Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 5) - Ratmi


Part 5 - Ratmi

Mata Dinda membulat seketika, buru-buru dia bangkit.

“Mbok temani saya sebentar” ucap Dinda yang langsung berjalan kearah rumah. Mbok Marni yang tidak paham dengan maksud Dinda hanya bisa mengikuti perempuan itu.

Kini mereka sudah kembali dari dalam rumah. Yang Mbok Marni tahu, Dinda hanya sebentar didalam kamar dan langsung saja mengghambur keluar. Tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Pak Kusno, apa tahu tentang ini?” ucap Dinda sambil menarik buku yang dia letakan dikantung dalam jaketnya.

Sejenak Pak Kusno mengamati benda apa yang sedang ditaruh oleh Dinda di meja. Saat dia melihat sampul buku yang sudah usang. Matanya membulat, bahkan Mbok Marni juga terlihat gusar.

“Dari mana kamu mendapatkan benda ini?” tanya Pak Kusno keheranan.

“Ditempat Ayah, sengaja Dinda mencari-cari petunjuk soal apa yang terjadi dirumah ini. Tentang masalalu Dinda” ucap Dinda.

Mereka semua diam, Pak Kusno sedang membolak-balikan halaman yang ada dibuku itu.

“Apa buku itu milik Ibu?” tanya Dinda.

Pak Kusno menggeleng, “Tulisan ini bukan milik Ajeng, ini milik Sukmaadji” ucap Pak Kusno, yang masih saja membaca isi dari buku itu.

“Disana ada tulisan yang menyebutkan tentang lebur sukma, apa itu lebur sukma?” tanya Dinda yang masih haus akan sebuah kebenaran.

Pak Kusno menutup buku itu, dan menyerahkan kepada Mbok Marni yang sedari tadi ikut nimbrung membaca bersama suaminya.

“Lebur sukma adalah ritual yang dilakukan untuk menghilangkan hawa keberadaan dari seseorang. Itu dimaksudkan agar orang yang melakukan ritual itu tidak diketahui keberadaannya oleh para lelembut” jawab Pak Kusno.

“Bagaimana caranya?” tanya Dinda,

Pak Kusno tersenyum, Dinda benar-benar mirip dengan Ajeng. Bahkan naluri keingintahuannya bisa hampir sama dengan putrinya.

“Sebelum aku mengambilmu dari kamar, Mbok Marni sengaja pulang beberapa hari sebelumnya. Beralasan orang tuanya sedang sakit. Dirumah keluarga Mbok Marni kami menyembunyikanmu dan disanalah kami melakukan ritual Lebur Sukma.

Dengan membuat seolah-olah kamu sudah meninggal. Mengkafanimu dan juga mendoakanmu selayaknya orang yang telah berpulang” jelas Pak Kusno.

“Dan Pak Kusno mengabadikan itu semua serta mengirimkannya kepada Ibu? Agar seolah-olah aku sudah meninggal? kenapa Ayah tidak diberi tahu?” tanya Dinda memeberondong,

hatinya begitu pilu mengingat Ayahnya yang sama sekali tidak diberi tahu apapun. Dia paham bagaimana rasanya hidup dengan sebuah misteri.

“Ayahmu orang yang sembrono, nyatanya dia sendiri yang hampir saja membuat Sengkolo bebas berkeliaran” tukas Pak Kusno.

“Maksudnya?” tanya Dinda keheranan.

“Kamu sudah lihat kan cermin besar yang ada dikamar Sukmaadji? Dari situlah kemunculan Sengkolo, Pernah sekali Ahmad berfikiran kalau Sukmaadji dalang dari semua ini.-

Lantas dia dengan garangnya membawa palu ingin menghancurkan cermin tua itu. Jika wanita itu tidak tempatkan disini. Mungkin kalian semua sudah meninggal” ujar Pak Kusno.

Dinda menghela nafas, “Siapa sosok wanita itu?” ucap Dinda sambil menunjuk kearah pohon mangga yang ada diseberang rumah.

“Kamu masih bisa melihatnya?” ucap Pak Kusno heran, karena Dinda yang masih bisa melihat sosok wanita itu.

Dinda mengganggukan kepalanya, “Dia yang sudah memberitahu Dinda untuk mencari buku itu, dan sudah beberapa waktu ini Dinda melihat dia selalu mengelus-elus kepala Ayah” ucap Dinda.

Pak Kusno terkejud tengan pernyataan Dinda, tidak menyangka Dinda sudah berlaku sejauh itu.

“Dia adalah Ratmi, sosok yang mendiami Lembah Pati. Aku dan Sukmaadji berhasil membujuknya untuk melindungi keluarga ini” ujar Pak Kusno, yang sekarang terlihat begitu lelah.

Dinda memejamkan matanya, mencoba menerima semua informasi yang sungguh diluar nalarnya.

“Apakah Ayah bisa sembuh? Kalau memang itu gangguan gaib seperti yang Pak Kusno bilang” tanya Dinda.

Secercah harapan muncul didalam batinnya. Berharap ada cara untuk bisa menyembuhkan penyakit yang sedang diderita oleh Bapaknya.

Pak Kusno nampak kebingungan, seperti ada yang tengah dia perdebatkan didalam dirinya.

“Pak?” tanya Dinda sekali lagi.

“Bapak tidak tahu, kita pikirkan lagi nanti. Sekarang lebih baik kamu kembali ke kamar” ucap Pak Kusno sambil melihat kearah jam tangannya.

Dinda nampak kecewa, sekarang dia sudah mengetahui misteri kenapa ibunya sampai tega menaruhnya di panti asuhan. Namun masalah tidak berhenti sampai disitu, justru sekarang Dinda ingin membuat Ahmad bisa bergerak seperti sedia kala.

***

Selepas kembali ke kamarnya, Dinda tidak langsung tidur. Dia berbaring menatap langit-langit. Memikirkan cerita yang disampaikan oleh Pak Kusno. Baginya masih ada beberapa bagian yang terlihat aneh.

“Kalau Ratmi memang sedang menjaga Ayah, kenapa dia meminta untuk segera menyelesaikan apa yang sudah dimulai” pikir Dinda.

Pikirannya terus bergelut, menyambungkan semua kejadian yang menimpanya dan juga cerita yang sudah disampaikan oleh Pak Kusno.

“Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Ratmi, dan kalau memang Ayah yang menyimpan ini dibrankasnya. Berarti dia seharusnya juga sudah tahu atau setidaknya dia sudah memperkirakan apa yang sebenarnya sudah terjadi” batin Dinda bingung.

Kepalanya sungguh terasa berat, sesekali dia menutup matanya, mencoba agar bisa terlelap. Pikirnya setelah dia mengetahui alasan kenapa Ibunya sampai hati membuangnya di panti, semua akan selesai.

Tapi sekarang justru harus dihadapkan dengan masalah diluar nalarnya. Lelah memikirkan semua masalah yang ada, tanpa sadar Dinda tertidur.

“Nduk, bangun” Dinda menggeliat, dia mendengar ada suara yang sedang mencoba untuk membangunkannya.

“Nduk bangun, nduk” sekali lagi suara itu hinggap ditelinga Dinda. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya, pandangannya masih terasa kabur. Namun jelas didepannya kini nampak ada sosok laki-laki yang tengah berdiri.

“Eyang?” ucap Dinda spontan, meski dia belum pernah bertemu dengan Sukmaadji tapi seolah dia sudah mengenali siapa laki-laki yang ada didepannya.

Sosok itu tersenyum, nampak sekali bahwa Sukmaadji terlihat gagah dengan pakaian beskap jawa yang tengah ia gunakan.

“Dingapuro yo ndug, wes gawe uripmu nelongso. Aku durung iso gawe iketan getih karo lelembut kae ucul. Sak iki tak pasrah ke neng awakmu ya ndug”

(Maaf ya nak, sudah membuat hidupnya nelangsa, aku belum bisa membuat ikatan darah dengan lelembut itu lepas. Sekarang aku pasrahkan kepadamu ya Ndug) ucapnya sambil berjalan menuju kearah Dinda

Kini ia duduk dipinggiran kasur, Dinda tidak menjawab ucapan Sukmaadji. Matanya masih terus terpancang kearah sosok yang menurutnya begitu rupawan.

“Lelakon nglebur sukmamu wes rusak amergo lelakumu karo bocah lanang kae. Iki kabeh salah e Eyang, kudune ono sek ngawasi awakmu”

(Lelaku lebur sukmamu sudah rusak karena perilakumu dengan anak laki-laki itu. Ini semua salah Eyang, seharusnya ada yang mengawasimu) kembali Sukmaadji berkata, wajahnya terlihat sendu penuh dengan kesedihan.

Dinda tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh Kakeknya, bahkan rasanya dia malah tidak bisa mengucapkan apapun. Dinda hanya bisa menatap Sukmaadji yang tengah duduk disamping ranjang miliknya.

“Lelembut kae wes ngerti yen koe ijeh urip. Sak iki Eyang titip bapakmu yo. Ojo sampek keblinger koyo Eyangmu iki” ( Lelembut itu sudah tau kalau kamu masih hidup. Sekarang Eyang titip Bapakmu ya. Jangan sampai salah jalan seperti Eyangmu iki) ucap Sukmaadji lirih.

Pandangan Dinda seketika kabur, sepersekian detik seolah semua berubah dengan cepat.

“Astaghfirulloh” ucap Dinda saat mendapati dia terbangun dari mimpinya.

Perasaannya tidak menentu, kepingan-kepingan ingatan mimpinya muncul begitu cepat didalam ingatannya. Dirinya ketakutan, selain mimpi yang barusan ia alami, suara wayangan itu juga mulai terdengar kembali.

Meski terdengar lirih, tapi tetap saja suara itu mengganggu gendang telingannya. Buru-buru Dinda bangkit. Tanpa menunggu kesadarannya pulih, ia langsung bergerak cepat kearah meja kamarnya. Menuliskan setiap detail mimpi yang baru saja ia alami.

Suara wayangan itu semakin terasa kencang, seolah sedang ada parade yang tengah mendekati kamarnya. Ketakutan menjalari setiap jengkal tubuh Dinda, namun ada hal lain yang juga ikut masuk keadalam kekhawatirannya. Dinda khawatir dengan keadaan Ahmad.

“Rasah digugu, rasah menyat” (Tidak usah diperhatikan, tidak usah pergi) sontak Dinda terperanjat hebat. Kepalanya menoleh seketika kearah pintu kamarnya.

Sosok Ratmi saat ini tengah berdiri mematung disana.

“Demit kae lagi golek i awakmu, sak iki dekne ngerti yen koe ijeh urip. Cilakane sak iki ora muk sakedar pengen duweni awak e Bapakmu. Tapi demit kae pengen ngrabeni awakmu”

(Demit itu sedang mencarimu, sekarang dia tahu kamu masih hidup. Cilakanya sekarang dia tidak hanya menginginkan Bapakmu. Tapi juga pengen menikahimu) ucap Ratmi dengan suara lirih.

Dinda tersentak, suara wayangan itu semakin kencang terdengar ditelinganya. Dia takut dengan sosok Ratmi, tapi rasa penasaran yang muncul dihatinya juga tidak bisa ia bendung.

“Lanangan kae ijeh iso urip mergo aku. Yen sak iki koe karep Bapakmu mari, balek no aku neng panggonanku. Lembah Pati”

(Laki-laki itu bisa masih hidup karena aku. Kalau sekarang kamu kepingin Bapakmu sembuh, kembalikan aku ke tempat asalku. Lembah Pati) kata Ratmi seolah tahu apa yang sedang Dinda pikirkan.

Dalam sekejap mata, sosok Ratmi tiba-tiba saja menghilang. Sedang Dinda yang masih shock kembali terhenyak di bangku yang tadi ia duduki. Suara wayangan yang tadi ia dengar sayup-sayup mulai terdengar menjauh.

***

“Mbok, Pak Kusno kemana?” ucap Dinda saat dirinya tengah masuk ke dapur dan mendapati Mbok Marni sedang menyiapkan makanan.

“Kenapa ndug? Lagi ngurusin taman disamping” jawab Mbok Marni penasaran. Nampak sekali raut wajah Dinda begitu cemas.

“Semalam Simbok dengar suara wayangan?” tanya Dinda lirih. Mbok Marni menggeleng,
“Setelah mengantarkanmu masuk kedalam rumah, Simbok langsung kembali ke paviliun. Simbok gak dengar suara apapun” ucap Mbok Marni cemas.

“Ratmi semalam datang kekamar Dinda Mbok...” kata Dinda, lantas dia langsung menceritakan bagaimana Ratmi datang ke kamar memberitahu apa yang sedang terjadi.

“Menikahimu?” jawab Mbok Marni tercengang.

“Tidak mungkin Din, seharusnya ritual Lebur Sukmamu tidak akan bisa membuat Sengkolo mengetahui keberadaanmu” kata Mbok Marni yang sekarang terlihat khawatir.

“Ayah sudah bangun Mbok?” tanya Dinda mengabaikan Mbok Marni yang tengah berfikir serius.

“Belum, coba kamu cek Din, Mbok panggilkan Pak Kusno dulu” jawabnya sambil berjalan kearah luar.

Dinda langsung saja pergi kearah kamar Bapaknya. Setelah sampai disana, beberapa kali dia mengetuk. Tapi sama sekali tidak ada sahutan dari Ahmad. Tanpa pikir panjang Dinda langsung menghambur masuk kedalam kamar.

Dinda menghela nafas lega, ketakutannya tidak terbukti. Ahmad masih terlihat hidup, lama Dinda memperhatikan Bapaknya, memastikan kalau laki-laki itu masih bernafas. Tidak mau mengganggu, kembali Dinda menutup pintu pelan-pelan.

“Apa yang terjadi Din?” ucap Pak Kusno cemas, saat berpapasan dengan Dinda di dapur.

“Sudah, mari kita bicara diluar. Biar simbok binikin minum” ucap Pak Kusno menggiring Dinda ke taman belakang.

Cahaya matahari masih belum nampak, segarnya udara pagi tidak membuat batin Dinda merasa tenang.

“Simbok bilang semalam Ratmi menemuimu” kata Pak Kusno saat mereka sudah duduk dibangku taman belakang.

Dinda mengangguk,

“Semalam setelah Dinda kembali kekamar, Ratmi memberitahu kalau Sengkolo sudah tahu tentang keberadaan Dinda. -

Dia mengatakan kalau sekarang sekarang ini sosok Sengkolo tidak hanya menginginkan hidup Ayah, tapi juga ingin menikahi Dinda” jelas Dinda tertunduk lesu.

Pak Kusno terkesiap, kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh Dinda.

“Menikahimu? maksudnya apa Din?” tanya Pak Kusno.

Dinda menggelengkan kepalanya, dia sama sekali tidak tahu maksud dari Ratmi.

“Ratmi mengatakan saat ini Ayah bisa hidup karena ada dia, kalau Dinda menginginkan Ayah bisa sehat kembali dia meminta untuk dikembalikan ke Lembah Pati. Kenapa bisa seperti itu Pak?” ujar Dinda.

“Tidak bisakah kita memanggil Ratmi Pak? semalam sebelum Dinda melihat Ratmi... Dinda bermimpi bertemu dengan Eyang Sukmaadji. Dinda mengenalinya dari lukisan yang ada di ruang tamu” ujar Dinda.

“Kamu bermimpi bertemu Sukmaadji?” tanya Pak Kusno. Dinda lantas mengangguk mengiyakan. Sejurus kemudian Pak Kusno langsung memejamkan matanya.

“Mimpimu bukan mimpi biasa ndug, apa pesan dari Sukmaadji?” tanya Pak Kusno beberapa saat kemudian.

Dinda langsung menceritakan kepada Pak Kusno tentang mimpi yang dialaminya. Beberapa kali terlihat Pak Kusno menghela nafasnya dalam-dalam.

“Banyak hal yang bisa membuat ritual Lebur Sukmamu rusak. Salah satunya adalah dengan melakukan hubungan diluar pernikahan. Apa Dinda sudah pernah melakukan itu?” tanya Pak Kusno lunak.

Dinda terdiam, matanya berkaca-kaca. Seketika Dinda teringat dengan Adit. “Dinda sebentar lagi mau menikah Pak... Dinda sudah pernah melakukan dengan calon suami Dinda” ucap Dinda berat.

Seketika Pak Kusno terlihat lemas, semua sekarang sudah jelas. Seharusnya dengan kembalinya Dinda ke tempat ini tidak akan langsung membuat Sengkolo mengetahui keberadaan cucunya. Pantas Ratmi meminta kembali ke Lembah Pati.

“Maafkan Dinda, Kek” ucap Dinda sayu, dia benar-benar tidak menyangka apa yang sudah diperbuatnya bisa membahayakan dirinya dan Bapaknya.

“Nasi sudah menjadi bubur Din, sekarang yang harus kita lakukan adalah mencoba berkomunikasi dengan Ratmi. Hanya dia yang bisa membantu menahan Sengkolo. -

Dengan perginya Ratmi jelas akan membuat Ahmad bisa berjalan kembali. Tapi dengan itu semua dia tidak akan bisa melindungi kalian” ucap Pak Kusno, sembari menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

Dinda tahu, laki-laki yang ada didepannya sedang memikirkan cara untuk bisa membuat Dinda selamat.

“Dulu aku sudah memberitahu Sukmaadji untuk tidak menyerang api dengan api. Tapi omonganku tidak pernah dia dengarkan. Sekarang justru malah menjadi bumerang buat kita disini” Lanjut Pak Kusno.

Matahari sudah mulai nampak jelas sekarang, Sinarnya mulai menembus kabut dan menerpa hijaunya dedaunan disekitar mereka.

“Apa yang harus Dinda lakukan?” ucap Dinda lirih.

“Saya juga tidak tahu Din, yang harus kita lakukan saat ini adalah mencoba untuk berkomunikasi dengan Ratmi. -

Soal Ahmad jangan sampai dia tahu, dengan kondisinya sekarang hanya akan membuat keadaannya memburuk. Nanti malam kita coba panggil Ratmi” ucap Pak Kusno yang langsung pergi menuju kearah Paviliun.

Dinda berjalan lesu kearah rumah, rasa bersalahnya muncul saat tahu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.

“Seharusnya aku tidak melakukan itu semua” ucap Dinda, mengingat apa yang sudah dilakukannya dengan Adit.

“Kenapa sedih seperti itu ndug?” tanya Mbok Marni yang mendapati Dinda tertunduk lesu.

Menyadari kehadiran Mbok Marni tanpa pikir panjang Dinda langsung memeluknya. Menumpahkan segala perasaan yang berkecamuk didalam batinnya.

“Sudah, tidak ada yang perlu disesali. Seperti yang diucapkan Kakekmu. Nasi sudah menjadi bubur, sekarang ceritakan sama Simbok. Seperti apa Adit itu. Simbok penasaran dengan laki-laki pilihanmu” ucapnya sambil mengelus-elus kepala Dinda.

Dinda tersenyum, dan mulai menceritakan kehidupannya saat berada di panti, hingga dia bisa membuka usahanya sendiri dan bertemu dengan Adit.

“Mbok...” terdengar panggilan dari arah kamar Ahmad.

“Sepertinya Ahmad sudah bangun Din, gih temuin Bapakmu” ucap Mbok Marni.

Tanpa menungu lama, Dinda langsung melesat pergi kekamar Ahmad. Entah kenapa pagi ini dia merasa ingin berinteraksi dengan Bapaknya.

“Sudah bang...” ucapan Dinda terhenti. Tatapannya nanar, saat melihat Ahmad sudah duduk bersandar di punggungan kasurnya.

“Pak Kusno sudah kesini Yah?” tanya Dinda berjalan cepat kearah Bapaknya.

Ahmad menggeleng, “Terus yang bantuin Ayah duduk siapa?” tanya Dinda penasaran.

Ahmad tersenyum sumringah, “Alhamdulillah ndug, Bapak tiba-tiba tadi bisa menggerakan tangan” ucapnya sambil mengangkat tangan kanannya. Bukan merasa senang justru Dinda malah terlihat khawatir.

“Kamu tidak senang to, kalau Ayah sudah mulai sembuh” ucap Ahmad saat menyadari raut wajah Dinda yang tidak terlihat bahagia.

“Enggak, Yah... Dinda cuma kaget. Padal baru beberapa hari Ayah diterapi. Tapi sudah bisa menggerakan tubuh Ayah” balas Dinda mencoba untuk meyakinkan Bapaknya.

“Semalam Ayah bermimpi, bertemu dengan Ibumu. Dia bilang kalau besok pagi Ayah sudah bisa duduk sendiri. Lalu Ajeng memberikan minuman ke Ayah. Dan didalam mimpi itu, Ayah melihatmu sedang menikah dengan seorang laki-laki yang gagah dan tampan” cerita Ahmad.

Deg... seketika jantung Dinda berdesir. Rasa khawatir kembali menggelayuti batinnya. Walau memang dia akan menikah dengan Adit, tapi mendengar penuturan Ayahnya justru membuat Dinda teringat dengan perkataan Ratmi semalam.

“Yauda sekarang Dinda panggilkan Pak Kusno. Badan Ayah sudah bau” ucap Dinda nyegir, seolah bau badan Ahmad mengganggu indera penciumannya. Ahmad terkekeh mendengar ucapan Dinda dan buru-buru mengusap kepala Anaknya.

“Nanti ke makam Ibu dan Kakek Nenekmu ya, kemarin belum jadi kan?” Pinta Ahmad. Dinda hanya mengangguk menyetujui dan segera beranjak keluar kamar.

“Mbok...” kata Dinda lirih mendekati Mbok Marni yang tengah duduk diteras belakang rumah.

“Ahmad mau bersih-bersih? Mbok panggilkan Pak Kusno ya?” tanya Mbok Marni yang mengira Ahmad meminta Dinda untuk memanggilkan Pak Kusno.

Dinda menggeleng “Ayah tiba-tiba bisa menggerakan separo badannya Mbok” ucap Dinda,

“Dinda khawatir dengan peringatan Ratmi. Kalau memang benar, berarti sebentar lagi tubuh Ayah akan dikendalikan oleh demit milik keluarga ini” lanjut Dinda.

“Beneran kamu Din? Astaga kenapa jadi malah ruwet seperti ini... Yasudah, Kamu sekarang mandi, sarapan. Biar Simbok yang bilang ke Kakekmu. Sekalian dia lihat keadaan Ahmad” ucap Mbok Marni.

Dinda yang tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa mengangguk dan langsung masuk kedalam rumah.

***

“Makam Ibu ada dimana Yah?” tanya Dinda saat mereka tengah bersiap pergi ke makam keluarganya.

“Deket Din, kita jalan aja ya. Bapak sama Ibu ikut kan?” ucap Ahmad melihat kearah Pak Kusno dan Mbok Marni. Seketika semua diam, ada kecanggungan disana.

“Tumben Ayah nyebut Pak Kusno dan Mbok Marni pake Bapak sama Ibu?” pancing Dinda tersenyum jahil.

Seketika wajah Ahmad terlihat Panik, “Sudah... Kami ikut Pak. Sudah lama juga kami tidak nyekar” ucap Pak Kusno.

Dinda yang ada dibelakang Bapaknya hanya tersenyum geli dan mengerling kedua orang tua didepannya.

“Orang-orang aneh” batin Dinda yang merasa bahwa keluarganya penuh dengan drama. Memang apa salahnya untuk jujur kalau Pak Kusno dan Mbok Marni adalah mertuanya.

Tidak ingin terlalu siang, akhirnya mereka ber empat berjalan menuju pemakaman yang ada di kampung tersebut. Beberapa warga sempat berhenti dan menyapa Ahmad.

Mereka mengira kalau Dinda adalah pasangan Ahmad. Tidak mau membuat banyak pertanyaan Ahmad hanya tersenyum dan mengatakan kalau Dinda adalah keponakannya. Mendengar itu Dinda hanya geleng.

“Arahnya kemana ini Om?” tanya Dinda mencoba mengerjai Bapaknya. Bukannya tertawa malah Ahmad terlihat judes dan tidak menjawab pertanyaan Dinda.

“Kok gak dijawab sih Om, kan Dinda tidak tahu arah ke pemakaman” goda Dinda sekali lagi. Di sisi kanan kirinya Pak Kusno dan Mbok Marni cengar cengir melihat kelakuan Dinda.

“Ndug, jangan bikin Ayah gak enak hati ya” ucap Ahmad cemberut. Bukannya berhenti justru malah Dinda semakin menjadi-jadi.

“Ayah siapa om? Ayah Dinda sudah lama gak hlang. Gak tahu sekarang dimana” ucap Dinda nyengir mengira candaannya akan dibalas oleh Ahmad.

“Om... kok diem” goda Dinda sekali lagi.

“Pak, Pak Kusno... Bapak saja yang dorong kursi rodanya” ucap Ahmad singkat. Dinda terkesiap mendengar ucapan Ahmad, dia tahu Bapaknya sedang merajuk.

Dinda berhenti mendorong dan segera menarik tangan Mbok Marni dan berjalan cepat kedepan.

“Mad, kamu ini sudah tua kok ya masih ngambekan. Dinda itu sudah lama tidak kenal orang tuanya lo. Kamu bilang dia ponakanmu ya pasti dia merasa tidak nyaman” tegur Pak Kusno.

“Maaf Pak, Saya cuma tidak ingin menambah masalah” balas Ahmad lirih.

“Ya sudah, sifat egois mu itu mesti dikurangi. Dia bukan Ajeng yang bisa sabar menghadapi sifat burukmu itu” ujar Pak Kusno sambil mulai mendorong kursi roda yang Ahmad tumpangi.

“Iya Pak, biar nanti Ahmad bicara dengan Dinda. Lalu kapan saya bisa memberi tahu Dinda siapa kalian sebenarnya. Tidak adil kalau dia tidak tau siapa kalian” ucap Ahmad.

“Kapanpun kamu mau, katakan saja semua...” ucap Pak Kusno tersenyum. Dia berfikir memang tidak baik jika diantara mereka terus berdrama seperti ini. Toh setelah ini pasti banyak masalah yang harus diselesaikan bersama.

“Terimakasih Pak, Saya banyak hutang budi sama Bapak dan Ibu” ucap Ahmad,

“Sudah jangan dipikirkan, Bapakmu juga sudah menitipkan mu kepadaku. Selain sebagai mantu yang tidak berguna, kau juga sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri” kekeh Pak Kusno,

yang ditanggapi oleh Ahmad dengan wajah cemberut. “Tidak berguna katanya?” batin Ahmad kesal.

“Nanti bisa beri saya waktu untuk berdua sama Dinda Pak?, biar saya jelaskan semuanya” ucap Ahmad serius.

“Terserah kamu, Mad. Yang terpenting sekarang jaga Anakmu. Dia belum tahu keseluruhan tentang siapa keluarga Sukmaadji sebenarnya. Paham kan maksudku?” ucap Pak Kusno tegas.

“Saya Paham, jika memang wanita itu akan mengambil saya. Tolong jaga Dinda ya Pak. Sudah beberapa waktu saya terus memimpikan Ajeng. Dia selalu meminta saya untuk menemaninya” ucap Ahmad lirih.

Pak Kusno menghela nafasnya, dia berfikir... Semestinya Ahmad juga harus mengetahui semuanya.

“Setelah kamu bicara dengan Dinda tentang siapa kami, ada yang ingin kubicarakan tentang Sukmaadji” kata Pak Kusno. Keputusannya sudah bulat, tidak ada yang perlu disembunyikan lagi dari Ahmad.

“Soal apa Pak?” tanya Ahmad penasaran.

“Nanti, setelah Dinda tahu siapa kami sebenarnya. Akan kuberitahu semuanya” tegas Kusno.

Mereka terus berjalan. 15 menit kemudian akhirnya, nampak gapura pemakaman yang terlihat suram.

“Din, sini...” panggil Ahmad saat mereka mulai memasuki area pemakaman.

“Ada apa om?” tanya Dinda yang masih sebal dengan Ahmad.

“Ya sini, Om mau Dinda dekat-dekat sama Om” ucap Ahmad, mendengar apa yang diucapkan Bapaknya justru Dinda merinding. Merasa sedang dipanggil om om hidung belang.

“Geli tahu Yah” sungut Dinda saat berada disamping Ahmad.

“Ya kamu panggil Ayah pake sebuatan Om, ya uda kan emang itu kepinginan kamu” ucap Ahmad terkekeh. Ingin sekali dia melihat Dinda sewaktu kecil, melihat tingkah menyebalkannya.

“Sudah disini saja Pak” ucap Ahmad berbicara dengan Pak Kusno.

“Bunganya mana ya Pak?” lanjut Ahmad.

“Lo ya belum beli Pak” ujar Pak Kusno polos. Dia sebenarnya tahu, kalau Ahmad sedang mencoba untuk berduaan dengan Dinda dengan beralasan mencari bunga.

“Loh tadi saya kan sudah bilang, beli bunganya ditempat Pak Malik. Kirain sudah dibelikan” ucap Ahmad dengan nada mulai meninggi.

“Sudah Yah, gak pake bunga juga gapapa kan” tengah Dinda yang tidak mau melihat Ayahnya marah-marah kepada Pak Kusno dan Mbok Marni.

Ahmad memandangi Pak Kusno, seraya mengedipkan matanya.

“Saya permisi beli bunga dulu ya. Cuma didepan situ kok, Bapak sama Dinda tunggu dibawah pohon itu saja. Biar gak panas. Ayo bu?” kata Pak Kusno yang langsung menggandeng Mbok Marni.

“Yah, kan gak perlu seperti itu sama mereka, kasian Pak Kusno sama Mbok Marni” ucap Dinda melihat punggung kedua orang tua itu menjauh.

“Maaf ya, sengaja Ayah meminta mereka pergi. Ada yang ingin Ayah sampaikan sama kamu” ucap Ahmad.

Dinda terdiam, memandangi Ahmad lekat-lekat. “Bicara soal apa?” tanya Dinda penasaran.

“Kamu ingat waktu Ayah bilang kalau semua akan dijelaskan oleh Pak Kusno dan Mbok Marni?. Waktu kamu tanya kenapa Ibumu bisa sampai menaruhmu di panti?” ujar Ahmad. Dinda mengangguk mengiyakan.

“Memangnya Dinda tidak penasaran, siapa orang tua dari Ibumu” tanya Ahmad, memandang putri semata wayangnya.

“Ya penasaran, tapi kan Ayah bilang nanti Dinda pasti tahu semua... ya sudah... kalau sudah waktunya pasti juga nanti Ayah cerita” ucap Dinda yang mulai mengerti arah pembicaraan Ayahnya.

Dia tidak mau memberitahu Ahmad kalau sebenarnya ia sudah tahu kalau Pak Kusno dan Mbok Marni adalah orang tua ibunya.

Dinda memperhatikan Ahmad lekat-lekat menunggu apa yang ingin disampaikan oleh Bapaknya itu.

“Sudah lama Pak Kusno dan Mbok Marni kerja sama Eyangmu. Bahkan dulu Mbok Marni yang membantu Eyang putri mengurus Ayah. Singkatnya saat Ayah berumur 24 tahun, -

tiba-tiba saja Eyang kakung meminta Ayah untuk menikahi perempuan. Kamu tahu siapa perempuan itu?” tanya Ahmad, Dinda menggeleng, pura-pura tidak tahu siapa wanita yang dimaksud oleh Bapaknya.

“Anak dari Pak Kusno dan Mbok Marni” ucap Ahmad singkat.

“Maksud Ayah? Jadi Mbok Marni dan Pak Kusno orang tua ibu?” tanya Dinda pura-pura kaget, mengikuti alur pembicaraan Bapaknya.

Ahmad mengangguk, “Kenapa Ayah gak cerita sama Dinda dari awal? Padahal Dinda sering minta ini itu sama Mbok Marni” ucap Dinda pura-pura kesal.

“Maafin Ayah ndug, semua karena keluarga Sukmaadji. Kalau mereka tidak melakukan perbuatan syirik itu. Pasti kita masih berkumpul bersama dengan ibumu” ujar Ahmad getir.

Dinda sedikit tersentak, entah kenapa dia merasa kalau sebenarnya Ahmad tahu sesuatu. “Maksudnya Yah?” tanya Dinda penasaran, kali ini dia sedang tidak pura-pura.

“Keluarga Sukmaadji secara turun temurun memiliki sebuah ikatan perjanjian dengan makhluk gaib” ketika Ahmad mengucapkan kalimat itu seketika suasa menjadi tegang, mereka tidak sadar jika sedang membicaran hal yang tabu dipemakaman.

“Ayah tahu semua dari catatan yang ditinggalkan oleh Eyang Kakungmu. Semenjak itu pula Ayah mencari kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dibantu oleh Hamdan akhirnya Ayah tahu tentang apa yang terjadi denganmu.

Semua catatan yang ditinggalkan Bapakku dan Ibumu sudah cukup menyadarkan Ayah kalau semua seharunya ditimpakan kepadaku” ucap Ahmad memandang kearah makam istrinya.

“Buku yang kau ambil beberapa malam lalu milik Eyang Kakungmu. Ya Ayah tahu kamu sudah mengambilnya dibrankas milik Ayah” ucap Ahmad, saat mendapati raut wajah Dinda berubah.

“Maaf, karena Dinda sudah lancang” ucap Dinda tertunduk malu.

“Sudah, tidak ada yang perlu disesali. Kalau Ayah yang jadi dirimu juga pasti akan mencari tahu lebih” tukas Ahmad tersenyum kepada Dinda.

“Jadi Ayah, yang meminta Pak Hamdan untuk mencari Dinda?” tanya Dinda, Ahmad menolehkan kepalanya memandang Dinda lekat-lekat.

“Tidak, Ayah tahu anak Ayah masih hidup. Tapi tidak mau membuatmu masuk kedalam lingkaran setan. Ingat waktu Ayah meminta mu untuk pergi saat pertama kali bertemu? -

Ayah benar-benar khawatir. Bahkan sempat Ayah marah besar kepada Hamdan karena sudah membawamu kembali ke rumah terkutuk itu” jelas Ahmad.

Dinda diam, dia mengingat-ingat semua ucapan yang dilontarkan Ayahnya.

“Kenapa Ayah bohong kalau Ayah tidak tahu alasan kenapa Ibu menaruh Dinda ke panti?” tanya Dinda lirih.

Kini Dinda melihat mata Ahmad mulai memerah, “Ayah tidak mau membuatmu khawatir. Meski Hamdan memastikan kalau ritual yang sudah dilakukan oleh Pak Kusno dan Bapak ku akan menyelamatkan mu... -

Tapi Ayah yakin, selama Ayah masih hidup mahkluk itu akan selalu menjadi masalah dikeluarga kita. Dan Ayah juga tidak mau membuat Pak Kusno dan Mbok Marni kepikiran. Mereka orang baik, Ayah punya hutang budi dengan mereka” ucap Ahmad sengau.

“Dinda pikir, keluarga itu harus saling membantu. Dengan kalian menyembunyikan rahasia satu sama lain, akhirnya juga akan membuat masalah akan semakin rumit. -

Dinda belajar untuk berbagi saat hidup di panti” ucap Dinda mantap, dia memang selama ini selalu diajari oleh Bu Nawang agar tidak menyimpan masalahnya sendiri.

“Setelah kita pulang dari makam, kita bicarakan dengan Pak Kusno dan Mbok Marni. Kita coba selesaikan semua, jangan ada rahasia dan kebohongan lagi. Dinda mohon sama Ayah” ucap Dinda cepat saat melihat Pak Kusno dan Mbok Marni tengah berjalan kearah mereka.

“Baik, nanti kita bicarakan semua ini bersama mereka ya ndug” ucap Ahmad tersenyum kepada Dinda. Melihat kedatanan Pak Kusno dan Mbok Marni, Dinda hanya mengangguk menyetujui permintaan Bapaknya.

“Ini bunganya, maaf lama Pak” ucap Mbok Marni sambil menyerahkan sekeranjang bunga mawar dan kenanga untuk diletakan dimakam Ajeng dan keluarga lainnya.

“Mari, Pak mbok, kita ke makam Ajeng dulu” ucap Ahmad.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close