Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TURONGGO MAYIT (Part 3) - Alam di Balik Kabut

Semua yang tersembunyi di balik kabut, adalah bencana yang membuatmu tak mungkin kembali untuk menyambut pagi..


Part 3 - Alam di Balik Kabut

Suara gending musik pengiring permainan kuda lumping terdengar dari balik kabut. Terlihat bayangan makhluk yang melayang-layang dari balik tebalnya tirai putih yang menyelimuti desa.

Sebuah pertunjukkan tengah ditampilkan di sana.

“Kelompok Jaran Gupolo? Bukannya mereka sudah mati?” Tanyaku bingung dengan cerita Paklek.

“Nggak Jul, yang mati hanya mereka yang mengirim santet ke Bapak Widi. Mereka yang tersisa terikat perjanjian dengan makhluk yang mereka puja,” Jelas Paklek.

Paklek terlihat cemas, ia terus berpikir keras untuk menyelamatkan warga desa dari balik kabut ini.

“Kalian kembali ke rumah dulu, jangan keluar sebelum situasi aman,” Perintah Paklek.

“Aku ikut Paklek,” balasku.

“Nggak bisa! Bahaya!” Perintah Paklek.

Kali ini aku tidak bisa membantah. Sepertinya keadaan semakin serius sehingga Paklek benar-benar melarangku untuk mengikutinya. Akupun mengencangkan sarungku di pinggang dan mengikuti mereka.

“Ibu! Tolong ibu!!”

Samar-samar aku mendengar suara teriakan anak perempuan.

“Paklek, ada suara..” ucapku. Paklek berhenti dan menajamkan telinganya.

“Suara apa? Musik tadi?”

“Bukan, anak perempuan..” Balasku.

Paklek berkonsentrasi, namun ia menggeleng dan tidak mendengar apapun.

“Nggak ada?” Mungkin aku yang salah dengar.

Kamipun melanjutkan perjalanan kembali ke rumah Widi. Namun suara itu terdengar lagi.

“Lepasin! Sakiiiit!”

Aku menoleh arah suara itu dan dari salah satu sisi kabut terlihat bayangan seorang anak perempuan seolah diseret oleh sosok yang begitu besar.

“Itu Paklek!” Teriakku menunjukkan arah itu, anehnya Paklek menoleh ke sana tapi ia mengaku tidak melihat dan mendengar apapun.

Akupun bingung, namun suara itu terdengar semakin lirih. Aku makin khawatir dengan keadaan anak perempuan itu.

Aku menoleh sebentar ke arah Paklek, Widi, dan Bu Sunar yang sudah berada di pagar rumah mereka. Namun tangan wanita itu terlihat berusaha untuk menggapaiku. Apa yang terjadi padanya membuatku benar-benar tidak bisa menahan diri.

“Panjul! Mau kemana??!” Teriak Paklek.

Aku tidak tahan lagi. Tanpa menjawab paklek dengan segera aku berlari meninggalkan mereka dan meraih bayangan anak perempuan di balik kabut itu.

Namun aku terlalu bodoh…

Tepat saat berhasil menembus kabut, terlihat seorang anak perempuan yang diseret oleh sosok makhluk besar dengan tinggi hampir dua kali manusia dewasa. Mulutnya besar dengan mata yang putih.

Anak perempuan itupun ditarik memasuki kabut yang lebih pekat.

Namun tak hanya itu saja, di sekitarku terlihat rumah-rumah warga yang tersamarkan oleh kabut. Yang mengerikan, di beberapa atap rumah tengah bertengger jejeran pocong berkafan penuh tanah kuburan seolah mereka baru bangkit dari liang lahatnya.

Aku gemetar dan terjatuh. Beruntung makhluk itu tidak menatap ke arahku, mereka tertarik dengan pementasan yang ada di tengah desa.

“Bocah Goblok!”

Sebuah pukulan mendarat di kepalaku. Aku merasa kesakitan, dengan jelas aku mengetahui bahwa Pakleklah yang datang menyusulku.

“Ma—maaf Paklek, tapi aku ngeliat ada anak perempuan yang diseret sama setan..”

“Ya tinggal bilang! Kamu nggak usah ikutan masuk!” Kali ini Paklek marah, sepertinya keadaan kali ini benar-benar berbahaya.

“I—iya Paklek, Cahyo balik ke rumah Widi,” ucapku yang segera berlari meninggalkan kabut itu.

Tapi.. Kabut begitu pekat, aku tidak bisa menemukan jalan menemukan rumah Widi. Disaat aku kebingungan, sekali lagi pukulan mendarat di kepalaku.

“Masih nggak sadar juga? Saat sudah memasuki kabut, nggak ada lagi jalan keluar,” Ucap Paklek.

“Hah? Terus gimana Paklek…?”

“Kabut ini baru akan hilang saat pementasan selesai, saat itu kita nggak tahu sudah ada berapa nyawa yang jadi korban..” Jelas Paklek.

Aku menelan ludah, kini aku harus berada diantara kabut ini dengan makhluk-makhluk mengerikan di sekitarku.

“Jangan jauh-jauh dari Paklek,” perintah Paklek. Kini tidak ada lagi alasanku untuk tidak menurut.

Terlebih Paklek juga terlihat benar-benar waspada. Korek api pusaka miliknya tengah tergenggam di tangannya.

“I—itu Paklek!” Teriakku saat melihat sosok seorang anak perempuan yang berdiri diantara kabut. Tapi aneh, Kali ini tidak ada makhluk menyeramkan yang menyeret tubuhnya.

“Mundur..” Peringat Paklek.

“Tapi, tadi anak itu diseret sama setan!” Aku protes karena khawatir dengan keadaan anak perempuan itu.

“Jangan ngeyel, Mundur!” Teriak Paklek.
Melihat Paklek seserius itu, akupun memilih mengikuti perintah Paklek dan mundur ke belakangnya.

Benar saja, anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Matanya memutih dengan mulut yang tertawa tanpa suara. Anak perempuan itupun memiringkan kepalanya seolah mulai memperhatikan kami.

“Ojo wani-wanine nggolek perkoro!” (Jangan berani-beraninya mencari perkara)

Suara anak wanita itu terdengar serak seperti suara orang tua yang mengerikan. Ia menatap kami dengan penuh amarah.

“Keluar dari tubuh anak itu!” Teriak Paklek.

Sayangnya sosok yang merasuki wanita itu tidak gentar. Ia terus tersenyum dam mulai mencengkeram wajahnya sendiri.

“Sial!”

Dengan cepat Paklek berlari menuju anak perempuan itu. Anak itu mulai mencakar wajahnya sendiri hingga darah mengalir di pipinya. Dengan sigap Paklek menahan tangan anak wanita itu. Namun anak itu malah meronta sekuat tenaga.

Kulitnya semakin memutih pucat dengan urat-urat yang menebal dari balik kulitnya. Ia terlihat tersiksa dan kesakitan.

“Keluar!” Teriak Paklek sembari membacakan doa-doa yang panjang dihadapan anak perempuan itu.

Tapi setan perempuan itu terus tersenyum ia menikmati tubuh yang kesakitan itu dan tidak mempedulikan bacaan-bacaan Paklek.

“Paklek! Anak itu bisa mati!” Teriakku saat melihat anak itu mulai mengalirkan darah dari pinggir mata dan lubang hidungnya.

Sialnya, makhluk itu terus tertawa senang menantikan kematian anak yang ia rasuki itu.

Merasa tidak ada cara lain, Paklekpun membuka korek api dengan ukiran kayu itu. Iapun memutar pemantiknya dan menyalakannya di hadapan anak perempuan itu.

“Grrrr…!! Grrrr!”

Ekspresi anak perempuan itu mulai berubah. Sementara pocong yang berada di atap-atap rumah merasa terganggu. Mereka melayang menjauh dari cahaya api kecil yang dibuat oleh Paklek.

“Jangan samakan aku dengan setan-setan keroco itu. Apimu tidak akan menggentarkanku,” ucap sosok dibalik anak perempuan itu lagi.

Namun sepertinya Paklek tidak hanya berhenti sampai disitu. Ia meletakkan telapak tanganya diatas api itu.

Lantunan kalimat doa terdengar bersama dengan bara api yang menyelimuti telapak tangan Paklek.

“Paklek! Tangan Paklek?!”

Aku hendak menghampiri Paklek, namun saat aku menyadari bahwa Paklek tidak merasakan kesakitan dari api di tanganya itu, akupun menahan diri.

“Bodoh! Kau lupa, aku juga tercipta dari api…” Gertak Setan itu. Ia menertawakan Paklek dalam tubuh anak perempuan itu.

“Jika Tuhan berkehendak, kau yang tercipta dari apipun akan musnah dengan api…”

Dengan segera Paklek menggenggam kepala anak itu lagi.

Aneh, rambut anak itu tidak terbakar. Tapi dalam sekejap raut wajah anak itu berubah drastis.

“Panass!!! Hentikan!!! Hentikan!!”

Paklek tidak menghiraukan teriakan setan itu.

Lantunan ayat suci ia bacakan mengiringi amalan api yang ia gunakan untuk menghabisi setan di dalam tubuh anak itu.

“Ampun!! Aku menyerah!!”

Setan itu benar-benar tersiksa, namun Paklek sama sekali tidak ingin melepaskanya.

Wajah anak kecil itu benar-benar tersiksa, namun tidak seperti tadi. Kali ini kesadaran sesekali muncul di bola matanya.

Merasa sudah mencapai saatnya, Paklekpun membakar satu telapak tanganya lagi.

Kali ini ia memutarnya beberapa kali dan mendorong tubuh bocah itu dengan telapak tanganya.

Brukk!!

Anak kecil itu terjatuh lemas. Aku berharap anak itu sudah tidak lagi dikuasai oleh setan itu.

Tapi, kali ini Paklek tetap waspada. Matanya mengarah ke satu sisi di belakang anak itu. Kobaran api melayang di belakang anak itu.

Dengan perlahan api itu padam dan menunjukkan sosok yang tertutup bayangan hitam.
“Manusia terkutuk!” Teriak setan itu.

Bayangan hitam itu mulai sirna dan menunjukkan sosok setan berwujud manusia bertubuh besar. Ia mengenakan pakaian seperti pemain kuda lumping namun kulitnya hitam legam dengan mata yang memerah.

“Saat ritual dimulai, tidak ada nyawa yang bisa selamat dari balik kabut ini!” gertak setan itu. Iapun segera mundur menjauh dari kami. Kabut yang pekat seolah sudah siap menelannya menghilang dari pandangan kami.

Paklek tidak mempedulikanya, sebaliknya.. Ia membacakan doa pada sebuah botol berisi air dan meminumkanya pada anak perempuan itu.

“Arrrrggh!!! Apa ini?!”

Baru berapa langkah makhluk itu berjalan, tiba-tiba makhluk itu terhenti dengan api yang kembali membakarnya.

Namun Paklek tidak peduli.

“Hentikan! Hentikan api ini! Aku berikan apapun yang kau minta!”

Paklek tetap tenang setelah memastikan anak perempuan itu mulai membuka matanya. Ia hanya menoleh sesaat pada setan itu.

“Api itu adalah dosa-dosamu yang akan menghantarmu musnah dari alam ini,” balas Paklek.

“Arrgghh!! Ampunn…”

Dalam hitungan detik, wujud setan itupun menghilang bersama api perwujudan ilmu Paklek itu. Seketika aku terkesima dengan apa yang terlihat tadi.

“I—itu apa Paklek? Itu aji-ajian?” Tanyaku semangat.

“Amalan pembakar, sebuah amalan untuk mewujudkan api yang akan memusnakah makhluk seperti mereka..” Jelas Paklek.

“Kerennn!!! Ajarin aku Paklek!” Teriakku semangat.

“Boleh aja, besok siapin tungku api buat ngelatih tubuh kamu supaya terbiasa sama api,” Ucap Paklek.

“Eh.. eng—enggak jadi, gak usah Paklek! Aku belajar ilmu lain aja. Ilmu itu paling cocok sama Paklek,” balasku yang segera mundur menjauh dari Paklek.

Gila saja, mana mau aku membiarkan kulitku bermain dengan api di tungku.

“Dasar Panjul…”

Paklekpun memperhatikan anak perempuan tadi. Ia sempat sadar sesaat, namun ia tak sadarkan diri kembali. Paklek memeriksa dan mendapati anak itu hanya pingsan.

Iapun menggengong anak perempuan itu di punggung dan segera melangkah menuju kemana arah setan tadi akan pergi.

“Kita agak cepet Jul!”

“Iya Paklek..”

Kali ini kami berlari menerobos kabut yang semakin pekat menyelimuti desa.

Mataku tak henti-hentinya mengawasi berbagai makhluk yang melayang layang dan merayap menuju tempat yang sama dengan kami.

Tempat pementasan.

Terpampang dihadapan kami sekumpulan warga desa yang tengah menyaksikan sebuah pementasan.

Suara gending dari kendang, bonang, dan gong beradu membentuk irama yang mendayu. Namun tidak ada teriakan meriah disana.

Sekumpulan warga yang menyaksikan pementasan itu seolah terhipnotis dengan penampilan di tengah-tengah halaman itu.

Sebuah ingatan melintas di pikiranku. Seketika juga nafasku tersengal-sengal menyaksikan hal ini.

Seperti inilah warga desa dan orang tuaku mati…
Mereka terhipnotis oleh sebuah pertunjukkan, dan satu persatu dari mereka mati dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya.

Akupun menghentikan langkahku dan mundur. Sepertinya Paklek juga menyadari wajah pucatku.

“Bawa anak perempuan ini ke tempat yang aman, kalau ada bahaya kamu nyalain korek ini dan panggil Paklek,” ucap Paklek sembari menyerahkan korek pusaka itu padaku.

“Terus Paklek?”

Paklek menepuk pundakku dan menatap mataku dalam-dalam.

“Apapun yang terjadi, jangan ikut campur dengan urusan ini. Semua ini diluar kemampuanmu, kali ini tolong dengerin omongan Paklek.”

“I—iya Paklek,”

Akupun menggantikan Paklek untuk membopong anak perempuan itu dan membawanya ke salah satu teras rumah yang tak jauh dari tempat Paklek berada. Dari sini aku masih bisa melihat apa yang Paklek lakukan.

Paklek menarik nafas dalam-dalam.

Ia melangkah perlahan memasuki kerumunan warga desa yang tengah menyaksikan pertunjukkan itu.

Ia menengadahkan tangannya di hadapan wajahnya dan mulai membacakan doa dengan suara yang lantang di tengah-tengah kerumunan.

Ajaib… Perlahan satu persatu warga desa tersadar. Mereka panik dengan apa yang terjadi.

“I—ini dimana?”

“Kabut apa ini?”

Suara keriuhan warga desa mulai terdengar dari kerumunan itu.

“Segera menjauh dari tempat ini,” Perintah Paklek kepada mereka.

Masih ada kebingungan dimata warga, tapi mereka sadar bahwa mereka berada di keadaan yang tidak wajar.merekapun mulai menjauh sambil membantu beberapa dari mereka yang masih terhipnotis.

Sayangnya, tanpa membutuhkan waktu lama.

Keberadaan Paklek disadari oleh kelompok pemain kuda lumping tersebut.

Suara gending yang mengiringi pemain-pemain itu terhenti…

Seketika suasana menjadi hening dengan seluruh pemain, dan makhluk-makhluk tak kasat mata yang menonton pertunjukkan itu serentak menatap ke arah Paklek.

Tubuhku panas dingin sejadi-jadinya membayangkan aku yang berada di situasi itu.

“Ora one sing oleh lungo nganti pagelaran rampung,” (Tidak ada yang boleh pergi sampai pementasan selesai)

Suara itu terdengar dari sosok mengerikan di tengah pementasan itu.

Ia adalah seorang pemain kuda lumping yang dirasuki sosok yang belum kami ketahui. Namun matanya yang putih, urat diwajahnya yang menyembul keluar dan mulut yang penuh darah memastikan bahwa tubuh itu dikuasai oleh setan.

Melihat sosok itu, sontak wargapun panik dan semakin cepat berusaha menjauh. Namun mereka terlambat, tiba-tiba Seluruh alun-alun dikelilingi setan-setan hitam yang menari tak karuan menghalangi setiap warga untuk meninggalkan tempat itu.

Paklek terus membacakan doa-doanya dengan lebih keras. Setan-setan yang mengepung kami terganggu namun suara gending berubah dengan suasana menyeramkan.

Ctarrr!!

Suara cemeti terdengar dari salah satu pemain yang memukulkan cemetinya ke tanah.

Kekuatan hitam mengalir melalui dari tanah yang dipukul oleh cemeti itu.

Sontak warga desa yang berada di dekatnyapun jatuh terkulai tak sadarkan diri.

Ctarrr!! Kali ini sisi sebaliknya, makhluk itu berniat membuat seluruh warga desa tak sadarkan diri saat itu juga.

Paklek yang tidak membiarkan itu segera berlari dengan kobaran api di kedua tangannya.

“Kowe dudu lawanku!” (Kamu bukan lawanku) ucap sosok yang terlihat memimpin kelompok itu. iapun memerintahkan pemain lainnya untuk menghadang Paklek.

Bugghh!!!

Sebuah tendangan hampir saja mendarat di tubuh Paklek. Namun beruntung Paklek mampu menahannya dengan kedua tangannya.

“Kowe ora pantes gawe perkoro karo Ki Janggrang, kowe mung pantes dadi tumbal,” Ucap pemain itu.

Ki Janggrang? Mungkinkah itu nama sosok yang merasuki pemimpin dari kelompok Jaran Gupolo itu?

Sebuah tendangan melayang lagi dari seorang pemain yang masih menggenggam kuda lumpingnya.

Paklek menghindar sementara seorang pemain lagi sudah bersiap menghantam kepala Paklek dengan pukulanya.

Pertarungan sengit terjadi antara kedua pemain itu melawan Paklek. Namun Paklek tidak kalah, ia bisa menahan dan membalas semua serangan dua pemain yang kerasukan itu tanpa kesulitan. Jujur, aku tidak menyangka ilmu bela diri Paklek sehebat ini.

Belum lagi api yang ada di tanganya, api itulah yang membuat kedua pemain itu kewalahan dan berusaha menghindarinya mati-matian.

“Demit demit goblok! Ngelawan manusia begitu saja nggak becus!” Teriak Ki Janggrang.

Iapun melemparkan kekuatan hitam dari tanganya ke tubuh kedua pemain itu. Sontak mereka berdua tersungkur dan memuntahkan darah dari tubuhnya.

Paklek mundur melihat apa yang terjadi, entah mengapa kami merasakan bahaya dari apa yang terjadi saat itu.

Kedua pemain itu tiba-tiba mulai berdiri dengan nafas yang tersenga-sengal. Giginya gemeretak dengan darah yang masih menetes dari mulutnya. Kekuatan hitam benar-benar menyelimuti tubuh mereka.

Dalam sekejap, salah satu dari mereka mencekik dan mengangkat Paklek.

Ia melempar Paklek sementara seorang lagi melompat dan menendang tubuh Paklek hingga terpental.

Jelas Paklek kesakitan, namun kedua makhluk yang kehilangan akal sehatnya itu tak memberi kesempatan Paklek untuk bernafas.

Mereka bersiap menghantamkan benda berwujud kuda lumping di tanganya ke leher Paklek dengan sekuat tenaga.

“Paklek! Lari!!!” Teriakku panik.
Namun bukanya mundur Paklek malah memilih menerjang mereka berdua dan mencengkeram kedua kepala mereka.

Ada sebuah bacaan yang dibacakan oleh Paklek dengan tersengal-sengal. Dalam waktu singkat api besar membakar mereka berdua.

“Arrrghhh!! Panaasss!” Teriak mereka.

Mereka meronta-ronta, namun Paklek dengan lantang membacakan doa itu hingga seluruh bayangan hitam yang menyelimuti kedua pemain itu terbakar oleh api Paklek.

“Kau tidak bisa memisahkan kami dari manusia ini, kami terikat perjanjian!” Teriak kedua setan itu.

“Itu urusan kalian!” Balas Paklek yang terus membakar setan itu hingga kedua pemain itu meronta kesakitan dan tak sadarkan diri.

Setelah selesai menangani mereka, Paklekpun melangkah menghadapi Ki Janggrang. Yang sedari tadi sudah geram menatap Paklek.

Ctarr!!
Tanpa sepatah katapun tibat-tiba Ki Janggrang menyabetkan cemetinya ke arah Paklek. Ia tak sempat menghindar sehingga darah menetes dari lenganya.

Tapi Paklek tidak diam, ia segera menyerang Ki Janggrang dan membakarnya dengan api di tanganya.

Tapi.. tidak seperti kedua pemain tadi. Api Paklek termakan oleh bayangan hitam yang menyelimuti Ki Janggrang.

“Harusnya kau sadar, Kulhu Geni tidak akan berpengaruh padaku. Bahkan tak ada satupun senjata kalian yang mampu melukaiku,” Tawa Ki Janggrang.

Tanpa banyak bercakap, Paklek terus menyerang Ki Janggrang dengan api di tangannya dan doa-doa yang terus melantun. Sayangnya aku jelas melihat pertarungan ini berat sebelah.

Sedikit demi sedikit tubuh Paklek mulai berlumuran darah dari cemeti yang dipecutkan ke tubuh Paklek.

“Paklek!!”
Aku tak tahan melihat kejadian itu, namun saat aku berdiri aku tertahan oleh sosok-sosok makhluk hitam yang menari-nari mengepung warga desa.

Kini mereka menyadari keberadaanku dan mengincarku.

Ada lebih dari lima makhluk hitam mengarah kepadaku sembari menari-nari dengan mengerikan. Mereka menyeringai tertawa dengan beringas seolah bersiap melakukan apa saja terhadap padaku dan anak perempuan ini.

“I—itu apa?” Tanya anak itu. Ternyata anak itu mulai sadar.

“Bagus, aku jelasin nanti. Sekarang lari!”
Dengan sigap aku menggandeng tangannya dan berlari menjauh dari setan-setan itu. Ia tak mampu berkata apapun dan hanya menuruti perintahku.

Kami menembus kabut di tengah kepungan setan-setan itu.

Setiap kali aku hendak memilih jalan, sosok setan lainya sudah bersiap menghadangku.

“Se—setan? Itu setan? Ini dimana?” Anak itu semakin merengek ketakutan.

“Pakai ini..”

Aku mencopot sarung dari pinggangku dan melilitkanya ke tubuh anak itu.

“Kalau takut, tutupi wajahmu nanti ikutin langkah kaki mas,” Perintahku.

Sialnya, kemanapun kami pergi kami selalu berujung di tempat yang sama. Aku kembali ke tempat dimana setan-setan itu mengejarku.

“Sial..” umpatku.

Aku tidak mau menyerah, aku kembali menarik tangan anak perempuan itu dan melihat sebuah rumah yang tidak terdapat makhluk halus di sekitarnya.

“Ayo masuk…” perintahku.

Kamipun bersembunyi di salah satu rumah warga di salah satu kamar yang tertutup rapat dengan pintu yang terkunci.

Kamipun meringkuk dibawah jendela kamar berharap makhluk-makhluk itu tidak menemukan kami.

Hawa dingin begitu menusuk. Anak perempuan itu terlihat menggigil. Jelas saja, ia baru saja kesurupan makhluk mengerikan. Tenaganya saja pasti sudah habis untuk mempertahankan kesadarannya.

Aku sedikit menyelimutinya dengan sarungku dan sedikit merangkulnya sembari sesekali mengintip kearah jendela.

“Tenang, sebentar kita akan selamat,” ucapku berusaha menenangkan anak itu.
Walau begitu, aku jelas cemas dengan keadaan Paklek. Keadaanya begitu gawat.

Apakah ia bisa menemukan cara untuk melawan Ki Janggrang.

“Mas.. I—itu,” Anak perempuan itu terlihat pucat.
Iya menatap terpaku pada salah satu sudut di langit-langit bangunan itu. Akupun segera menoleh ke arah sudut itu dan seketika wajahkupun pucat.

Sebuah kepala dari wanita bertubuh hitam menatap kami terbalik dari langit-langit. Ia menyeringai seolah senang berhasil menemukan kami.

“Aku seneng tumbal bocah-bocah cilik… Khikhihkhi..” (Aku senang tumbal anak-anak kecil) ucap makhluk itu.

Iapun melayang kebawah menunjukkan tubuhnya yang mengenakan seragam pemain jatilan perempuan yang sudah hitam seperti bekas terbakar. Hampir setengah tubuhnya dipenuhi borok dan bekas luka.

“Mas… dia kesini,” suara anak itu gemetar. Tangannya menggenggam erat kausku.

Tepat saat ia mendekat, aku menyalakan korek pemberian Paklek.

Crakk!! Crakk!!

Beberapa kali aku mencoba menyalakanya hingga akhirnya cahaya kuning dari korek itu menerangi ruangan di kamar ini.

Benar saja.. Makhluk itu segera mundur dengan cepat menjauh dari kami.

“Tenang, kita aman… kita keluar lewat jendela,” perintahku pada anak perempuan itu.

Sementara itu Setan perempuan itu terlihat begitu geram. Ia seolah menanti hingga nyala api ini menghilang untuk segera menyerang kami.

Dengan berhati-hati kami membuka jendela itu dan melompatinya perlahan. Aku terus mempertahankan nyala api itu hingga berada di luar.

Sialnya, nyala api ini menarik perhatian setan-setan yang berada di luar. Mereka semua menatap kami walah tak bisa mendekati kami.

Aku tidak tahu apa akan terjadi pada kami bila api ini tidak bertahan lagi..

Dengan berhati-hati akupun melintasi kabut menjauh dari setan-setan itu. namun sialnya mereka terus mendekati kami.

Tanpa sadar, tiba-tiba suara cemeti terdengar dekat dari telinga kami. 

Ctarrr!!

Aku menoleh ke arah suara itu dan mendapati pemandangan yang membuatku cemas.
Paklek setengah mati bertahan berdiri dengan tubuh yang berlumuran darah…

“Paklek!!”

Tidak mungkin, Paklek kalah? Apa artinya kami hanya sampai di sini?

Suara gending pengiring mengalun semakin meriah seolah merayakan kemenangan Ki Janggrang. Cepeti itu ia putar-putarkan di atas kepala berkali-kali dan mengincar serangan terakhir untuk Paklek.

Aku sadar ada kekuatan kutukan di cemeti itu.

Aku yakin, nyawa Paklek akan berada dalam bahaya bila menerima serangan itu.
Ctarrrr!!!

Sabetan cemeti itu mendarat. Kekuatannya begitu mengerikan. Tidak hanya rasa sakit, tapi sesuatu seperti merasuk ke dalam tubuh dan membuat rasa sakit dari dalam kepala.

“Panjul!!”

Yah.. aku yang menerima serangan itu.
Paklek menangkap tubuhku yang terkapar oleh serangan itu. Sebuah luka sabetan berdarah merobek baju hingga kulitku.

“Bertahan Panjul! Akan Paklek pulihkan!”

“Jangan Paklek, urus setan sialan itu dulu!” Pintaku.

Paklek menatapku dan segera menoleh ke setan itu. Kali ini mata Paklek penuh dengan amarah.

“Maafin Paklek, ternyata Paklek nggak boleh setengah-setengah,” ucapnya.

Paklek mengeluarkan sebuah keris dari tasnya dan memasangnya di ikatan pinggangnya.

“Sombong! Satu serangan lagi dan kau mati!” Teriak Ki Janggrang.

Iapun bersiap menyerang Paklek dan menarik cemetinya. Tapi.. ia tertahan.

Ujung cemetinya masih berada di genggamanku.
“Jangan berani-berani melukai Paklekku lagi!”

Aku membakar ujung cemeti itu dengan korek pusaka milik Paklek. Perlahan tapi pasti, Api itu membakar habis cemeti yang sedari tadi melukai Paklek hingga babak belur. Sepertinya api ini memiliki kekuatan yang tidak dapat kami duga.

“Bocah Brengsek!”

“Bagus Panjul! Kali ini aku bisa mendekati makhluk itu…! Sekarang cepat pergi sejauh mungkin!” Teriak Paklek.

Paklek membacakan sebuah ajian. Aku menyaksikan otot-ototnya mengencang dengan kabut putih yang merasuk ke tubuhnya.

Buggh!!!”

Setan itu terjungkal, kali ini serangan Paklek berhasil melukainya.

“Ayo kita pergi!”

Dengan sigap aku menjemput anak perempuan itu lagi dan berlari menjauh dari Paklek. namun sial… kami dihadang oleh setan yang mengejar memergoki kami di rumah tadi.

“Khikhkhi! Getih cah cilik.. aku iso ayu meneh…” (Khikhinhi! Darah anak kecil.. aku bisa cantik lagi)

Setan itu terus melangkah mendekat ke arah kami. Dengan sigap aku menyalakan korek api itu untuk menjauhkan setan itu dari kami.
Ctrakk!! Ctrakkk!!...

...
Korek ini tidak menyala…
Aku terus mencobanya, namun sia-sia…
Makhluk itu tertawa menyatakan kemenanganya. Iapun mengangkat tangananya yang dipenuhi kuku-kuku tajam dan bersiap menangkap kami.

Aku menoleh ke arah anak perempuan itu, ia benar-benar ketakutan wajahnya pucat, dan… begitu juga aku.

Mata setan itu menatap ke arah anak perempuan itu. ia benar-benar bernafsu dengan darah anak itu. Namun sebelum ia mendekat aku menghadangnya.

“Jangan!!”

Aku berusaha memberanikan diri dengan tubuh yang gemetar. Namun setan itu tidak gentar. Ia mengangkat tanganya dan menghujamkan cakar-cakar itu padaku.

Aku yakin Serangan itu akan menembus tubuhku..
Crasssh!

Aku tertegun dengan apa yang terjadi di hadapanku.

Sesuatu melintas dihadapanku begitu saja. Tanpa kumengerti, sosok setan itu tiba-tiba terbelah menjadi dua begitu saja sebelum cakar itu menyentuh tubuhku.

Tepat saat tubuh setan itu menguap seperti asap hitam, samar-samar terlihat seorang pria dengan sebuah keris di genggamanya berada di belakangnya.

Jelas ini perbuatanya.. Kami selamat.

“Nyali yang bagus, sepertinya setelah ini kita harus berkenalan..” terdengar suara seorang pria dengan wujud yang mungkin sedikit lebih tua dari Paklek.

Belum sempat aku mengetahui siapa sosok, ia sudah melesat menuju satu arah. Pertarungan Paklek.

Kini aku mengajak anak perempuan itu berlari menghampiri mereka. Tanpa korek pusaka itu, tidak ada tempat yang lebih aman selain di dekat Paklek.

Pertarungan sengit masih terjadi diantara Ki Janggrang dengan Paklek.

Api dan bayangan hitam saling beradu dengan ilmu bela diri tingkat tinggi.

Ki Janggrang mengangkat kuda lumping di tanganya. Ia mengalirkan kekuatan hitam dari tubuhnya dan melemparkan kuda lumping itu ke udara.

Duarr!!!

Paklek terpental dengan sosok yang mendarat di tanah.

Kuda lumping itu berubah menjadi sosok makhluk berwujud manusia besar berwajah kuda yang buas. Ia menggeram mengamuk dan bersiap melumat kepala Paklek dengan mulutnya yang besar.

Namun ia terhenti…

Sebuah keris menancap di kepala makhluk itu dan membuatnya jatuh tak berdaya.

“Lama sekali…” sambut Paklek.
Sosok pria itu mendarat dan mencabut keris itu dari sosok makhluk berwajah kuda itu.

“Minta tolong tapi nggak ngasi tahu tempatnya itu siapa yang pinter?” ucap pria itu.

Pria itu melayang.. Setan? Atau manusia? wujudnya seperti pria pada umumnya.

Tapi ia melayang??

“Ilmu ragasukma? Melawanku dengan wujud roh? Benar-benar bodoh!” Ucap Ki Janggrang yang geram dengan sosok itu.

Suara gending pengiring berubah dan semakin meriah. Asap hitam keluar menggila seolah ingin menggantikan kabut di sekitar kami.

Perasaan takutku semakin menjadi-jadi.

Semua asap hitam yang keluar dari tubuh Ki Janggrang memanggil setan-setan yang sedari tadi menari-nari mengikuti irama gending dan mengejar kami.

Ini Gila… Paklek dan pria itu kini berhadapan dengan Ki Janggrang, setan berwajah kuda, dan puluhan setan yang mengepung mereka.

Aku menelan ludah tak mampu memikirkan bagaimana cara mereka bisa keluar dari situasi itu.

“Kowe ta takut to ,Mo?” (Kamu nggak takut to, Mo?) Tanya pria itu pada Paklek.

“Mas Bisma ki piye to? Dewean wae tak ladeni, opo meneh ono mas Bisma,” jawabnya.

Bisma? Pria itu bernama Bisma? Apa dia adalah Pakde? Kakak dari Paklek yang pernah diceritakan oleh Bulek?

Pakde Bisma meletakkan kerisnya di hadapan wajahnya. Ia membacakan sebuah lantunan ayat-ayat suci yang mengalun bagai puisi yang menenangkan jiwa. Bersama dengan itu, angin mulai berhembus dengan kencang mengelilingi tempat ini.

Dalam sekejap, seluruh setan itu terhantam oleh angin sejuk yang menyayat-nyayat tubuh mereka. Satu persatu dari mereka tumbang.

Paklek tidak mau kalah, ia membacakan sebuah ajian di telapak tanganya.

Beberapa gerakanya seperti menangkap angin, namun dalam sekejap angin yang berhembus berubah menjadi badai api yang membakar setan-setan itu.

Dalam sekejap setan-setan itu musnah… Aku berdiri bersemangat melihat kejadian itu dan menatap semakin dekat ke arah mereka.

“Paklek? Apa itu?? Kerenn!!” Teriakku.
Iapun menoleh ke arahku dan tertawa bangga.

“Ajian Gambuh Rumekso Mas Bisma, dan Tapak Geni Paklek… Mungkin namanya Ajian Gambuh Mekso Geni! Keren kan!” Ucap Paklek.

“Ajian mekso geni? Nggak jadi Paklek.. nggak jadi keren,” Balasku yang segera berpaling dan kembali menjauh.

“Asseeemmm kowe Jul!” Teriak Paklek.

“Tapi nek jenenge kuwi yo aku setuju, ora sido keren,” (Tapi kalau namanya itu aku ya aku setuju, nggak jadi keren) ucap Pakde Bisma yang setuju dengan pendapatku.

“Tuh kan!” Teriakku.
Sontak sandal jepit yang sudah hampir putus melayang ke arahku.

Plakk!!

“Penonton rasah rewel!” Teriak Paklek.
Aku baru sadar, ajian tadi menghapus kabut di desa ini. Perlahan satu persatu warga desapun mulai tersadar. Akupun berinisiatif mengarahkan mereka untuk menjauh.

“Cepat pergi sejauh mungkin sebelum setan-setan itu menyerang lagi,” teriakku.

“Terus mereka? Mereka berdua yang menghadapi setan itu siapa?” tanya seorang warga desa.

Seorang warga desa menatap seolah mengenali mereka. Saat mengetahui tentang Paklek, iapun semakin yakin untuk mengevakuasi warga.

“Cepat pergi! Tidak usah khawatir! Itu mereka..

Ternyata mereka benar-benar sehebat yang dibicarakan! Duo Pendekar Sambara!” Ucapnya semangat

“Itu benar mereka?”

“Tidak salah lagi!”

Aku ternganga melihat orang-orang itu begitu menyanjung Paklek dan Pakde.

“Terima kasih sudah menolong anak saya,” Aku terkaget melihat seorang bapak yang menjemput anak perempuan itu.

“I—iya pak, Paklek yang nolongin dia pas kesurupan tadi,” jelasku.

Anak itu berjalan ke arahku dan mencopot sarung yang kulilitkan ke tubuhnya.

“Kalo nggak ada masnya, aku pasti juga nggak selamat. Terima kasih,” ucapnya sembari mengembalikan sarungku.

Aku tersenyum melihat senyumanya sudah kembali.

“Ayo, kita cari tempat aman.” Ajak ayah dari anak itu.

Aku menggeleng..

“Silahkan duluan pak, saya harus di sini. Saya bagian dari pertarungan ini,” ucapku sembari menggenggam korek pusaka milik Paklek.

“Baik kalau begitu, saya doakan keselamatan kalian” pamit bapak itu.

“Terima kasih, pak..”

Warga desapun berangsur-angsur pergi meninggalkan tempat itu. Kini di lapangan hanya tersisa Paklek dan Pakde Bisma bersama Ki Janggrang dan kelompok pemainanya.

Beberapa pemain kuda lumping kembali memasuki lapangan.

Kini wajah mereka geram menatap Paklek. Seluruh pemain karawitan pun meninggalkan alat musiknya dan menghampiri Ki Janggrang.

Aneh.. tanpa adanya pemain, suara musik itu terus terdengar mengalun dengan mengerikan.

“Apa maksud kalian mengganggu ritual kami?” Teriak salah satu dari pemain karawitan yang kini berhadapan dengan Paklek.

“Mengganggu? Kau pikir kami akan diam melihat kau membantai warga desa,” teriak Pakde Bisma.

“Kami tidak punya pilihan! Mereka yang mati, atau kami yang mati!” ucapnya.

“Kalian!” jawab Pakde Bisma singkat.
Ki Janggran dan kelompoknya semakin kesal mendengar jawaban Pakde Bisma.

“Kalian pikir setelah menyekutukan Tuhan kalian bisa selamat dari api neraka? Memperpanjang nyawa kalian dengan tumbal hanya akan menambah dosa dan siksaan kalian di neraka,” teriak Paklek.

Ki Janggrang terlihat tidak senang dengan ucapan Paklek.

Sepertinya diantara kelompok Jaran Gupolo hanya Ki Janggrang yang benar-benar setan di tubuh manusia. Sisanya, mereka adalah penyembah Ki Janggrang atau mungkin sosok yang lebih hitam darinya.

“Jangan dengarkan mereka, atau kalian akan mati seperti pendahulu kalian,” ucap Ki Janggrang.

Ucapan itu membuat seluruh pemain Jaran Gupolo ketakutan. Saat itu juga Ki Janggar menyelimutinya dengan kabut hitam.

Setiap pemain memegang anyaman bambu berwujud kuda lumping yang ia angkat di hadapan wajahnya sembari berlutut.
Asap hitam itu merasuki tubuh mereka dan dalam waktu singkat kuda lumping itu menyatu menembus tubuh para pemain dan merubah tubuh mereka menjadi sosok yang mengerikan.

Manusia-manusia berubah dengan bulu yang memenuhi kepala, leher, dan seluruh bagian tubuh belakang mereka. Kulitnya menghitam dan kuda lumping itu menyatu menembus dari punggung hingga perut mereka.

Jelas itu wujud menjijikkan..

“Mereka sudah jadi setan sepenuhnya semenjak mereka menjalin perjanjian dengan Ki Janggrang,” Ucap Paklek.
Pakdepun mengangguk setuju..

Mereka menari dengan begitu mengerikan. Alunan musik yang sendu, gerakan yang misterius , dengan tubuh yang menyatu dengan kuda lumping mereka.

Aku merasakan bahaya yang besar datang mendekat. Paklekpun sudah menyelimuti tangannya dengan api, sementara Pakde sudah siap dengan kerisnya.

“Hati-hati bimo, itu tarian pemanggil!” Peringat Pakde Bisma.

Paklek melihat ke seluruh sudut desa sembari menelan ludah.

Akupun melihatnya. Berbagai macam makhluk yang hanya ku dengar di cerita dan mitos desa berkumpul di sekitar kami.

Bola api banaspati melayang-layang mendekat. Pocong-pocong memenuhi seluruh atap-atap desa. Demit-demit alas berkumpul memenuhi tempat itu.

“Ajian Gambuh rumekso sekali lagi?” Ajak Paklek. Namun Paklek Bisma menggeleng.

“Tidak, mereka bukan anak buah setan itu. Mereka akan terus berdatangan selama tarian itu dimainkan,” Jelas Pakde Bisma.

Merasa Paklek dan Pakde sebagai ancaman, setan-setan itupun mengincar mereka. Sosok banaspatipun melayang mendekat ke arah Paklek, namun dengan sigap Paklek melemparkan satu api di telapak tanganya dan menubrukkanya di udara sehingga sebuah ledakan besar menggelegar di tanah itu.

Tetesan liur jatuh di bahu Pakde Bisma, tanpa mereka sadari, sosok pocong-pocong itu melayang memenuhi langit menatap kearah Paklek dan Pakde.

Ini gawat…

Berkali kali Paklek dan Pakde menghadapi setan-setan itu mereka terus berdatangan tak ada habisnya.

Ki Janggrang tertawa menatap kejadian itu dan menontonya dengan puas.

“Kalian lebih pantas mati sebagai santapan setan-setan itu,” ucap Ki Janggrang.
Luka di tubuh Paklek semakin bertambah.

Makhluk-makhluk kerdil mengincar Paklek tanpa mereka sadari.

Biar bagaimanapun mereka menghadapi setan-setan itu, semua makhluk itu semakin bertambah dan berkumpul memenuhi desa ini.

Namun aku tersadar ada beberapa sosok roh yang tidak menyerang mereka. Roh itu terlihat tidak asing untukku.

Roh tiga sosok anak kecil yang hanya bergeming menyaksikan kejadian itu. Itu roh Muhrin, Suti, dan sosok menyerupai Widi.

Ditengah kebingunganku, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang yang mendekat.

“Widi Jangan!! Bahaya!” Teriak Bu sunar.

Aku menoleh ke belakang dan mendapati Widi sedang berusaha berjalan mendekat ke tempat ini walau terus dilarang oleh ibunya. Ia meraba jalan dengan tongkatnya sembari membawa beberapa benda yang terikat di punggungnya.

Dengan segera aku berlari dan menghampirinya.

“Widi! Jangan kesini! Bahaya!!” ucapku.

“Aku tahu Cahyo, aku lihat semua.. Aku lihat dari mata setan itu,” Ucap Widhi.

“Maksud kamu?”

“Aku pernah cerita kan bahwa penglihatanku diambil oleh setan yang menyerupai rupaku.

Dia ada di sini, dia menyaksian semua yang terjadi di balik kabut,” jelas Widi.

Benar ucapan Widi, walau aku baru menyadarinya. Sosok setan yang ia maksud memang ada di sini. Tapi apa maksudnya?

Widhi mencopot benda yang terikat di punggungnya.

Itu adalah kuda lumping dan cepeti yang kami temukan di belakang rumah saat Paklek menarik buhul di rumah itu.

“Apa ini?” tanyaku bingung.
Widi menyerahkanya padaku dan melangkah maju mendekat ke pertarungan itu.

Bukan…

Ia melangkah ke tiga roh yang menonton pertarungan itu.

“Kita lakukan, Cahyo!” ucap Widi.

“Lakukan?”

Widi mengangguk, sementara itu ketiga roh anak itu menyadari keberadaan Widi.

“Kita lakukan bersama mereka, Hanya ritual itu yang bisa menarik perhatian dan menghabuskan pengaruh tarian Jaran Gupolo pada setan-setan yang menyerang Paklek itu..” jelas Widi.

Roh Muhrin, Suti, dan sosok menyerupai Widi mendekat menghampiri Widi.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Widi menatap mataku dan Ibunya. Ia menatap ke seluruh sisi desa dan memperhatikanya.

“Penglihatanku kembali..” ucap Widi.

Aku dan Bu Sunar heran. Kumainkan mataku di depan matanya dan ia merespon. Air mata bu sunar menetes melihat kejadian itu.

Sosok yang menyerupai Widipun seketika berubah. Ia tidak lagi menyerupai Widi dan berubah menjadi anak laki-laki yang lebih tinggi dari Widi.

Aku mendekat dan meletakkan kedua tanganku di pipi Widi dan memeriksa matanya.

“Bagaimana bisa?” Aku Bingung.

“Ternyata benar, penglihatanku diambil demi saat ini..” Ucap Widi.

“Maksudmu apa?”

“Mereka mengambil penglihatanku agar aku terus melihat ritual itu, sampai aku menghafalnya dan tidak bisa melupakanya.

Dengan ritual itu, kita bisa menghentikan setan-setan itu..” ucap Widi.

“Jangan bilang??” Aku bersiap dengan sebuah kuda lumping di tangan kiriku dan cemeti di tangan kananku, begitu juga dengan Widi.

Ketiga sosok roh itu sudah siap dengan hal serupa.
“Benar, Kita pentaskan untuk mereka. Ritual Turonggo Mayit..”

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close