ingin ketahui hanya satu, apa motif dari dendam yang dimiliki Sumerep terhadap keluarganya.

Perjalanan Romo tidak diganggu oleh apapun. Sepertinya para sosok tersebut akan menyambutnya bersamaan dengan sosok Nyi Kasih yang dibicarakan itu.

Romo tiba di pemakaman jagat peteng. Kabut tipis serta sahutan burung dan hewan-hewan di sekitarannya membuat Romo merinding.

Dia mencari sebuah makam yang telah digali oleh Murni, namun begitu dia sampai di tempat tersebut, makam itu telah digali sesuai dengan kedalaman mayat pada umumnya.

"Mayatnya juga hilang..." Ucap Romo

"Tok! Tok! Tok!"

Seseorang berjalan dengan tongkat di tangan kanannya.

"Hawa membunuh ini..."
Ucap Romo. Dia mengenal hawa membunuh yang sangat mengerikan. Hawa membunuh tanpa ampun dan belas kasihan.

"Terima kasih telah menunjukkan pemakaman jagat peteng kepadaku, Romo!" Ucap seseorang di belakang Romo

Romo membalikkan badan. Betapa terkejutnya dia melihat seseorang yang berbicara dengannya ternyata...

Dia dikelilingi oleh puluhan sosok korban dari jagat peteng. Bukan hanya itu saja, dia juga melihat dengan jelas ketiga sosok yang pernah dia temui di rumah Wati.

Yaitu sosok Surip, Ki Mukso dan Bu Asih tepat di belakang orang itu.

Lalu, ada satu sosok yang lebih mengerikan dari semuanya. Sosok itu seperti yang disebut-sebut oleh Ramli dan Mulyo. Sosok yang menjadi senjata utama santet ini.

"Sosok Gede Duwur!" Ucap Romo

"Bruk!"
Romo terjatuh karena syok melihat pasukan dari orang itu. Pasukan tak terlihat yang menyerang korbannya dengan tanpa ampun.

"Kau sudah mengenalku, kan?" Ucap orang itu

"Kau? Sumerep kan?" Tanya Romo

Sumerep tersenyum, dia kemudian merogoh sakunya dan mengambil sesuatu.

"Kau sedang mencari ini?" Tanya Sumerep

Sebuah kertas dengan berbentuk hitam yang disebut-sebut sebagai Rapal Ireng.

"Rapal Ireng?" Tanya Romo

"Sebentar lagi, seluruh keluargamu akan mati. Semuanya! Tanpa terkecuali!" Jelas Sumerep

"Ke-kenapa? Kenapa kau begitu dendamnya terhadap kakakku?" Tanya Romo

"Kau tahu? Awal mula konflik ini berjalan adalah kakakmu. Dia berani-beraninya memukuliku hingga kaki kananku tidak berfungsi lagi hingga sekarang!" Jelas Sumerep

"Itu perintah Pak Mukso. Seharusnya kau bunuh dia dan hancurkan dendamnya!" Jelas Romo

"Aku telah membunuhnya, namun aku akan terus melahirkan dendam dan membuat neraka baginya terlebih dahulu" Ucap Sumerep

Romo tertawa terbahak-bahak mendengar hal itu, dia kira ini akan menjadi akhir baginya setelah berpangku di wilayah musuhnya langsung.

"Tenang saja, Romo. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Aku akan temui ajalmu dan ajal kita di 25 tahun yang akan datang!"
Jelas Sumerep

Sumerep menghilang dengan sendirinya, begitu juga dengan pemakaman tempat Romo berdiri. Semuanya telah berubah.

Romo seperti dipindahkan di suatu tempat yang jauh dari rumah Wati.

Sumerep telah memindahkan Romo agar bisa bertemu di 25 tahun yang akan datang.

*****

Sudah hampir pagi, namun belum ada tanda-tanda kembalinya Romo.

"Sudah mau masuk malam satu suro, apa dia baik-baik saja?" Tanya Mulyo

"Mas... Aku merasa ada yang mendatangi kita. Namun dengan jumlah yang sangat banyak" Jelas Ramli

Pintu depan rumah terbuka dengan sendirinya. Sumerep telah berdiri di depan rumah Mulyo dan Wati.

"Sumerep?" Tanya Mulyo

"Apa kabar Mulyo, apa kamu siap untuk menemui ajalmu sekarang?" Tanya Sumerep

"Sialan!"
Mulyo berniat untuk menyerang Sumerep namun suara teriakan kencang terdengar jelas dari kamar Aji dan Murni. Begitu juga dari kamar Pak Waris dan Bu Kurnia.

"Aku akan membunuh keluargamu terlebih dahulu, Mulyo!" Jelas Sumerep

Ramli tak bisa berbuat apa-apa. Dia melarikan diri ke arah dapur untuk mengambil golok agar bisa menebas Sumerep.

Begitu juga dengan Mulyo. Dia segera menuju kamar Bapak dan Ibunya serta adik-adiknya.

"Pak! Bu! Buka pintunya..."

"Arghhhhhh!"
Teriakan demi teriakan memenuhi rumah. Mulyo tak bisa berbuat apa-apa.

Kekalahannya telah tiba!

"Crak! Crak!"

Darah mulai keluar dari celah pintu bawah. Darah segar itu miliki kedua orang tuanya. Entah apa yang terjadi di dalam sana, Mulyo hanya bisa menatap pintu dengan penuh penyesalan.

Tinggal kamar Murni dan Aji yang banjir darah segar dari balik celah pintu.

"Crak! Crak!"
Darah itu membanjiri lantai rumah dan membuat Mulyo tak bernafsu untuk melanjutkan hidupnya.

"Bagaimana? Kau menikmatinya?" Tanya Sumerep

Ramli berlari sambil membawa golok.
"Mas Ramli lempar golok itu ke Sumerep! Golok ini sudah aku panaskan! Cepet mas!"

Mulyo memandangi golok itu. Tangannya tak gentar dan takut untuk melemparkan golok itu ke arah Sumerep!

Dia pun menatap wajah Sumerep dengan tatapan yang kesal.

"SUMEREEPPPPP! MATI KOWE!" (SUMEREEEEPPP! MATI KAMU!) Teriak Mulyo

"Prak!"
Golok itu tepat kena di leher Sumerep.

"Mas cepat lari! Bawa Mbak Wati kabur dari sini! Sekarang!"

Mulyo segera menuruti perintah Ramli. Dia pun membawa kabur Wati dari pintu belakang rumah, sedangkan Ramli. Dia masih berdiri tegak dengan kaki gemetaran...

Sosok Sumerep berdiri lagi.

"Sialan kau, Ramli!"

Seluruh lampu rumah menjadi mati total. Sumerep mengerahkan Gede Duwur itu untuk membunuh Ramli.

"Aam.. puuun..." Ucap Ramli

"Prak!"

Gede Duwur itu langsung berada di belakang Ramli. Tangan kanannya diangkat dan menghempaskan tubuh Ramli dengan cepat.

"Bruk!"
Tubuh Ramli menabrak tembok rumah yang keras.

Kepala Ramli mengeluarkan darah yang sangat banyak.

Golok yang menempel di leher Sumerep tidak membuat dia mati. Artinya dia masih hidup bahkan serangan itu tidak mempan baginya.

Sumerep mendekati Ramli, dia menawarkan kerja sama jika dia ingin hidup kembali.

"Kau berucap Ampun. Artinya, kau ingin bergabung denganku? Kau masih mau hidup?" Tanya Sumerep

Ramli tak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya telah hancur. Dia tak ingin mengingkari janjinya pada Mulyo.

"Tuan mana yang rela meninggalkanmu di saat anak buahnya sedang kesusahan. Jadi bagaimana? Kau masih mau hidup lagi untuk yang kedua kali?"
Tanya Sumerep

Ramli menatap Wajah Sumerep dengan tajam, dia hanya mengangguk pelan lalu pingsan.

Ramli menerima tawaran Sumerep.

Dia lebih memilih bergabung dengan Sumerep untuk membalaskan dendam di 25 tahun yang akan datang.

"Kita akan membalaskan dendam ini di 25 tahun yang akan datang. Saat dimana, santet malam satu suro benar-benar menghancurkan hidup mereka!" Jelas Sumerep
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close