Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 10) - Kekacauan


Part 10 - Kekacauan

Pak Kusno segera berdiri, kepanikan hinggap di batinnya. Magrib sebentar lagi datang, tetapi dia masih belum menemukan gua yang di maksud.

“Bajingan kau Sukmaadji” umpat Pak Kusno, sambil membuang puntung rokok yang dipeganginya ke tanah, lalu menginjaknya dengan kasar. Rasa marah pada Sukmaadji tiba-tiba saja muncul di hatinya. Jika saja keluarga itu tidak melakukan ritual sesat pasti semua ini tidak terjadi.

“Apa yang harus kulakukan?” geram Pak Kusno sambil mengusap wajahnya. Dia tidak peduli dengan nyawanya, tapi bagaimana dengan Dinda? Tidak mungkin dia menyerahkan darah dagingnya sendiri kepada dedemit yang derajatnya tak lebih tinggi dari manusia.

Khi...khi...khi... 

Terdengar suara cekikikan, seolah sedang menertawakan kemarahan Pak Kusno. Mendengar itu, ia menoleh ke arah sumber suara.

Amarahnya kembali bangkit, diambilnya kerikil yang ada di bawah kakinya, kemudian dia lempar ke semak-semak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

“Metuu” (Keluar) ucapnya keras.

Namun, tidak ada yang keluar, bahkan suara erangan pun tidak ada. Cukup lama Pak Kusno memandangi semak-semak itu, merasa dedemit yang mengganggunya sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali berjalan.

Kali ini di setiap langkahnya ia selingi dengan zikir, berharap tidak ada gangguan yang menghambat perjalanannya lagi.

“Kus...” ucap suara tepat di belakangnya.

Pak Kusno tidak menggubris, dia tetap berjalan ke arah depan. “Kusno” sekali suara itu memanggil namanya.

“Kusno” untuk ketiga kalinya suara itu muncul, jauh lebih keras dari pada sebelumnya. Merasa di permainkan, Pak Kusno menolehkan kepalanya kebelakang, berniat melempar apapun ke arah dedemit yang mengganggunya.

Namun sekali lagi, dia tidak mendapati seorangpun disana. Justru setelah itu, muncul suara-suara lain yang berdengung kencang di telinga laki-laki tua itu.

Kepala Pak Kusno mulai terasa pusing. Semua suara itu bercampur menjadi satu. Ada yang mengarahkannya ke arah selatan, utara, barat dan timur. Bahkan ada juga yang terus memanggil namanya dan meminta untuk pulang.

Pak Kusno menutup mata. Tangannya ia taruh di kedua telinga, berhadap bisa mengurangi suara-suara yang membingungkan itu.

“Tetegke niatan mu, Kus” (Luruskan niatmu, Kus). Seketika Pak Kusno membuka mata, dia mengenali suara itu.

“Adji?” ucap Kusno lirih, pandangannya menoleh ke segala arah, mencari sosok Sukmaadji. Akan tetapi keadaan masih tetap sama, tidak ada siapa pun disana, kecuali dirinya dan rimbunan pohon.

Pak Kusno menghela nafas, dia benar-benar sedang dipermainkan oleh penghuni alas ini. Belum sempat dia berpikir lebih jauh, muncul suara lain tepat di sisi kanannya.

Sreeeekkk...duk...duk...duk

Terdengar suara langkah kaki yang sedang menginjak ranting dan dedaunan. Pak Kusno geram sekali, dia sama sekali tidak takut dengan dedemit penunggu alas ini.

“Metu” (Keluar) teriak Pak Kusno, suaranya bergaung ke segela arah. Namun, tetap saja tidak ada satu pun dari mereka yang keluar. Lama Pak Kusno menggu, hingga...

“Mbah...” terdengar suara tepat di samping Pak Kusno. Dia terlonjak hebat, sampai-sampai tubuhnya jatuh di atas tanah.

“Khi...khii...khii...” tawa sosok itu, saat melihat Pak Kusno terjengkang.

“Kampret” umpat Pak Kusno memegangi dadanya yang terasa ngilu.

“Mbah, ayo dolanan” (Mbah, ayo main) ucap sosok itu dengan senyum mengerikan.

Pak Kusno menelan ludah, tepat di depannya ada sosok anak laki-laki. Kondisinya sungguh memprihatinkan, pakaiannya compang camping berwarna kecokelatan -

seperti memiliki noda kusam tepat di tengah dadanya. Kulit bocah itu sepucat mayat, matanya sendu, dari lubang hidung dan telinganya keluar darah segar.

Sepersekitan detik, Pak Kusno diam, terhipnotis dengan sosok yang dia lihat.

“Wes meh magrib, muleh kono, digolek i simbok mu engko” (Sudah mau magrib, pulang sana. Dicariin simbok mu nanti) kata Pak Kusno mencoba mengusir dedemit yang ada didepannya.

Bukan malah pergi, anak laki-laki itu justru tersenyum, membuat bulu kuduk Pak Kusno berdiri kuat. Bibir bocah itu tertarik hingga di ujung pipi, kemudian dalam sekejap senyum itu menghilang.

“Simbah arep nengdi, aku melu Simbah yo” (Simbah mau kemana? aku ikut Simbah ya) ucap bocah itu sambil melompat lompat.

“Lembah Pati” ucap Pak Kusno singkat,

Seketika wajah bocah itu menjadi ketakutan, “Hiii... Akeh dedemit, medeni... Hiiii medeni” (hiii... Banyak dedemit, menakutkan... Hiii menakutkan) ucap bocah itu sambil geleng-geleng kepala.

Pak Kusno tidak menggubris. Setelah tenang, dia kembali beranjak, berniat meneruskan perjalanan. Beberapa kali dia menemukan percabangan jalan, “Sial” ucap Pak Kusno panik, karena waktu yang sudah semakin mepet.

“Ora mrono... dalan e sisih kiwo” (Tidak kesitu... jalannya di sisi kiri) ucap suara anak kecil tepat di belakangnya.

Pak Kusno kembali menoleh, ternyata sedari tadi bocah itu terus mengikutinya. Namun, karena suara langkahnya tidak menimbulkan suara, jadi Pak Kusno tidak mengetahui hal tersebut.

Tidak menanggapi arahan bocah itu, justru Pak Kusno memilih arah kanan. Dia berfikir bawah dedemit itu sedang mengelabuhinya.

Semakin lama berjalan masuk ke dalam, semak-semak kian rimbun. Bahkan dia hampir kesulitan berjalan menembusnya.

“Dikandani ngeyel Mbah. Khi...khi..khi...” (Dikasih tau ngeyel Mbah. Khi...khi...khiii) ucap sosok anak laki-laki dari arah pohon tidak jauh dari tempat Pak Kusno berdiri.

“Opo to pengenmu?” (apa maumu?) tanya Pak Kusno yang sudah mulai jengah, sambil melihat ke arah sosok bocah yang mengintip malu-malu dari balik batang pohon.

Tidak menjawab, bocah itu menggelengkan kepalanya dan tertawa cekikian. Kemudian dia menunjuk ke arah berlawanan dengan jalan yang di tuju oleh Pak Kusno.

Sejenak, Pak Kusno melihat ke depan kemudian ke arah yang di tunjuk oleh dedemit itu. Memang benar, semak di depannya semakin rimbun, tidak mungkin dia bisa melewati jalan itu.

Memantapkan hati, Pak Kusno melangkah mengikuti arah yang dituju oleh anak laki-laki itu. Jika memang itu tipu muslihat, dia sudah pasrah sepenuhnya kepada Tuhan.

10 menit berjalan, Pak Kusno masih melalui semak-semak yang rimbun. “Yah, setidaknya ada yang menemaniku” batin Pak Kusno saat menyadari kalau demit bocah itu masih mengikutinya.

“Dedemit e diobong, bocahe slamet, dedemit e diobong bocahe slamet. Khi...khi..khi” (dedemitnya dibakar, anaknya selamat, dedemitnya dibakar, anaknya selamat. Khi...khi...khi) ucap bocah itu berulang.

Pak Kusno mencoba mendengar apa yang di ucapakan bocah itu. Saat sudah mendengar dengan jelas dia semakin mempercepat langkahnya, ia tahu maksud dari kalimat yang diucapkan oleh dedemit itu.

Tepat saat dia keluar dari rimbunan semak, hatinya terlonjak bahagia. Beberapa puluh meter di depannya dia melihat pohon bambu kembar.

“Lee, kae panggonan e?” (Nak, itu tempatnya?) tanya Pak Kusno kepada sosok bocah itu.

Si Bocah mengangguk, namun expresinya terlihat ketakutan. Perasaan Pak Kusno mengatakan ada sesuatu yang berbahaya di depan sana.

“Ulo gede, heeeessssss” (Ular besar, heeeeesss) ucap bocah itu sambil mendesis-desiskan lidahnya yang penuh dengan darah.

“Yowes, muleh kono. Suwun wes ngancani” (Yawes, pulang sana. Terima kasih sudah menemani) ucap Pak Kusno.

Namun, alangkah kagetnya dia. Tiba-tiba saja bocah itu bergerak dan memeluk kakinya. Seketika Pak Kusno merasakan ada sensasi dingin yang menempel di area tubuh bawahnya.

Setelah beberapa saat demit itu melepaskan pelukannya dan mundur satu langkah. Kemudian tangannya terangkat, melambai-lambai meminta Pak Kusno untuk membungkuk.

“Aku ra iso muleh” (aku tidak bisa pulang) ucap bocah itu lirih tepat di telinga Pak Kusno.

Tanpa tahu apa yang terjadi, seketika pandangannya mengabur. Rasa mual yang hebat muncul di dasar perutnya. Saking tidak tahan dengan rasa sakit yang timbul, Pak Kusno sampai harus menutup mata dan menggelengkan kepala.

Lambat laun rasa mual mulai menghilang. Perlahan Pak Kusno membuka matanya. Namun, betapa terkejudnya dia, saat ini dirinya tengah berdiri di pintu masuk sebuah gua.

Di arahkan pandangannya ke segala sisi, mencoba memastikan kalau tempat ini adalah gua yang dia cari. Benar saya, tepat beberapa meter di depannya Pak Kusno melihat ada sebuah batu besar berbentuk memanjang.

Pak Kusno melangkah mendekat, gua ini dulu yang pernah dia sambangi dengan Sukmaadji. Dia masih ingat dengan batu memanjang itu, seolah seperti sebuah altar pemujaan.

Gua itu tidak terlalu luas, mungkin ukurannya hanya 5x7 meter. Suasana di tempat itu sangat lembab, bau amis dan kotoran kelelawar bercampur menjadi satu.

Pak Kusno berjalan lebih mendekat lagi, saat melihat di atas batu tubuhnya sedikit menegang. Ada sesajen di sana, seketika kepalanya menoleh kesegala arah, mencari manusia yang mungkin ada di tempat itu.

Karena tidak mendapati siapapun, kembali Pak Kusno mendekati sesajen. Badannya ia bungkukkan dan mengamati.

Ada bunga-bunga di atas tampah, dupa, kemenyan, kopi hitam, cawan berisi cairan hitam kental, serta kepala kerbau. Hati Pak Kusno mencelos, dia tahu fungsi dari sesajen itu.

Ketika Pak Kusno akan mencari tahu lebih banyak, terdengar suara percakapan dari arah luar. Sontak dia memalingkan kepala.

Takut jika orang itu mengetahui keberadaannya, ia segera bersembunyi di bagian sisi gua yang gelap.

Setelah beberapa saat, Pak Kusno melihat ada beberapa orang masuk ke dalam. Seorang pria dan wanita menggandeng satu orang anak kecil.

Mata Pak Kusno membulat, jantungnya berdebar kencang. “Tidak mungkin” ucap Pak Kusno sambil mencubit pipinya. Namun, tidak ada rasa sakit yang muncul. Kesadaran merasuki batinnya, saat ini dia sedang tidak berada di dimensi manusia.

Hati Pak Kusno mulai diliputi rasa penasaran, memperhatikan orang-orang itu dalam diam. Sepintas ia melihat anak kecil itu enggan untuk masuk ke dalam gua. Namun, sepertinya kedua orang dewasa itu bisa membujuknya, karena beberapa saat kemudian mereka masuk bersamaan.

Pak Kusno masih memperhatikan, mereka terus berjalan sampai ke depan batu. Entah apa yang di janjikan, bocah itu hanya menurut dengan semua yang diperintahkan oleh kedua orang dewasa itu.

“Diuculi disik ya Le, klambine” (Dilepas dulu ya Nak, bajunya) ucap si Ibu. Bocah itu hanya mengangguk, tatapannya kosong, tidak melihat kearah orang tuanya.

Tanpa banyak bertanya, satu persatu pakaian yang dia pakai dilepaskan dibantu oleh si Ibu. Sedangkan Ayahnya membereskan sesajen dan ditaruhnya di depan batu memanjang.

“Sak iki, terturon neng duwur kene ya. Le. Ora sue, muk sedelet terus awak dewe muleh” (Sekarang, tiduran di atas sini ya, Nak. Tidak lama, cuma sebentar terus kita pulang) ucap si Ibu sambil menepuk-nepuk batu di depannya.

Bocah itu mengangguk, naik ke atas batu dan mulai merebahkan dirinya. Pak Kusno yang mengetahui niatan dua orang dewasa itu merasa geram. Ingin sekali memukuli orang-orang itu, tangannya terkepal kuat, amarahnya tertahan di dalam hati.

Kemudian setelah si bocah terlentang di atas batu, kedua orang itu duduk dihadapannya. Si laki-laki mulai menghidupkan kemenyan dan dupa, sedang si wanita bersimpuh dengan kepala menunduk ke bawah.

Kretak kretak kretak...

Terdengar bunyi aneh dari sisi gua lainnya. Sontak Pak Kusno memalingkan kepalanya ke arah sumber suara. Reflek ia memundurkan langkahnya, mencoba lebih menyembunyikan diri.

Benar saja, beberapa saat kemudian dia melihat dengan jelas, ada mahkluk bungkuk, dengan kepala hampir botak yang menyisakan beberapa helai rambut. Kulitnya pucat kehijauan, dengan taring yang mencuat dari bibirnya.

“Sengkolo?” ucap Pak Kusno lirih.

Sosok itu terus berjalan pelan, menuju kearah anak yang tertidur di atas batu. Sedang si laki-laki dan perempuan dewasa itu masih terus bersimpuh di depannya.

Ingin rasanya Pak Kusno meneriakkan peringatan, mencoba menghalangi apa yang akan dilakukan oleh mereka. Namun, seolah suaranya tertahan di tenggorokan. Tidak ada yang bisa di lakukan oleh laki-laki tua itu.

Kini Sengkolo sudah berada di depan si bocah, tangannya membelai lembut kepala anak laki-laki itu.

“Anak turune trah e Sukmaadji” (Anak turunannya, trah Sukmaadji) ucap si laki-laki masih dengan bersimpuh.

Sengkolo menyeringai, “PATENI” (Bunuh) ucapnya. Laki-laki itu segera berdiri, mengambil pisau yang ada didepannya.

“Pak?” ucap bocah itu saat melihat Bapaknya sudah mengangkat tangannya dengan pisau yang tergenggam erat.

Jleb... tanpa menjawab, laki-laki itu langsung menghujamkan pisaunya tepat ke jantung anaknya. Darah memercik ke segala arah, tubuh bocah itu menggelepar, sesaat kemudian diam.

Mata Pak Kusno membulat, dari mulutnya keluar teriakan yang tidak bisa di dengar oleh siapapun. Kini dia melihat laki-laki dan perempuan itu meminum darah dari anak laki-lakinya. Pak Kusno merasa mual, hatinya benar-benar terasa sakit.

“Dedemit kae wes nguntal sukmo ku, ojo sampai kejadian maneh. Wektune ngasi surup. Kkhi...khi...khi...” (Dedemit itu sudah makan sukmaku, jangan sampai kejadian lagi. Waktunya sampai magrib. Kkhi...khi...khi...) ucap Bocah itu sambil tertawa lirih.

Pak Kusno membuka mata, tubuhnya sudah terduduk di tanah. Sedang si bocah masih berdiri menatapnya.

“Lee” (Nak) kata Pak Kusno parau, matanya memerah, tenggorokannya terasa begitu sakit. Ingatan tentang kejadian yang baru saja dia lihat membuat dirinya begitu terasa pilu.

“Mbah, ayo ameh surup” (Mbah, ayo sudah mau magrib) ucap anak laki-laki itu sambil melompat-lompat.

Pak Kusno segera menghapus air matanya, “Bajingan kalian” umpatnya. Buru-buru dia bangkit, menatap ke arah pohon bambu yang ada di depannya.

“Sopo jenengmu le?” (Siapa namau Nak?) tanya Pak Kusno memastikan.

“Sukri” ucap bocah itu.

Pak Kusno tersenyum, mencoba untuk menyentuh kepala anak itu. Namun, dia seperti menyentuh kabut, gerakannya menembus kepala bocah itu.

“Suwun yo” (Terima kasih ya) ucapnya, bocah laki-laki itu hanya tersenyum dan langsung menghilang dari pandangan.

Kembali Pak Kusno melihat ke arah pohon bambu kembar, dengan niatan yang jauh lebih kuat. Dia melangkah menuju ke gua yang mejadi awal dari semua permasalahan ini.

“Koe sek mati, opo aku sek mati” ucap Pak Kusno geram, mengepalkan tangannya kuat-kuat.

***

Kini Pak Kusno sudah berdiri di depan pohon bambu kembar. Jika dilihat lebih dekat pohon itu seperti 2 penjaga yang berdiri di antara jalan setapak berkelok.

Baru saja dia mau melangkah maju, tiba-tiba saja ada yang bergerak-gerak. Dia tahu rintangan tidak akan berhenti sampai di sini. Tepat di depannya dia melihat dua ekor ular besar berwarna hijau dan kuning.

Pak Kusno tahu itu bukan ular biasa, tubuh mereka melingkari rimbunan pohon bambu, dengan sisik yang mengkilap serta mata kuning dan ada semacam mahkota di kepalanya.

Nyali Pak Kusno menciut. Hatinya bertanya-tanya “Bagaimana dulu Sukmaadji melewati mereka?” batin Pak Kusno.

Salah satu ular itu mulai bergerak, mengarahkan kepalanya yang cantik ke arah Pak Kusno. Reflek laki-laki tua itu mundur beberapa langkah, kewaspadaannya meningkat.

“Manungso?” (Manusia?) kata suara ular itu bergaung di telinga Pak Kusno.

Desisannya benar-benar membuat tubuhnya lemas seketika. “Sial, tadi macan. Sekarang ular. Tempat apa ini sebetulnya” ucap Pak Kusno dalam hati.

“Iki dudu panggonanmu, opo pengenanmu?” (Ini bukan tempatmu, apa keinginanmu?) kata si ular itu.

“Lembah Pati” ucap Pak Kusno singkat.

“Mrene o, manungso” (Kesini, manusia) ucap ular itu.

Pak Kusno menelan ludah, pikirannya beradu. Bagaimana jika saat dia maju, tiba-tiba saja dedemit itu memakannya?

“Dagingmu alot, aku ra doyan manungso tuwo” (Dagingmu alot, aku tidak doyan manusia tua) ucap si ular kuning, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Pak Kusno.

Dalam ketakutan, Pak Kusno merasa terhina oleh ucapan siluman itu. Pelan dirinya mendekat, melangkah menuju ular yang mungkin ukurannya sebesar pohon kelapa. Kini dengan jarah 5 meter kepala mereka saling beradu.

Lama mereka saling menatap, Pak Kusno tidak berani memalingkan wajahnya, “Koe wes ngerti konsekuensine yen mlebu neng panggonan iki. Opo sek mbok gowo ge aku?”

(Kamu sudah tau konsekuensinya jika masuk ke tempat ini. Apa yang kamu bawa untuk ku?) tanya ular itu dengan suara wanita.

“Ora ono, urusan ku karo dedemit sek neng Lembah Pati. Aku ra bakal ngenei opo-opo” (tidak ada, urusanku dengan demit yang ada di Lembah Pati. Aku tidak akan memberikan apa-apa) tegas Pak Kusno.

Ular itu bagai menyeringai, menampilkan taringnya yang tajam. Kepalanya terangkat tinggi seperti bersiap untuk mematuk Pak Kusno.

“Ra gowo opo-opo ra oleh lewat” (Tidak membawa apa-apa tidak boleh lewat) ucap ular itu.

Menyadari bahaya yang akan menyerangnya, Pak Kusno secepat kilat bergerak ke arah samping. Namun, tanpa dia ketahui ekor dari ular itu juga menyabet dari arah belakang.

Pak Kusno mengerang kesakitan, tubuhnya terpelanting. Ekor ular itu menyabet dengan keras mengenai dadanya. 

“Uhukkkk” Pak Kusno terbatuk, darah segar keluar dari mulutnya.

Si ular kembali bergerak, kepalanya terangkat tinggi mengarah kepada Pak Kusno. “Muleh, iki dudu panggonanmu” (Pulang, ini bukan tempatmu) ucap si ular sambil mendesiskan lidahnya.

Pak Kusno menggeleng, niatannya sudah bulat untuk bisa menyelamatkan cucu perempuannya dan Ahmad.

“Dedemit kae ra bakal iso mbok obong, percuma koe muk bakal setor nyowo” (Demit itu tidak akan bisa kamu bakar, percuma kamu hanya menyertor nyawa) kata si ular.

“Urusan ku. Nyowo yo nyowo ku. Koe rasah kakean cangkem” (Usuanku. Nyawa ya nyawaku. Kamu tidak usah banyak bicara) ucap Pak Kusno,

Si ular terus mendesiskan lidahnya, seperti marah dengan ucapan Pak Kusno. “Manungso pancene ra pernah iso di kei ngerti” (Manusia memang tidak pernah bisa diberi tahu)

Pak Kusno berfikir cepat, waktu sudah semakin pendek. Bagaimana cara melewati siluman ular ini, kalaupun dia nekat berlari ke depan dengan mudah dia bisa menangkapnya.

Ular itu kembali bergerak, kali ini dia mencoba mematuk Pak Kusno yang masih terduduk di tanah. Beruntung dirinya masih memiliki tenaga untuk berguling ke samping.

“Siaal” ucap Pak Kusno masih terus memegangi dadanya. Rasa panas yang timbul akibat sabetan ekor ular itu masih terasa menyakitkan. Bahkan saat Pak Kusno mencoba meraba kulitnya terdapat rasa perih yang membuatnya mengerang.

Tidak ada waktu lagi bagi Pak Kusno, siluman itu kembali menatap ke arahnya. Suara desisannya menggema keras di telinga tuanya, seolah menjadi penanda kematian.

Pak Kusno sigap langsung berdiri, mengeluarkan parang yang sedari tadi ada di samping tas yang ia kenakan. Nekat, dia berlari ke arah tubuh si ular dan langsung mencoba menebasnya.

Praaankkk... suara yang timbul dari parang yang mengenai tubuh si ular. Percikan api muncul, Pak Kusno tidak menyangka tubuh siluman itu begitu tebal, bagai terbuat dari besi.

Tanpa di duga dari arah samping, ekor siluman ular itu kembali menyabet. Pak Kusno yang telat menyadari kembali terpelanting dengan keras. Sialnya kali ini kepalanya mengenai batu yang cukup besar.

Duggg... “arrrgggg” erang Pak Kusno. Kepalanya terasa begitu berat, bintang-bintang putih bermunculan di kedua matanya. Cairan kental juga mengalir dari pelipisnya.

Kepala Pak Kusno berdarah, akibat benturan yang cukup kuat. Beruntung dia masih bisa menguasai kesadarannya.

Suara desisan ular itu semakin mendekat, nafas Pak Kusno tersenggal-senggal. “Aku jane ra niat mateni awakmu, tapi koe malah nantang aku” (Aku mulanya tidak berniat membunuh mu, tapi malah kamu menantangku) ucap ular marah.

Pak Kusno terkesiap, dia tahu ular itu sudah berada di dekatnya. Beberapa kali dia mencoba untuk membuka mata, namun hanya bayangan samar yang terlihat.

Suara desisan semakin dekat, tanpa tahu arah yang dituju. Pak Kusno langsung berdiri dan berlari dengan sisa tenaga yang dia miliki.

Tidak peduli semak berduri atau ranting yang tajam, terus saja dia berlari. Sesekali dia menoleh ke arah belakang. Dari kejauhan sosok ular itu masih terlihat, namun sepertinya dia tidak mengejar Pak Kusno.

Pak Kusno mencapai batasnya, dadanya terasa perih. Belum lagi rasa pusing yang diakibatkan oleh benturan tadi, rasanya badannya remuk.

Disandarkan punggungnya di sebuah batang pohon. Perlahan dia merosot, beberapa kali menghirup nafas dalam-dalam. Tapi rasa sesak selalu muncul, sesekali dia mengangkat kausnya melihat luka yang ada di dadanya.

Luka akibat kibasan ular itu terlihat membiru, saat di sentuh pun rasanya perih sekali. Kemudian Pak Kusno mencoba meraba kepalanya, mencari luka akibat benturan tadi.

Beruntung luka itu tidak cukup dalam, sehingga darah yang keluar tidak terlalu banyak. Kini setelah napasnya mulai teratur. Dipandanginya langit, Magrib sudah mulai nampak, Apa yang harus dilakukannya?

Sreeekkk... terdengar sesuatu yang bergerak tidak jauh dari tempat Pak Kusno. Sontak matanya terbuka dan langsung melihat ke arah sumber suara.

Sreeekkk... suara itu muncul lagi, namun dari arah yang berbeda. Jantung Pak Kusno kembali berdetak kencang. Jika dia bertemu dedemit lain, sudah jelas ini akhir dari perjalanannya.

Shhehh... Pak Kusno terlonjak hebat, tepat dari arah kanannya dia mendengar suara desisan yang dibuat-buat. “Sukri” katanya jengkel, saat mendapati bocah demit itu tengah berdiri di sampingnya dengan kepala mengarah ke telinganya.

“Khi khi khi... Ulone gedi, hiii medeni” (khi khi khi... ularnya besar, hiii menakutkan) ucap bocah itu sambil mendesis desiskan lidahnya.

Pak Kusno kembali menyandarkan punggungnya, tidak mau meladeni bocah itu. “Mbah... ngopo mlayu-mlayu. Ayo dolanan” (Mbah... kenapa lari-larian. Ayo main) ucap Sukri.

Tidak mengindahkan perkataan Sukri, Pak Kusno menutup matanya. Mencoba berpikir, bagaimana caranya agar bisa melewati ke dua ular itu. Kemudian sebuah pertanyaan muncul di dalam kepalanya.

“Sukri” panggil Pak Kusno saat melihat bocah itu sedang jongkok tidak jauh di tempatnya. Bukannya menoleh, justru kepala Sukri yang memutar kebelakang, sedang badannya masih menghadap ke depan.

Pak Kusno menahan napas. Mencoba tidak kaget dengan pemandangan yang dia lihat, “Sukri, rene Le” (Sukri, kesini Nak) pinta Pak Kusno.

Kepala Sukri kembali memutar ke depan, dan berjalan ke arah Pak Kusno. Wajahnya cemberut, seolah sedang di suruh mandi sewaktu bermain dengan teman-temannya.

“Opo Mbah?” (Apa Mbah?) tanya Sukri saat sudah di depan Pak Kusno.

“Sukri, pie carane nglewati dedemit kae?” (Sukri, bagaimana caranya melewati dedemit itu?) tanya Pak Kusno.

Namun sepertinya Sukri tidak paham, dia hanya menelengkan kepalanya ke kanan dan kiri. “Dedemit?” ulang Sukri dengan wajah polosnya.

Pak Kusno berpikir, kalau Sukri bukan dedemit, mungkin dia anak kecil yang menggemaskan, seketika dia teringat dengan Ajeng, kemudian Dinda dan Mbok Marni.

“Yowes, Simbah arep balik rono. Sukri neng kene wae yo” (Yasudah, Simbah mau kembali ke sana. Sukri di sini saja ya) ucap Pak Kusno sambil mencoba berdiri dengan menekan kedua tangannya ke tanah sebagai pijakan.

Saat sudah berdiri, Pak Kusno berniat membersikan tanah yang ada di celananya. Namun, dia merasakan sensasi yang aneh, ada rasa dingin yang merambat naik dari tangan kanannya.

Sukri saat ini tengah memegani tangan tuanya, Pak Kusno merasakan ada sentakan-sentakan kecil. Dia menyadari kalau demit bocah itu sedang menariknya.

Pak Kusno tidak memikirkan apapun, dia yakin dengan keputusannya. Dengan kemantapan hati, dia mengikuti arah yang ditujukan oleh Sukri.

Beberapa menit mereka berjalan, Pak Kusno sedikit kesulitan karena semak yang rimbun, sedang Sukri dengan mudah bisa menembusnya.

Ternyata, mereka kembali ke pohon bambu kembar tadi. Dilihatnya, sosok ular itu sudah kembali melingkar dengan kepala menghadap ke depan.

Jantung Pak Kusno berdebar dengan keras, sejenak dia berhenti. Namun tarikan yang ia rasakan di tangannya begitu kuat. Saat melihat ke arah Sukri, bocah kecil itu sedang menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. Seolah memberikan peringatan kepada Pak Kusno untuk diam.

Mereka melangkah pelan, bahkan Sukri sampai berjingkat agar tidak membuat suara. Dengan keadaan normal, mungkin saja Pak Kusno akan mengejeknya. Namun, untuk saat ini dia tidak berani untuk mengatakan apapun.

Kini mereka sudah berada di antara kedua pohon bambu itu. Kepala si ular bergerak seolah menyadari ada yang melewatinya. Namun, ajaibnya dia tidak menyerang, sepertinya dia tidak melihat keberadaan Sukri dan Pak Kusno.

Mereka terus melangkah, menjauh dari pohon bambu. Sekarang jalan yang dilaluinya begitu temaran, suasana di tempat ini jauh lebih mencekam dari pada yang dibayangkan.

Tiap kali Pak Kusno melangkah, yang di dengarnya hanya gesekan daun dan kulit batang bambu yang sudah mengering. Sekitar 15 menit mereka berjalan, kini Pak Kusno menemukan jalan menurun yang cukup curam.

Dilaluinya jalanan itu dengan hati-hati. Memilih pijakan yang kuat. Sedang Sukri, dengan riang gembira melompat dari batu ke batu tanpa ada beban sedikit pun.

Pak Kusno terus berkonsentrasi, hingga dia menemukan jalan melandai. Tidak jauh dari tempat itu dia melihat ada sebuah sendang kecil dan di belakangnya terdapat batu besar berlubang mirip sekali dengan gua.

Pak Kusno mengerang lega, tepat sesaat sebelum magrib dia mencapai tempat yang dimaksudkan. Di lihatnya sekeliling, mencari keberadaan Sukri. Namun, bocah itu masih berdiri di tanah landai tadi. Expresi wajahnya terlihat murung.

Pak Kusno mendekat ke arah bocah itu, “Ayo” ajak Pak Kusno. Namun, Sukri menggeleng kuat-kuat, “Wedi, dedemit e galak... Wedi dedemit e galak” (Takut, dedemitnya galak... Takut, dedemitnya galak) ucap Sukri berulang.

Pak Kusno menoleh lagi ke arah gua, dia memang merasakan ada yang aneh. Setelah beberapa saat, kembali Pak Kusno menatap ke arah Sukri.

“Yowes, Simbah tak rono sek ya. Sukri ngenteni kene yo?” (Ya sudah, Simbah ke sana dulu ya. Sukri nunggu disini ya?) ucap Pak Sukri.

Akan tetapi, ibarat seperti bocah. Sukri seperti merajuk meminta Pak Kusno untuk tidak pergi. Akan tetapi, karena waktu sudah terlalu mepet, terpaksa Pak Kusno meninggalkan bocah itu. Entah kenapa perasaannya seperti saat melihat Ajeng menangisi dirinya waktu akan pergi bekerja.

Tepat sewaktu matahari terbenam, Pak Kusno sampai di mulut gua yang dulu pernah ia sambangi dengan Sukmaadji.

Di pandanginya sekitaran, sebelum masuk ke dalam. Diambilnya senter di dalam tas guna memastikan tidak ada hewan buas yang ada disekitarnya.

Suasana benar-benar gelap dan sunyi, bahkan suara serangga pun tidak terdengar sama sekali. Kesunyian yang timbul sangat berbeda, ada hawa yang tidak mengenakkan dari tempat itu.

Setelah memastikan semua aman, Pak Kusno mulai melangkah masuk. Dia juga mengedarkan senter yang dipeganginya ke segala sudut gua. Suasana di tempat itu jauh lebih mengerikan lagi, suara tetesan air, udara yang lembab, serta bau amis yang bercampur dengan aroma kotoran hewan.

Pak Kusno terus melangkah, menuju ke arah batu yang ada di tengah ruangan. Diamati batu itu dengan seksama, untuk mencari petunjuk. Beberapa kali Pak Kusno berputar mengelilingi dan merabanya, namun dia masih tetap tidak menemukan petunjuk apapun.

“Apa yang harus kulakukan?” ucap Pak Kusno lirih. Kemudian dia duduk bersila, diam berpikir. Dulu sewaktu datang ke tempat ini, Sukmaadji melakukan sesuatu. Dia bernegosiasi dengan Ratmi, sedang saat ini Ratmi meminta dirinya datang ke tempat ini jika ingin membakar Sengkolo.

Berarti memang ada sesuatu yang harus dia temukan, yang mungkin nanti bisa ia gunakan untuk membakar Sengkolo.

Lama Pak Kusno berpikir, beberapa kali dia menghela napas dalam-dalam. Hingga dia memutuskan, meskipun beresiko namun hanya dia yang bisa memberitahu cara untuk membakar Sengkolo. Pak Kusno berniat memanggil Ratmi.

Pak Kusno duduk menghadap batu dengan posisi bersila. Segera dibukanya ritsleting tas, diambilnya beberapa dupa dan kemenyan yang sudah ia siapkan.

Jreeeessss... Pak Kusno membakar dupa dan kemenyan, seketika aroma menyengat menguar dari kedua benda tersebut. Mata Pak Kusno mulai terpejam, mulutnya komat-kamit, mengucapkan mantra untuk memanggil sosok Ratmi untuk datang ke tempat ini.

Langit diluar semakin gelap, gemuruh guntur tiba-tiba saja terdengar saling bersautan. Rintik hujan mulai turun dengan deras, suasana di dalam gua begitu dingin dan menyesakkan. Namun, Pak kusno masih duduk diam berkonsentrasi.

Lambat laun, telinganya mulai berdengung, semakin dalam dia berkonsentrasi semakin keras suara dengungan yang muncul. Batinnya terasa sesak, napasnya terasa putus-putus, udara disekitarnya mulai menjadi sedingin es.

Tek...tek...tekk... terdengar suara retakan dari salah satu sudut gua. Hati Pak Kusno terkesiap, bulu kuduknya meremang hebat. Tidak tahan untuk melihat apa yang sedang terjadi, pelan-pelan ia membuka matanya.

Namun, mungkin itu pilihan yang salah, karena saat ini dia sedang dikelilingi oleh sosok yang menurutnya sangat menyeramkan. Bahkan Sukri dan Ratmi juga ada di antara mereka.

Mereka berdiri diam, melihat Pak Kusno dengan tatapan kesakitan. Kondisi mereka benar-benar tidak bisa digambarkan, bahkan saat melihat salah satu dari mereka sampai ada yang memiliki bekas luka menganga di wajahnya.

“Tulung” (Tolong) ucap salah satu dari mereka, Pak Kusno tidak menggubris, dia masih diam memperhatikan. Mencari petunjuk apa yang harus dilakukan.

“Tulung” (Tolong) kini beberapa dari mereka, mulai mengucapkan kata yang sama. Suara mereka lirih, namun bergaung di telinga Pak Kusno.

Kebingungan mulai hinggap di kepalanya, suara-suara itu benar-benar mengganggunya. Sekarang bukan hanya suara minta tolong. Tapi mereka juga memanggil nama Pak Kusno dan mengajaknya pergi entah kemana.

Berulang kali Pak Kusno menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Namun, justru suara mereka jauh lebih kencang dan membuat kepalanya begitu sakit.

Pak Kusno mulai menutup matanya, tangannya ia taruh di kedua telinga mencoba mengurangi suara yang ia dengar.

“Kus, melek” (Kus, buka matamu) terdengar suara familiar yang sudah lama tidak ia dengar.

Jantung Pak Kusno semakin berdetak keras, perlahan dia membuka matanya. Betapa terkejudnya dia, dihadapannya saat ini, Sukmaadji tengah berdiri dengan pakaian beskap, seperti saat terakhir kali mereka bertemu.

Sosok-sosok yang tadi ada di sekelilingnya masih ada. Namun, mereka diam mematung, hanya memperhatikan Pak Kusno dan Sukmaadji.

“K—koe?”(kamu?) ucap Pak Kusno tercengang, Sukmaadji tersenyum, melangkah mendekati Pak Kusno.

“Suwun wes jogo anak putuku” (Terimakasih, sudah menjaga anak cucuku) ucapnya bergaung di telinga Pak Kusno.

“Telat Dji, wes wayah surup. Aku durung ngerti carane ngobong dedemit kae” (Telat Dji, sudah waktunya magrib. Aku belum tahu cara membakar dedemit itu) kata Pak Kusno sedih.

Sukmaadji masih tersenyum, “Kui masalah gampang. Tapi koe mung iso nylametke siji. Bar kui iketan e udar. Pilih salah siji”

(Itu masalah gampang. Tapi kamu cuma bisa menyelamatkan satu. Setelah itu ikatannya akan terurai. Pilih salah satu) ucap Sukmaadji menggaung di telinga Pak Kusno.

“Pie carane?” (Bagaimana caranya) tanya Pak Kusno.

“Sengkolo bakal iso diobong pas malem Seloso Kliwon, ganggo getih calon tumbal e. Gebyurno neng panggonan dekne biasa metu bar kui pecahno. Jumlah e ora mung siji, tapi telu. Salah sijine neng panggonan iki”

(Sengkolo bisa di bakar waktu malam Selasa Kliwon, dengan menggunakan darah calon tumbalnya. Guyurkan ke tempat dia biasa keluar setelah itu pecahkan. Jumlahnya tidak hanya satu, tapi tiga. Salah satunya di tempat ini) ucap Sukmaadji sambil menunjuk ke arah sudut gelap di ujung Gua.

“Resikone, yen putuku milih dadi garwone. Anak ku bakal ucul seko iketan getih karo sengkolo. Tapi sukmo sek wes di rabi ra bakal iso balik neng ragane”

(Resikonya, jika cucuku memilih menjadi istrinya. Anakku akan lepas dari ikatan darah dengan Sengkolo. Tapi Sukma yang sudah dinikahi tidak akan kembali ke raganya) lanjut Sukmaadji yang langsung menghilang dari pandangan.

Pak Kusno terkesiap, mendengar penuturan Sukmaadji. Tidak mungkin dia harus memilih salah satu dari Ahmad dan Dinda. Tapi waktu semakin memburu, dalam ketergesaannya muncul pikiran gila.

“Mungkin dengan begini bisa menyelamatkan mereka berdua” ucap Pak Kusno, sambil berdiri dari duduknya.

Sosok yang sedari tadi ada di sekeliling Pak Kusno masih diam membisu, pandangan mereka benar-benar kosong. Belum lagi bau anyir dan bangkai yang memualkan. Dengan langkah berani, Pak Kusno mulai bergerak menuju ke sudut ruangan.

Kewaspadaan Pak Kusno meningkat, napasnya memburu. Dia tahu, dari tempat itulah Sengkolo muncul saat ingin mengambil Sukri.

Kini Pak Kusno sudah sampai di ujung gua, di hidupkan senter yang ada ditangannya. Awalnya dia tidak melihat sesuatu yang mencurikan, hingga saat mengarakan ke bawah. Pak Kusno menemukan cermin persegi kecil dengan ukuran 20x15 centimeter.

Segera dia berjongkok, diambilnya cermin kusam penuh dengan noda hitam itu. Namun, baru saja Pak Kusno mengangkat untuk melihat lebih detail, tiba-tiba saja ada yang menghandam tubuhnya dengan keras.

Bugggg... Pak kusno terlempar keras kebelakang. Dadanya terasa sakit, ingatan akan ular yang dia temui di pohon bambu kembar kembali muncul di kepalanya. Spontan Pak Kusno mengarahkan senternya ke arah depannya.

Namun, bukan si ular yang dia temui. Justru sosok Sengkolo yang sudah berdiri dengan tatapan menghunus ke arahnya.

Pak Kusno mundur dengan menyeret pantatnya, dia tahu sosok itu tidak akan segan-segan membunuhnya.

“Wes ketemu sek digolek i?” ( Sudah ketemu apa yang dicari?) tanya Sengkolo dengan suara yang cukup keras, bergaung memenuhi ruangan.

Pak Kusno tidak menjawab, matanya masih menatap ke arah Sengkolo. “Balekno pengilon kui neng panggonan e, tak jamin nyowomu bakal slamet” (Kembalikan cermin itu ke tempatnya, aku jamin nyawamu bakal selamat) kata Sengkolo.

Pak Kusno menggeleng “Rak sudi” ( Tidak sudi ) ucap Pak Kusno lantang.

Sengkolo terlihat marah, dia menggeram kemudian bergerak cepat ke arah Pak Kusno. Sejurus kemudian tubuh Pak Kusno terangkat dengan mudah. Kakinya menggantung, lehernya tercekik kuat.

“Manungso sombong, wes tak omongi aku muk arep nagih janji” (Manusia sombong, sudah ku kasih tahu, aku cuma menagih janji) kata Sengkolo yang langsung melemparkan Pak Kusno dengan kencang.

Bukkkk... Tubuh Pak Kusno menghantam dinding gua dengan keras, seketika badannya terasa ngilu. Bahkan darah segar juga keluar saat dia terbatuk.

Lagi-lagi, tubuh Pak Kusno bergerak sendiri. Sekarang seperti ada yang menyeret kakinya dengan keras.

“Aaaarrrr” erang Pak Kusno saat dirinya kembali dilemparkan ke atas dan menumbuk tanah dengan keras.

Napas Pak Kusno sudah tersenggal-senggal, tenaganya sudah habis, sedari pagi dia belum beristirahat sama sekali.

Hanya ada satu kesempatan, dilihatnya Sengkolo sedang menyeringai memandanginya. Siap untuk membunuh kapan pun dia mau.

Saat Sengkolo sudah mulai bergerak kembali, sigap Pak Kusno ingin menyambar cermin yang tidak jauh dari tempatnya berbaring. Tangannya sudah hampir mencapai cermin itu, tapi kembali ada tangan yang tidak terlihat yang menarik kakinya dengan keras.

Kembali Pak Kusno terpelanting menjauh dari cermin yang ada di dekat batu memanjang. Dia berusaha untuk berdiri namun dada dan kakinya terasa begitu sakit. Kemudian dia mencoba untuk merangkak, mendekati cermin itu.

Saat sudah hampir mencapai cermin itu, Pak Kusno kembali merasakan ada yang memegangi kakinya. Namun, dia juga merasakan sensasi dingin di tangan kanannya.

“Mbah, ayooo cepet” (Mbah, ayo cepat) ucap Sukri berbisik di telinga Pak Kusno. Tetapi, tubuh tua itu sudah melemah, tarikan kuat kembali dia rasakan. Dalam sekali hentakan, semua menjadi gelap. Pak Kusno pingsan seketika karena serangan bertubi-tubi dari Sengkolo.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close