Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TURONGGO MAYIT (Part 4 END) - Punden Keramat

Ada maksud dari hilangnya penglihatan Widi sejak kecil, penglihatanya 'dipinjam' agar ia terus melihat prosesi Turonggo Mayit yang kelak akan menyelamatkan banyak nyawa...


Pantai Utara, 1992

Deru ombak saling bersautan menentang langit malam yang dterangi cahaya rembulan. Suara gong berbunyi bersahutan dengan denting dari saron dan bonang.

“Opo mesti ngene to Mid? Uademm pol!" (Apa harus begini sih Mid? Dingin banget!)

Tanya Abdul yang sembari duduk bersila disalah satu batu karang.

“Ho’oh Dul, iki jenenge lelaku ben iso mendem koyok liyane" (Iya Dul, ini namanya lelaku biar bisa kerasukan seperti yang lainnya) Balas Hamid.

Nampan sesaji yang sudah dipenuhi dengan ubo rampe sudah tersedia di hadapan mereka masing-masing.

Anyaman kuda lumping berada di tak jauh dari sekumpulan orang-orang yang melakukan lelaku itu.

Para sesepuh menunggu memantau dari bibir pantai, sementara anggota baru bersemedi di batu- batu karang yang tak hentinya diterpa oleh ombak pantai utara.

"Kosongkan pikiran kalian! ikuti irama gending yang mengalun. Ki Janggrang akan menemui kalian...”

Teriak salah seorang anggota sanggar yang lebih senior yang memantau mereka dari bibir pantai. Angin dingin berhembus menerpa tubuh.

Rasa keraguan hampir menyelimuti pikiran mereka yang melakukan ritual.

Namun, alunan gending yang bersahutan dengan suara ombak seolah merenggut kesadaran mereka perlahan demi perlahan.

“Duuooooongggg!"

Tepat saat malam mencapai puncaknya, suara gong terdengar dengan keras dan alat musik yang lain tak lagi terdengar.

"Dia datang...”

Para sesepuh dan anggota padepokan mengambil posisi berlutut dengan tangan menangkup di hadapan dahinya.

Seketika ombak laut utara tak lagi berderu. Pantai yang tidak pernah sepi itu kini hening tanpa suara ombak atau bahkan riak air.

Asap hitam mengepul diatas laut yang tenang. Perlahan wujudnya berubah berwujud kakek dengan tinggi lebih dari dua meter.

Ia berjalan di atas lautan menghampiri Hamid dan merasukinya.

Di tengah keheningan itu tiba-tiba Hamid menari dengan kuda lumpingnya dengan raut wajah yang aneh. Sayup-sayup terdengar suara alunan gending, namun bukan dari pemain musik. Suara itu menggema dari bawah laut.

Hamid menari kesetanan di atas karang mengikuti alunan yang menggema dari bawah laut. Baru beberapa saat, Hamid terjatuh terkulai di tempatnya semula.

Tak lama setelah itu, murid lain di batu karang lainnya tiba-tiba menari seperti Hamid, namun sama saja, tarian itu tidak lama dan berganti ke murid lain.
Sampai tiba giliran Abdul yang dirasuki oleh sosok Ki Janggrang.

Ia menari sejenak, namun ia tidak jatuh terkulai seperti yang lain. Tidak ada lagi yang menari setelahnya. Abdul hanya berdiri dengan raut wajah yang berbeda. Ki Janggrang masih berdiam di tubuhnya.

"Aku njaluk bocah iki..” (Aku minta anak ini...)

Ki Janggrang berkata melalui tubuh Abdul. Hamid yang tengah mengatur nafasnya kaget mendengar kata-kata itu, sementara para sesepuh berdiri berjajar di pinggir pantai dan kembali bersimpuh.

"Monggo Ki Janggrang, putranipun kangungane Ki Janggrang..”

(Silahkan Ki Janggrang, anak laki-laki itu milik Ki Janggrang)

Balas salah satu sesepuh sanggar.
Hamid tertegun mendengar kata-kata itu namun ia masih belum menyangka apa yang akan terjadi setelahnya.

Abdul yang tengah dirasuki Ki Janggrang pun tersenyum.

"Padepokan Jaran Gupolo, Tumbalmu kuterima. Restu punden keramat milik kalian.” Ucap Ki Janggrang melalui tubuh Abdul.

"Matur sembah nuwun Ki Janggrang..” balas para sesepuh.

Setelahnya Abdul menjatuhkan dirinya ke laut. Hamidpun panik.

"Mas? Mbah? Abdul??” Teriak Hamid bingung.

"Jangan dikejar, dia sudah diterima oleh Ki Janggrang,” Perintah salah seorang sesepuh Padepokan Jaran Gupolo dari pinggir pantai.

Hamid yang lebih khawatir dengan keadaan temannya itu tidak mempedulikan ucapan sesepuh itu dan memilih untuk mengejar Abdul dengan masuk ke laut.

Di dalam air ia melihat Hamid yang berusaha naik kembali ke permukaan, namun tubuhnya terus ditarik oleh satu sosok.

Awalnya Hamid melihat sosok itu adalah kakek setinggi dua meter. Namun saat semakin masuk ke dalam air, Kakek itu berubah menjadi seekor kuda bertubuh hitam dengan sebagian wajahnya yang sudah berwujud tengkorak hitam.

Sekuat tenaga Hamid mengejarnya, namun ombak kembali muncul dan menyeretnya ke pinggir pantai hingga tak sadarkan diri.

Hamid tersadar pagi harinya. Ia terbaring begitu saja dengan pertolongan seadanya.

Namun tepat saat ia menghampiri kelompoknya, ia sudah dinanti oleh sesepuh mereka.

"Bocah guoblok! Kalau sampai Ki Janggrang mengetahui perbuatan lancangmu, kita semua bisa celaka!” Teriak Ki Panjah sesepuh dari kelompok Jaran Gupolo.

“Ta—tapi? Abdul Ki! Abdul mati!” Hamid masih menentang kejadian semalam.

“ Itu sebanding dengan apa yang kita dapatkan! Kau juga akan menikmatinya nanti!” Bentak Ki Panjah.

Hamid masih tidak terima, ia meminta seluruh anggota mencari Abdul, namun mereka diam.

Hamidpun diancam untuk tutup mulut atau ia dan anggota keluarganya akan celaka.

Hamid yang tak memiliki pilihanpun akhirnya pergi. Niatnya bersama Abdul untuk mempelajari kesenian yang ia kagumi itupun pupus dan berakhir dengan kematian sahabatnya.

Keluarga Abdulpun terperanjat saat mengetahui kematian Abdul. Seluruh anggota Padepokan Jaran Gupolo yang datang ke rumah Abdul bertingkah seolah apa yang terjadi pada Abdul adalah sebuah kecelakaan.

Wajah mereka begitu sedih, dan Hamid yang mengetahui kenyataanya semakin Jijik melihat hal itu.

Hamid yang sudah benci dengan kesenian kuda lumping pun menjauh dari apapun yang berbau dengan hal itu. la benar-benar tidak ingin hal itu mengingatkanya akan sabahatnya Abdul.

Sampai saat ia dan keluarganya pindah ke Jawa tengah, sesuatu merubah pemikiran Hamid. Ada sebuah pertunjukkan kuda lumping yang tanpa sengaja Hamid tonton di alun-alun.

Hamid melihat penampilah kuda lumping itu dan terpukau.

Ia kembali teringat kesenangannya bersama Abdul saat memainkan tarian itu.

Ki Sapta namanya...
Kelompok pemain kuda lumping yang dinamai seperti nama pemimpinya.

lapun memutuskan untuk mengikuti Ki Sapta dan belajar darinya.

Permainan Hamid bersama kelompok Ki Sapta membuatnya kembali merasakan keagungan permainan yang menggambarkan perjuangan seorang prajurit dalam peperangan itu.

Belum lagi perasaan mistis yang ia alami di kelompok ki sapta jauh membawanya ke kedamaian dibanding sebelumnya di Padepokan Jaran Gupolo.

Sampai suatu ketika Hamid didatangi oleh salah satu temanya yang masih menjadi anggota di padepokan Jaran Gupolo, Tasbir.

Ia melarikan diri karena sadar bahwa berikutnya ia akan ditumbalkan untuk Ki Janggrang. Tasbir juga memberi tahu bahwa Padepokan Jaran Gupolo sudah semakin kelewatan.

Permainan Kuda Lumping mereka hanya sebagai penghubung antara mereka dengan sosok-sosok ghaib yang mereka manfaatkan.

"Setelah menonton penampilan mereka, kepala desa jadi gila. Anaknya menjadi istri ketiga Ki Panjah.

Anggota lain juga mulai kenal yang namanya santet dan ilmu-ilmu hitam,” jelas Tasbir.

Hamid mendengar ucapan itu dengan geram. Namun ia sadar bahwa ia bukanlah siapa-siapa, tidak ada yang bisa ia lakukan atas Padepokan Jaran Gupolo.

"Kalau kata eyangku, mereka mengabdi kepada sosok punden keramat. Merekalah yang merasuki para pemain saat pementasan. Setiap sosok memiliki ilmunya sendiri mulai dari memberi kekayaan, mengirim santet, pemikat, hingga kekuatan.

Tapi eyangku juga bilang, suatu saat sosok itu akan menuntut bayaran, dan itu artinya adalah sebuah bencana. Bukan hanya untuk Padepokan Jaran Gupolo. Tapi juga banyak orang-orang yang tidak bersalah yang akan menjadi tumbal mereka.

Kita yang pernah melakukan lelaku sudah pasti jadi bagian dari bencana itu,” Cerita Tasbir. Hamid menelan ludah saat mengetahui kenyataan itu. ia sadar bahwa ia dan kedua orangtuanya sudah dalam pengawasan ilmu dari Padepokan Jaran Gupolo.

Saat bencana itu terjadi, keluarganya juga dalam bahaya.

Kisah itu sering membuat Hamid termenung. Ki Sapta sering menanyakan tentang kegelisahan Hamid anak didiknya itu, tapi Hamid tidak ingin melibatkan Ki Sapta. Awalnya ia hanya pasrah menunggu apa yang akan terjadi.

Sampai saat ia tengah berlatih bersama Ki Sapta, ia melihat hal aneh di belakang rumah Ki Sapta. Sebuah pementasan kuda lumping..

Bukan pementasan biasa, pementasan itu dimainkan dan ditonton oleh makhluk-makhluk tak kasat mata penunggu hutan itu.

Mengerikan, tapi sekaligus mengesankan... Permainan sederhana, dengan kekuatan ghaib yang terlihat terus mengalir. Tak heran seluruh makhluk penunggu hutan itu menyaksikan pemandangan itu.

Tapi salah satu pemain menyadari keberadaan Hamid.

Iapun mendekat dan membuat Hamid ketakutan. Namun, setan pemain itu tidak menyakitinya. Ia sadar dengan sosok yang telah tertanam di tubuh Hamid. Dan sosok pemain itu mengusirnya.

Sosok berwujud kuda diselimuti asap hitam meninggalkan tubuh Hamid.

Samar-samar ia ingat bahwa mungkin saja sosok itu masuk saat ia tengah melakukan lelaku di atas batu karang di pantai.

Pemain itu tidak segera meninggalkan Hamid. Ia menyadari takdir Hamid dan menunjukkan sesuatu.

Sebuah penglihatan..

Hamid melihat sebuah desa yang hampir seluruh penduduknya mati oleh pementasan tumbal Kelompok Jaran Gupolo, ia juga melihat orang tua dan saudara-saudaranya mati menyusul kejadian itu sebagai tumbal.

Namun ia melihat ada satu cara untuk melawan pementasan tumbal itu.

Sebuah pementasan yang bisa menarik perhatian setan dari manapun hingga bahkan memanggil sosok "Punden keramat” yang sebenarnya. Turonggo Mayit...

Sayangnya pementasan itu hanya dapat disaksikan di tempatnya saat ini, di alam ghaib.

Saat ia keluar ia tidak akan dapat kembali ke alam ini dan tidak ada yang bisa mempelajari tarian Turonggo Mayit. Mengingat akan keluarga dan orang-orang terdekatnya, akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di alam itu.

Setelah lama berada di alam itu, Hamid sadar. Yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar pementasan itu diketahui oleh Ki Sapta atau siapapun yang bisa menghentikan Kelompok Jaran Gupolo sementara ia tidak lagi bisa kembali dari alam itu seenaknya.

"Bapak! Kapan mau ngajarin aku kuda lumping lagi?”

Dari balik kabut terdengar suara anak kecil yang rewel kepada Ki Sapta.

Dia adalah Widi, anak semata wayang Ki Sapta. "Ya ayo ke halaman belakang, dibawa kuda lumpingnya,” ucap Ki Sapta.

Terlihat dimata Hamid pemandangan Ki Sapta yang tengah bermain dengan Widi. Sosok yang memberi penglihatan pada Hamid mendekatinya. la menyarankan sebuah cara agar Turonggo Mayit bisa muncul di alam manusia.

"Kau pinjam penglihatan anak itu, ayahnya akan mempelajari gerakan Turonggo mayit darinya..” ucap sosok itu.

"Tapi, anak itu akan kehilangan penglihatanya..” tolak Hamid.

"Penglihatanya akan kembali setelah bencana itu selesai. la hanya perlu menyaksikan pementasan kita setiap purnama merah menerangi desa..” tawar sosok itu lagi.

Hamid ragu, namun hal ini harus dilakukan demi menyelamatkan banyak orang.

"Maafkan aku Widi. Semoga saja kau menyadari bahwa pada saatnya, pengorbananmu akan menyelamatkan banyak nyawa..” ucap Hamid.

Secara tiba-tiba, Widi terjatuh dari permainanya. la tidak sadarkan diri selama satu malam.

Ki Sapta dan Bu Sunar panik saat suhu badan Widi semakin tinggi. la dibawa ke pengobatan di desa, sayangnya Widi tersadar dengan mata yang tak lagi dapat melihat.
Ki Sapta sedih hingga menyalahkan dirinya sendiri, namu Bu Sunar berusaha menghiburnya.

Walaupun sedih setengah mati, Widipun tidak menyalahkan ayahnya. Ki Sapta berjanji akan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Widi.

Bertahun-tahun Widi menyaksikan penglihatan tentang pementasan turonggo mayit.

la menceritakan kepada ayahnya dan sesekali menunjukkan gerakan itu pada ayahnya. Gerakan itu membuat Ki Sapta terpukau dan sedikit-sedikit mulai mengingatnya.

Hamid merasa lega saat mengetahui tujuanya hampir tercapai. Sampai suatu ketika, terjadi sebuah tragedi.

Kelompok kuda lumping Ki Sapta ditanggap di sebuah hajatan di salah satu desa di Pantai utara. Ia berseteru dengan Kelompok Jaran Gupolo yang menguasai desa itu.

Merasa terhina, kelompok Jaran Gupolo mengirimkan setan-setan santet untuk merasuki pemain kelompok Ki Sapta saat tengah melakukan pementasan.

Tepat saat prosesi ‘mendem’ dimana seharusnya para pemain kerasukan sebagai sebuah pertunjukan,-

mereka malah dirasuki setan-setan kiriman kelompok Jaran Gupolo. Sebuah santet yang mereka namakan dengan nama santet Kembang Mendem.

Merekapun mengamuk dan menggila di sana...

Ki Sapta mengamuk sejadi-jadinya bersama beberapa kawannya.

Pawang yang seharusnya menenangkan merekapun tidak berkutik.
Warga berhamburan ketakutan, sementara beberapa anggota keluarga pemilik hajatan juga mengalami kesurupan. Sebagian warga kesetanan dan melakukan hal yang diluar wajar.

Mereka bahkan mulai memakan tanah hingga melompat dari tiang panggung menyakiti dirinya sendiri.

Perlahan Ki Sapta mulai mendapatkan kesadaranya. Ia memikirkan bagaimana cara untuk menghentikan bencana itu,-

dan akhirnya ia teringat dengan tarian ritual turonggo mayit yang bisa mengundang setan setan itu mengarah padanya.

Seorang diri Ki Sapta menarikan tarian itu bersama gending ghaib yang mengiringinya.

Satu persatu setan itu meninggalkan tubuh warga dan pemain yang kesurupan dan menyaksikan tarian Ki Sapta. Ia merasa lega saat mengetahui apa yang ia lakukan berhasil.

Bahkan ikatan demit-demit santet itu pada kelompok Jaran Gupolo pun terlepas.

Sayangnya hal itu membuat Ki Panjah Geram. Seorang penasehat padepokan menyarankan agar Ki Panjah meminta Ki Janggrang turun langsung untuk membalas dendam atas hinaan itu.

Iapun setuju meminta Ki Janggrang sendiri yang turun tangan menghadapi Ki Sapta.

Ki Janggrang meminta bayaran seratus kepala dan disanggupi oleh Ki Panjah.

Dengan membawa bala pasukanya, Ki Janggrang menyerbu tubuh Ki Sapta dan merasukinya. Ki Sapta segera menyadari akan perlawanan itu, namun tidak ada lagi yang bisa ia perbuat.

Setan-setan itu merasuki dirinya hingga tubuhnya tak lagi menahan serangan itu.

Saat tubuhnya tak lagi mampu menahan sosok Ki Janggrang dan pengikutnya di tubuhnya, Ayah Widi berdiri kaku dengan mata yang memutih dan memuntahkan darah.

Ayah Widi menari menggila seperti hewan buas yang sedang mabuk. Ia terjatuh, berdiri lagi, dan sesekali melompat membanting dirinya.

Hampir di setiap gerakan, darah merah bermuncratan dari mulutnya.

Semua itu terjadi dalam sebuah tarian yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh siapapun yang menontonya.

Pada akhirnya, Ayah Widipun menghembuskan nafas terakhirnya di pementasan itu.

Gending ghaib masih mengalun, namun tak ada seorangpun yang menari.

Seorang penari yang tersisa hanya berdiri terpaku dengan kuda lumping yang terjatuh dari tanganya. la hanya mati, bukan kalah...

Ki Panjah merasa senang denan kematian Ki Sapta.

Namun ia lupa, setan-setan santet yang biasa ia gunakan sebagai pencari tumbal sudah tak lagi terikat denganya.

Pada malam yang dijanjikan, Ki Janggrah meminta bayaran atas perjanjian mereka dan Ki Panjah tidak bisa memberikan bayaran itu.

Saat ditemukan, di Padepokan Jaran Gupolo didapati jasad lima orang anggota utama kelompok itu. Mereka mati bergelimpangan di salah satu ruangan masih dengan sesaji dan tungku kemenyan di tengah-tengah mereka.

Mereka yang terikat dengan perjanjian ghaib tidak akan bisa mati dengan tenang. Roh-rohnya bergentayangan menyesatkan anggota lainya dan membalas dendam. Mereka mengincar kelompok pemain ki sapta hingga ke seluruh keluarganya.

Beberapa dari kelompok Ki Sapta menjadi korban setan-setan yang kini menjadi budak Ki Janggrang itu. namun beberapa berhasil selamat dengan berbagai macam bantuan.

Walau begitu, Ki Janggrang masih menagih bayaran atas tumbal yang dijanjikan Ki Panjah.

Kelompok Ki Jaran Gupolopun kembali membuat perjanjian bahwa mereka akan dibiarkan hidup bila mereka mencarikan tumbal pengganti. Namun tidak hanya seratus kepala.

Melainkan seratus kepala setiap seribu hari...

Kutukan seratus kepala itupun membuat Kelompok Jaran Gupolo menjalani lelaku ilmu hitam. berhubungan dengan setan-setan yang berasal dari anggota kelompok mereka yang mati, dan dilindungi oleh punden keramat yang memperbudak mereka.

Dan kini pementasan itu sudah dimulai.

Ki Janggrang turun tangan sendiri untuk mendapatkan tumbalnya di desa Ki Sapta tempat Widi tinggal.

Sayangnya ia tidak menduga bahwa akan ada yang menghalangi mereka.

Dua manusia yang ditakdirkan untuk berhadapan dengan makhluk dari alam lain yang bertentangan dengan Jalan Sang Pencipta.

Dua pendekar Sambara . . . (dan Cahyo)

***

Sudut pandang Cahyo

Desa Widi,
Aku tak menyangka akan melihat pemandangan seperti ini. Sekelompok manusia yang sudah berubah menjadi siluman menari dengan iringan gending ghaib di tengah desa.

Tubuhnya menyatu dengan kuda lumping yang sebelumnya ia mainkan, sementara sebuah cemeti tergenggam di tanganya.

Namun bukan itu saja yang membuatku bergidik ngeri. Tarian itu memanggil setan-setan di sekitar desa dan membuatnya berkumpul di tempat itu.

Paklek dan Pakde Bisma setengah mati menahan serangan-serangan setan yang sudah terpengaruh oleh pertunjukkan itu.

"Apa ini akan berhasil?” Tanyaku Pada Widi yang telah mendapatkan penglihatanya kembali.

"Seharusnya iya, semua seolah sudah dipersiapkan untuk malam ini,” ucap Widi pada sosok yang sebelumnya mengambil rupa Widi itu.

Widi berjalan mendekat kepada ketiga roh pemain kuda lumping yang sempat kutemui di hutan di belakang rumah Widi.

Mereka bertiga menoleh pada Widi seolah bersiap memberi petunjuk atas sesuatu yang harus kami lakukan.

Suara gending mulai terdengar dari jauh. Arahnya berasal dari hutan di belakang rumah Widi. Suara itu mengeras seolah menyeimbangkan dengan gending ghaib Jaran Gupolo.

Widi berdiri dengan mengapit kuda lumpingnya diantara kedua kakinya. Ia menggigit cemeti dan menganggat kedua tangan sembari menutup matanya.

Entah mengapa saat penglihatanya kembali, aku merasa Widi terlihat sangat bisa diandalkan.

Akupun mengambil posisi di sebelahnya dan membentuk gerakan yang sama.

“Tarian ini harus dimainkan oleh kita, mereka mengiringi hanya untuk menuntun kita,” jelas Widi.

“Siapa?”

"Nuri, Muhri, dan seorang yang mengambil wujudku.. Hamid.”

Entah darimana Widi bisa mengetahui itu semua, seolah saat penglihatanya kembali, ada ingatan yang menyatu dengan pikiran Widi.

"Sepertinya ia mengambil wujudmu untuk menyesuaikan dengan indra penglihatanmu ya?”

"Benar,”

Widi mulai sedikit menggerakan bahunya mengikuti alunan irama. Akupun menutup mata dan mulai menikmati denting saron dan bonang yang mulai merasuki alam bawah sadarku.

Ctarrr!!!

Tepat saat cemeti Widi menghantam tanah, kami memulai sebuah gerakan yang pernah kulihat di alam ghaib di belakang rumah Widi. Sekilas aku bertanya di dalam pikirku, apa yang membedakan tarian ini dengan tarian kuda lumping biasa?

Namun semua itu terjawab hanya dalam beberapa saat aku memainkanya.

Tubuhku terasa ringan..

Saat aku melompat, tubuhku terangkat begitu tinggi. Saat aku merunduk, dahiku bahkan menyentuh tanah. Aku dan Widi memperagakan sebuah pertarungan dalam sebuah peperangan.

Bila permainan kuda lumping menggambarkan perjuangan peperangan menghadapi penjajah, Turonggo mayit menggambarkan Pertarungan di alam ghaib.

Kesadaranku beralih, aku tidak lagi merasa sedang menari di tengah desa. Seketika semua inderaku merasakan keadaan di sebuah peperangan.

Peperangan yang mengerikan.
Ratusan Jin, Dedemit, dan siluman. mengepung sekumpulan manusia dari berbagai kerajaan. Sebuah medan perang yang mengerikan yang telah menyapu berbagai desa hingga luluh lantah.

Namun itu hanya permulaan, Tak hanya mereka. Prajurit kera dari hutan wanamarta turut campur dalam peperangan itu, Bangsa Raksasa dari atap langit turun bergabung menumpahkan darahnya.

Apa ini?

Aku menari memperagakan gerakan mulai dari yang mengerikan hingga mengesankan seolah aku merupakan bagian dari pertarungan ini.

"Ini wujud sebenarnya dari tarian Turonggo Mayit..” ucap Widi yang menyadari kebingunganku.

"Maksudmu?”

"Entah bagaimana ingatan ini muncul di pikiranku, mungkin saja ingatan Hamid selama ia mengambil penglihatanku ikut merasuk kepadaku.

Sekarang aku tahu dengan jelas bahwa tarian Turonggo Mayit adalah sebuah ritual yang memanggil ingatan dari kejadian itu,-

dan itulah yang disukai makhluk-makhluk ghaib di alam ini..” Jelas Widi.

"Kejadian apa? Perang ini?” Tanyaku.

Widi mengangguk..

“Perang dari segala ras dari berbagai alam di muka bumi ini.. Perang Kurusetra,”

Ctarrrr!!!

Aku tertegun mendengar ucapan Widi. Aku tidak pernah menyangka bahwa ada perang sebesar ini. Apakah perang itu nyata? Ataukah hanya sebuah ilusi? Aku tidak mengerti.

Suara cemeti itu mengembalikan inderaku kembali ke kenyataan.

Tanpa kuketahui, tiba-tiba ratusan makhluk tak kasat mata sudah berkumpul menyaksikan permainan kami berdua.

Tidak.. berlima. Ketiga roh itu juga ikut mengiringi permainan kami.

“Panjul! Itu apa?” Paklek yang khawatir kepadaku ingin bergegas menghampiriku, namun Pakde Bisma menahanya.

“Itu strategi mereka untuk menolong kita,” jelas pakde.

Sudah tidak ada lagi sosok ghaib yang mengelilingi mereka.

Ritual ini berhasil, kini mereka bisa menghabisi Ki Sapta dan para pengikut Padepokan Jaran Gupolo itu.

"Kini giliran kita menyelesaikan tugas kita,” ucap Pakde Bisma.

Paklek mengangguk.

Tanpa membuang waktu, Paklek dan Pakde Bisma menerjang Ki Janggrang dengan begitu cepat.

Keris Pakde Bisma beradu dengan cemeti Ki Janggrang sementara Paklek justru melesat melewatinya.

Dengan kepalan tangan yang sudah dikuasai oleh api. Paklek menyerang satu persatu anggora Jaran Gupolo yang sudah berubah menjadi siluman.

Seorang diri Paklek menghadapi berbagai pukulan dan serangan dari mereka, namun Paklek tidak kewalahan.
"Seni bela diri itu bukan hanya soal kekuatan,” ucap Paklek.
la menghindari satu persatu serangan siluman manusia kuda lumping itu hingga mereka terkumpul jadi satu dalam satu.

Dengan kobaran api yang sudah menyala dengan besar di tanganya. Ia membakar siluman itu dan membuat mereka meronta dengan api ghaib yang membakarnya.

Tarian yang sebelumnya mereka mainkan kini berganti dengan teriakan kesakitan dan rasa sakit yang membuat mereka meronta-ronta.

“Panasss!!! Hentikan!! Aku menyerahh!!” Teriak mereka, namun Paklek tidak peduli.

Sementara itu dari jauh Ki Janggrang berkali- kali memutar cemetinya, namun dengan wujud roh, Pakde Bisma dengan mudah bisa menghindarinya. Yang membuat aku penasaran,-

salah satu kepalan Pakde Bisma seolah diselimuti cahaya putih.

“Adikmu sudah hampir mati di tanganku? Kau masih berani menantangku sendirian?” ucap Ki Janggrang.

"Kau saja yang bodoh, kalau dia mau dia bisa menghabisimu dalam waktu singkat. Sayangnya dia terlalu baik hati,” Balas Pakde Bisma.
Sekali lagi sebuah cemeti bersiap menghantam tubuh Pakde Bisma, kali ini ia menangkisnya dengan keris di tanganya.
"Kau lengah..” ucap Ki Janggrang.

Sosok makhluk besar berwajah kuda tiba-tiba muncul dan hendak melumat Pakde Bisma dari belakang. Tidak mungkin ia menghindar dari posisi itu.

"Pakde awas!!!” Aku mencoba memperingatkanya, namun aku terlalu jauh darinya.

Entah pakde tidak menyadari keberadaan makhluk itu atau ia memang sengaja tidak menghindarinya. la memilih untuk terus menerjang ke arah Ki Janggrang untuk memperkecil jarak.

Gigi Besar makhluk berkepala kuda itu sudah bersiap menerkam kepala pakde,-

namun tiba-tiba sebuah batu yang diselimuti api melayang dan menghantam kepala kuda itu. "Matur nuwun, Mo!” teriak Pakde.

Itu adalah Paklek, pakde rupanya mengetahui bahwa Paklek yang akan menghentikan makhluk itu.

Tepat saat Pakde mendapatkan jaraknya, kini ia dengan leluasa menghantamkan sebuah pukulan ke tubuh Ki Janggrang. Sialnya, Ki Janggrang memiliki kesempatan untuk mundur menghindari pukulan itu.

Buuugggh!!!!

Ki Janggrang terpental..

Jelas-jelas aku tidak melihat pukulan itu mengenai Ki Janggrang, tapi Ki Janggrang terpental hingga terkapar begitu parah. Aku yakin cahaya yang menyelimuti kepalan tangan Pakdelah penyebabnya.

Saat itu, Paklek segera mendekat ke tubuh pemain yang dirasuki oleh Ki Janggrang dan membakarnya dengan amalan api untuk mengusirnya.

Asap hitam keluar dari tubuh manusia yang sudah tidak berdaya itu dan membentuk wujud kuda yang sangat besar.

Wajahnya berwujud setengah tengkorak dengan rambut yang menyerupai api hitam.

"Jadi ini wujud aslimu?” ucap Pakde Bisma. Ki Janggrang dalam wujud itu terlihat geram.

Sepertinya ia memang terluka begitu parah. Bahkan untuk berdiri dalam wujud aslinya saja ia kesulitan.

"Akan kubalas perbuatan kalian!” Teriak Ki Janggrang yang segera berpaling pergi dari hadapan mereka berdua.

Dengan sigap merekapun mengejarnya, dengan wujud roh dalam sekejap Pakde sudah menghadang di hadapan Ki Janggrang.

Pakde bersiap dengan kerisnya, sementara Paklek sudah mempersiapkan amalan api untuk memusnahkan makhluk kejam itu.

Ki Janggrang terlihat ketakutan, namun ia mengambil nafas dalam-dalam dan meneriakan suara seperti suara kuda yang mengerikan.

Tepat sebelum keris Pakde menghantam Ki Janggrang, sebuah benda jatuh dari langit.

Blarrr!!!!

Bukan benda, itu adalah makhluk. Dihadapan Paklek dan Pakde Bisma berdiri sosok makhluk bertubuh seperti manusia besar dengan kulit hitam legam.

Sebagian tubuhnya dilapisi sisik dengan wajah yang ditutupi bulu lebat.

"Ndoro, mereka mengganggalkan penumbalan untukmu ndoro,” Ki Janggrang mendekat ke makhluk itu. Wajahnya yang semula ketakutan kini berubah lebih tenang.

Pakde yang berada di dekat makhluk itupun melesat mendampingi Paklek. Mereka merasakan bahaya yang membuat mereka tercengang.

"Makhluk apa lagi itu?” Paklek tak mampu mengenali sosok mengerikan yang muncul di hadapan mereka.

"Dari bentuk perhiasan dan sisiknya, mungkin saja dia salah satu dari Punden penguasa di laut utara,” Tebak Pakde Bisma.

"Ada lagi selain Dewi Lanjar?”

"Banyak.. sangat banyak,”

Makhluk itu menatap ke sekeliling seolah mencoba membaca situasi saat itu. setelahnya matanya kembali terhenti ke arah Paklek dan Pakde Bisma.

"Masalahmu bukan pada mereka, tapi pada ritual itu!” ucap makhluk itu.

Makhluk itu menarik rambut Ki Janggrang dalam wujud kuda besar. la menungganginya dan segera memerintahkanya melesat ke arahku.

Tranggg!!!

Suara keris terdengar beradu dengan emas pelindung lengan makhluk itu. Sayangnya,-

dengan satu hempasan Pakde terpental hingga sulit mengendalikan tubuh rohnya.

Paklek yang terang-terangan menghadang mereka mengerahkan Ajian tapak Geni andalanya untuk membakar makhluk mengerikan itu. Namun dengan kekuatan makhluk itu,-

Kekuatan Ki Janggrang menjadi berlipat ganda dan mendepak Paklek dengan mudahnya.
Paklek mencoba berdiri, namun ia tertahan hingga memuntahkan darah dari tubuhnya.

“Bimo!” Pakde Bisma khawatir dan segera menghampirinya.

"Aku tak apa, anak-anak itu dalam bahaya!” Teriak Paklek yang khawatir dengan keadaan kami.

Sekumpulan makhluk halus yang tengah mengelilingi kami secara insting tiba-tiba membuka jalan untuk makhluk yang jauh lebih kuat dari mereka.

Aku dan Widi mulai panik ketika mereka mendekat, namun terlihat dari jauh Pakde dan Paklek sedang merencanakan sesuatu.

"Kalau kau bisa mempertahankan daya hidup rohku, mungkin aku bisa mengejar sekaligus melubangi tubuh makhluk itu,” Ucap Pakde Bisma.

Paklek mengeluarkan sebuah keris dari tas kainnya. la melihatnya dengan ragu, namun sepertinya ia tidak punya pilihan.

"Bisa...! Selamatkan anak-anak itu,” Jawab Paklek meyakinkan dirinya.

Sebuah keris dilepaskan dari sarungnya, baru kali ini aku melihat Paklek menggunakan pusaka miliknya itu. anehnya, bukannya menyerang,-

Paklek malah lemukai tangannya dan meneteskan darahnya di bilah keris itu.

Dalam sekejap keris itu memancarakan api putih yang Paklek teteskan ke tubuh Pakde Bisma hingga membakar rohnya.

"Pusakamu sudah sekuat ini?” tanya Pakde Bisma.

"Belum sempurna, tapi setidaknya bisa bertahan untuk beberapa saat,” jelas Paklek.

Giliran Pakde Bisma yang membacakan sebuah mantra dengan keris di hadapan wajahnya. Tepat saat mantranya selesai, roh Pakde Bisma melesat bagaikan anak panah tepat menuju Makhluk yang menunggangi Ki Janggrang itu.

"Jangan sentuh anak-anak itu!”

Pakde melesat dengan sebuah keris di tanganya, namun Makhluk itu menyadarinya dan menghindar. Pakde sudah memprediksi itu dan mengubah jalur lesatanya ke atas. Saat di atas, ia melemparkan keris di tanganya tepat ke arah kepala makhluk itu.

Sayangnya, tepat saat keris itu hampir mencapainya makhluk itu menghindar menginggalkan tubuh Ki Janggrang.

Keris Pakde Bismapun menerjang tubuh Ki Janggrang hingga menembusnya.

"Aarrgggh!! Ndoro! Tolong saya!!” Teriak Ki Janggrang yang kesakitan tak berdaya dengan serangan Pakde.

Namun Makhluk itu tidak peduli, ia lebih memilih menyerang Pakde Bisma hingga tubuh rohnya kembali terpelanting.

Kali ini Pakde Bisma hampir mencapai batasnya, tubuh rohnya tak lagi terlihat jelas namun ia masih berusaha untuk mengatur kekuatanya.

"Ndoro.. tolong ndoro! Saya bisa mati!” Ki Janggrang dengan wujud kuda yang gagah mengemis pada makhluk itu.

Wajah makhluk itu terlihat geram, bukannya menolong makhluk itu malah menginjak tubuh Ki Janggrang dan menarik kepalanya.

"Ampun!! Ampun Ndoro!!” Ki Janggrang mengerang kesakitan.

Sraaaak!!!!

Kepala Ki Janggrang terpisah dari tubuhnya. Makhluk itu melemparnya ke tengah kerumunan setan-setan alas dan membiarkan mereka memakan dan menghabisi tubuh Ki Janggrang.

"Tidak ada seorangpun boleh memerintah Raden Rowo Gurongko! Penguasa laut utarapun tak berani!” ucap sosok itu dengan sombongnya.

Raden Rowo Gurongko, jelas ia bukanlah setan-setan receh seperti yang ada disekitar kami.

Dia juga jauh lebih kuat dibanding setan terkutuk seperti Ki Janggrang. Lalu seberapa kuat dia? Apa mungkin ia sekuat penguasa laut? Bukit? Arrgggh... yang jelas saat ini kami dalam bahaya.

Paklek berusah berlari ke arahku, namun luka ditubuhnya membuatnya tak mampu mengejar Raden Rowo Gurongko. Pakde Bisma juga sekuat tenaga mengumpulkan tenaga agar kembali bisa menggerakkan tubuh rohnya.

Sayangnya, makhluk mengerikan itu kini sudah ada di hadapan kami.

Sungguh sosok itu jauh lebih mengerikan bila dilihat dari dekat. Widi tak mampu bergerak, kaki kami lemas seketika merasakan kekuatan mengerikan makhluk yang sudah siap menghabisi kami.

"Mati..” Ucap makhluk itu yang dengan ringanya mengayunkan tangan yang penuh dengan kuku-kuku tajam ke tubuh Widi.

Seketika rasa khawatirku akan kematian Widi menggerakkan tubuhku menghadang lengan makhluk itu.

Hentikan!!!

Sekali lagi aku melakukan tindakan bodoh. Luka dari cemeti Ki Janggrang tadi saja masih jauh dari kata pulih, dan kini cakaran makhluk yang mengerikan itu sudah siap mengoyak tubuhku. Aku hanya menutup mata tak mampu membayangkan rasa sakit yang akan ku terima.

Srakkk!!!

Cakar itu mengoyak...
Tapi aneh, tidak da rasa sakit. Akupun heran dan segera membuka mata.

Cakar itu tidak mengoyak tubuhku, melainkan cakar itu diterima oleh sosok besar di hadapanku.

Paklek? Pakde? Bukan. Makhluk itu hampir sebesar Raden Rowo.

"Kowe ngganggu kesenenganku!” (Kamu mengganggu kesenanganku!)

Bruakkk!!!

Sebuah tendangan dilayangkan pada Raden Rowo yang dengan seketika membuatnya terpental. Aku dan Widi Mundur menjauh dari sosok itu.

Kini terlihat jelas, sosok itu adalah sosok menyerupai manusia yang dipenuhi bulu berwarna putih. wajahnya benar-benar mirip dengan kera.

“Brengsek! Kowe ora usah ikut campur, Hanoman!” (Brengsek! Kamu tidak usah ikut campur, Hanoman!) Teriak Raden Rowo.

Hanoman? Yang benar saja..
Raden Rowo tidak terima dengan serangan itu, namun sebelum ia menghantamkan cakaranya lagi pada sosok yang ia panggil dengan sebutan Hanoman itu, ia terpental oleh kedua sosok yang menghantamnya dari tengah-tengah kerumunan demit-demit alas.

Sosok itu sama berwujud manusia yang dipenuhi dengan bulu abu-abu dan berwajah kera. “Subali dan Sugriwa?”

Ucap Paklek berhasil mencapai kami, namun ia terpukau dengan kemunculan makhluk itu.

"Nggak mungkin Paklek! Nama-nama itu hanya ada di cerita pewayangan kan?!” Tanya Widi.

Paklek Mengangguk.

‘‘Mereka adalah sosok yang mengagumi nama-nama itu, mereka menghabiskan waktu mereka untuk menjadi sosok seperti mereka.. Merekalah Punden Keramat yang sebenarnya,” Jelas Pakde yang ikut bergabung bersama kami.

Aku merasakan rasa hangat di tubuhku, entah mengapa aku merasakan kekuatan yang mengalir yang membuat rasa sakit dari lukaku menghilang.

"Setelah ini tuntaskan tarian kalian ya!”

Terdengar suara dari belakang kami. Sosok wanita cantik menampakan diri dengan samar di sana.

"Gadung melati..” tebak Pakde.

"Aku ingat Paklek! Mereka adalah sosok- sosok punden yang merasuk di tubuh pemain kuda lumping Bapak!” Ucap Widi.

"Walau tidak bisa ikut dalam permainan Ki Sapta, setidaknya aku tidak melihat permainan menjijikkan pengikut makhluk itu! Minggir kalian monyet-monyet!”

Kali ini sosok besar yang terlihat buas terdengar dari antara mereka.

Kemunculan makhluk itu membuat seluruh dedemit dan punden yang muncul menjauh.

"Saat dia muncul, tidak ada yang berani mendekat.. dia pasti Dadung Awuk!” Senyum Paklek.

Raden Rowo masih tidak menyerah.

la memusatkan semua kekuatan hitam ke dalam tubuhnya dan mementalkan sosok yang menyerupai subali dan sugriwa itu, namun sepertinya itu bukan perkara besar untuk mereka. Walau begitu mereka tetap mundur, ada bahaya besar menanti mereka bila mereka tidak menjauh.

Makhluk buas berlari ke arah Raden Rowo, kali ini ia sudah bersiap menghantam terjangan Dadung awuk dengan tanganya.

"Sudah selesai..” ucap Gadung melati.
Apa benar?
Aku setengah tidak percaya bahwa Raden Rowo yang sekuat itu akan mereka selesaikan begitu saja.

Tapi ucapan sosok wanita itu ternyata benar. Dadung Awuk tidak meladeni pukulan Raden Rowo dan malah memperbesar mulutnya hingga menerkam setengah bagian tubuh Raden Rowo.

Graaaukkk!!!

Mengerikan.. makhluk yang hampir membunuh Paklek dan Pakde Bisma mati begitu saja dengan sekali gigitan.

Punden Keramat? Julukan itu memang pantas untuk mereka.

Sayangnya kemunculan mereka hanya sesaat.

Sosok Dadung Awuk itu tidak kembali, ia terus berlari dengan buas menjauh dari kami. perempuan yang Paklek sebut dengan Gadung melati itupun menghilang begitu saja.

Makhluk menyerupai kera yang disebut dengan nama Hanoman, Subali, Sugriwa itupun bersiap untuk pergi.

"Lanjutkan, selesaikan tarian kalian...” ucap Subali.

"Kami selalu menonton setiap tarian itu dimainkan,” Tambah Sugriwa.

"Bocah yang tidak takut mati demi temanya, aku suka watakmu.. restuku akan membuatmu memiliki takdir dengan bangsaku, bangsa kera wanamarta,”

ucap sosok Hanoman yang sama sekali tidak kumengerti maksudnya itu.

Merekapun menghilang diantara kumpulan dedemit yang enggan meninggalkan kami. sepertinya mereka memang menanti kami menyelesaikan ritual kami.

Gending ghaib terus mengalun aku menyelesaikan tarianku bersama dengan Widi tepat saat matahari terbit. Dedemit tak kasat mata itupun menghilang perlahan dan menyisakan ketiga roh yang menemani kami melakukan ritual itu.

Ada satu sosok roh yang terus menatap Widi dengan bingung. Itu adalah roh Hamid. Akupun menyenggol Widi menyuruhnya mendekati sosok itu.

"Aku hanya bisa meminta maat atas semua penderitaan yang kamu terima tanpa penglihatanmu,” ucap roh Hamid.
Widi menggeleng.

"Saya sudah ikhlas sejak lama, terlebih saat aku sadar bahwa itu semua demi hari ini,” balas Widi. Roh Hamid menyeka air matanya, sepertinya ia sudah mendapat apa yang ia harapkan.

"Paklek, bisa gak nolongin Hamid keluar dari alam itu? Dia kan belum mati?” tanyaku pada Paklek.

Paklek menggeleng sembari mengusap kepalaku.

"Dia sudah terlalu lama disana, Hamid sudah menjadi bagian dari mereka. Saat waktunya tiba, rohnya akan tenang dengan sendirinya..” jelas Paklek.

"Nggak apa Cahyo, disini aku punya teman,” ucap Hamid sembari menoleh pada Suti dan Muhrin. Merekapun segera mendekat kepada Hamid seolah menjawab ucapanya.

Sebelum mereka menghilang, Widi berlari mencoba menyusul mereka.

"Hamid! Suatu saat ayo kita main lagi tarian tadi!” Teriak Widi.

Hamid menoleh sebentar sebelum benar- benar menghilang.

"Setiap purnama merah kami selalu ada di sana, di hutan jati belakang rumahmu,” Pamit Hamid.

Merekapun menghilang bersama matahari pagi yang telah terbit sepenuhnya. Wujud Sukma Pakde Bismapun menghilang begitu saja tanpa berpamitan.

Malam itu adalah malam yang mencekam. Belum pernah aku melihat demit sebanyak dan semengerikan itu.

Namun baru malam itu juga aku mengetahui ada sosok ghaib yang juga berpihak pada manusia. Siapa mereka? Apa suatu saat aku akan bertemu dengan mereka lagi? Kalau iya apakah mereka masih dengan wujud tokoh-tokoh mengesankan itu? ataukah mereka akan menunjukkan wujud aslinya?

Begitu banyak pertanyaan dalam pikiranku. Tapi.. walau malam tadi begitu mencekam, setidaknya aku bisa sedikit tersenyum.

Berbeda dengan sebelumnya saat aku tak mampu berbuat apa-apa untuk menolong warga desa dan kedua orang tuaku.

Kini setidaknya kami bisa menyelamatkan nyawa warga desa, walaupun nyawa dan jiwa para penari Jaran Gupolo itu tak bisa terselamatkan.

Bu Sunar begitu panik menyambut kedatangan kami,-

tapi ia juga girang bukan main saat mengetahui Widi sudah benar-benar bisa melihat tanpa masalah apapun.

"Ya ampun le, mata kamu mirip banget sama Bapak,” haru Bu Sunar.

"Tapi baiknya bakal kayak ibu kok,” balas Widi yang semakin membuat ibunya terharu.

Aku menarik nafas lega, apalagi kini aku tahu bahwa Widi bukanlah sosok anak lemah yang perlu dibela lagi.

Saat penglihatanya kembali, ia juga mendapat ingatan yang membuatnya lebih dewasa. Aku jadi penasaran, apa saja yang merasuk di ingatan Widi saat penglihatanya kembali?

Di tengah teriknya matahari, Paklek sekuat tenaga mengayuh sepedanya bergegas menuju rumah. Aku tahu, Paklek pasti ingin cepat-cepat pulang agar Bulek tidak terlalu khawatir.

Dari pinggir ladang tebu aku melihat sebuah pabrik gula tua yang selalu bisa membuat siapapun kagum dan merinding saat menatapnya. Namun kejadian semalam membuatku sadar, biar bagaimanapun aku harus mengalahkan rasa takutku.

Suatu saat aku harus bisa seperti mereka, Paklek dan Pakde Bisma. Sosok dua pendekar yang mau menolong orang-orang dari sosok ghaib walaupun nyawa taruhanya.

Bukan dengan tujuan yang besar, setidaknya bila aku bisa sehebat mereka berdua, tidak akan ada lagi seorang Cahyo kedua yang kehilangan warga desa dan orang tuanya.

***

Cuplikan Monyet Kembar Alas Wetan

“Heh Panjul! Kesini!” Ucap Paklek memanggilku ke sebuah bangunan tua di sebuah pedalaman desa.

“Emoh Paklek... gak mau! I—itu isinya setan semua” Jawabku yang bergidik ngeri saat melihat penunggu bangunan itu yang muncul setelah Paklek membacakan doa.

Walaupun Paklek sudah beberapa kali mengajaku membantu warga menyelesaikan masalah seperti ini,-

aku tetap tak terbiasa dengan wujud-wujud makhluk halus yang kami hadapi.

“Reneo.. ke sini, katanya mau jadi kuat biar bisa ngalahin pemain Ludruk itu..?” Ucap Paklek.

Memang benar ucapan Paklek, seharusnya aku melatih mentalku untuk bersiap menghadapi makhluk yang menghabisi keluarga dan warga desaku.

Tapi... yang sedang Paklek hadapi ini adalah makhluk genderuwo berkaki empat yang tingginya hampir menembus loteng bangunan itu.

"Nggak Paklek.. serem!” Ucapku yang segera melarikan diri dari pandangan demit-demit itu. Terlihat Paklek hanya menggeleng melihat kelakuanku.

Aku pergi hingga terhenti sebuah sungai di pinggir desa. Sepanjang jalan aku hanya menggerutu meratapi nasibku saat ini yang harus menemani Paklek berurusan dengan demit-demit itu.

Namun tak lama setelah aku tiba di sana aku melihat ada sesuatu mengambang diantara aliran sungai itu. Bentuknya menyerupai seekor hewan. Entah mengapa dari dalam tubuhku muncul perasaan untuk masuk ke sungai dan menolong makhluk itu.

Seekor bangkai kera? Kalau ini hanya bangkai kenapa aku harus menolongnya?

Yang jelas aku tak mengerti mengenai perasaan apa yang mendorongku mengangkat jasad kera ini. Saat sampai ke pinggir sungai,-

aku baru melihat banyak sekali bekas luka dengan darah yang masih segar terlihat dari bekas luka di tubuhnya. Aku benar - benar tidak tega melihat kondisi makhluk ini.

Seketika aku teringat kekuatan Paklek yang mampu menyembuhkan luka dan kutukan.

Mungkin saja Paklek bisa menolong makhluk ini.

***

Cuplikan Dalang Demit Kampung Wayang

“Panjul, Danan.. Ikut Paklek yuk.. ada yang mau Paklek tunjukin,” perintah Paklek padaku dan seorang bocah bernama Danan yang mungkin seumuran denganku.

Kali ini Paklek mengajak kami ke rumah seorang warga.

Di salah satu kamar di rumah itu terbujur kaku seorang pemuda tanpa ada gerakan sedikitpun. Paklek mengajakku dan Danan memeriksa keadaan pemuda itu dan memintanya mengambil kesimpulan.

“Paklek... kenapa ga dibawa ke rumah sakit to Paklek?” Tanya Danan dengan polosnya.

“Ngawur kamu... nek kondisine koyo ngene iki jelas kesurupan”

(Ngawur kamu... kalau koniinya seperti ini sudah jelas ini kesurupan) Balasku yang mencoba memberikan jawabanku sendiri.

Seketika pukulan dari koran yang dinggenggam Paklek mendarat di kepalaku.

“Kesurupan Mbahmu! Ndelok sing bener!” (Kesurupan Nenekmu! Lihat yang benar) Ucap Paklek.

Pakde Bisma tertawa melihat perlakuan Paklek kepadaku.

"Sekarang kalian sudah tahu?” Tanya Paklek lagi.
Paklek masnya in? sukmanya ga ada?” Tanya Danan yang mulai heran, sementara aku masih mencoba memperhatikan dan sama sekali belum mengerti.

Danan memang hebat, ia memiliki kemampuan mata batin sejak lahir. Tidak denganku yang masih harus mengasah kemampuanku setelah mata batinku terbuka sedikit sejak kejadian di desa Widi dulu.

"Piye Jul.. uwis ngerti?” (Gimana Panjul? Sudah mengerti?) Tanya Paklek.

Akupun mengangguk.

"Jawaban pertama Danan benar. Saat menemukan kejadian seperti ini lakukan pertolongan medis sebisa mungkin. Ketika ilmu medis tidak bisa membantu baru kalian menggunakan kemampuan kalian” Jelas Paklek.

***

Aku tak menyangka pertemuanku dengan Danan saat itu membawaku pada hal-hal yang besar. Pertarungan bersama raksasa penunggu bukit, disekap oleh Paklek di pabrik gula angker berdua dengan Danan, Menyelinap di Omah Kandang Mayit,

hingga bertualang di alam mengerikan "Jagad Segoro Demit.”
Entah mengapa selama ada Danan, aku merasa bisa menghadapai masalah ghaib semengerikan apapun. Setiap percakapan dan petualangan yang kulakukan bersamanya semakin membuatku merasa dekat dengan Yang Maha Pencipta.

Bukan berarti aku selalu berada diambang kematian ya! (Walaupun itu juga benar)

Namun bersama Danan, kami bisa saling mengingatkan bahwa apa yang kami miliki saat ini hanyalah titipan dari Yang Maha Pencipta.

Terutama adalah saat-saat seperti ini, saat kami menerima berbagai wangsit akan kejadian yang akan terjadi. Sebuah bahaya besar yang akan kembali mengguncang Jagad segoro demit.

Di tengah meditasiku, penglihatan itu muncul bersama ingatanku akan ritual yang pernah kulakukan saat kecil. Sebuah ritual tarian Turonggo Mayit yang menunjukkanku akan sebuah peperangan.

Dan kejadian kali ini berhubungan dengan pemandangan mengerikan itu. Perang Kurusetra..

~SELESAI~

EPILOG
Dananjaya Sambara... Nama itu tertulis dibalik sebuah foto yang diberikan Bapak dan Ibu padaku.

"Sekar, cari orang ini.. mungkin dialah yang bisa menolong desa ini,” pesan ibu saat memaksaku untuk meninggalkan desa demi menyelamatkan kami dari kutukan itu.

Kutukan "Gending Alas Mayit..”

Aku berhasil menembus hutan dan meninggalkan desa, namun sudah berhari-hari aku berkeliling mencari petunjuk mengenai keberadaan orang ini.

Sungguh Bodoh.. ada ratusan juta orang di negeri ini, bagaimana caraku mencari tahu keberadaan seseorang dengan hanya bermodalkan foto dan nama.

"Tolong pak, coba carikan di data dimana saya bisa bertemu orang ini,” ucapku memohon di sebuah kantor instansi negara.

"Mohon maaf mbak, kalau hanya bermodalkan foto dan nama susah sekali menemukan seseorang. Kalaupun mbak punya data yang lengkappun kami tidak bisa memberikan begitu saja tanpa adanya berita acara,” jelas staff admin di instansi tersebut.

Aku berkeliling ke beberapa terminal, pasar, hingga universitas. Namun sama sekali tidak ada petunjuk mengenai keberadaan orang ini.

Aku hampir putus asa.. sebentar lagi Purnama datang lagi, pasti akan semakin banyak korban berjatuhan. Semoga saja bapak dan ibu bisa selamat.

Di tengah kebingunganku, aku teringat kejadian masa kecilku saat bapak mengajakku mengunjungi rumah saudara kami di sebuah desa yang tak jauh dari pabrik gula.

Samar-samar aku teringat tentang seorang anak laki-laki yang gagah yang sempat menolongku dari serangan makhluk ghaib.

Bahkan ia rela membahayakan nyawanya untuk melindungiku dari serangan makhluk yang mengerikan.

Dulu aku hanya bisa menangis. Tapi saat sekarang aku mengingatnya, aku merasa bahwa anak laki-laki itu begitu hebat dan menawan.

Sudah sebesar apa dia sekarang? Apa dia masih menempel dengan sarungnya yang sempat ia pinjamkan padaku untuk melindungiku dari hawa dingin dan rasa takutku dulu?

Hmmmh.. apa mungkin aku bisa bertemu denganya lagi? Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkanya.

Aku tidak bisa menemukan seseorang bernama Dananjaya Sambara ini. Tapi, mungkin aku bisa mencoba mendatangi desa itu lagi dan mencoba meminta pertolongan darinya.

Akupun menaiki bus yang mengarah ke sebuah pabrik gula.

Dengan berhati-hati aku mencoba mengingat dimana desa tempat kami bertemu saat itu. Akupun berhasil mencapai pabrik gula itu walau dengan penuh kebingunganya.

Sayangnya, aku sampai saat langit sudah menghitam dan bulan purnama sudah menunjukkan wujudnya.

Aku benar-benar khawatir dengan keadaan orang tuaku dan warga desa Windualit.
Sayup-sayup terdengar suara gamelan dari dalam hutan di sekitar pabrik ini. Jelas tidak ada seorangpun pemain gamelan yang terlihat.

Akupun mulai menyadari bahwa kutukan itu tetap sampai kepadaku walau aku berada jauh dari desa. Nafasku tersengal-sengal. Sekuat tenaga aku menahan tubuhku, namun tanganku mulai bergerak sendiri dan membentuk sebuah tarian.

Aku menari dibawah cahaya rembulan dengan suara gamelan yang tak kasat mata.
Yang mengerikan, sosok-sosok ghaib dari pabrik gula berkumpul di sekitarku seolah menikmati tarian terkutuk yang kulakukan tanpa sadar ini.

Saat purnama mencapai puncaknya, hal yang kutakutkan terjadi. Tubuhku bergerak sendiri memutar sendi-sendiku hingga batasnya.

"Aarrggh.. sakit!” teriakku.

Namun percuma, tidak ada seorangpun disini, dan itu adalah teriakkan terakhirku.

Setelahnya aku tak lagi bisa menguasai seluruh tubuhku. Yang dapat kurasakan adalah rasa sakit dari persendianku yang mulai patah.

Aku merasakan ada sosok ghaib yang mengendalikanku dan bersiap menghantarku ke ujung hayat.

Namun sebelum aku kehilangan kesadaran, terdengar langkah seseorang yang berlari mendekat ke arahku. Suara lantunan doa dan ayat-ayat suci membuatku tenang dan menggoyahkan sosok yang merasuki tubuhku.

Cukup lama hingga akhirnya aku bisa menghentikan gerakanku dan terbaring lemas. Sebelum penglihatanku menghitam, aku sempat melihat wajahnya orang itu.

Itu adalah dia..

Aku yakin itu adalah dia..

Seseorang yang menolongku adalah anak laki-laki itu. Tak kusangka, ia masih setia dengan sarung yang melingkar di bahunya. Jantungku berdebar begitu keras menatapnya.

Entah apakah ia bisa menolong desaku atau tidak, setidaknya Tuhan sudah memberikan hadiah yang indah untukku dengan mempertemukanku dengannya.

Sayangnya, tubuhku begitu lemah untuk terus bisa menatap matanya didalam pelukkanya.

Setidaknya kali ini aku terlelap bukan oleh kutukan, melainkan dari alunan ayat-ayat merdu yang ia lantunkan untuk menenangkanku kembali seperti dulu.

Semoga saja aku bisa kembali menatapnya bila diijinkan untuk sekali lagi membuka mata ini.

- Selesai -

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close