Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 8) - Kehadiran


Part 8 - Kehadiran

Tangan Dinda sudah berada di hendel pintu, kepalanya terasa pening. Sungguh ingin ia rebahkan tubuhnya, segera beristirahat dan sejenak melupakan peristiwa yang baru saja dilihatnya.

“Astaga” celetuk Dinda kaget.

Mbok Marni yang berada di belakangnya seketika melongok ke dalam kamar saat mendapati cucunya itu mematung.

Jantung Mbok Marni berdegup cepat, matanya membulat sempurna tatkala melihat pemandangan di hadapannya.

Ternyata kamar Dinda sudah penuh dengan kelopak bunga mawar yang berserak di lantai, di sekeliling tempat tidurnya.

“Mbok...” panggil Dinda lirih dan gemetaran, genggaman tangannya pada Mbok Marni semakin kuat, dia ketakutan. Bagaimana mungkin di dalam kamarnya yang tertutup rapat saat ditinggal pergi, bisa ada kelopak bunga mawar sebanyak itu.

“Jangan jauh-jauh dari Simbok, Nduk” perintah Mbok Marni, mengiringi langkahnya masuk ke dalam kamar Dinda.

Dinda mengikutinya, mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Tidak ada perubahan, semua masih sama. Hanya kelopak bunga mawar yang berserakan dan semerbak wanginya yang memenuhi ruangan.

Mbok Marni terus melangkah. Dinda mengira bahwa mereka akan membersihkan kelopak bunga mawar itu, ternyata justru mengarah ke kamar mandi.

Kreeek... Perlahan Mbok Marni membuka pintu, mengamati seluruh sudut ruangan. Tak ada apa pun, tak ada siapa pun, lantainya pun masih tetap kering.

Duaaangg... Mereka terperanjat, pintu kamar tertutup dengan keras, seolah ada yang sengaja membanting daun pintu itu dengan kencang.

Hhuhuuu...Huuuu..huuhuu...

Sekali lagi mereka dikejutkan oleh sebuah suara. Terdengar suara tangisan, rasa takut pun menyelimuti batin Dinda. Jauh di sudut lain ruangan itu, terlihat seorang wanita yang meringkuk, mendekap lutut dengan kedua tangannya.

“R...Ratmi” panggil Dinda lirih

Huuhhuu...hhhuuu...uuu...

Sosok itu terus menangis, membuat bulu kuduknya berdiri, belum pernah ia dengar tangisan sepilu itu. Entah bagaimana, Dinda seolah terhipnotis, dipaksa untuk terus melangkah perlahan mendekatinya.

“Ratmi...” panggil Dinda, sosok itu bergeming, tangisnya terdengar sangat memilukan. Sesekali ia mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“Hati-hati, nduk” Mbok Marni mengingatkan Dinda ketika sudah dekat dengan sosok demit itu.

Dinda tak menggubris, ia terus melangkah, nalurinya merasakan jika Ratmi tidak berbahaya.

Kini jarak mereka hanya dua meter, sosok Ratmi semakin terlihat jelas, dengan kulit yang begitu pucat, rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya dan menjuntai hingga ke lantai.

“Ono opo?” (Ada apa?) tanya Dinda disertai gerakan badannya yang sedikit condong ke arah Ratmi, berharap sosok itu memahami kalimat dengan bahasa jawa yang ia sampaikan.

Tangis Ratmi tak kunjung mereda, tidak pula menjawab pertanyaan Dinda. Hingga saat jarak mereka tersisa satu meter, Ratmi tiba-tiba menengadahkan kepalanya dengan cepat.

Hal itu membuat Dinda terlonjak kaget dan terduduk di lantai. Sepersekian detik pandangan mata mereka beradu, kemudian Dinda mencoba bergerak ke belakang, menjauhkan diri dari Ratmi.

Bukan hanya perasaan takut yang menguasainya saat ini, tapi perasaan tidak nyaman pun turut serta menyelimuti batinnya.

“Lungo! Rembulane wis katon” (Pergi! Bulannya sudah terlihat) perintah Ratmi parau. Dinda terus berusaha untuk menjauh darinya.

Sosok Ratmi yang ada di hadapannya saat ini begitu menyeramkan, mata yang biasanya berwarna putih bersih kini berbalut dengan darah. Bibir yang biasanya menyeringai seram, kini merintih pilu penuh derita.

“Uripmu wis ora ketulung maneh. Lungo, Nduk, lungo. Ojo koyo awakku.” (Hidupmu sudah tidak tertolong lagi. Pergi, Nduk, pergi. Jangan seperti aku.) pungkas Ratmi yang menatap Dinda begitu lekat seolah penuh harap.

Deg. Dinda terkesiap. Ada sesuatu yang ia rasakan di dalam batinnya, suatu perasaan yang tidak sanggup dipahami oleh akal sehatnya.

Dinda menatap sosok itu dengan segala perasaan yang membuat dadanya nyeri dan sesak, membuatnya begitu ingin memeluk Ratmi agar mampu mengartikan perasaan apa yang sesungguhnya sedang ia rasakan.

Baru saja dia berniat melakukannya, Mbok Marni sudah mendekap tubuhnya dengan erat, membelai rambutnya dan menutup mata Dinda dengan telapak tangannya.

Sedu sedan tangis Dinda tak terbendung lagi. Perasaan sakit yang menusuk batin dan membuat dadanya sesak tak sanggup ia maknai sendiri.

“Nduk, sadar” pinta Mbok Marni yang masih mendekapnya erat.

“Sakit, Mbok. Sakit” Dinda meracau memegangi dadanya.

“Istighfar. Istighfar, Nduk,” Mbok Marni berusaha menenangkan cucunya.

“Ratmi, Mbok" jawab Dinda terisak.

“Ratmi kenapa?” tanya Mbok Marni, yang tahu bahwa Dinda sedang dalam pengaruh makhluk gaib itu. Sudah sejak jauh hari suaminya memberitahu jika kapan dan di mana pun, Dinda bisa saja berinteraksi dengan 'mereka'.

“Ratmi korban dari keluarga ini, dia menjadi salah satu tumbal yang dipersembahkan untuk Sengkolo” jawab Dinda tergagap.

Mbok Marni tersentak, selama ini ia sendiri tak mengetahui tentang itu. “Bagaimana kamu bisa tahu nduk?” tanya Mbok Marni penasaran.

Dinda tidak menjawab, ia terus menggelengkan kepala berusaha menepis setiap perasaan yang menyerang batin dan pikirannya secara tiba-tiba. Seolah-olah Ratmi mengajaknya berkomunikasi melalui batin dan berbagi perasaan serta kejadian yang dialaminya kepada Dinda.

“Ap..Apakah hidup Dinda akan berakhir seperti Ratmi?” ujar Dinda dengan tatapan kosong.

Dia tidak menyangka jika keluarga kakeknya sudah bertindak sejauh itu. Awalnya Dinda berpikir jika tumbal yang diserahkan hanya berasal dari garis keturunan Sukmaadji, ternyata tidak.

“Nduk, ingat, masih ada Tuhan, kita selesaikan segala sesuatu di dunia ini dengan campur tangan-Nya” tegas Mbok Marni menguatkan Dinda.

Dinda masih termenung, tatapannya kosong, kepanikan menghampiri Mbok Marni. Dia terus menggerakkan tubuh Dinda, bibirnya tak henti melafalkan dzikir dan doa, hingga cucunya itu tersentak kemudian memeluknya sangat erat.

Dinda kembali melirik ke sudut ruangan, tempat di mana Ratmi meringkuk, namun sosoknya telah menghilang tanpa jejak.

“Sudah, lebih baik sekarang kita istirahat dulu. Semoga esok pagi Kakekmu sudah kembali dengan membawa kabar baik” ujar Mbok Marni yang sedang membantu Dinda berdiri.

Sebenarnya Mbok Marni pun merasa cemas dan ketakutan tetapi dengan kondisi saat ini, dia harus tetap bersikap tenang.

***

Sudah beberapa jam Dinda berbaring, Mbok Marni yang berada di sisinya sudah terlelap. Ingin sekali Dinda melakukan apa yang diminta oleh Mbok Marni untuk segera beristirahat, tapi pikirannnya seolah tak bisa diajak kompromi, matanya tetap terjaga, menatap langit-langit kamar.

Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam, suasana rumah itu sungguh sunyi. Bahkan suara serangga yang biasa terdengar pun ikut membisu.

“Bagaimana jika Pak Kusno kembali tanpa mendapat jawaban?” tanya Dinda pada dirinya sendiri, banyak pertanyaan berputar di dalam kepalanya. Memikirkan nasibnya yang sungguh berada di luar kendalinya itu membuat kepalanya pening.

Sementara itu di ruangan yang lain...

Hamdan tengah berbaring, lengannya masih terasa nyeri. Sesekali dia menyentuh bekas sayatan yang ditorehkan Ahmad.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Mad?” kata Hamdan menerawang. Dia masih belum mampu mencerna, bagaimana mungkin ada makhluk gaib yang bisa menguasai fisik manusia seperti itu.

Pikiran Hamdan terus beradu, untuk saat ini tidak mungkin dia meninggalkan dua perempuan itu di rumah ini. Dia sudah berhutang budi pada keluarga Sukmaadji, jika terjadi sesuatu dengan mereka, sama saja dia mengkhianati keluarga ini.

Kemudian Hamdan bangkit, mengambil ponselnya dan segera mengetik pesan singkat untuk dikirim ke seseorang di seberang sana, berharap jika terjadi sesuatu dengannya masih ada orang yang bisa ia harapkan untuk menolong mereka semua di sini.

Hamdan terdiam, seketika tubuhnya kaku, ia menajamkan pendengarannya, “Wayangan?” ucap Hamdan keheranan.

Dia melangkah mendekati pintu, ia dekatkan telinganya ke daun pintu, sayup-sayup terdengar suara dalang yang sedang memainkan wayang.

“Apakah suara ini yang dimaksud oleh Dinda?” kata Hamdan bertanya-tanya.

Hamdan ragu, apakah dia harus membuktikan sendiri semua ucapan dari anak sahabatnya itu atau tidak. Baginya semua ini sama sekali tidak masuk di akal.

Hamdan memejam, napasnya memburu, dia bulatkan tekadnya untuk mencari tahu secara langsung, apa yang sebenarnya terjadi pada Ahmad sore tadi, mungkin memang sama sekali tak ada kaitannya dengan hal gaib.

Dia menelisik seluruh sudut kamar, berusaha menemukan benda yang bisa digunakan sebagai pelindung diri, jika tiba-tiba Ahmad mengamuk lagi.

Ternyata nihil, Hamdan tak menemukan satu pun yang dicari, terpaksa ia harus beranjak dengan tangan kosong.

Pintu kamar ia buka perlahan, suasana begitu sunyi, bahkan suara serangga malam pun tak terdengar.
Hamdan berjingkat, memperlambat langkahnya menuju ke sumber suara, rasa penasaran betul-betul menghantuinya.

Ketika Hamdan ada di ruang keluarga, tiba-tiba “Arep menyang ngendi?” (Mau kemana?) terdengar suara tanya dalam kegelapan.

Seketika langkahnya terhenti, kepalanya menoleh, di ujung lorong yang mengarah ke kamar Sukmaadji, terlihat siluet seseorang sedang berdiri menyandar pada dinding.

Bayangan itu mulai bergerak, mendekati Hamdan yang masih mematung di tengah ruang keluarga.

“M—mad?” panggil Hamdan, tak ada sahutan, laki-laki itu terus melangkah ke arahnya.

Hamdan masih terpaku, terhipnotis pada sosok Ahmad, hingga saat cahaya dari arah luar menerpa tubuh temannya itu, ia tersentak dan mundur beberapa langkah.

Hamdan menyadari kalau Ahmad tengah menggenggam sesuatu yang berkilat di tangannya. “Wis tak omongi rasah nyampuri urusan iki nanging isih ra manut. Apa sing mbok goleki?”

(Sudah ku beritahu untuk tidak ikut campur urusan ini tapi masih tidak patuh! Apa yang sedang kau cari?) bentak sosok yang ada di tubuh Ahmad kesal.

“Sapa kowe?” (Siapa kamu?) tanya Hamdan.

Ahmad berhenti melangkah, bibirnya menyeringai seram. “Matur nuwun wis nggawa bocah wadon iku mulih menyang panggonan iki” (Terima kasih telah membawa anak perempuan itu pulang ke tempat ini), sahut Ahmad penuh kemenangan.

Hamdan menelan ludah, bulu romanya bergidik. Sekarang ia yakin jika ada sosok lain yang sedang mengendalikan fisik Ahmad.

Sorot mata yang terlihat begitu hampa tapi sangat menakutkan. Sudah puluhan tahun dia mengenal sahabatnya, namun baru kali ini ia menyaksikan Ahmad memandang nanar penuh kedengkian.

Hamdan terkesiap, seolah mengerti apa yang akan terjadi, Ia ingin melangkah kembali ke dalam kamarnya, namun refleks Ahmad jauh lebih cepat ketimbang dirinya.

Bruaaakk... Tubuh Hamdan roboh, Ahmad dengan sigap meyerang tubuhnya. Tak ia pedulikan posisi Hamdan yang berada di dekat bufet penuh barang-barang.

Punggung Hamdan menubruk bufet dengan kencang, tanpa bisa dicegah, keduanya tersungkur di lantai. Sebuah vas di atas bufet jatuh menimpa dan melukai kepala Ahmad.

Hamdan mengerang, tangannya benar-benar terasa nyeri, dia terus berusaha menahan sahabatnya itu agar tidak melukainya.

“MAD, SADAR” teriak Hamdan,

Bukan berhenti, Ahmad justru menyeringai penuh kebencian. Hamdan mengerjap, dia merasakan ada cairan kental yang menetes di pipinya.

Kepala Ahmad berdarah, namun bagai seekor banteng yang ingin memburu matador, laki-laki itu terus mencoba melukai Hamdan dengan pisau yang ada di tangannya.

Hamdan menjerit keras, Ahmad menekan luka yang ada di tangan kanannya. “Brengsek kamu, Mad” umpat Hamdan.

Tanpa belas kasihan, Ahmad terus menyeringai menekan tangan Hamdan sekuat tenaga, hingga tenaga Hamdan melemah.

Craaattt... sebuah goresan ditorehkan Ahmad di pipi Hamdan. “Aarrrggggghh” erang Hamdan, saat merasakan perihnya luka goresan itu.

“Iki isih durung ana apa-apa ne. Manungso sing melu nyampuri urusanku, bakal tak pateni alon-alon. Supaya mangerteni rasane disiksa ing uripe”

(Ini belum ada apa-apa nya. Manusia yang ikut campur urusanku, akan ku bunuh perlahan. Agar memahami bagaimana rasanya tersiksa dalam hidupnya) Ahmad meracau, liurnya menetes di wajah Hamdan.

“Sial! Apa salahku?” (Sial! Apa kesalahanku?) Hamdan mencerca kesal, tangannya tetap berusaha sekuat tenaga menahan Ahmad yang masih mengarahkan pisau di tangannya.

“Kowe mung mlebu panggonan iki wae wis salah” (Kamu memasuki tempat ini saja sudah merupakan kesalahan) jawab Ahmad dengan tawa tergelak.

Hamdan hanya memiliki kesempatan sekejap, dengan segera ia mendorong Ahmad sekuat tenaganya.

Brukk... Ahmad tersungkur, Hamdan lekas mencoba berdiri, melangkah menjauhi orang gila di depan nya itu.

Jalannya terseok-seok, kepalanya begitu berat karena efek dari benturan benda keras tadi. Hamdan terus berusaha berjalan keluar rumah dengan langkahnya yang sempoyongan.

Saat dia hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba.... Pyaaarrrr! Kepala Hamdan seolah ditimpa sesuatu dengan kerasnya. Rasa sakit semakin menjadi, matanya berkunang, kesadarannya perlahan menghilang.

Beberapa meter di belakangnya, dengan seringai menyeramkan, Ahmad baru saja melempar asbak kaca ke arah kepala Hamdan.

Seketika Hamdan tersungkur di lantai, napasnya tersengal-sengal, darah mengucur deras di bagian belakang kepalanya, sedikit demi sedikit menggenangi ubin batu ruangan itu.

***

Dinda beranjak dari tempatnya berbaring saat mendengar suara gaduh dan benturan keras di luar, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Ia memandangi Mbok Marni, neneknya itu masih tertidur lelap, sepertinya dia tidak mendengar kegaduhan yang ada di luar kamar.

“MAD, SADAR” terdengar suara teriakan Pak Hamdan di luar kamar.

“Sial” umpat Dinda, “Kenapa lelaki tua itu keluar kamar!” batin Dinda. Padahal dia dan Mbok Marni sudah memperingatkan untuk tidak menggubris apapun yang ia dengar saat tengah malam.

Dinda segera mengambil ponsel di kanas samping tempat tidurnya. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri di kamar. Meski hatinya diliputi rasa takut tapi dia yakin Sengkolo tak akan menyakitinya untuk saat ini.

Perlahan Dinda membuka pintu kamarnya, mengamati sekeliling, dan tak mendapati seorang pun, hanya barang-barang yang sudah berantakan di lantai.

Berulang kali dia berusaha menekan saklar akan tetapi lampu yang berada di ruang keluarga itu tak segera menyala.

Dinda berbalik, sempat berniat membangunkan Mbok Marni, tapi ingat jika neneknya itu masih terlelap nyenyak, maka ia urungkan, kemudian kembali melangkah keluar. Berjalan dengan hati-hati, serta menajamkan indera penglihatannya.

“Darah” ucap Dinda ngeri, ketika melihat tetesan darah di lantai, membaur dengan serpihan porselen.

Ia melihat sekeliling, kewaspadaannya meningkat. Suara wayangan yang tadi sempat terdengar pun kini sudah menghilang.

Ia mengarahkan sorot lampu dari ponselnya ke arah lantai, menyusuri jejak tetesan darah itu, ternyata mengarah masuk ke kamar kakeknya. Tetesan yang semakin banyak dan semakin terlihat seperti tumpahan darah, itu menjadikan Dinda diselimuti perasaan takut.

Segala pikiran dan perasaan takutnya sudah menjadi satu, sempat terbersit olehnya untuk kembali ke kamar dan pura-pura tidak mengetahui segala sesuatu yang sudah ia dengar dan lihat malam ini. Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk dengan Pak Hamdan?

Kini Dinda sudah berdiri di depan kamar Sukmaadji, sebelum masuk ia mendekatkan telinganya ke daun pintu, memastikan jika Hamdan dan Ahmad memang berada di dalam.

Semua terasa sunyi, Dinda tak mendengar pergerakan apa pun, justru suara detak jantungnya sendiri yang terdengar.

Dengan perasaan tidak keruan, Dinda nekat membuka pintu kamar kakeknya. Tak ia dapati sesuatu yang aneh, hingga matanya menemukan sesuatu yang bergerak lemah di salah satu sudut ruangan kamar.

“Pak Hamdan” panggil Dinda hati-hati.

Dinda berjalan cepat menuju ke arah Hamdan. “Pak...” panggil Dinda sambil mengecek denyut nadi dan detak jantung laki-laki itu.

Kepanikan menguasai Dinda, tangannya sudah penuh dengan darah yang keluar dari tubuh Pak Hamdan, beberapa luka sayatan terlihat di tubuh nya.

Duaaanggg... Dinda terperanjat, pintu kamar itu tiba-tiba tertutup. Ia mengedarkan pandangan namun tetap tidak tampak seorang pun di sana.

Dinda mundur, dia yakin Ayahnya ada di dalam kamar ini. Dia berusaha menjauh dari pintu kamar, tangannya bergetar hebat. Lampu ponselnya masih menyoroti setiap sudut ruangan, namun tetap tidak ada sesosok manusia pun terlihat.

Kret..tekk...tek.... Terdengar suara retakan, Dinda mencari sumbernya masih menggunakan sorot lampu dari ponselnya.

Pandangannya terhenti pada cermin tua itu, ketakutan Dinda semakin menjadi. Tak lama, cermin tua yang mulai meretak itu bergetar.

Cukup lama Dinda tertegun, layaknya adegan horor yang ada di film. Perlahan tapi pasti, terlihat sebuah kaki yang melangkah keluar dari sana, hingga akhirnya kepalanya turut menyembul keluar.

Dinda menjerit, sosok dari cermin tua itu sungguh mengerikan. Badannya bungkuk, rambut di kepalanya nyaris botak seluruhnya, hanya menyisakan beberapa helai rambut putih. Kulitnya bersisik, taring yang mencuat dari mulutnya sungguh menjijikkan.

Langkah mundur Dinda semakin gentar, tangannya berusaha menggapai segala sesuatu yang bisa ia gunakan untuk perisai dirinya.

“Cah ayu..” (Anak cantik..) panggil sosok itu dengan seringai penuh makna.

Dinda tak acuh, langkahnya terhenti ketika punggungnya sudah beradu dengan dinding. Dia menangis tersedu-sedu, sudah ia sadari bahwa sosok itu adalah Sengkolo.

“Sadhela maneh, cah ayu. Sadhela maneh kowe bakal dadi siji karo aku” (Sebentar lagi, anak cantik. Sebentar lagi kamu akan jadi satu denganku) suara Sengkolo menggaung di telinga Dinda.

Dinda terisak-isak, sangat ketakutan. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan saat ini. Punggungnya sudah menabrak dinding, dan sosok itu semakin mendekati dirinya.

Dinda yang panik kemudian berlari ke arah pintu, mencoba membuka pintu dengan terus menggerakkan hendelnya. Sayangnya, pintu tak mau terbuka.

Dinda menengok ke belakang, ternyata Sengkolo sudah berdiri dengan jarak hanya beberapa meter dari nya.

“Lungo!” (Pergi!) teriak Dinda, sosok Sengkolo berhenti menelengkan kepalanya, senyumnya yang mengerikan merekah.

“Bapakmu wis mati, wong lanang iku yo wis mati” (Bapakmu sudah mati, lelalki itu pun sudah mati) jelasnya, mengacungkan telunjuknya pada Hamdan.

“Mung kari wong tuwa loro iku lan awakmu, cah ayu” (Tinggal dua orang tua itu dan dirimu, anak cantik) lanjut Sengkolo.

Dinda terus menggeleng, tangannya tak lepas dari gagang pintu berusaha membukanya, “Lungo saka kene!” (Pergi dari sini!) teriak Dinda putus asa.

Dirinya sudah pasrah, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Badannya merosot ke lantai, usaha terakhir untuk melindungi diri hanya memeluk lutut dengan kedua lengannya.

“Nduk” terdengar suara wanita dekat sekali dengan Dinda.

Ia sontak mendongak setelah mengenali suara tersebut, “Mbok? Mbok Marni” kata Dinda yang langsung menghambur ke pelukannya.

“Mbok, Pak Hamdan” Dinda tersedu-sedu.

“Sudah, sudah. Memang sudah takdirnya seperti itu” kata Mbok Marni menenenangkan dan membelai punggungnya.

Dinda sesenggukan, membayangkan kengerian sosok Sengkolo membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Saat ini, yang dia inginkan hanya lah segera pergi dari rumah ini.

“Kita pergi saja sekarang, tempat ini tidak aman untuk kita, mbok” pinta Dinda.

“Tidak nduk, kita harus tetap di sini” ujar Mbok Marni.

Deg. Dinda tersentak, napasnya memburu. Ingatan demi ingatan muncul cepat di dalam kepalanya, ia menyadari sesuatu.

“Bagaimana Mbok Marni masuk ke kamar, padahal sejak tadi tubuhnya menyandar pada daun pintu” pikir Dinda.

Seketika Dinda mendorong sosok serupa neneknya yang sedang mendekapnya itu. Bruaaakk... Wanita itu terdorong jauh ke belakang.

“Nduk, kamu kenapa?” tanya sosok itu, sambil mengerang kesakitan.

Dinda tak menghiraukan, ia terus menggelengkan kepalanya, berusaha memulihkan seluruh kesadarannya. Berharap apa yang baru saja dia lihat dan alami, semua hanya lah ilusi.

Badan mbok Marni mulai bergerak, anehnya ia berdiri dengan sangat pelan, bahkan Dinda seperti mendengar suara tulang-tulang yang patah.

Dinda menatap Mbok Marni tanpa berkedip, tubuhnya mematung, jangankan untuk bergerak, sekadar membuka mulut saja ia tidak sanggup.

Sosok wanita tua tersebut berjalan dengan menyeret kedua kakinya, mendekati Dinda. Bersamaan dengan itu, tercium aroma busuk yang sangat menjijikkan.

“Nduk” panggil Mbok Marni lirih, kedua tangannya terangkat, ingin meraih kepalanya.

Dengan sekali sentakan, makhluk itu memutar kepalanya. Seketika Dinda mendekap mulutnya kaget, napasnya terhenti sejenak, air matanya berderai, tak mampu melihat kejadian yang sangat mengerikan itu. Dia menyesal sudah keluar dari kamarnya dan bertingkah sejauh ini.

Tubuh Mbok Marni jatuh ke lantai dengan posisi telungkup, kepalanya menghadap ke atas, matanya terbuka lebar.

Seketika Dinda menjerit, semakin ketakutan, ia pejamkan matanya, menggelengkan kepala berulang, berusaha menepis semua adegan mengerikan di hadapannya itu.

“Bakal kaya iki nasibe manungsa kang nyampuri urusanku” (Akan seperti ini nasib manusia yang ikut campur urusanku) ujar Mbok Marni.

“Wis! Wis! Mandheg! (Sudah! Sudah! Berhenti!) jerit Dinda histeris. Bukannya berhenti, makhluk itu justru tertawa terbahak-bahak mengerikan.

Tok...tok...tok...

“Nduk, buka pintunya” terdengar suara ketukan pintu dan panggilan keras dari luar kamar.

Dinda belum menanggapi, dia terus menggelengkan kepalanya, belum yakin jika suara yang memanggilnya tadi adalah Mbok Marni yang asli.

Cukup lama suara ketukan dan panggilan itu terdengar, Dinda masih meringkuk, dia punya alasan cukup kuat untuk tidak memercayai siapa pun saat ini.

Hingga Dinda mendengar suara lainnya, suara yang sangat ia kenali dan selalu ingin dia hindari.

“Bu, ada apa?” tanya Ahmad.

Dinda berhenti menggeleng, dia menajamkan indera pendengarannya. Matanya masih terpejam, ia masih takut untuk melihat jelmaan Mbok Marni yang ada di kamar itu.

“M—mad” gagap Mbok Marni,

“Iya, ada apa? Dinda kemana?” Ahmad mengulang pertanyaannya.

“Kamu sudah bisa jalan?” tanya Mbok Marni dengan suara yang jauh lebih keras dari sebelumnya.

Dinda terperanjat, dia tahu maksud kalimat Mbok Marni itu bukan lah keterkejutan, melainkan peringatan yang ditujukan untuk Dinda agar mengetahui bahwa tubuh Ahmad yang sedang dirasuki oleh Sengkolo sudah ada di depan pintu kamar.

Dinda segera membuka matanya, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, sosok menyerupai Mbok Marni sudah tidak ada. Dengan kaki dan badan yang masih lemas, ia berusaha untuk berdiri dan keluar dari kamar.

Jangan sampai Sengkolo melukai Mbok Marni, dia sudah membuat Pak Hamdan sekarat. Jika Dinda tidak segera bertindak, nenek satu-satunya bisa menjadi sasaran berikutnya.

Klek... Pintu kamar itu kini bisa dengan mudah Dinda buka. Dalam keremangan ruangan, terlihat sosok Mbok Marni dan Ahmad yang berdiri sedikit berjarak.

“Din, ngapain kamu di kamar Eyang?” tanya Ahmad penasaran.

Tanpa ia hiraukan kalimat itu, Dinda segera menarik tangan Mbok Marni dan berlari masuk ke kamarnya.

“Hey, kalian kenapa?” teriak Ahmad saat melihat anaknya buru-buru menggandeng Mbok Marni dan langsung masuk ke dalam kamar.

Dinda terengah, langsung mengunci pintu kamar dan memindahkan meja tepat di belakang pintu untuk menghalangi Ahmad agar tidak dapat masuk ke dalam kamarnya.

“Nduk, ada apa?” Mbok Marni bertanya kebingungan.

Dinda menggeleng, dia masih mencari benda-benda agar bisa menambah beban untuk menghalangi pintu agar tidak bisa dibuka. Melihat sikap aneh Dinda, Mbok Marni langsung menariknya ke dalam dekapan.

“Nduk, sudah” ucap Mbok Marni prihatin, air matanya jatuh membasahi pipinya yang mulai keriput.

“Setelah pagi menjelang, simbok harus pergi dari rumah ini, susul kakek, dan segera cari bantuan. Makhluk itu bisa melakukan apa pun dan melampaui batas” Dinda mencecar histeris, mencoba melepaskan pelukan dari Mbok Marni.

“Kenapa, Nduk? Ada apa?” tanya Mbok Marni yang masih belum paham dengan perkataan cucunya.

Buru-buru Mbok Marni mengambil botol berisi air yang jatuh dari meja saat Dinda menggesernya untuk dijadikan penghalau pintu.

“Minum dulu, lalu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu sudah aman di sini” ucap Mbok Marni menenangkan, menyerahkan botol itu kepada Dinda.

Dinda tidak menerima botol yang diberikan padanya. Dia meraba-raba saku celananya mencari ponsel untuk meminta bantuan, kemudian ia sadar jika ponselnya terjatuh ketika sosok Sengkolo muncul dari cermin.

“Mbok, ponsel simbok mana?” tanya Dinda panik.

“Di kamar belakang, Din. Kenapa?” jawab Mbok Marni yang mulai ikut panik.

“Siaaall!” umpat Dinda kesal.

“Pak Hamdan ada di kamar eyang Mbok, dia sedang sekarat” lanjut Dinda.

“Apa maksudmu, minum dulu tenangkan dirimu, baru cerita" pintanya sedikit memaksa.

Segera Dinda mengambil botol itu, dan segera minum, tanpa ia sadari tubuhnya sudah basah bermandikan keringat sejak tadi.

Dinda menghela napas panjang, “Dinda melihat Pak Hamdan sekarat di kamar eyang. Tubuhnya penuh dengan luka sayatan dan banyak darah menggenang di sekitar tubuhnya” Dinda menjelaskan.

Tok...tok...tok...

“Nduk, Bu. Kenapa pintunya dikunci, apa yang terjadi. Di mana Hamdan?” teriak Ahmad dari luar kamar.

Sejenak Dinda dan Mbok Marni memalingkan wajah tanpa sedikit pun kata terucap dari mulut mereka.

“Apa yang harus kita lakukan Mbok? Jika dibiarkan, Pak Hamdan bisa mati” tanya Dinda panik, suaranya menyaingi ketukan dan teriakan Ahmad dari luar.

“Kalau kamu melihat Hamdan sekarat di kamar Sukmaadji, lantas siapa yang tadi sudah kutolong” ucap Mbok Marni bingung.

“Hah? Apa maksudnya?”

“Sebelum kusadari kalau kamu ada di kamar Sukmaadji, aku melihat tubuh Hamdan pingsan di lantai ruang tengah. Kemudian aku mencoba untuk membawanya ke kamar, setelah mengobatinya lukanya baru Simbok pergi mencarimu” ucap Mbok Marni.

Dinda benar-benar kebingungan, dia jelas-jelas melihat tubuh Pak Hamdan yang terbaring sekarat di dalam kamar eyang.

“Wis ngerti to saiki, ngapa demit iku isa nyilakani” (Sudah tahu kan sekarang, mengapa demit itu bisa mencelakai) terdengar suara perempuan menyahut lirih diujung ruangan.

“Opo maksudmu?” (Apa maksudmu?) tanya Dinda dengan nada keras kepada Ratmi.

“Nduk, kamu bicara dengan siapa?” tanya Mbok Marni bingung.

Dia menoleh ke segala sisi, mencoba mencari sosok yang menjadi lawan bicara Dinda, namun tak tampak seorang pun.

“Simbok tak bisa melihat Ratmi?” balas Dinda yang kini juga kebingungan.

Mbok Marni menggeleng, dia sama sekali tidak bisa melihat siapa pun di kamar itu selain cucunya.

Kembali Dinda menolehkan kepalanya ke arah Ratmi, dengan sesekali menggelengkan kepalanya. Namun sosok itu masih terlihat jelas berdiri diujung ruangan.

“Opo maksud omonganmu mau?” (Apa maksud perkataanmu tadi?) tanya Dinda, mengabaikan kebingungan Mbok Marni.

“Isih durung ngerti? Demit iku isa ethok-ethok dadi apa wae. Bakar sakcepete, apa awakmu mati muspra ing kene!” (Masih belum paham? Demit itu bisa berpura-pura menjadi apa saja. Bakar secepatnya atau kau mati sia-sia di sini!) tegas Ratmi lugas.

Dinda menoleh ke pintu kamar, otaknya berpikir dengan cepat. Suara ketukan itu sudah hilang, seketika dia melihat ke arah Jendela.

Dalam paniknya, Dinda tergesa beranjak, “Mbok, tolong bantu” ucap Dinda saat mencoba mendorong lemari yang ada di dekat jendela. Mbok Marni yang sempat kebingungan akhirnya paham, dan segera membantu Dinda untuk menggesernya.

Benar saja, sesaat setelah jendela itu tertutup lemari, suara Ahmad muncul dari sisi luarnya.

“Astaga, ada apa dengan kalian? Jangan bercanda! Ayo, buka jendelanya, Nduk” teriak Ahmad dari luar.

Dinda menghela napas panjang, segera merebahkan tubuhnya di lantai. Sementara Mbok Marni segera bersimpuh di sampingnya.

“Apa yang sebenarnya kamu ketahui, Nduk?” tanya Mbok Marni penasaran.

“Waktu kita tidak banyak, sekarang Dinda sudah tidak bisa membedakan mana Sengkolo dan Ayah yang sesungguhnya. Ataukah memang tubuh Ayah sudah dikuasai sepenuhnya oleh Sengkolo, dan sebenernya Ayah sudah meninggal” ucap Dinda menghapus air matanya.

“Istighfar, tenangkan dirimu” bujuk Mbok Marni. Dinda mengikuti saran itu, mulutnya terus melantunkan kalimat istighfar.

“Mbok, dengarkan Dinda” ucap Dinda serius, memandang bola mata coklat wanita itu yang sangat mirip dengan miliknya.

“Setelah pagi datang, Simbok susul kakek ke Lembah Pati. Tidak, sekali ini saja, tolong dengarkan Dinda ya” bujuk Dinda saat melihat Mbok Marni yang berusaha memotong ucapannya.

“Sengkolo tak akan mencelakai Dinda. Orang-orang di sekitar Dinda lah yang sedang dia incar. Dinda mohon, lakukan apa yang Dinda minta ya, Mbok. Pagi nanti, susul dan temui kakek, lantas bakar lah sosok itu segera” kata Dinda.

Mbok Marni menggeleng, air matanya jatuh berderai “Nduk, bagaimana mungkin Simbok meninggalkanmu sendirian” ucapnya menangis tersedu-sedu.

“Nyawa Simbok dalam bahaya, bukan nyawa Dinda. Masih ada waktu beberapa hari sebelum malam selasa kliwon ” ujar Dinda terus memohon.

“T—tapi, bagaimana dengan Hamdan dan Ahmad?” tanya Mbok Marni masih mencoba untuk bertahan dengan beragam alasan.

“Itu urusan Dinda. Jika simbok memang menyayangi Dinda, segera pergi ke Lembah Pati esok pagi” desak Dinda.

Mbok Marni memejamkan matanya, berusaha memantapkan hatinya meskipun tahu bahwa keputusan ini sungguh berat. Namun keselamatan semua orang pun tergantung dengan hasil yang dibawa oleh suaminya.

“Mbok, masih ada Ratmi kan yang bisa menjaga Dinda” kata Dinda berusaha meyakinkan, sebab ia paham keraguan Mbok Marni untuk pergi itu penuh pertimbangan. Dan ia pun tahu jika yang baru saja disampaikan pada Mbok Marni bukan lah suatu hal yang pasti kebenarannya.

“Baik, setelah pagi menjelang simbok akan segera pergi ke Lembah Pati. Janji sama Simbok untuk tetap bertahan sebelum Simbok dan Pak Kusno pulang ya” ucap Mbok Marni penuh haru.

Dinda mengangguk, segera ia memeluk erat Mbok Marni, meluapkan seluruh perasaannya. Sudah sejak lama dia memimpikan untuk bertemu dengan anggota keluarganya.

Mungkin dengan begini, bisa membuat hati serta jiwanya jauh lebih tenang dan tenteram, jika memang kematian sedang dalam perjalanan menghampiri dirinya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close