Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 11) - Bertahan


Part 11 - Bertahan

Sementara itu di Kediaman Sukmaadji... Setelah Dinda berdiri, dia merasakan ada yang sedang memperhatikannya. Ditengok ke sekitar, namun ia takmendapati siapa pun.

Dinda kembali melangkah, mencoba menghiraukan perasaannya. Hingga saat menoleh ke arah kamar Ahmad, dia melihat laki-laki itu tengah berdiri memperhatikannya dari balik jendela.

Awalnya Dinda mengira kalau Ahmad sedang membutuhkan sesuatu. Namun, ketika berada di jarak yang sudah dekat, ia menyadari ada yang aneh, sorot mata Ayahnya terlihat begitu tajam dan tidak manusiawi.

Dinda berhenti. Dia menatap Ahmad lekat-lekat, khawatir jika orang yang ia pandangi saat ini tengah di kendalikan oleh dedemit itu. Cukup lama mereka saling pandang.

Hingga, tiba-tiba saja Ahmad tersenyum menyeringai dan melangkah menjauh dari jendela. Reflex Dinda menyentuh kantung celananya, memastikan kalau pisau lipat dari Mbok Marni masih berada di sana.

Dinda menunggu, kalau-kalau Ahmad keluar rumah dan menyambanginya. Namun setelah beberapa saat, laki-laki itu takkunjung menampakkan batang hidungnya.

Seketika ada yang jatuh di dasar perut Dinda, kecurigaannya timbul sejalan dengan embusan angin yang cukup kuat. Buru-buru dia melangkah, setengah berlari menujuk ke arah dapur.

“Arrgg, ayoo lah” ucap Dinda panik, saat mencoba membuka pintu dapur yang sudah terkunci.

Dinda ingat kalau sewaktu keluar rumah sama sekali tidak mengunci pintu tersebut, lantas kenapa sekarang ada yang menguncinya. Sedangkan dia juga tidak melihat keberadaan Ahmad di sekitar dapur.

Merasa percuma, Dinda segera berjalan memutar. Saat melewati kamar Ahmad, kekhawatirannya makin menjadi. Dia melihat pintu kamar itu sudah terbuka lebar.

“Sial” ucap Dinda panik, dan langsung mencoba membuka jendela kamar Ayahnya. Sekali lagi, usahanya sia-sia daun jendela tetap bergeming di tempatnya.

Dinda kembali berlari menuju ke arah depan, melewati begitu saja jendela kamarnya. Percuma membukanya, masih ada lemari yang menghalangi dari dalam.

Sesampainya di teras, Dinda segera menuju ke arah pintu depan. Berulang kali dia mencoba menaik turunkan hendel dengan keras. Namun, upayanya tidak berguna sama sekali, pintu itu tetap bergeming takmau terbuka.

“Yah... Ayah” panggil Dinda,

Duk... dukk.. duukkk...

“Yahh... Ayah” panggil Dinda sambil terus mengetuk pintu dengan keras. Tetapi tidak ada sahutan dari Ahmad.

Dinda sudah hampir menangis, dia berjalan lemas dan duduk di pinggiran teras. Batinnya benar-benar khawatir jika Ahmad kembali di rasuki oleh Sengkolo dan melukai Hamdan.

Ceklek... Kreeeekkk...

Pintu terbuka, Dinda langsung menengok ke arah sumber suara. Tepat beberapa meter di depannya, Ahmad berdiri dengan sorot mata khawatir.

“Kenapa teriak-teriak, nduk?” tanya Ahmad sambil mencoba mendekati Dinda.

Namun, Dinda justru bergerak mundur dan menggelengkan kepala. Seolah melihat Ahmad sebagai sebuah ancaman.

“Tolong, masuk ke kamar. Biar Dinda kunci dari luar. Nanti setelah Pak Kusno dan Mbok Marni sudah pulang, Dinda janji akan mengeluarkan Ayah dan menjelaskan semuanya” kata Dinda memohon.

“T—tapi, nduk” protes Ahmad.

Dinda tetap menggeleng, “Kalau Ayah yang tidak mau masuk ke dalam kamar biar Dinda bawa Pak Hamdan ke kamar Dinda” kata Dinda.

Ahmad diam, paham dengan maksud anaknya itu. Pikirannya beradu. Jika dia membiarkan Dinda merawat Hamdan di kamarnya, otomatis dia tidak akan bisa mengecek kondisi keduanya.

Tetapi jika dia membiarkan Dinda berkeliaran sendirian, dia juga takut kalau sosok Sengkolo akan melukai anak perempuannya.

Tanpa menjawab ucapan Dinda, Ahmad segera berbalik dan berjalan menuju ke arah kamarnya. Hatinya benar-benar merasa takkaruan. Amarahnya bangkit, ingin sekali dia bertemu dengan dedemit itu dan menghajarnya.

Dinda menghela napas panjang, segera dia berdiri dan masuk ke dalam rumah. Taklupa menutup pintu depan, tanpa menguncinya.

Ketika sudah sampai di depan kamar Hamdan, Dinda langsung menghambur ke dalam. “Haaah” erangnya lega, saat mendapati kondisi kamar itu tidak berubah sama sekali.

Segera dia berjalan mendekat ke arah ranjang, di lihatnya dengan saksama kondisi Hamdan. Meski Dinda bukan seorang dokter, tetapi dia sudah terbiasa merawat orang sakit saat berada di Panti Asuhan sehingga tahu apa yang harus dilakukan.

Setelah beberapa saat mengecek kondisi Hamdan. Dinda menemukan selembar kertas yang ditaruh di atas nakas.

“Kondisi Stabil”

Dinda membaca pesan itu, senyumnya merekah. Dia tahu tulisan itu milik Ahmad, setidaknya Ayahnya masih sedikit berguna.

***

Malam kembali datang sedari sore hujan turun dengan lebat. Suara gemuruh guntur saling bersahutan, membuat suasana di kediaman Sukmaadji menjadi lebih mencekam daripada malam-malam sebelumnya.

Saat ini Dinda tengah duduk meringkuk di atas kasurnya. Untuk pertama kali setelah semua kejadian di rumah Sukmaadji berlansung, dia akan melewati malam tanpa kehadiran Mbok Marni.

Rasa cemas, khawatir, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Dinda berharap, malam segera beranjak dan kedua orang yang dia nantikan muncul di hadapannya.

Dukk...dukk...dukkk

“Metuuu, metu nduk, opo koe ra karep ketemu karo aku?” (Keluar, keluar nduk, apa kamu tidak mau bertemu dengan ku?) terdengar suara Ahmad setengah teriak dari arah luar kamarnya.

Dinda tidak menggubris, dia makin mengeratkan pelukan tangan di kakinya. Wajahnya ia benamkan di antara lutut dan dadanya.

Isak tangis mulai terdengar lirih, dia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi. Seberapa pun dia mencoba untuk kuat, batinnya tetap merasa ketakutan.

“Koe kuat nduk, ojo kalah karo dedemit kae” (Kamu kuat Nak, jangan kalah sama dedemit itu) terdengar ucapan lirih dari sudut ruangan.

Dinda mendongak, dia mendapati Ratmi sedang berdiri di sudut ruangan. “Aku kudu pie?” (Aku harus bagaimana?) tanya Dinda, berharap sosok wanita itu akan menjawabnya.

Entah kenapa saat ini Dinda merasa dekat dengan sosok itu, dia begitu penasaran bagaimana Ratmi bisa sampai datang ke tempat ini.

Ratmi tidak menjawab, namun tangannya terangkat menunjuk ke arah cermin yang ada di kamar Dinda.

“Cermin?” tanya Dinda kebingungan.

Ratmi mengangguk, “Pecah no pengilon sek ana neng omah iki, kecuali sek neng kamar e Sukmaadji lan Ahmad” (Pecahkan semua cermin yang ada di rumah ini, kecuali yan ada di kamar Sukmaadji dan Ahmad) ucap Ratmi lirih.

Dukk...dukk...dukkk

Suara benturan dari arah pintu terdengar makin keras. Sengkolo yang merasuki Ahmad terus saja meneriakkan namanya dan meminta untuk membuka pintu.

“PERCUMA NDUK, RASAH NURUTI DEDEMIT WEDOK KUI” (Percuma Nduk, jangan turuti dedemit perempuan itu) teriak Ahmad yang sedang dirasuki oleh Sengkolo.

Dinda diam, menatap ke arah Ratmi dan pintu bergantian. Tanpa menunggu lama, dia langsung beranjak dari kasurnya. Mengambil kursi dan melemparkannya ke arah cermin.

Pyaaaarrr....

“Yoh, yen koe arep main-main karo aku” (Baik, kalau kamu mau main-main dengan ku) ucap Sengkolo dengan suara Ahmad, tepat ketika Dinda berhasil memecahkan cermin yang ada di kamarnya.

Suara ketukan hilang, Dinda mendengar langkah kaki menjauh. Dinda berpaling, dan segera melangkah menuju ke arah Ratmi. Tidak ada rasa takut di dalam hatinya, justru dia merasa kalau sosok dedemit perempuan itu menjadi satu-satunya temannya saat ini.

“Ngopo koe nulungi aku? sopo koe sakbenere?” (Kenapa kamu menolongku? Siapa kamu sebenarnya?) tanya Dinda saat sudah dekat dengan Ratmi.

Ratmi mengangkat wajahnya, membuat Dinda seketika menahan napas. Dia belum terbiasa melihat mata putih dan senyum mengerikan yang tercetak dari wajah Ratmi.

“Kabeh wes ana titi wancine. Yen Sengkolo iso diobong. Sukmaku iso ucul seko panggonan iki” (Semua sudah ada waktunya. Jika Sengkolo bisa dibakar. Sukmaku bisa lepas dari tempat ini) ucap Ratmi.

“Pie carane?” (Bagaimana caranya?) sambar Dinda.

“Kui urusan e Kusno” (Itu urusannya Kusno) balas Ratmi yang langsung menghilang dalam sekedipan mata.

Dinda tersentak, saat melihat Ratmi yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangannya. Buru-buru dia mengedarkan pandangannya ke semua sudut ruang. Namun, dia tidak mendapati sosok itu, sepertinya Ratmi memang sudah pergi.

Lantas Dinda kembali berjalan ke arah kasurnya, berpikir keras.
“Kenapa Ratmi memintanya memecahkan semua cermin, kecuali yang ada di kamar Sukmaadji dan Ahmad?” tanya Dinda kepada dirinya sendiri.

Lama Dinda berfikir, namun takmenemukan satupun jawaban. Hingga terdengar suara benturan yang cukup keras. Seketika pikiran Dinda kembali ke tempatnya.

Sekarang bukan soal kenapa dia harus memecahkan cermin yang ada di rumah ini. Tetapi bagaimana caranya? Sedang Sengkolo tengah berkeliaran bebas di rumah ini.

Dinda segera beranjak menuju ke arah pintu kamarnya. Jika hitungannya tidak salah, ada 5 cermin di rumah ini. 1 sudah ia pecahkan berarti tinggal 2 lagi yaitu di kamar yang di tempati Hamdan dan satu kamar lainnya.

Sebelum keluar kamar, Dinda mengecek terlebih dahulu pisau lipat pemberian Mbok Marni. Setelah yakin pisau itu masih aman di kantung celananya, baru dia berani membuka pintu kamarnya.

Krrrieeekkkk...

Dinda melongokan kepalanya ke arah luar, memastikan keadaan. Saat sudah yakin tidak ada sosok Ahmad di sekitarnya, buru-buru dia melangkahkan kakinya.

Dinda bergidik, entah kenapa suasana rumah ini terasa begitu mencekam. Di tambah rintik hujan menjadikan tempat ini seperti sarang hantu yang tidak layak ditempati oleh manusia.

Kali ini Dinda berjalan dalam keremangan, dia memang tidak berniat menyalakan lampu atau senter. Tujuannya adalah kamar tamu yang tidak dihuni, dan itu harus melewati kamar Ahmad.

Dengan berjingkat, Dinda melangkah pelan. Sesekali dia menolehkan kepalanya ke belakang. Memastikan kalau tidak ada yang mengikutinya.

Baru selangkah Dinda memasuki ruang tengah, dia langsung melesat ke samping. Dalam keremangan ia melihat Ahmad baru saja keluar dari kamar Hamdan.

Dinda terus memperhatikan langkah Ahmad. Ada sesuatu yang sedang dibawa oleh laki-laki itu. Saat sinar lampu menerangi siluet Ayahnya, seketika Dinda menarik napas kasar.

Tubuhnya melemas. Benda yang di bawa oleh Ahmad ternyata adalah kepala Hamdan. Dinda menggeleng kuat, mulutnya ia tekan dengan telapak tangannya. Takut suara tangisannya terdengar oleh Ahmad.

Dinda terus menajamkan telinganya, namun sayup suara langkah kaki Ahmad mulai menghilang. Dengan jantung berdebar, ia mencoba mengintip ke arah ruang tengah.

Naas bagi Dinda, ternyata Ahmad masih berdiri diam memandang ke arah tempatnya bersembunyi. Dinda kembali menarik kepalanya.

Dukkkk... gludaaakkk...

Sebuah benda terjatuh tepat di sisi Dinda dan menggelinding pelan. Dinda mengerang hebat, air matanya menetes deras. Persis di depannya dia melihat kepala Hamdan tergeletak penuh darah dengan mata melotot.

Dinda memejamkan mata, dia tidak kuat dengan pamandangan itu. Suara langkah kaki Ahmad makin mendekat. Namun, Dinda sudah tidak punya tenaga, badannya lemas seketika. Kakinya gemetaran tidak kuat menopang tubuhnya.

Tinggal 2 meter lagi laki-laki itu sampai di tempatnya bersembunyi, Dinda terus berdoa dalam hati berharap Ahmad tidak mengetahui keberadaannya.

Tap...tap...tap

Suara langkah kaki itu makin dekat. Dinda memejamkan matanya rapat-rapat, tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi.

Namun, setelah beberapa saat. Langkah kaki itu terus berjalan melewatinya. Sontak Dinda membuka mata, terlihat dalam keremangan Ahmad berjalan menjauh darinya.

Dinda mengerang lega, sekuat tenaga dia berusaha untuk berdiri. Mencoba untuk mencari tempat yang lebih aman dan segera kembali ke kamarnya.

Sesekali dia melirik ke arah kepala Hamdan. Namun justru pemandangan di depannya membuat kepala Dinda terasa begitu sakit, dia tidak kuat dengan dengan apa yan dia lihat.

Baru saja dia melangkah, terdengar suara benda berat yang di tarik dengan kasar. Dinda memalingkan kepalanya, dahinya berkerut.

“Apa yang sedang di lakukan laki-laki itu?” batin Dinda.

Penasaran, Dinda malah berbalik. Menuju ke arah sumber suara. Diambilnya pisau lipat dari kantung celananya dan segera melangkah pelan.

Jantungnya berdebar keras, Dinda mencoba melangkah sepelan mungkin. Hingga saat melihat pintu kamarnya, ia langsung mengumpat pelan.

“Bangsat” umpatnya sambil melangkah menjauh. Ternyata suara yang ia dengar adalah lemari yang ditarik untuk menutup pintu kamarnya.

Sekarang dia akan kesusahan untuk masuk ke kamarnya. Dedemit itu benar-benar licik, bagaimana dia bisa berpikir untuk menutup pintu itu?

“Wes, sak iki koe ra bakal iso mlebu neng kamar mu kui nduk. Koe pengen dolanan karo aku to? Mumpet to bakal tak golek i awak mu”

(Sudah, sekarang kamu tidak akan bisa masuk ke kamar itu nduk. Kamu mau bermain sama aku kan? Bersembunyilah nanti akan ku cari dirimu) ucap Ahmad dengan tawa gila-gilaan.

Mendengar ucapan Ahmad, Dinda langsung bergerak ke samping. Bersembunyi di antara dinding dan bufet. Dengan posisi jongkok, dia terus berpikir. Bagaimana bisa keluar dari rumah ini?

Dia sudah tidak peduli lagi dengan keadaan Ahmad dan Hamdan. Dinda terisak dalam keadaan diam, matanya memperhatikan sekitar. Otaknya berpikir cepat. Jika saat ini dia berada di ruang tengah berarti jauh lebih dekat untuk kabur lewat pintu dapur.

Dinda menajamkan telinganya. Dia mendengar suara langkah Ahmad yang menjauh dari tempatnya bersembunyi.

Menarik napas dalam-dalam, Dinda segera beranjak dari tempat persembunyiannya. Dia hanya memiliki waktu singkat. Kalau beruntung, Sengkolo tidak akan mengetahui keberadaannya. Untuk sementara dia akan pergi ke Panti sembari menunggu kabar dari Kakek Neneknya.

“Pecahke pengilon e nduk, percuma lungo seko omah iki” (Pecahkan cerminnya nduk, percuma pergi dari rumah ini) terdengar suara tepat di samping atas Dinda.

Dinda menjerit kecil, buru-buru dia mendekapkan tangannya ke mulut. Dilihatnya Ratmi tengah duduk di atas bufet.

Dinda menggeleng, “Dedemit kae bakalan mateni aku” (Dedemit itu akan membunuh ku) ucap Dinda gemetaran, teringat dengan kepala Hamdan yang menggelinding tepat di depan matanya.

“Ora nduk, koe jeh due wektu. Dedemit kae bakal iso jumuk sukmamu wayah seloso kliwon” (Tidak nduk, kamu masih punya waktu. Dedemit itu akan mengambil sukmamu di waktu selasa kliwon) kata Ratmi.

Terdengar sebuah langkah kaki mendekat, sontak Dinda langsung memalingkan kepalanya ke arah sumber suara. Dipegani pisau lipatnya erat-erat.

Tap...tap...tap...

Napas Dinda tertahan, takkurang dari beberapa meter sosok itu pasti akan sampai ke tempatnya. Kembali Dinda menoleh ke arah Ratmi. Dedemit wanita itu masih duduk diam menunduk di atas bufet.

Keputusan Dinda sudah bulat sekarang, benar ucapan Ratmi. Kalau dia pergi ke panti justru malah sosok Sengkolo bisa menyakiti orang-orang yang ada di sana.

Suara langkah kaki makin mendekat, Dinda sudah bersiap. Namun, saat dirinya mau menerjang. Suara langkah kaki itu tiba-tiba saja berhenti, dan terdengar berjalan menjauh. Seolah tahu kalau Dinda tengah bersiap menyerangnya.

Dinda menghela napas, diliriknya ke arah bufet. Sosok Ratmi masih duduk di sana, kepalanya menangguk-angguk dengan posisi rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Dinda segera keluar dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin kalau Ahmad tidak berada di ruang itu. Buru-buru dia melangkah menuju ke kamar tamu.

Klek...kleeekkk..kleeekk

Berulang kali Dinda mencoba membuka pintu dengan menaik turunkan hendelnya. Namun, pintu itu bergeming, padahal dia yakin kalau semua pintu kamar sebelumnya tidak terkunci sama sekali.

Beberapa kali dia mencoba untuk mendobrak, tetapi kekuatannya tidak mampu membuatnya terbuka. Dinda langsung berbalik, dia berpikir untuk masuk lewat jendela.

Sesaat dia memperhatikan pintu kamar yang di tempati Pak Hamdan. Seketika Dinda menelan ludah, matanya berkaca-kaca, tidak bisa membayangkan apa yang akan dilihatnya di kamar itu.

Buru-buru dia melangkah menuju ke arah dapur, dengan mudah dia bisa membuka pintu itu dan segera berlari ke jendela kamar tamu yang berada tepat di seberangnya.

Dengan cekatan, Dinda mencoba membuka jendela dengan pisau lipat yang dibawanya. Beruntung daun jendela itu langsung terbuka dengan mudah. Dipandanginya semua sudut dalam kamar. Mencari keberadaan cermin dan memastikan tidak ada orang di sana.

Tepat di ujung ruangan dia melihat sebuah cermin setinggi orang dewasa. Meskipun merasa takut, tetapi Dinda tidak punya pilihan. Dia sudah memutuskan untuk bertahan.

Jika dengan memecahkan semua cermin di rumah ini bisa membuat Sengkolo tidak memburunya, maka dia akan melakukan itu semua.

Dinda mulai naik ke jendela dan segera masuk ke dalam kamar. Di pandanginya sekitaran, mencoba mencari keberadaan Ahmad. Setelah yakin aman, buru-buru dia melangkah menuju cermin di ujung ruangan.

Di tatapnya lekat-lekat cermin itu, kemudian dia mencari benda yang bisa digunakan untuk memecahkannya. Sesaat Dinda merasa ada yang aneh dengan ruangan ini.

Namun, dia belum menyadarinya, tidak ada benda apa pun, kecuali termpat tidur dari dipan kayu dan cermin besar di ujung ruangan.

Teeeekkk...teeekk...teeekkkk

Dinda menoleh ke arah cermin, ketakutan kembali melanda batinnya, dengan jelas dia melihat cermin itu bergetar.

Sesaat kemudian baru Dinda menyadari kalau tidak ada benda yang bisa digunakan untuk memecahkan cermin itu. Waktu semakin memburu, cermin itu semakin bergetar hebat.

Panik. Tanpa pikir panjang, Dinda melempar pisau lipatnya ke arah cermin. Tidak terjadi apa-apa cermin itu terus bergeretak seolah ada sesuatu yang akan keluar dari sana.

Dinda kembali mengedarkan pandangannya, mencari benda lain yang bisa ia gunakan. Namun, suara geraman mulai muncul dari arah cermin.

Kaget, Dinda langsung menolehkan kepalanya. Benar saja saat memandang ke arah cermin, dia melihat ada sosok yang sudah berdiri tepat dibelakangnya. Lantas dia langsung mumutar badan, namun tidak ada siapapun di sana.

Napas Dinda memburu hebat, kembali menoleh ke arah cermin. Jantungnya berdetak kencang, sosok Sengkolo masih berdiri di sana dengan senyum mengerikan.

Kemudian sebuah tangan mulai muncul di permukaan cermin, seperti menggapai pinggiran bingkai. Dinda mengerang, dia hanya punya waktu sebentar, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Nekat dia berlari dan langsung menghantamkan tangannya ke arah cermin itu.

Pyaarrr....

Suara pecahan cermin saat bertumbukan dengan kepalan tangan Dinda. “Arrrrgg” erang Dinda saat mendapati darah menetes dari tangan kanannya.

Buru-buru Dinda menyandarkan punggungnya ke dinding. Menahan rasa perih yang timbul akibat pukulannya tadi. Dilihatnya ada beberapa kaca kecil yang menancap di ujung kulit tangan kanannya.

Perlahan, Dinda mencabuti pecahan cermin itu. Rasa perih yang ditimbulkan membuatnya menyerngit menahan rasa sakit. Setelah beberapa saat dia bangkit, mengambil pisau lipatnya dan berjalan ke arah kasur.

Dinda menyambar sprei dan langsung memotongnya. “Mbok Marni bakal marah-marah ini” ucap Dinda setengah tersenyum kecut saat melihat sprei yang sudah terkoyak dan berlumuran darahnya.

Kemudian ia menyandarkan punggunggunya di dipan dan mulai membebat tangan kanannya. Setelah sesesai, Dinda memandang ke luar jendela.

Batinnya tiba-tiba merasa sendu, seketika Dinda menangis sesenggukan, dia kembali teringat dengan Adit, Bu Nawang dan anak-anak panti. Jika saja dia tidak menerima ajakan Hamdan untuk pulang ke rumah ini mungkin semuanya akan berbeda.

Tek...tekkk...teekkkk

Terdengar suara derik jendela yang bergetar, angin berembus dengan kencang. Menerpa wajah Dinda yang basah karena air mata.

“Ojo kalah ya nduk, karo dedemit kae. Awakmu kuat. Tak Kancani ngasi Kusno muleh neng panggonan iki” (Jangan kalah ya nduk, dengan dedemit itu. Kamu kuat. Aku temani sampai Kusno pulang ke tempat ini) terdengar suara Ratmi bergaung di telinga Dinda.

“Kenopo kudu aku?” (Kenapa harus aku?) tanya Dinda parau.

“Mergo koe anak turunane Sukmaadji sek ra di karep ke. Sengkolo ra iso gowo sukmamu. Makane dekne bakal ngrabi awakmu”

(Karena kamu anak turunan Sukmaadji yang tidak diharapkan. Sengkolo tidak bisa membawa Sukmamu, makannya dia berniat menikahimu) ucap Ratmi yang sudah muncul di sudut ruangan.

Dinda memejamkan matanya, mencerna ucapan Ratmi. Dia paham sekarang, kenapa sosok itu tidak bisa melukai tubuhnya dengan bentuknya yang asli.

“Dadi kui alesan e, kenopo dekne nyurupi Ahmad?” (Jadi itu alasannya, kenapa dia merasuki Ahmad) tanya Dinda memastikan.

Ratmi mendongakkan kepalanya, “Wektumu gari bengi iki go mecahke pengilon kae” (Waktumu tinggal malam ini untuk memecahkan cermin itu) ujar Ratmi yang langsung menghilang, dibarengi dengan embusan angin yang cukup kencang.

Dinda menghela napas dalam-dalam. Setelah memastikan kondisi tangannya, dia kembali manatap pintu kamar.

Menguatkan batinnya dia mulai beranjak. Sejenak Dinda ingat kalau dia tadi masuk lewat jendela. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba membuka pintu itu dari dalam. Dan ajaibnya, saat ia menarik hendel, pintu terbuka dengan mudah.

Dinda tidak langsung menghambur ke luar, sekali lagi ia memperhatikan sekitaran, mencari keberadaan Ahmad. Karena saat ini orang itulah yang justru berbahaya bagi dirinya.

Merasa aman, dengan langkah gontai Dinda menuju kamar yang di pakai oleh Hamdan. Perasaannya tidak menentu, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan di temuinya di sana. Kalau benar kepala tadi milik Hamdan, maka jasadnya saat ini pasti tergeletak di atas tempat tidur.

Dinda benar-benar menguatkan mentalnya, pisau lipat juga sudah ia siapkan. Saat dia sudah berada di depan kamar, sengaja dia mendekatkan telinganya ke daun pintu. Mencari tahu jika ada pergerakan di dalam.

Cekleek... Krieeettt....

Saat pintu sudah terbuka, Dinda menarik napas panjang, tidak berani menatap ke arah ranjang. Matanya terpejam, dia tidak peduli jika Ahmad tiba-tiba saja menerjangnya.

Hingga setelah lama berdiri diam, dan tidak terjadi apa-apa, perlahan Dinda membuka matanya.

Bruaaakkk...
Begitu kagetnya dia sampai tubuhnya membentur daun pintu. Dinda melihat pemandangan yang mengerikan, jasad Ahmad tergantung tepat di atas tubuh Hamdan.

Dinda meraung, dia benar-benar tidak bisa melihat apa yang ada di depannya, pemandangan itu terlalu menyakitkan untuknya. Tubuhnya merosot, isak tangisnya pecah.

“Bajingan kau sengkolo” jerit Dinda.

Pandangan Dinda nanar, melihat jasad Ahmad dengan kondisi yang mengenaskan, darah menetes dari hidung dan lidahnya yang terjulur.

Rasa marah memuncak di dalam hatinya. Dinda segera bangkit, menatap cermin yang ada di sudut ruangan dengan pandangan kesumat.

Dia kembali menatap ke arah jasad Ahmad.
“Maafkan Dinda yah” ucapnya parau, hatinya terasa begitu sakit.

“Pengilon e nduk” (Cerminnya nduk) ucap suara di kepala Dinda.

Kembali dia menatap ke arah cermin itu. Langkahnya gontai, pandangannya kabur dengan air mata.

Dinda mengambil kursi yang ada di depan meja, diangkatnya benda itu tinggi-tinggi. Namun, belum sempat dia melemparkannya. Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu mencengkeram tangannya.

Bruuukkkk...

Seketika Dinda terlempar ke belakang, tubuhnya langsung terjatuh ke lantai. Dia mengerang hebat, punggung dan tangan kanannya terasa sakit sekali.

Tekkk....teekkkk..teeekkkk

Kembali terdengar suara retakan dari arah cermin. Dinda yang belum bisa berpikir jernih tidak menyadari hal itu, dia masih menahan rasa sakit di tubuhnya.

Cermin itu terus berkeretak, menimbulkan bunyi yang menyeramkan. Menyadari ada yang tidak beres, Dinda mencoba untuk kembali berdiri. Namun, anehnya seperti ada yang sedang mencengkeram kakinya dengan kuat.

Sekali hentakan, tubuh Dinda diseret menjauh dari kursi yang mau dia pakai untuk menghancurkan cermin itu.

Dinda menggapai-gapai, mencari benda yang bisa digunakan untuk menahan tubuhnya yang bergerak sendiri. Beruntung, tangannya tidak jauh dari kaki ranjang. Buru-buru Dinda meraih benda itu, sekuat tenaga dia menahan tarikan yang berasal dari kakinya.

“Minggatttt” (Lungo) teriak Dinda saat ranjang mulai ikut bergerak.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja tarikan itu hilang. Tubuh bagian bawah Dinda langsung terjatuh ke lantai ubin batu dengan bunyi yang cukup keras.

Dinda buru-buru membalikkan tubuh dan menarik kakinya sampai menyentuh dadanya. Napasnya bergermuruh, dia tidak menyangka kalau Sengkolo mampu menyentuh tubuhnya tanpa menggunakan fisik manusia.

Cermin itu terus mengeluarkan bunyi gemeretak. Perlahan, sosok yang menghuni di dalamnya muncul. Berawal dari tangan bersisik yang mencengkeram kedua sisi cermin. Kemudian, kepala botak dengan rambut yang sudah jarang, baru diikuti oleh badan dan kaki.

Seketika udara di sekitar kamar itu menjadi begitu sesak, aroma bunga mawar menguar dengan hebat. Membuat kepala Dinda begitu pusing.

Kini tepat beberapa meter di depan Dinda, sosok Sengkolo sudah berdiri menatap dengan matanya yang juling. Dinda mengerang, dia langsung memundurkan tubuhnya menjauh dari sosok Sengkolo.

Sengkolo berjalan pelan ke arah Dinda, langkah kakinya tidak mengerluarkan bunyi sama sekali.

“Minggat” (Pergi) jerit Dinda.

Sosok Sengkolo langsung berhenti, dia menatap Dinda tanpa berkedip. Mulutnya yang berupa garis lurus tertarik ke belakang. Membentuk senyum paling mengerikan yang pernah dia lihat.

“Aku muk arep nagih janjiku” (Aku cuma menagih janjiku) kata Sengkolo bergaung di sekitar Dinda, membuat bulu kuduknya meremang.

Dinda diam tidak menjawab, dia terus menggelengkan kepalanya. Berharap ada seseorang yang menolongnya.

“Aku wes ngomong karo awakmu, ojo main-main karo aku” (Aku sudah bilang sama kamu, janan main-main dengan ku) ucap Sengkolo sambil melangkah menuju Dinda yang meringkuk di ujung ruangan.

Dinda terus menggeleng, dia menyadari jika Sengkolo semakin dekat dengan dirinya. Kini aroma bunga mawar benar-benar menusuk indra penciumannya.

Dinda memejamkan matanya, dia tahu jika sosok itu sudah berjongkok tepat dihadapannya. “Sewengi maneh. Dadi bojoku, tak culke anak e Sukmaadji” (Semalam lagi. Jadi istriku, aku lepaskan anaknya Sukmaadji) ucap Sengkolo dekat sekali dengan Dinda.

Dinda mengerang ketakutan, dirasakannya ada tangan yang menyentuh kedua pipinya. Memaksanya untuk menengadah.

Sekuat mungkin Dinda berusaha untuk melawan, tapi kekuatan sosok yang ada di depannya benar-benar kuat. Kini dalam jarak dekat, dia bisa melihat wajah Sengkolo yang begitu menakutkan.

“Koe utawa bapakmu” (Kamu atau Bapakmu) kata Sengkolo, dan langsung saja menghilang dari pandangan.

Dinda terisak, dia kembali membenamkan wajahnya diantara lutut dan dadanya. Dia tidak paham di maksud oleh sengkolo. Padahal jelas sekali dia tadi melihat jasad Ahmad yang tergantung di atas tubuh Hamdan yang tidak memiliki kepala.

Tap...tap...tap...

“Astaugfirulloh, nduk. Kamu kenapa?” terdengar suara berat dan langkah kaki.

Dinda bergeming, dadanya masih terasa sesak mengingat kondisi Ayahnya. Tangisnya begitu pilu, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan merasakan sakit yang sama.

“Nduk, kamu kenapa?” sekali lagi suara itu bertanya.

Dinda masih tidak menjawab. Tiba-tiba saja orang itu langsung memeluknya dengan erat, namun justru itu membuat tangisannya makin keras.

“Ayah, Ayah Kek” ucap Dinda parau.

“Nduk sadar, ini Ayah” ucap Ahmad masih terus mendekap Dinda erat.

Dinda terus menggeleng, “Ayah Kek. Ayah sudah meninggal” ucap Dinda yang masih mengira kalau orang yang ada di depannya adalah Pak Kusno.

“Nduk, buka mata kamu. Ini Ayah, nduk” kata Ahmad mencoba membuat Dinda menatap ke arahnya.

Dinda tersentak, dia langsung membuka matanya. Melihat Ahmad berada di hadapannya, dia menghambur memeluknya dengan erat.

“Ini beneran Ayah?” tanya Dinda parau.

“Iya nduk, ini Ayah” ucap Ahmad mengeratkan pelukannya.

Setelah beberapa saat akhirnya Dinda mulai tenang. Kesadarannya kembali pulih, sontak dia melihat ke arah ranjang. Namun, jasad Ahmad yang tergantung sudah tidak ada.

Dinda kebingungan. Kembali menatap Ahmad yang juga terlihat bingung. Seketika dia memukul Ayahnya dengan keras sampai lelaki itu terjengkang ke belakang.

“Aduhhh, kamu kenapa nduk?” erang Ahmad.

Dinda tidak menjawab, dia langsung beranjak. Sekilas dia melihat ke arah kasur. Dengan jelas dia melihat Hamdan masih tergeletak taksadarkan diri dengan kondisi tubuh yang masih lengkap.

Sempoyongan, Dinda berjalan ke arah kursi yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya tadi. Di ambilnya kursi itu dan diangkatnya tinggi-tinggi, sejurus kemudian dia langsung melemparkannya ke arah cermin.

Praaaanggg....

Suara pecahan cermin terdengar jelas di telinga Dinda. Dia sudah muak sekali dengan sosok Sengkolo. Semoga dengan hancurnya cermin itu, dia tidak akan pernah bisa muncul lagi.

***

Sementar itu di Desa Seruni

Pak Kusno mengerjap, dia mendengar suara berisik dari arah luar tempatnya berbaring. Rasa sakit di sekujur tubuhnya terasa begitu nyata. Apakah yang di laluinya tadi hanya sebatas mimpi?

Terdengar suara langkah kaki dan pintu yang terbuka kemudian ada seseorang yang duduk tepat di sampingnya.

“Kenapa jadi seperti ini Pak” ucap Mbok Marni,

Pak Kusno mengerang. Jika dia saat ini berada di Lembah Pati, tidak mungkin istrinya duduk tepat di sampingnya.

Pelan Pak Kusno membuka matanya, pandangannya kabur karena cahaya lampu yang menyilaukan.

“Alhamdulilah, sudah sadar kamu Pak?” tanya Mbok Marni yang langsung memeluk suaminya.

“Kenapa Bu?” tanya Pak Kusno parau. Saat dia sudah bisa melihat lebih jelas. Tempat di mana dia berbaring bukanlah kamar tidur mereka, tempat ini lebih seperti rumah pedesaan.

Pak Kusno mencoba untuk bangkit, tetapi kepalanya begitu berat. Perutnya terasa mual. “Hoeeeekk” Pak Kusno langsung muntah di pinggiran ranjang. Seketika Mbok Marni beranjak dan memijat tengkuk suaminya.

“Jangan di tahan, keluarkan saja” ucap Mbok Marni.

“Ini di mana Bu?” tanya Pak Kusno setelah menyandarkan punggungnya.

“Di rumah Ki Dayat” jawab Mbok Marni.

“Ki Dayat? apa yang terjadi? Bagaimana dengan Dinda, kenapa kamu disini?” tanya Pak Kusno kaget dan langsung bergerak ke depan. Membuat kepalanya langsung terasa pusing.

“Sudah, istirahat dulu. Diminum air hangatnya. Jangan mikir apa-apa malam ini. Dinda yang menyuruh ku untuk menyusul mu” ucap Mbok Marni yang langsung berdiri keluar kamar membawa kain kotor bekas muntahan suaminya.

***

Beberapa jam kemudian, kondisi Pak Kusno mulai stabil. Di bantu Ki Dayat efek negatif dari Lembah Pati dikeluarkan dari tubuhnya.

Kini mereka berempat, termasuk Aryo sedang duduk di amben ruang tamu di temani secangkir teh yang masih mengepul.

“Apa yang terjadi Kus?” tanya Ki Dayat memulai pembicaraan.

Pak Kusno tidak langsung menjawab, dia menyambar bungkusan rokok di depan Aryo, mengambil sebatang kemudian membakarnya.

“Sepertinya dedemit itu memang berniat menghalangiku untuk ke Lembah Pati” kata Pak Kusno diikuti dengan asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungnya.

“Tapi bagaimana bisa? Dengan kemampuan mu seharusnya sebelum magrib kamu sudah sampai di tempat itu. Karena jarak dari sini ke Lembah Pati hanya membutuhkan waktu satu jam” kata Ki Dayat.

“Sejak awal aku masuk ke hutan, mereka seperti sudah menggodaku. Aku tidak sadar ternyata mereka membawa ku ke dimensi yang berbeda” terang Pak Kusno.

Lantas Pak Kusno menceritakan semua yang dialaminya. Dari mulai bertemu dengan sosok wanita tua, sosok harimau, ular penjaga hutan hingga sosok Sukri yang membantunya sampai ke gua yang ada di Lembah Pati.

“Jadi kamu sampai di gua itu tepat saat magrib menjelang?” tanya Ki Dayat keheranan.

Pak Kusno mengangguk, lalu kembali menceritakan secara detail apa yang terjadi sesaat setelah dia masuk ke dalam gua.

“Syukurlah, beruntung kamu masih bisa selamat Kus. Untung saja kami memutuskan untuk menyusul mu. Dan benar saja, saat kami tiba di Lembah Pati, kamu sudah terkapar dan banyak sekali luka di tubuhmu” ucap Ki Dayat.

“Dedemit itu yang melakukannya. Saat aku mengetahui cara membakarnya, dia mengamuk dan mencoba membunuhku” ucap Pak Kusno.

“Jadi sudah tau cara untuk membakar Sengkolo?” tanya Mbok Marni bersemangat, sembari memijat pelan kaki suaminya.

Mendengar ucapan Mbok Marni seketika Pak kusno langsung menepukan tangan ke jidadnya. “Kenapa Pak?” tanya Mbok Marni keheranan.

“Mati aku Bu, aku harus kembali ke tempat itu. Sengkolo bisa dibakar dengan cermin yang ada di Lembah Pati dan kediaman Sukmaadji” ucap Pak Kusno panik.

“Kus... tenang” kata Ki Dayat.

“Waktunya tidak banyak, Yat. Cucuku yang jadi taruhannya. Jika dia memilih menjadi istri Sengkolo sukmanya tidak akan pernah bisa ditolong lagi” kata Pak Kusno cepat.

“Kus, dengarkan aku. Cermin itu aku bawa kemari. Aku tahu ada sesuatu yang buruk di dalamnya” ucapnya sembari memberikan pandangan kepada Aryo untuk mengambil cermin yang dimaksud.

Buru-buru Aryo bangkit dari dipan, dan berjalan masuk ke dalam rumah. “Benar, Yat. Kamu membawa cermin itu?” tanya Pak Kusno menahan napas.

Ki Dayat mengangguk, sesaat kemudian Aryo keluar dan membawa bungkusan persegi yang dibalut dengan kain putih.

“Ini kan yang kamu cari?” tanya Ki Dayat sambil membuka bungkusan kain putih.

Saat Ki Dayat sudah selesai membuka dan mengangkat cermin itu. Seketika angin dingin berembus dengan kencang membuat jendela rumah ikut bergetar.

Pak Kusno segera menerima cermin itu, memperhatikan dengan saksama. “Bagaimana caranya agar sosok itu bisa mati?” tanya Ki Dayat penasaran.

“Balurkan darah keturuan Sukmaadji dan pecahkan tepat ketika malam Selasa Kliwon” kata Pak Kusno Singkat.

“Berarti besok malam Kus” kata Ki Dayat.

“Aku harus segera pulang ke rumah, perasaan ku benar-benar tidak enak” kata Pak Kusno.

“Tenangkan dirimu Pak, istirahat dahulu baru besok pagi kita pulang” kata Mbok Marni.

Namun, Pak Kusno menggeleng. “Tidak ada waktu Bu, malam ini juga kita harus kembali ke rumah. Dedemit itu bisa melakukan apa pun, aku khawatir dengan keadaan Dinda” kata Pak Kusno tegas.

“Biar Aryo carikan mobil” ucap Aryo yang sedari tadi diam memperhatikan.

Seketika mereka bertiga memandanganya, “Ada memang mobil pinjaman selarut ini? Toh kondisi Kusno juga masih belum memungkinkan untuk perjalanan jauh” ucap Ki Dayat ragu.

Pak Kusno mengabaikan Dayat, “Bisa tolong carikan, Yo? Berapapun biayanya saya bayar” ucap Pak Kusno serius.

“Kus” kata Ki Dayat.

Namun Pak Kusno memotong cepat. “Sudahlah Yat. Kamu tahu waktunya makin singkat kalau terjadi apa-apa dengan cucuku aku tidak akan punya muka untuk bertemu dengan Ajeng di akhirat nanti” kata Pak Kusno mulai meninggikan suaranya.

Ki Dayat menghela napas, dia tidak bisa berkomentar terlalu jauh lagi. “Tolong carikan ya, Le” ucap Ki Dayat kepada Aryo.

Aryo mengangguk dan langsung keluar rumah. Malam itu di rumah sederhana milik Ki Dayat, Pak Kusno menceritakan semuanya yang terjadi di Lembah Pati.

“Jika memang harus memilih, pilihlah dengan bijak, Kus” ucap Ki Dayat akhirnya. Pak Kusno menghela napas panjang.

“Sukmaadji menitipkan Ahmad kepada ku. Sedang Ajeng menitipkan Dinda kepada ku. Nyawa mereka bukan pilihan, Yat” kata Pak Kusno.

Dayat mengerti, itu semua terlalu berat untuk teman lamanya. Namun, ikatan darah yang sudah dilakukan memang harus ditepati hingga keturunan terakhirnya sudah tiada.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close