Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Macan Nggendhong Mayit


Lagi musim maling katanya. Di desa Patrolan ada warga yang kehilangan dua ekor kambing sekaligus. Di desa Kedhungsono, dua orang kehilangan ayam, dan seorang lagi kehilangan sekarung gabah. Desa Ngantiyan, seorang warganya kehilangan radio transistor.

Di desa Kedhungjati sendiri belum pernah ada kejadian. Namun warga tak mau kecolongan. Kegiatan ronda malam mulai digiatkan kembali. Semua warga mendapat jatah giliran ronda.

Malam itu, yang mendapat jatah ronda adalah mBah Kromo, mBah Mo, Lik Dikin, Kang Bejo, Lik Sukri, dan Kang Marno.

Jam delapan malam, keenam warga itu sudah berkumpul di poskamling di tengah tengah desa. Sambil menikmati kopi panas dan singkong bakar yang baru diangkat dari perapian, mereka asyik ngobrol ngalor ngidul.

"Eh, mBah, orang Kedhungsono yang kemarin meninggal itu katanya meninggalnya ndak wajar ya?" Lik Dikin membuka obrolan sambil meniup sepotong singkong bakar yang masih mengepulkan asap.

"Hush, kamu kalau ngomong jangan sembarangan Kin, orang meninggal kok ndak wajar gimana. Meninggal ya meninggal, mati. Habis jatah hidupnya di dunia." jawab mBah Kromo.

"Tapi bener lho mBah," Kang Bejo yang asyik membolak balik singkong di atas perapian ikut nimbrung. "Katanya orang itu meninggal karena dijadikan tumbal pesugihan oleh juragannya."

"Bener itu," timpal Kang Marno. "Orang ndak sakit ndak apa kok, tiba tiba mati gitu aja. Pulang kerja sampai rumah tidur terus bablas ndak bangun bangun lagi. Mati."

"Halah, omongan orang ndak jelas kok dipercaya," mBah Mo menukas sambil melinting tembakau. "Kamu punya bukti po, kalau orang itu mati dijadikan tumbal?"

"Tetangganya sendiri mbah yang cerita," kata Lik Sukri. "Katanya beberapa hari sebelum orang itu meninggal, sama juragannya sempet di kasih uang banyak banget gitu. Sama baju baju baru yang bagus bagus."

"Lha terus hubungannya apa? Kan malah bagus to, orang sudah baik hati ngasih duit sama baju bagus, kok malah dituduh yang macem macem." mBah Kromo asyik memutar mutar tombol radio transistor, mencari siaran wayang kulit.

"Katanya nih ya, juragannya itu memang miara pesugihan mBah. Makanya bisnis jual beli gabahnya bisa maju pesat gitu. Nah, tiap tahun, juragannya itu harus ngasih tumbal buat pesugihannya. Orang yang sudah diincar untuk dijadikan tumbal, lalu suka tiba tiba dikasih uang banyak atau barang barang yang bagus dan mahal gitu mbah sebelum ditumbalkan." Lik Dikin menjelaskan panjang lebar.

"Iya, kemaren juga aku lihat iring iringan rombongan yang nganter jenazah ke kuburan," Kang Bejo melemparkan singkong bakar yang sudah matang ke dalam poskamling, yang segera disambut oleh Lik Dikin. "Orang yang menggotong peti matinya kayak keberatan gitu. Terus ada juga yang bilang kalau rombongan itu diikutin sama macan loreng. Macannya gedhe banget, segedhe kebo katanya."

"Kalian ini lho, orang sudah mati kok di gosipin, nanti orangnya bangun terus ndatengin kalian, baru tau rasa kalian," mBah Mo menyulut rokok tingwenya, lalu menghisapnya dalam dalam.

"Ah, simbah ini, nakut nakutin saja. Mana ada orang mati bisa bangun lagi," Lik Sukri merapatkan sarungnya.

"Aku malah kasihan sama anak anak dan istrinya. Anak anaknya masih kecil kecil. Istrinya juga masih muda, cantik lagi," gumam Kang Bejo.

"Iya, istrinya cantik lho. Sayang aku dah punya istri. Coba kalau belum," kata Lik Dikin.

"Kalau belum kenapa," goda Lik Sukri.

"Hehehe, bisa lah tak rumat janda baru itu,"

"Edan kamu. Kalau aku mah nggak mau. Biar cantik juga, anaknya selusin gitu. Bisa tekor aku,"

Serempak mereka semua tergelak. Saat ronda begitu memang apa saja bisa dijadikan bahan obrolan, sekedar untuk menghilangkan rasa kantuk.

Tanpa terasa hari sudah semakin malam. Siaran wayang kulit di radio mbah Kromo sudah masuk adegan goro goro, tandanya sudah hampir tengah malam.

"Sudah jam duabelas lewat nih, yuk siap siap kita keliling. Jangan lupa bawa kentongan, senter, sama pentungan kalian." mBah Kromo memberi komando.

"Radiomu itu umpetin dulu mBah, jangan sampai diembat maling nanti pas ditinggal keliling,"

Akhirnya mereka berenam pun mulai berkeliling desa. Setiap penjuru desa mereka susuri, sambil menabuh kentongan bambu dengan irama yang teratur, mengingatkan warga desa untuk kembali memeriksa pintu dan jendela sudah benar benar terkunci atau belum.

Hampir seluruh sudut desa telah mereka jelajahi, namun tak ada hal hal yang mencurigakan yang mereka temui. Sampai saat tiba di ujung selatan desa, dekat dengan area Tegal Salahan, sorot senter Lik Dikin menangkap sosok bayangan ganjil di salah satu kebun warga.

"Eh, tunggu sebentar," Lik Dikin menghentikan langkahnya, diikuti oleh yang lain. "Ada sapi lepas."

"Lepas atau di colong orang?" Lik Sukri ikut mengarahkan sorot senternya ke arah kebun.

"Jangan jangan maling sapi," bisik Kang Bejo.

"Eh, tunggu, kayaknya bukan sapi," Kang Marno ikut berbisik.

"Iya bener, bukan sapi, tapi......, astagfirullahhaladzim, itu macan Lik, macan bawa mayat,"

"Iya, benar, itu macan, kabur yuk, kabur!"

"Ssssstttttt......, kalian diam," mBah Kromo yang paling senior diantara mereka mencoba menenangkan. "Jangan panik!"

"Jangan panik gimana mbah, ada macan bawa mayat gitu. Pasti macan jadi jadian itu."

"Iya, bener. Kita kabur saja, ndak usah cari penyakit"

"Heh, denger dulu, bocah bocah gemblung," mBah Mo ikut menenangkan. "Ndak usah kalian ceramahin aku juga tau macan bawa mayit begitu macan jadi jadian. Tapi kalain ndak usah takut."

"Ndak takut bagaimana mbah? Sudah jelas itu macan jadi jadian!"

"Dengar dulu. Kita harus selamatkan mayit itu."

"Haaaahhhh?????? Sampeyan ndak salah ngomong mbah?"

"Gemblung, dibilangin orang tua kok pada ngeyel. Macan jadi jadian yang bawa mayat gitu, biasanya akan meninggalkan mayat yang dibawanya kalau kepergok orang. Kita tunggu saja, nanti kalau macannya sudah pergi dan mayitnya ditingal, kita kuburkan lagi mayit itu."

"Wah, apes ini, masa malem malem gini harus ngangkat dan nguburin mayit gitu"

"Kamu mau besok pagi desa geger gara gara ada mayit di kebun orang? Sudah, jangan pada protes, kita bagi tugas saja," lagi lagi mBah Kromo memberi komando.

"Dikin dan Sukri, kalian jemput pak Modin, ajak kesini. Bejo dan Marno, kalian jemput Pak RT dan Pak Bayan, ajak kesini juga. Jangan pada ribut, biar warga ndak pada kebangun. Bisa repot ini urusannya kalau sampai banyak warga yang tau. Jangan lupa juga nanti kalian bawa pacul atau sekop."

"Wah, beneran apes ini. Lha terus sampeyan berdua mBah?"

"Ndak usah protes, kami berdua biar yang mengawasi disini."

Akhirnya keempat orang itupun pergi menjalankan perintah dari mBah Kromo. Menjemput Pak Modin, Pak RT, dan Pak Bayan.

Selang beberapa puluh menit kemudian mereka telah kembali bersama orang orang yang mereka jemput. Dan benar saja, macan tadi sudah ndak ada. Tinggal mayit yang terbungkus kain kafan lusuh dan kumal, ditinggalkan menyandar pada pokok pohon mahoni. Dan di kiri kanan mayit itu, nampak mBah Mo dan mBah Kromo duduk santai sambil merokok. Edan, bener bener orang orang tua ini. Ndak ada takut takutnya sama sekali.

Setelah berunding sebentar, merekapun sepakat untuk menguburkan kembali mayit itu di pemakaman umum di ujung desa sebelah utara. Kembali perdebatan kecil terjadi. Siapa yang akan membawa mayitnya dan bagaimana cara membawanya.

"Di panggul saja, nanti gantian mbawanya," kata mBah Mo.

"Wah, ndak mau mBah. Masa suruh manggul mayat. Mana sudah bau dan berlendir gitu. Dibayarpun aku ndak mau!" serempak mereka menolak usul mBah Mo.

"Ya sudah, kalian cari tali dan bambu buat pikulan," akhirnya Pak Modin memberi solusi. "Nanti kita gotong rame rame."

"Ambil tali tambang di rumahku saja Kin," kata Pak RT kepada Lik Dikin. "Ada di depan kandang sapi, nyangkut di blandar kandang, sama bambunya ada tuh di samping rumah, dekat kandang ayam."

Lik Dikin dan Kang Bejo pun kembali ke rumah Pak RT. Sedang yang lain menunggu di kebun itu.

"Apa ndak sebaiknya kita lihat dulu Pak, ini mayat siapa?" tanya Kang Marno.

"Ndak perlu," Pak Bayan yang menjawab. "Nanti malah jadi bahan omongan kalau kalian tau ini mayat siapa. Kasihan keluarganya yang masih hidup."

Tak lama, Lik Dikin dan Kang Bejo pun kembali membawa tambang dan bambu. Tanpa banyak bicara ( karena diliputi oleh rasa takut) mereka segera bekerja sesuai arahan Pak Modin. Mengikat sedemikian rupa mayat itu dengan tambang, lalu menggotongnya ke tempat pemakaman umum.

Sampai di pemakaman, Pak Modin segera memeriksa setiap makam yang ada di situ. Dan benar saja, ada makam yang terlihat sedikit rusak. Patok kayu di makam itu sedikit miring, dan ada lubang sebesar lubang tikus di dekatnya. Tertulis di patok kayu itu nama fulan bin fulan, lahir tanggal sekian bulan sekian tahun sekian, wafat tanggal sekian bulan sekian tahun sekian. Benar, itu makam warga Kedhungsono yang meninggal kemarin.

Makam itu segera digali, untuk kembali menguburkan si mayit. Bergantian mereka menggali makam itu. Tak butuh waktu lama, karena tanahnya masih sedikit gembur.

Dan benar saja, tak ada mayat manusia di dalam lubang makam itu. Hanya ada sebatang gedebog pisang yang terbungkus kain kafan. Mereka segera menyingkirkan gedebog itu, dan memasukkan mayat yang mereka temukan ke liang lahat. Lalu menimbunnya kembali seperti sediakala. Setelah selesai, dipimpin oleh Pak Modin mereka mendoakan mayat yang baru saja mereka kuburkan.

Selesai sudah tugas mereka malam itu. Rasa lelah sedikit terbayar saat Pak Bayan memberikan sedikit uang lelah untuk keenam peronda malam yang tertimpa sial malam itu, dengan syarat mereka harus tutup mulut soal kejadian yang baru saja mereka alami.
close