Mata Jaka Indi tampak berkedip-kedip, katanya kemudian, "Baiklah, begini saja dan anggap lunas, siapa pun tidak utang siapa-siapa lagi."
Sambil menatap wajah si nona cantik, perlahan ia menundukkan kepalanya.
Jantung Sinona berdetak keras dan tubuhnya gemetar, serunya dengan terputus-putus, "Kau.. kau mau apa?"
"Kau memukul aku dengan tangan, menendangku dengan kaki, kubalas pukul kau dengan mulut, jadinya kan jauh lebih ringan daripada membalas memukul dengan tangan atau membalas dengan kaki?" Ucap Jaka Indi dengan senyum.
"Kau.. berani!"
"Kau.. bangsat kau...!" Sinona berteriak khawatir.
"Asal kau tahu saja.."
"Aku ini seorang gadis suci..!!"
"Kekasihku seorang bangsawan istana. Awas.. jangan kau macam-macam denganku!"
Gerakan Jaka Indi tertahan sesaat. "Bangsawan istana mana?"
"Istana Kerajaan Suralaya, kau pasti mulai takut kan sekarang." Ucapnya dengan sikap merendahkan.
Akan tetapi Jaka Indi bukannya berhenti justru melanjutkan tindakannya, dan muka Jaka Indi sudah semakin dekat, malahan Jaka Indi terus mengangkat dagu sinona hingga mulut berhadapan dengan mulut, lalu dengan perlahan diciumnya mulut nona cantik yang mungil itu.
Mendadak Sinona tidak berteriak, tapi terkesima seperti patung.
Sebaliknya Jaka Indi lantas berkata dengan gegetun,
"Aii.., paling usiamu juga tak lebih dari 15 atau 16 tahun, mana bisa kau menjadi tuan putri-ku, jadi biniku saja kukira mendingan. Mulutmu yang manis ini biarpun kucium 10 kali sehari juga takkan membosankan."
Mata sinona mendelik, katanya dengan sekata demi sekata,
"Jika kau berani mengusik diriku lagi sekali saja, kupasti.. kupasti akan membunuhmu,"
"PASTI!!"
"Jangan khawatir, aku takkan mengusik kau lagi," jawab Jaka Indi dengan begelak tertawa.
"Perempuan galak macam dirimu ini, diberikan gratis padaku juga aku tidak mau."
Kukira lelaki mana kelak yang mengambil macan betina seperti dirimu ini sebagai istri, bila ia selalu mendampingi-mu, pasti dia bakal sial selama hidup."
Mendadak sinona berteriak dengan suara serak, "Kau bunuh saja aku! Paling baik kau bunuh aku sekarang, kalau tidak, kelak kau yang akan mati di tanganku. Aku akan membuat kau mati dengan perlahan, mati dengan sedikit demi sedikit."
Jaka Indi tidak menanggapi lagi, ia terbahak-bahak, lalu melangkah ke sana dan berlenggang santai. Sambil berucap, "Kalau kau mau balas dendam suruh kekasihmu menghadapi-ku, kapanpun kamu ingin mencariku, aku selalu siap. Percayalah dalam waktu tidak lama lagi, kita pasti akan bertemu."
"Mengapa kau tidak membunuh aku.. Mengapa?" Teriak sinona dengan mata memincing dan berkedut.
"Mana mungkin aku tega membunuh nona secantik dirimu dengan mulut yang terasa manis." Ucap Jaka Indi sambil melempar senyum menggoda.
"Sekarang kau tidak membunuh aku, pada suatu hari kelak kau pasti aakan menyesal. Aku bersumpah, kau pasti akan menyesal kelak."
Akan tetapi Jaka Indi tidak mempedulikannya lagi, ia terus melangkah pergi tanpa memandangnya pula. Menyaksikan kepergian Jaka Indi itu, akhirnya Sinona tidak dapat menahan perasaannya lagi, ia menangis tergerung.
Dari kejauhan terdengar suara Jaka Indi sedang bersenandung, Jaka Indi berkeplok gembira.. Begitulah sembari berjalan Jaka Indi terus bernyanyi secara bebas.
Wong ko ngene, kok dibandhing-bandhingke
Saing-saingke? Ya, mesthi kalah
Tak oyak'a, aku ya ora mampu
Mung sak kuatku mencintaimu
Ku berharap engkau mengerti
Di hati ini hanya ada kamu...
Tiba-tiba ia merasa suara sendiri lumayan juga, sedikitnya jauh lebih merdu daripada suara tangisan sinona
Sampai suara tangisan sinona sudah tak terdengar lagi, nyanyian Jaka Indi jadi tak bersemangat lagi, ia meraba-raba pipi sendiri dan menghela napas, lalu meraba mulut, tak tahan lagi ia tertawa.
Macan betina tadi sungguh galak, tamparannya sungguh tidak ringan, sampai sekarang pipinya masih terasa panas dan pedas, Tapi mulutnya juga manis, rasa manis ciumannya itu seakan masih terasa pada bibirnya.
Mengingat sinona cantik yang mengenakan gelang giok khusus dengan simbol kerajaan Suralaya, dan mengingat atas semua yang baru saja terjadi.
Sekonyong-konyong ia bergelak tertawa terus berlari ke depan, lari punya lari, tak terasa Jaka Indi sudah sampai didaerah padang rumput, Mendadak Jaka Indi berhenti, lalu menjatuhkan diri di bawah udara terbuka, di tengah padang rumput yang luas, ia memang sudah teramat lelah, setelah malam sebelumnya tidak tidur dan bercinta dengan 15 peri secara berturut-turut, terlebih saat bercinta dengan peri hutan dan peri gunung yang memiliki tenaga sangat kuat, serta bersifat agresif dan mendominasi saat melakukan hubungan badan, membuat tenaga Jaka Indi cukup terkuras banyak.
Tanpa terasa akhirnya ia tertidur pulas.
Saat Jaka Indi mendusin bangun dari tidurnya matahari telah mulai meninggi dan sinarnya mulai terasa menyengat dibadan.
Setelah terjaga dari tidurnya, segera Jaka Indi melesat terbang melanjutkan perjalanannya menuju pesanggrahan eyang Ageng Wicaksono.
Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam, Jaka Indi sudah sampai Di-Pesanggrahan eyang Ageng Wicaksono.
Ternyata di pesanggrahan eyang Ageng Wicaksono juga tidak ada, Jaka Indi disambut gembira oleh Gochan dan Bimo. Kemudian mereka makan siang bersama yang masakannya disiapkan oleh Bimo dibantu Gochan.
Gochan terlihat sudah sangat akrab dengan Bimo.
Saat Jaka Indi menawari Gochan ikut bersamanya untuk tinggal di istana, Gochan menolak dengan halus, dengan alasan ingin menemani Bimo, dan melanjutkan tugas. Latihan bela diri yang telah diajarkan eyang Ageng Wicaksono, justru Gochan yang meminta Jaka Indi tinggal di pesanggrahan sampai eyang Ageng Wicaksono kembali.
"Gochan ada beberapa persoalan yang harus paman kerjakan," Jadi untuk saat ini paman belum bisa menemanimu."
"Tapi kamu tidak usah khawatir, mungkin kelak kamu bisa tinggal bersama kembali dengan kak Arimbi."
Tatap Jaka Indi sambil mengusap kepala Gochan.
Namun Jaka Indi tidak menceritakan ke Gochan kalau ia telah menikah dengan Arimbi, karena Jaka Indi khawatir Gochan meminta tinggal bersama Arimbi, sedang Gochan saat ini sudah berada dibawah bimbingan guru yang tepat yaitu eyang Ageng, untuk melatih ilmu beladiri dan tenaga dalamnya, fikir Jaka Indi biar kelak diwaktu yang tepat ia akan memberitahu Gochan.
Setelah berpamitan dengan Gochan dan Bimo, serta mengucapkan terimakasih atas sajian makan siang mereka. Jaka Indi terbang melesat, untuk kembali ke. istana 100 peri.
***
Waktu ashar telah tiba
Saat ini Jaka Indi baru menyelesaikan sholat asharnya yang dilanjut dengan zikir dan meditasi di kamar pribadinya di istana 100 peri.. Tiba-tiba pintu kamarnya trrdengar suara ketukan.
"Tok... Tok... Tok... Tok...!"
"Masuk., kamar tidak dikunci." Jawab Jaka Indi dengan nada sedikit keras, agar terdengar tamu yang berkunjung, yang berada diluar pintu.
Berikutnya masuklah ibu Dewi Wening, diiringan dua prajurit pengawal berseragam lengkap.
Dari seragam kedua prajurit yang serba hitam dengan pita merah dilengan kanannya, Jaka Indi dapat mengenali, kalau kedua prajurit tersebut merupakan pasukan khusus yang mengawal bunda ratu Sheema.
Jaka Indi tidak mengucapkan kalimat apapun, hanya menatap kedua prajurit sesaat, lalu mengalihkan pandangannya kearah ibu Dewi Wening, dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Raden mari ikut denganku, ke istana Suralaya untuk menghadap ratu." Ucap Ibu Dewi Wening dengan sikap dan ekspresi yang nampak serius.
[BERSAMBUNG]