Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 9) - Lembah Pati


Lembah Pati - Part 9

Sama halnya seperti malam kemarin, Dinda dan Mbok Marni terjaga. Baru setelah azan subuh berkumandang mereka bergegas keluar kamar untuk mengambil keperluan yang akan dipakai olehnya.

“Mbok pelan-pelan” ucap Dinda lirih saat menggeser meja yang menghalangi pintu.

“Sebenarnya Din, dari semalam Simbok mau tanya sama kamu” kata Mbok Marni.

“Kenapa Mbok?” tanya Dinda.

“Bukannya kalau dedemit itu bisa nembus dinding ya? Kenapa mesti kita tutupi pintu dan jendela kamar dengan meja dan almari?” tanya Mbok Marni kebingungan.

Dinda menghela napas. “Kalau Sengkolo merasuki Ayah, apa dia bisa menembus dinding mbok? Lebih baik berjaga-jaga, dari pada ada yang terluka lagi” jelas Dinda.

Mbok Marni menganggukkan kepala, dia baru menyadari kalau ucapan Dinda ada benarnya. Lantas dia kembali membantu cucunya untuk menggeser meja.

“Pelan-pelan Mbok, jangan sampai Ayah tahu kalau Simbok mau pergi” ucap Dinda memperingatkan, sambil membuka pintu kamarnya.

Dinda melongokkan kepalanya keluar kamar. suasana di ruang keluarga masih sama seperti semalam, banyak barang yang berserakan di lantai. Bahkan, Dinda melihat ada noda darah yang mengering pada serpihan porselen.

Dirasa aman, Dinda meminta Mbok Marni untuk mengikutinya. Mereka berjalan dengan berjingkat, takut keberadaannya di ketahui oleh Ahmad.

“Terus Din” kata Mbok Marni, saat Dinda berhenti dan memperhatikan dapur yang berantakan.

Dinda mengangguk, dia langsung membuka pintu kaca yang menghubungkan dapur dengan taman belakang.

Segera mereka berlari ke arah paviliun, sesampainya disana Dinda sedikit panik. Kepalanya tak henti menoleh ke arah Mbok Marni dan ke pintu dapur rumahnya.

“Mbok, cepetan” ucap Dinda panik, saat melihat Mbok Marni kesulitan untuk membuka pintu.

“Sebentar” senggalnya.

Butuh beberapa waktu bagi Mbok Marni untuk bisa membuka pintu tua itu. “Nah, ayo Din” ucapnya yang langsung masuk ke dalam kamar.

Dinda yang belum pernah masuk ke ruangan ini segera mengedarkan pandangan. Semua tampak bersih dan wangi. Meski tidak terlalu besar, namun sepertinya Mbok Marni dan Pak Kusno merawat tempat istirahat mereka dengan baik.

“Ini Ibu Mbok?” tanya Dinda, saat mendapati foto wanita muda tengah tersenyum ke arah kamera.

Perempuan itu mirip sekali dengan Dinda. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibirnya yang tipis, serta warna kulit kecokelatan. Mungkin jika disejajarkan tingginya pun tidak jauh berbeda.

“Iya, itu Ajeng sebelum menikah dengan Ahmad” ucap Mbok Marni dari arah almari pakaian.

“Din” panggil Mbok Marni.

Dinda menoleh, dilihatnya Mbok Marni sudah duduk di pinggiran ranjang. “Kenapa Mbok?” tanya Dinda.

Beberapa saat Mbok Marni diam, menatap Dinda lekat-lekat. Kemudian dia bergerak dan memeluk cucunya dengan erat, tangis wanita itu pecah.

“Maaf nduk, maaf” ucap Mbok Marni berulang kali. Merasa bersalah karena dirinya tidak mampu menjaga Dinda dengan baik.

“Mbok, dengarkan Dinda!!! Makhluk itu tidak akan melukai Dinda. Justru, kalau Simbok tidak pergi, dia yang akan melukai Simbok” kata Dinda, menatap mata manik-manik milik Mbok Marni.

Mbok Marni sesenggukan, kepalanya terus mengangguk. Butuh beberapa waktu bagi Dinda untuk menyakinkan Neneknya itu. Hingga saat sudah tenang, Mbok Marni beranjak menuju ke arah almarinya.

“Ambil ini” ucap Mbok Marni, sambil menyerahkan kotak kayu seukuran telapak tangan.

“Apa ini Mbok?” tanya Dinda,

“Bukalah” jawabnya.

Dinda menerima kotak itu, bentuknya unik dengan banyak ukiran di sisinya. “Ajeng?” ucap Dinda saat melihat nama yang tertoreh di samping penutup kotak.

“Itu milik ibumu, sekarang jadi milikmu. Dahulu Ajeng menitipkan kepada Simbok sebelum dia meninggal” ucap Mbok Marni dengan suara bergetar.

Dinda membuka kotak kayu itu, di dalamnya ada dua benda. “Kalung dan pisau lipat?” tanya Dinda keheranan.

“Kalung itu milik ibumu sedang pisau itu milik Kakekmu” ucap Mbok Marni.

Dinda memperhatikan kalung milik Ibunya, begitu cantik dengan bandul besi yang unik. Setelah puas memandangi kalung itu, dia langsung memakainya. Kemudian, mengambil pisau lipat milik Kakeknya.

Diangkatnya pisau itu setinggi mata, bentuknya unik. Di bagian pegangannya juga banyak ukiran, lalu saat Dinda mencoba membuka lipatannya, mata pisau itu juga terlihat tajam.

“Gunakan jika dalam keadaan terdesak, bawa kemana pun kamu pergi, nduk” ucap Mbok Marni.

Dinda mengangguk, lantas dia mengantongi pisau tersebut. “Simbok hati-hati, sampaikan salam Dinda untuk Kakek”

Sekali lagi Mbok Marni memeluk Dinda, “Kamu yang harus menjaga diri, hiduplah sampai kami pulang” kata Mbok Marni.

“Sudah Mbok, matahari sudah hampir muncul. Sebaiknya Simbok pergi sekarang” pinta Dinda yang langsung melangkah menuju pintu.

“Simbok berangkat” ucapnya dan langsung melangkah cepat meninggalkan rumah.

Dinda berdiri termenung ditempatnya, melihat punggung Mbok Marni yang keluar dari pekarangan rumah. Terbesit ingin mengikuti wanita itu, namun Dinda tahu kemana pun dia pergi, Sengkolo bisa dengan mudah menemukannya.

Selepas beberapa saat, ia kembali berjalan ke arah rumah. Ketika melewati kebun mawar yang selama ini di rawat oleh Pak Kusno, Dinda kembali terhenti. Dilihatnya lekat-lekat taman itu.

“Kenapa layu semua?” ucap Dinda lirih, saat mendapati semua tanaman mawar yang ada di sana sudah mati.

Pikiran Dinda tersapu angin. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak, ia teringat dengan Pak Kusno. Apakah Kakeknya itu sudah tahu bagaimana cara membakar Sengkolo?

Tersadar dari lamunan, Dinda segera beranjak. Niatannya tadi ingin mencari keberadaan Pak Hamdan, semoga laki-laki itu baik-baik saja.

Ia mempercepat langkahnya, saat sudah berada di dalam rumah, Dinda langsung mengecek satu persatu kamar, terkecuali kamar milik Ahmad dan Sukmaadji.

Dia yakin kalau Pak Hamdan tidak akan berada di kamar itu, toh terlalu berisiko bagi Dinda jika dia nekat bertemu Ahmad sepagi ini.

Hingga saat Dinda membuka salah satu kamar tamu, tubuhnya terhenti. Dia melihat Ayahnya sedang tertidur di samping Pak Hamdan dengan posisi terduduk.

Perlahan ia masuk ke dalam kamar, langkahnya ia pelankan, sebisa mungkin tidak membuat suara. Tujuannya hanya satu, memastikan kalau Pak Hamdan baik-baik saja. Setelah itu, dia akan kembali ke kamar dan menunggu sampai matahari benar-benar muncul dari pembaringan.

Saat sudah sampai di pinggiran ranjang, Dinda melihat kalau Pak Hamdan sudah diobati. Disamping tempat tidurnya juga ada beberapa peralatan medis.

Ada kelegaan yang timbul di hati Dinda, setidaknya laki-laki itu masih hidup. Setelah memastikan semua baik-baik saja, dia berniat untuk kembali ke kamar. Namun, saat hampir mencapai pintu...

“Din” panggil Ahmad dari arah belakang Dinda.

Dinda menoleh, jantungnya berdebar, tidak berani menatap mata Ayahnya.

Sejujurnya dia belum siap untuk berinteraksi dengan Ahmad, jika perkataan Sengkolo benar, maka yang Dinda lihat saat ini hanya mayat hidup yang sedang di kendalikan oleh iblis.

“Kamu kenapa, nduk?” tanya Ahmad bangkit dari kursi.

Dinda terkesiap, dia memundurkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang. “Nduk, sebenarnya ada apa? Kenapa rumah berantakan?” tanya Ahmad penasaran.

Dinda menggeleng, “Lungo” (Pergi).

Ahmad kebingungan, dia tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Saat terbangun, rumah sudah kacau balau dengan banyak barang yang berserakan di lantai. Awalnya dia mengira ada perampok, karena mendapati Dinda dan Mbok Marni memblokade kamar.

Bahkan saat dia memeriksa ruangan lain, justru malah menemukan Hamdan yang terkapar dengan banyak luka di tubuhnya.

Ahmad terus melangkah mendekati Dinda, berharap anaknya mau memberikan penjelasan. Namun, justru Dinda terlihat ketakutan dan terus melangkah mundur.

Merasa jengkel dengan perilaku anaknya yang aneh, Ahmad menarik lengan Dinda dan langsung memeluknya dengan erat.

Kaget dengan perlakuan Ahmad, Dinda memberontak dengan hebat, “Opo pengenmu, ora sudi aku dadi bojomu” (Apa maumu, tidak sudi aku jadi istrimu) jerit Dinda.

“Nduk, sadar, sadar” ucap Ahmad semakin mengeratkan pelukannya.

Dinda terisak, dia benar-benar ketakutan dengan manusia yang ada di depannya. Dia tidak bisa membedakan mana Ahmad yang asli, dan mana yang dirasuki Sengkolo.

“Nduk, kamu kenapa? ini Ayah” ucap Ahmad sambil menangkupkan kedua tangannya ke pipi Dinda.

Dinda terus membertontak, bahkan tenaganya jauh lebih kuat. Ahmad yang kebingungan dengan kelakuan anaknya mulai tidak bisa mengendalikan emosi.

“Nduk, ada apa” teriak Ahmad kencang.

Seketika Dinda berhenti, matanya menatap Ahmad lekat-lekat. “Benar ini Ayah?” tanya Dinda memastikan.

“Apa maksudmu? Tolong, jangan buat Ayah bingung” jawab Ahmad.

Dinda tidak menjawab pertanyaan Ahmad, di kepalanya masih banyak hal yang ingin ia ketahui, kejadian semalam membuatnya sadar kalau Sengkolo memiliki tipu daya yang mematikan.

“Sejak kapan Ayah bisa berjalan?” tanya Dinda.

“Ayah sendiri juga tidak tahu, semalam saat terbangun tiba-tiba saja kaki Ayah sudah bisa digerakan” ucap Ahmad.

Dinda tidak langsung percaya dengan ucapan Ayahnya. “Buktikan kalau ini Ayah” ucap Dinda mengeluarkan pisau lipatnya dan mengacungkan kepada Ahmad.

Ahmad mengerjap, mundur beberapa langkah menjauhi Dinda. “Apa yang kamu lakukan, nduk?” tanya Ahmad kaget.

Lama mereka berdua beradu pandang. “Tolong, jelaskan apa yang sudah terjadi” pinta Ahmad.

Dinda masih menodongkan pisaunya ke arah Ahmad, dia punya alasan untuk tidak mempercayai siapapun saat ini.

“Beberapa malam ini Ayah dirasuki oleh Sengkolo. Ayah mengamuk, membuat rumah berantakan, Ayah yang membuat Pak Hamdan jadi seperti itu” kata Dinda parau, sambil menunjuk ke arah Hamdan.

Ahmad menggeleng, dia tidak mengerti. Ingatan terakhir yang dia ingat saat mereka berempat masih berada di taman belakang ketika memanggil Ratmi.

“Apa yang sudah Ayah lakukan dengan Pak Hamdan?” tanya Dinda lantang.

“Maksudmu?” kata Ahmad kebingungan.

“Kenapa Ratmi tidak menjaga Ayah lagi? Apa yang sudah Ayah lakukan bersama Hamdan?” tanya Dinda sekali lagi. Dia sudah tidak tahan untuk menyembunyikan ini semua dari Ahmad.

Ahmad termenung, tatapannya menjadi sendu. “Nduk, Ayah tidak tahu kalau dedemit wanita itu ternyata menjaga Ayah” ratap Ahmad.

“Sekarang sudah tahu kan? Kenapa Sengkolo bisa merasuki Ayah? Karena kebodohan Ayah sendiri dan orang itu” ucap Dinda dengan suara meninggi.

“Jadi karena itu semalam kamu dan Mbok Marni mengurung diri di kamar?” tanya Ahmad.

Dinda mengangguk, matanya terus menatap Ahmad. Dia tidak tahu, sampai kapan Sengkolo membiarkan Ayahnya bisa bergerak bebas.

“Mbok Marni kemana?” tanya Ahmad setelah lama diam.

Dinda menggeleng, “Ayah tidak perlu tahu dimana Mbok Marni. Lebih baik sekarang Ayah ke kamar, biar Dinda yang merawat Pak Hamdan. Jangan sampai melukai orang lain lagi” kata Dinda.

Ahmad ingin memberontak, tangannya terkepal kuat. Dia tahu, kalau Dinda takut jika Sengkolo kembali menguasai tubuhnya. Tanpa menjawab, Ahmad langsung beranjak meninggalkan kamar.

Duaarrrr... Dinda terlonjak, dia mendengar ada pintu yang di banting dengan keras. Hatinya terasa perih, dia tidak bermaksud membuat Ayahnya sakit hati.

***

Semilir angin menerpa wajah Dinda, saat ini ia tengah duduk di taman belakang, ditemani sebatang rokok.

Beberapa kali dia mengembuskan napas berbarengan dengan asap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dinda sedang mempertimbangkan sesuatu.

Malam selasa kliwon tinggal 3 hari lagi, selama itu pula dia harus bertahan sendirian di rumah terkutuk ini. Sungguh, kepala Dinda benar-benar terasa penuh, memikirkan nasib orang-orang yang ada di sekitarnya.

Belum lagi dengan kondisi Pak hamdan, Dinda sempat ingin membawa laki-laki itu ke rumah sakit, namun setelah mempertimbangkan semua. Jauh lebih baik untuk merawatnya di rumah. Toh Ahmad seorang Dokter, jadi dia bisa memberi tahu Dinda apa yang harus dilakukan.

Dinda beranjak, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. Keputusannya sudah bulat, dia akan bertahan di tempat ini, setidaknya sampai Pak Kusno dan Mbok Marni pulang.

Sementar itu...
Lembah Pati, Desa Seruni.

Senja sudah menunjukan dirinya, sepuhan warna emas menembus rapatnya pepohonan yang ada di Lembah Pati.

Terlihat seorang laki-laki tengah duduk di atas bonggol pohon besar. Suasana di sekitarnya begitu temaran, dengan banyak pohon yang sudah ditumbuhi lumut serta semak belukar yang cukup tinggi. Seolah tempat itu tidak pernah dijankau oleh manusia.

Tidak ada ketakutan di dalam hatinya, dia pernah ke tempat ini beberapa puluh tahun yang lalu. Namun, seolah alam tumbuh begitu cepat, membuat semua terasa berbeda.

“Siaaal” umpat Pak Kusno, hatinya dirundung kekesalan. Seharusnya dia sudah sampai ke tempat yang dituju beberapa jam lalu, namun seperti ada yang sedang mempermainkannya.

Ditariknya bungkusan rokok yang ada dikantung celana, lalu mengambil sebatang kemudian membakarnya. Jreeeesss.... Benda putih itu ia hisap dalam-dalam, kepulan asap rokok terlihat keluar dari sela bibir dan lubang hidungnya.

Pak Kusno berharap dengan merokok akan sedikit meredakan emosi dan menjernihkan pikirannya. Bayangkan saja, sudah 5 kali dia berputar-putar di tempat ini. Tiap kali dia memilih jalan yang berbeda selalu saja muncul kembali di pohon besar ini.

Kepalanya mendongak, melihat ujung pohon yang tertimpa cahaya senja. Hatinya terkesiap, kalau malam ini dia tidak menemukan gua itu, nyawa orang-orang yang dia sayangi bisa hilang kapan saja.

***

Flashback Pak Kusno

“Bu, salam untuk Dinda. Ingat, jaga dia jangan sampai berbuat nekat seperti kemarin” ucap Pak Kusno.

“Sudah jangan pikirkan, aku tahu apa yang harus kulakuan, terlebih dengan sifat Dinda yang mirip sekali dengan Ajeng” timpal Mbok Marni.

Saat ini mereka sedang duduk di dalam kamar paviliun yang berada di belakang kediaman Sukmaadji. Pak kusno tengah bersiap untuk pergi ke Lembah Pati sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat semalam.

Pak Kusno bergerak ke arah almari besar yang ada di samping tempat tidur, sepintas dia mencari-cari sesuatu. Mbok Marni hanya diam memperhatikan, tidak bertanya apa yang sedang di cari oleh suaminya.

“Aku tahu apa yang bisa dilakukan oleh Sengkolo, dia bisa merasuki Ahmad kapan pun dia mau. Bawa ini kemana pun untuk berjaga-jaga” kata Pak Kusno sambil menyerahkan pisau lipat kecil.

Mbok Marni menghela napas panjang, dia sebenarnya merasa berat melepas suaminya. Dia tahu seperti apa Lembah Pati, bukan perkara hewan buas, tetapi Jin yang menghuni tempat itu.

“Segera kabari kalau sudah sampai, jaga dirimu Pak” kata Mbok Marni yang langsung memeluk suaminya.

Pak Kusno tidak menjawab, namun membalas pelukan istrinya. Setelah beberapa saat, mereka saling melepaskan.

“Aku berangkat ya Bu, jangan main hati dengan tukang sayur keliling” ucap Pak Kusno, yang langsung mendapat pukulan keras di lengannya.

“Sudah jangan bercanda, memangnya kamu. Kambing dibedakin juga doyan” timpal Mbok Marni kesal.

“Ya brarti kamu kambingnya, la wong aku doyannya sama kamu, Bu” ucap Pak Kusno yang langsung beranjak cepat menuju ke arah pintu, saat melihat pandangan Mbok Marni yang sudah melotot mengerikan.

Mbok Marni kembali menghela napas dan beranjak pelan dari sisi tempat tidurnya. Dilihatnya subuh sudah mulai temaran, sebentar lagi pasti sinar mentari akan muncul dari ufuk timur.

Pagi itu Mbok Marni mengantarkan Pak Kusno sampai depan gerbang. Saat punggung suaminya sudah tidak nampak, baru dia melangkah pergi menuju pasar untuk membeli kebutuhan harian untuk beberapa hari kedepan.

Setelah keluar dari kediaman Sukmaadji, Pak Kusno berjalan sedikit cepat. Entah kenapa, sedari tadi dia merasa diperhatikan oleh seseorang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, namun tidak ada seorang pun disana.

Pak Kusno mempercepat langkahnya agar segera sampai ke pinggir jalan raya. Waktunya tidak banyak, jarak dari tempat ini ke Desa Seruni membutuhkan waktu 7-9 jam dengan menggunakan jalur darat. Jika dia ketinggalan bus, sama saja dengan membuang-buang waktu.

Setengah jam lebih Pak Kusno berdiri di pinggir jalan. Sesekali dia menaikan ritsleting jaket agar angin dingin tidak langsung mengenai lehernya.

Entah memang pandangan Pak Kusno yang kurang baik atau kabut yang semakin menebal, dia tidak tahu. Namun matanya terpancang pada sesuatu di ujung jalan.

Lama Pak Kusno memperhatikan sosok yang berdiri menatap ke arahnya. Dia kira itu adalah tetangganya yang sedang berolahraga. Hingga saat Pak Kusno berkedip, sosok tersebut sudah menghilang. Hati Pak Kusno mencelos, dia menyadari sesuatu.

“Wektumu ora akeh” (Waktumu tidak banyak) ucap suara tepat di belakangnya.

“Asu” umpat Pak Kusno yang kaget sampai jatuh terjengkang ke jalan beraspal.

“Ngopo koe neng kene? Mulih” (Kenapa kamu disini? Pulang) kata Pak Kusno, mengusir Ratmi agar segera pulang ke rumah.

“Wes ra perlu. Bocah lanang kae ro koncone gawe aku ucul seko iketane Sukmaadji” (Sudah tidak perlu. Anak laki-laki itu dan temannya membuat aku lepas dari ikatannya Sukmaadji) kata Ratmi pelan, dengan kepala menunduk.

“Opo maksudmu? Sopo sek ngudari?” (Apa maksudmu? Siapa yang melepaskan?) kata Pak Kusno kebingungan.

“Hamdan” kata Ratmi seketika menghilang dari pandangan.

Pak Kusno mengumpat, bagaimana mungkin anak goblok itu bisa berbuat demikian. Kenapa dia sok tahu dan menghilangkan Ratmi dari ikatan keluarga Sukmaadji?

Semua sudah terjawab sekarang, kenapa Sengkolo bisa merasuki tubuh Ahmad. Sejenak Pak Kusno ingin kembali ke rumah. Karena dia tahu tanpa keberadaan Ratmi, Sengkolo bisa dengan bebas keluar masuk dari tempat persembunyiannya.

Namun setelah dipikir berulang kali, jauh lebih penting untuk mengakhiri semua ini secepatnya. Maka, Pak Kusno tetap melanjutkan perjalanan menuju Lembah Pati.

Beberapa jam berlalu, kini Pak Kusno berada di dalam bus yang mengantarkannya menuju Desa Seruni. Tidak banyak yang ia lakukan, hanya sesekali mengisi perut dengan roti dan pergi ke kamar mandi.

Hatinya masih tidak tenang, beberapa kali Pak Kusno mencoba memberikan kabar dan bertanya bagaimana keadaan rumah. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.

“Pak depan berenti ya?” kata Pak Kusno kepada kernet yang berdiri tidak jauh dari tempat duduknya.

“Beneran Pak berenti disini? Tidak ada lanjutan lagi lho!” ucap si kernet kebingungan.

“Sudah, bukan urusan kamu saya mau turun di mana” kata Pak Kusno sewot.

Merasa kesal dengan ucapan Pak Kusno, si kernet langsung meminta sopir untuk menurunkan laki-laki tua itu di pinggir jalan.

Setelah turun dari bus, Pak Kusno, memperhatikan sekitarnya. Sejauh mata memandang, tidak melihat satu pun permukiman, bahkan kendaraan yang lewat hanya segelintir. Warung makan pun hanya beberapa itu pun jaraknya berjauhan.

Pak Kusno masih melihat sekeliling, seingatnya jalan masuk ke Desa Seruni ada di sekitar sini. Namun, yang nampak hanya pepohonan tinggi dengan semak belukar yang rapat.

Beberapa kali Pak Kusno berjalan mondar mandir, mencari jalan masuk menuju Desa Seruni. Namun, tetap saja dia tidak menemukannya. Dipikirannya saat ini, dia takut jika salah turun dan sialnya lagi tidak ada bus yang akan lewat sampai esok hari.

Terpaksa, Pak Kusno berjalan menuju ke salah satu warung makan. Mungkin di sana dia bisa mendapatkan tumpangan atau tukang ojek.

“Bu, kopi hitamnya satu ya” pinta Pak Kusno, saat sudah duduk di salah satu bangku di dalam warung.

Ibu pemilik warung mengiyakan permintaan Pak Kusno dan langsung membuat pesanannya. Pak Kusno mengedarkan pandangan, warung itu tidak terlalu besar, hanya ada beberapa pengunjung. 2 orang di sudut sedang makan, dan 1 orang di sudut lainnya dekat dengan jendela.

“Monggo, Pak” ucap Ibu pemilik warung sambil meletakan secangkir kopi.

“Matur nuwun. Maaf, kalau ke Desa Seruni lewat mana ya Bu?” tanya Pak Kusno, sembari mengambil cangkir kopi yang masih mengepul.

Sejenak Pak Kusno melihat perubahan expresi dari Ibu pemilik warung. Wanita paruh baya itu terlihat bingung sekaligus penasaran.

“Ada acara apa Pak, mau pergi ke Desa Seruni?” tanya Ibu pemilik warung.

“Oh, ada urusan keluarga, dulu sekali saya pernah ke sana, tetapi saya lupa letak jalan masuknya” kata Pak Kusno.

“Sebentar Pak, mungkin mas Aryo bisa membantu” ucap Ibu itu sambil melangkah pergi menuju laki-laki yang sedang duduk di dekat jendela.

Pak Kusno diam memperhatikan, mereka sekarang sedang membicarakan sesuatu. Setelah beberapa saat, Ibu pemilik warung kembali ke arah Pak Kusno diikuti oleh laki-laki itu.

“Ini Mas Aryo, mungkin dia bisa membantu Bapak pergi ke Desa Seruni” ucapnya dan langsung pergi meninggalkan mereka.

“Kusno” kata Pak Kusno memperkenalkan diri,

“Aryo, tadi Bu Sumi bilang, Bapak mau pergi ke Desa Seruni?” tanya Aryo lugas.

“Iya, Mas. Saya dahulu pernah ke sana tapi sepertinya salah turun bus” kata Pak Kusno sambil nyegir dan garuk-garuk kepala.

“Desa Seruni ada di balik bukit ini Pak, kebetulan saya warga sana. Kalau Pak Kusno mau, bisa saya antar. Tapi ada ongkosnya ya, hehehe” ucap Aryo sambil nyengir.

“Woh ya gampang itu, Mas Aryo sudah makan? Kalau belum makan dulu, sekalian saya yang bayar nanti” kata Pak Kusno tersenyum lega.

“Wah, kebetulan belum, Pak. heheh” kata Aryo tanpa malu malu.

Aryo sendiri memiliki perawakan tinggi, dengan kulit gelap, rambut cokelat kemerahan serta badan yang kekar.

“Ya sudah. Makan dulu sepuasnya, baru kita berangkat ya” ucap Pak Kusno.

Tanpa menunggu lama, Aryo langsung memesan makanan kepada Bu Sumi. Pak Kusno yang melihat porsi Aryo terkekeh senang, dia suka sekali melihat orang makan begitu lahap.

“Pelan-pelan, saya enggak buru-buru kok” kata Pak Kusno.

“Pak Kusno mau ke Desa Seruni ada keperluan apa, Pak?” tanya Aryo setelah menelan nasi yang dia kunyah.

Sejenak Pak Kusno ragu, tetapi mengingat anak muda di depannya itu warga Desa Seruni, mungkin bisa sedikit membantu.

“Saya mau ke Lembah Pati” ucap Pak Kusno pelan.

“Uhuuuukkkk” tiba-tiba saja Aryo tersedak nasi yang dia kunyah, sigap Pak Kusno menepuk pungungnya dan memberikan air minum.

“Beneran Pak? Pak Kusno tahu kan, itu tempat apa?” tanya Aryo kaget.

Pak Kusno menghela napas. Benar dugaannya anak muda ini pasti tahu tentang Lembah Pati. “Saya tahu, ada masalah di keluarga saya dan harus diselesaikan di tempat itu”

Mendengar ucapan Pak Kusno, Aryo menelan ludah. Dipikirannya saat ini, orang tua yang ada didepannya sedang merencanakan untuk melakukan pesugihan.

Aryo sedikit mendekatkan kepalanya kearah Pak Kusno, “Bapak mau pesugihan?” tanya Aryo polos.

Mendengar pertanyaan Aryo, justru Pak Kusno tergelak, bibirnya tersungging senyum. “Kalau cuma beli kepalamu saja, tanpa pesugihan pun aku mampu”

Sekali lagi Aryo menelan ludah, ada expresi ketakutan diwajahnya. Pak Kusno yang menyadari itu buru-buru mengambil gelas kopi dan segera meminumnya.

“Kamu dari Desa Seruni kan? Kalau begitu kenal dengan Ki Dayat?” tanya Pak Kusno.

“Loh, Pak Kusno kenal sama Ki Dayat? Dia kakek saya” kata Aryo sembari membakar rokok.

“Kamu cucunya Dayat? Wah kok bisa kebetulan begini. Yauda, kapan kita bisa berangkat?” tanya Pak Kusno bersemangat.

Sungguh diluar dugaan, ada banyak orang yang bisa saja dimintai bantuan, justru cucu Dayat sendiri yang datang kepadanya.

“Ini bener jalan ke Desa Seruni?” tanya Pak Kusno sedikit keras, tubuhnya bergoncang karena jalanan bebatuan yang tidak rata.

“Benar Pak, jalannya tinggal ini. Sebentar lagi sampai kok” ucap Aryo menambah laju kecepatan motornya.

Benar saja, sepuluh menit kemudian Pak Kusno melihat sebuah gapura kayu sederhana dengan tulisan Desa Seruni. Motor terus melaju, menembus jalanan desa yang sudah sepi.

Hari sudah mulai gelap, kumandang azan magrib juga sayup terdengar. Hingga Aryo membelokkan sepeda motornya masuk ke dalam pekarangan rumah.

Aryo langsung saja memarkirkan sepeda motornya dan beranjak menuju ke arah pintu depan. Sedang Pak Kusno masih berdiri di pekarangan, memperhatikan sekeliling. Tempat ini tidak banyak berubah, 20 tahun berselang hanya ada beberapa rumah baru.

“Assalamualaikum, Mbah” salam Aryo sambil menetuk pintu rumah berulang kali.

Cukup lama, mereka menunggu. Hingga seorang yang sudah berumur muncul dari balik pintu rumah.
“Waalaikum salam. Loh, surup-surup kok malah muleh, to le” (Waalaikumsalam. Loh, maghrib-maghrib kok malah pulang, to nak) ucap Ki Dayat.

“Ngapunten, Mbah. Niko enten tamu” (Maaf, Mbah. Itu ada tamu) ucap Aryo sambil menunjuk ke arah Pak Kusno.

Sejenak Ki Dayat memperhatikan, menyipitkan matanya. Mencari tahu siapa gerangan tamu yang dimaksud oleh cucunya.

“Lali yo?” (Lupa ya?) ucap Pak Kusno, berjalan maju agar wajahnya lebih terlihat jelas.

“Woalah, kampret. Tak kiro sopo” (woalah, kampret. Aku kira siapa) ucap Ki Dayat yang langsung memeluk Pak Kusno erat. “Wes ayo mlebu sek” (Sudah ayo, masuk dulu) lanjut Ki Dayat.

Pak Kusno menurut dan langsung masuk ke dalam rumah. Sekilas dia melihat tempat itu, tidak banyak yang berubah. Sama seperti saat terakhir dirinya berkunjung bersama Sukmaadji.

Dayat, salah satu orang yang waktu itu membantu mereka di Lembah Pati. Dahulu Bapaknya Dayat merupakan sesepuh dari Desa Seruni, mungkin saat ini dia lah yang menggantikan orang tuanya.

“Wes diombe disik, sak onone yo” (Sudah diminum dulu, seadanya ya) kata Ki Dayat setelah mereka selesai melakukan ibadah. Dihadapan mereka tersaji suguhan sederhana, ada kopi hitam dan singkong goreng.

Melihat hidangan yang di suguhkan, Pak Kusno menelan ludah. Dia suka sekali dengan singkong goreng, apalagi buatan istrinya.

“Wes, ngerti wae senengan ku” (Wes, tahu saja kesukaanku) kekeh Pak Kusno, yang langsung menyambar singkong goreng di atas piring seng dan langsung memasukannya ke dalam mulut.

“Hoooohhh, hanas” (Hooohhh, panas) ucap Pak Kusno tidak jelas, mulutnya mengecap dengan cepat. Tidak menyadari kalau singkong tersebut baru saja ditiriskan dari penggorengan. Aryo yang ada di samping Ki Dayat seketika menahan tawa.

“Wooo malah atraksi, Kus, Kus” kekeh Ki Dayat.

“Ora ngerti yo” (Tidak tahu ya) jawab Pak Kusno.

Ki Dayat menggeleng, “Sak iki, aku arep takon. Opo keperluan mu menyang neng panggonan iki?” (Sekarang, aku mau bertanya. Apa keperluanmu datang ke tempat ini?) tanya Ki Dayat.

Pak Kusno tidak langsung menjawab, dia mengambil sebatang rokok kemudian membakarnya. Dihisapnya dalam-dalam benda putih itu.

“Lembah Pati, aku arep menyang mrono” (Lembah Pati, aku mau pergi kesana) kata Pak Kusno sambil mengembuskan asap putih dari mulutnya.

“Lembah Pati? Kanggo opo?” (Lembah Pati? Buat apa?) tanya Ki Dayat keheranan.

Sedang Aryo yang ada di samping mereka hanya menonton, tidak berani berkomentar sama sekali. Dia tahu Lembah Pati merupakan tempat yang dikeramatkan di desanya.

“Putuku, Yat. Putuku diincer karo ingon-ingone Sukmaadji” (Cucuku, Yat. Cucuku diincar oleh peliharaannya Sukmaadji) kata Pak Kusno gamblang.

“Sek, bukane ritual kae wes dilakoni? Kok iso demit e Sukmaadji ngincer putumu?” (Sebentar, bukannya ritual itu sudah dilakukan? Kenapa bisa demitnya Sukmaadji mengincar cucumu) kata Ki Dayat kebingungan.

Lantas Pak Kusno menceritakan semua yang sudah terjadi, dari semenjak kepulangan mereka dari Lembah Pati, hingga kembalinya Dinda ke rumah Sukmaadji.

Selesai bercerita, Ki Dayat hanya menghela napas panjang. Dia tahu seperti apa lelaku yang sudah dilakukan oleh keluarga Sukmaadji.

Kalau memang benar ritual Lebur Sukma sudah tidak berfungsi maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan anak dan cucu Sukmaadji hanya dengan membakar demit itu.

“Sek, Kus. Aku jeh durung ngerti. Kok iso Sengkolo nyurupi Ahmad? kudune bocah lanang kae di jogo karo Ratmi. Yen ritual Lebur Sukma rusak, mestine ra bakal ngaruh karo Ahmad to?”

(Sebentar, Kus. Aku masih belum mengerti. Kenapa bisa Sengkolo merasuki Ahmad? Harusnya bocah laki-laki itu dijaga oleh Ratmi. Kalau ritual Lebur Sukma rusak, seharusnya tidak berpengaruh kepada Ahmad kan?) tanya Ki Dayat penasaran.

“Mergo ono sek ngudari iketan e Ratmi karo Ahmad. Aku yo lagi ngerti mau esuk” (Karena ada yang menghilangkan ikatan Ratmi dengan Ahmad. Aku juga baru tahu tadi pagi) kata Pak Kusno, yang langsung menceritakan kejadian yang dia alami sewaktu akan pergi ke tempat ini.

“Ckkk, cen goblok Ahmad. Tapi aku ra ngolehke koe menyang neng Lembah Pati bengi iki”(Ckk, emang goblok Ahmad. Tetapi aku tidak membolehkan mu pergi ke Lembah Pati malam ini) ucap Ki Dayat.

Pak Kusno terkesiap, dia kaget dengan ucapan temannya itu. “Kenapa?”

“Kabeh ono wektune Kus. Aku jeh kelingan, sesembahan e keluargane Sukmaadji bakal dilakokno neng dino seloso kliwon. Percuma, yen mangkat bengi iki”

(Semua ada waktunya Kus. Aku masih ingat, persembahannya keluarga Sukmaadji dilakukan pada hari selasa kliwon. Percuma berangkat malam ini) kata Ki Dayat.

“Wektune wes mepet, Yat. Yen aku ra lek ndang ngerti coro ngobong demit kae. Ora mung putuku, bojoku ya iso mati di untal demit kae”

(Waktunya sudah sempit, Yat. Kalau aku tidak segera tahu cara membakar dedemit itu, tidak hanya cucuku, istriku juga bisa mati di makan dedemit itu) kata Pak Kusno sedikit kesal.

Sejenak mereka saling pandang, Ki Dayat mengerti akan kegelisahan Pak Kusno. Tapi dia sendiri juga tidak bisa membiarkan temannya itu masuk ke Lembah Pati saat ini juga. Dia punya alasan sendiri untuk melakukan itu.

Tanpa berkata apa-apa, Ki Dayat bangkit dan masuk kedalam rumah. Sedang Pak Kusno terlihat beberapa kali menghela nafas dalam-dalam. Rasanya sudah lama dia meninggalkan rumah, beberapa kali dia mengecek handphonenya tapi tidak ada kabar sama sekali.

“Sabar, njih Pak” (Sabar, ya Pak) kata Aryo, saat melihat kegelisahan yang ada diwajah Pak Kusno.

Pak Kusno tersenyum, “Ya ngene iki urip, jogo simbahmu yo” (Ya beginilah hidup, jaga simbahmu ya)

Aryo menanggapi Pak Kusno dengan tersenyum. Tidak ada perbicangan lagi, Aryo merasa tidak enak jika harus mengganggu teman Kakeknya lebih jauh.

Cukup lama mereka menunggu dalam diam, hingga akhirnya Ki Dayat keluar, nampak mukanya sedikit pucat dan berkeringat.

“Esok koe iso menyang neng Lembah Pati. Tapi aku ra iso ngeterke. Golek ono guo, sek ana sendange. Neng kono koe bakal ngerti pie carane ngobong demit kae”

(Besok kamu bisa pergi ke Lembah Pati. Tapi aku tidak bisa mengantarkan. Cari gua yang ada sendangnya. Di sana kamu akan tau bagaimana cara membakar dedemit itu) kata Ki Dayat lantang.

“Suwun, bengi iki aku nunut turu kene yo?” (Terimakasih, malam ini aku ijin tidur disini ya?) kata Pak Kusno.

“Ra oleh” (Tidak boleh) jawab Ki Dayat singkat.

Pak Kusno kaget, dia kira temannya itu mau memberinya tumpangan untuk tidur. Pak Kusno sudah mau beranjak pergi. “Yowes, tak golek mesjid” (Yasudah, tak cari Masjid) kata Pak Kusno merajuk.

“Guyon hahah wes tuo kok mutungan” (bercanda hahah sudah tua kok ngambekan) kata Ki Dayat tertawa terbahak.

Sedang Pak Kusno sudah mau mengambil singkong dan menjejalkannya ke mulut Dayat. Namun, ia urungkan jauh lebih baik dia makan sendiri ketimbang menyerahkan makanan favoritnya ke orang lain.

Pagi sudah menjelang, suara kokok ayam terdengar saling bersahutan. Selepas mereka selesai mengobrol, Ki Dayat meminta Aryo untuk mengantarkan Pak Kusno ke dalam kamar untuk beristirahat.

“Kus, tangi wes subuh. Ibadah sek juk menyang kono” (Kus, bangun sudah subuh. Ibadah dulu baru pergi sana) kata Ki Dayat mencoba membangunkan Pak Kusno yang tidur seperti orang mati.

“Aaarrrgg sebentar to Bu, Bapak masih ngantuk ini” kata Pak Kusno tidak jelas. Ki Dayat terkekeh, timbul rasa ingin mengerjai teman lamanya itu.

“Ealah, malah koyo bayi tuo” (ealah, malah seperti bayi tua) ucap Ki Dayat sembari mendorong punggung Pak Kusno dengan kakinya.

Brrrukkk...

“Adduuhh” erang Pak Kusno saat tubuhnya terjatuh ke lantai.

“Ngopo to?” (Kenapa to?) kata Pak Kusno jengkel, sambil mencoba berdiri.

“Wes subuh, jare arep neng Lembah Pati” kata Ki Dayat langsung keluar kamar.

“Wong gendeng, gugah alus lak yo iso” (Orang gila, bangunin dengan cara halus kan juga bisa) gerutu Pak Kusno sambil memegani pantatnya yang nyeri.

“Makane nek di gugah alus ojo malah koyo bayi tuo” (Makanannya kalau di bangunin secara halus jangan malah seperti bayi tua) timpal Ki Dayat saat mendengar gerutuan Pak Kusno.

Setelah semua persiapan selesai, Pak Kusno dan Ki Dayat duduk di amben ruang tamu. Dua gelas kopi tersaji di depan mereka.

“Aryo kemana?” tanya Pak Kusno,

“Wes menyang neng pasar. Dingapuro aku ra iso ngeterke, jeh apal to dalan e menyang Lembah Pati” (Sudah berangkat ke pasar. Maaf aku tidak bisa mengantar. Masih hafal kan jalan ke menuju ke Lembah Pati?) tanya Ki Dayat.

“Ora popo, penting jaluk dongane. Nek ana opo-opo ro awak ku tulung kabarno bojoku” (Tidak apa-apa, yang penting doanya. Kalau ada apa-apa dengan ku tolong kabari istriku) kata Pak Kusno, sambil menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor handphone milik Mbok Marni.

“Eleng ya Kus, koe kudu tekan guo kui sak durunge surup. Yen luweh seko wektune, dedemit neng panggonan alas iku bakal ngincer awakmu”

(Ingat ya Kus, kamu harus sampai di gua itu sebelum malam. Kalau lebih dari waktunya, dedemit yang ada di hutan itu akan mengincar dirimu) kata Ki Dayat serius.

Pak Kusno mengangguk, dia taku konsekuensi yang akan dilakukannya. “Aku pamit sek, suwun suguhane” (Aku pamit dulu, terima kasih suguhannya) kata Pak Kusno, yang langsung beranjak ke luar rumah.

Ia segera berjalan menembus kabut pagi, arahan dari Dayat sudah jelas. Berjalan sampai ujung kampung dan ikuti jalan setapak berbatu, setelah menemukan pohon bambu kembar, ikuti arah menuju sungai.

Dalam perjalanan, Pak Kusno tidak bertemu satupun warga, dirinya merasa aneh. Tidak mungkin Desa Seruni sesepi ini, namun pikiran itu dia tepis dan terus saja melangkah kedepan.

Saat sudah sampai di ujung desa, tidak sulit menemukan jalan setapak yang dimaksud oleh Dayat. Baru saat dia memasuki hutan, suasana sedikit berubah.

Meski dalam keremangan subuh, dia merasa seperti banyak pasang mata yang memperhatikannya. Awalnya Pak Kusno ragu, namun ketika teringat dengan Dinda, hatinya kembali mantap dan terus berjalan menuju Lembah Pati.

Sudah beberapa jam Pak Kusno berjalan. Sejenak dia berhenti, melihat sinar mentari yang mulai menembus pepohonan. Kini di sekitarnya, pohon kian rapat, semak-semak juga tumbuh dengan subur, seolah tempat ini tidak pernah dijamah oleh manusia.

Sadar dari lamunan, Pak Kusno kembali melangkah. Namun, seketika dia kembali berhenti, ada sesuatu yang bergerak didepannya.

Nafas, Pak Kusno memburu, jantungnya berdetak keras saat mengetahui benda apa yang membuat semak-semak di depannya bergerak.

Kretaaakkk... terdengar suara ranting yang diinjak sesuatu. Pak Kusno mencoba menguasai kesadarannya, dia mundur perlahan sebisa mungkin, menjaga jarak dengan mahkluk yang baru saja muncul didepannya.

Kini tepat di depan Pak Kusno dengan jarak 10 meter, seekor harimau sebesar anakan sapi tengah berdiri menghalangi jalannnya.

Pak Kusno hanya diam, tidak mau mengagetkan hewan buas itu. Pelan sekali, dia melangkah kebelakang. Namun sialnya, si harimau seperti mengetahui keberadaannya. Hewan buas itu menolehkan kepalanya menghadap ke arah Pak Kusno.

Pak Kusno menelan ludah, kalau berurusan dengan dedemit dia masih berani melawan. Namun, jika berhadapan dengan harimau, nyalinya juga akan menciut.

Lama mereka beradu pandang. Pak Kusno melihat mata kuning dan taring panjang yang mencuat dari bibir hewan buas itu. Belum lagi suara geraman yang ditimbulkan olehnya. Hingga tiba-tiba saja hewan itu berbalik dan masuk kembali ke dalam hutan.

Seketika Pak Kusno menghela nafas lega, tidak terasa kakinya juga gemetaran, bahkan tubuhnya sudah basah oleh keringat.

Setelah tenang, Pak Kusno kembali melangkah. Nanum saat melewati tempat di mana harimau tadi berdiri, dia merasa ada yang aneh.

Sedari tadi jalanan yang ia lewati sedikit becek dan pasti meninggalkan jejak kaki. Ditempat ini pun sama, berulang kali dia mencari jejak harimau tersebut. Namun, dia tidak mendapati satupun jejak kaki.

Pak Kusno kemudian melihat ke arah semak-semak di mana harimau itu muncul dan pergi. Sama halnya dengan tidak adanya bekas tapak kaki, semak-semak itu tidak ada yang rusak, bahkan nampak tak tersentuh.

“Sialll” ucap Pak Kusno, pantas saja hewan itu tidak menerkamnya, ternyata yang dia lihat merupakan salah satu dedemit yang menghuni hutan itu.

Seketika bulu kuduk Pak Kusno meremang hebat, perasaannya menjadi tidak tenang. Dengan kondisi sepagi ini saja dia sudah melihat sosok yang menurutnya mengerikan, bagaimana jika berada jauh di dalam hutan?

Ingat dengan pesan Dayat jika ia harus menemukan gua sebelum malam, Pak Kusno kembali melangkah, patokannya saat ini adalah pohon bambu kembar.

Lama Pak Kusno berjalan, jauh lebih masuk ke dalam hutan. Sesekali dia melintasi area berkabut. Namun, karena cahaya matahari bersinar cerah, jadi dia masih bisa melihat dengan jelas.

Sudah lama sekali Pak Kusno melangkah, botol air yang ia bawa juga hampir habis. Namun, ia tak kunjung menemukan pohon bambu yang di maksud oleh Dayat. Sepintas ia memperhatikan sekitar, maju untuk melihat batang pohon yang menjulang tinggi.

Kesadarannya muncul. Dirabanya batang pohon yang sudah berlumut itu. “Tidak mungkin ada pohon bambu disekitar tempat ini” kata Pak Kusno lirih.

Segera setelah itu Pak Kusno duduk bersila, dia menajamkan batinnya, membaca beberapa doa yang dia tahu. Berharap mendapatkan petunjuk dari Tuhan.

“Khihihi” terdengar suara cekikiran wanita tidak jauh dari tempatnya bersila. Namun, Pak Kusno masih diam tidak menanggapi.

“Melek” (Buka matamu) perintah sosok itu dengan suara parau. Spontan Pak Kusno membuka matanya, kini dia melihat di depannya tengah berdiri sosok perempuan bungkuk dengan rambut putih, wajah keriput serta memiliki taring di kedua ujung bibirnya.

“Opo perlumu?” (Apa kepentinganmu) tanya sosok tersebut.

“Lembah Pati” jawab Pak Kusno singkat,

Sosok tersebut tersenyum memamerkan taringnya. “Wektumu ngasi surup, ra ketemu ra bakal iso balik seko panggonan iki” (Waktumu sampai magrib, tidak ketemu tidak akan bisa kembali dari tempat ini) ucapnya parau dan langsung menghilang dalam sekedipan mata.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close