Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 13 END) - Akhir Cerita


Part 13 - Akhir Cerita

Dinda tercenung, darah keturunan Sukmaadji saat ini hanya dirinya dan Ahmad. Apakah dia harus mengambil darah ayahnya lantas ia gunakan untuk mengakhiri semuanya atau bagaimana. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya.

Seketika bayangan Mbok Marni dan Pak Kusno melintas di pikirannya. “Apa maksudnya, Kusno tidak akan sampai tempat ini tepat saat malam selasa kliwon?” pikir Dinda.

Baru saja dia ingin bertanya kepada demit wanita itu, namun sosoknya sudah menghilang entah kemana.

Dinda segera beranjak dari tempat tidurnya, berniat untuk meminjam ponsel kepada Ahmad, dia sudah tidak peduli lagi apakah laki-laki itu masih dirasuki Sengkolo atau tidak. Baginya saat ini menghubungi Pak Kusno atau Mbok Marni yang paling penting.

Kleeekkk... Dinda sudah membuka pintu kamar Ahmad, dia langsung masuk ke dalam kamar. Saat mencari keberadaan ayahnya, tak ia temukan sosoknya.

Buru-buru Dinda berbalik, “Mungkin Ayah sedang di kamar Pak Hamdan” kata Dinda.

Benar saja, saat membuka pintu dia melihat Ahmad sedang sibuk melakukan sesuatu di atas tubuh Hamdan.

“Yah” panggil Dinda.

Ahmad memutar badannya. Kini dengan jelas Dinda bisa melihat di tangan Ayahnya sedang memegangi gunting dan kain kasa. Sepertinya dia sedang mengganti perban di kepala Hamdan.

“Tumben baru bangun?” tanya Ahmad kembali membungkuk ke arah Hamdan.

“Dinda bisa pinjam ponsel Ayah?” tanya Dinda dari ambang pintu.

“Untuk? Memangnya ponsel kamu ke mana?” Ahmad menjawab tanpa menoleh.

“Dinda ada keperluan sebentar, ponsel Dinda rusak” sahut Dinda.

“Ambil saja di meja kamar” jawab Ahmad.

Tanpa menjawab, Dinda langsung berbalik dan kembali ke arah kamar Ahmad. Saat perjalanan dia menoleh ke arah jam besar di sudut ruangan. “Sudah tengah hari” kata Dinda mempercepat langkahnya.

Segera diambil ponsel ayahnya di atas nakas. Berulang kali Dinda mencoba menghubungi Pak Kusno dan Mbok Marni baik menggunakan pesan singkat atau panggilan suara tapi tak kunjung ada jawaban.

“Tenang Din, mungkin tidak ada sinyal di sana” batin Dinda yang mulai panik.

Sekilas Dinda melirik ke arah cermin yang ada di sudut ruangan. Rasanya ingin segera ia hancurkan benda itu, namun bagaimana jika itu percuma,-

apakah hal itu akan benar-benar berfungsi? Nyatanya saja saat dia sudah memecahkan cermin lainnya, sosok Sengkolo masih tetap menerornya. Dinda segera beranjak, dia tidak boleh gegabah, masih ada waktu enam jam lagi.

“Yah, Dinda bawa ponselnya ke kamar ya” kata Dinda melongokkan kepalanya ke dalam kamar Hamdan.

Terlihat Ahmad sedang duduk dengan posisi menatap lurus ke arah cermin. Dinda terkesiap, ia yakin pasti itu bukan ayahnya tapi Sengkolo.

“Iblis gila!!” teriak Dinda, seketia membanting pintu dengan keras dan berlari masuk ke kamarnya.

Ceklek..Cekleekk..Dinda langsung mengunci pintu kamar, beruntung demit itu tidak mengejarnya.

“Kenapa tadi tak sekalian kuhantam kepalanya dengan vas bunga, toh dia tidak akan kesakitan jika sedang dirasuki Sengkolo” Dinda berucap lirih, menyesal sebab tak bisa sekalian mengambil darah ayahnya.

Kembali ia menatap ke arah ponsel, belum juga ada balasan dari kedua orang itu. “Semoga semua baik-baik saja” ucapnya penuh harap, sambil merebahkan tubuhnya.

***

Dinda mengerjap kaget, “Astaga” teriaknya saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Diraihnya ponsel di atas nakas, namun ia kecewa, sebab belum juga ada balasan dari Pak Kusno ataupun Mbok Marni.

“Gusti, semoga mereka baik-baik saja” kata Dinda. Kepanikan mulai menghampirinya, dia harus segera membuat keputusan, waktu maghrib tinggal hitungan jam.

Setelah beberapa saat, Dinda berdiri, mengambil pisau lipat di atas nakas. Dia harus bisa mendapatkan darah Ahmad sebelum senja tiba.

Dinda mulai berkeliling rumah, mencari keberadaan Ahmad. Tapi sejak tadi dia tak menemukan sosok ayahnya itu.

Hingga dia mendengar suara pintu yang terbuka kemudian tertutup. Dinda segera bangkit dan mencoba memastikan siapa gerangan orang yang baru saja datang.

“Din” kata Ahmad sambil melepas jaketnya.

“Ayah dari mana?” tanya Dinda penasaran, jarang sekali ayahnya keluar rumah.

“Makam Ibumu, sudah lama Ayah tidak ke sana” ucap Ahmad tersenyum.

“Kamu sudah makan? Ayah tadi masak tapi mungkin rasanya tidak seperti masakan Mbok Marni” kata Ahmad.

Hati Dinda berdesir, mungkin apabila masalah dengan demit itu tak ada, ia sungguh akan bahagia tinggal di rumah ini.

“Belum, nunggu Ayah” kata Dinda.

“Ya sudah, yuk, kita makan sama-sama" ajal Ahmad yang berjalan melewati anak perempuannya.

Dinda mengikuti, dari belakang. Sedikit menjaga jarak dengan Ahmad. Dia harus selalu waspada jika Sengkolo tiba-tiba saja merasukinya.

“Duduk, biar Ayah yang siapkan semuanya” ucap Ahmad yang sudah sibuk di depan rak piring.

Dinda mengikuti ucapan Ayahnya, segera dia duduk tetapi pisau lipat dia taruh di kedua pahanya.

Acara makan sore itu mungkin menjadi kegiatan paling normal yang Dinda lakukan bersama Ahmad, sejak pertama kali masuk ke rumah ini.

“Yah, ada yang ingin Dinda sampaikan” ucap Dinda.

Ahmad yang akan menyendok makanan, kembali menaruhnya di atas piring dengan perlahan. “Ada apa? Mengenai kejadian semalam?” tanya Ahmad.

Dinda mengangguk, “Iya, ada hubungannya dengan kejadian semalam” kata Dinda.

“Jadi apa yang terjadi semalam?” tanya Ahmad sebenarnya dia sudah penasaran tetapi coba menahan untuk tak kelewatan batas, tidak mau membuat anaknya semakin tertekan.

“Demit itu...” kata Dinda mencoba menguatkan dirinya.

“Ya?” desak Ahmad.

Menghela napas, akhirnya Dinda menceritakan apa yang terjadi. Mulai dari permintaan Ratmi untuk memecahkan semua cermin hingga Sengkolo yang memanipulasi indera penglihatan Dinda.

“Demit itu sedang berusaha menyiksa mental Dinda yah” kata Dinda.

“Brengsek! Lalu sekarang di mana Pak Kusno dan Mbok Marni?” tanya Ahmad.

“Lembah Pati” ucap Dinda tidak berani menatap mata Ahmad.

“Lembah Pati?” tanya Ahmad kaget.

“Iya, Lembah Pati. Seharusnya mereka pulang hari ini. T—tapi sejak tadi mereka tak bisa dihubungi” kata Dinda mulai teringat dengan kakek neneknya.

“Hhhhh... Kenapa kalian begitu nekat. Kenapa tak ada yang memberitahuku?” ucap Ahmad kecewa.

“Kami takut jika Sengkolo tahu, akan menghalangi upaya yang sedang dilakukan oleh Pak Kusno” kata Dinda berusaha menjelaskan.

Ahmad menggeleng, “Kamu tidak belajar dari kejadian sebelumnya. Tanpa kalian memberitahu, dia akan tetap bisa mengetahuinya” kata Ahmad yang menyandarkan punggungnya sambil memijat keningnya.

Dinda tersentak, baru menyadari itu semua. Benar perkataan ayahnya, demit itu kemungkinan juga sudah mengetahui jika Pak Kusno dan Mbok Marni saat ini ada di Lembah Pati.

Cukup lama mereka terdiam, Dinda melihat ayahnya memandang keluar, tatapannya menerawang jauh.

“Ayah...” panggil Dinda, tangan kanannya mulai mencengkeram pisau lipatnya. Takut jika Sengkolo sudah merasuki laki-laki itu.

“Sebentar Din, ayah sedang memikirkan solusinya. Selama ini ayah mengira demit wanita itu yang mengganggu keluarga ini, jadi ayah dan Hamdan mencoba mengusirnya. Tapi sekarang apa yang harus dilakukan?” ucap Ahmad seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Dengan darah keturunan Sukmaadji” jawab Dinda lirih.

Ahmad menengok ke arah Dinda dengan cepat, “Apa maksudmu?”

“Ratmi memberitahu Dinda, jika darah keturunan Sukmaadji bisa menghancurkan ikatan yang sudah terjalin” kata Dinda.

“Caranya?” tanya Ahmad mengerutkan dahinya.

Membalurkannya pada cermin yang ada di kamar eyang dan kamar ayah, saat maghrib menjelang” kata Dinda.

Ahmad terdiam, menatap anaknya lekat-lekat. “Kamu yakin itu akan berhasil? Mereka penuh dengan tipu daya. Lihat apa yang terjadi dengan keluarga ini? Dengan Ayah, dengan ibumu” ucap Ahmad.

Dinda menggeleng, setelah pertemuannya dengan Ratmi di taman belakang, entah mengapa dia selalu memercayai ucapan demit itu.

“Dinda tidak tahu yah, maghrib sebentar lagi datang” kata Dinda menundukkan kepalanya. Terdengar kursi yang bergerak, langkah kaki mendekati Dinda. “Kita coba lakukan, jika itu demi keselamatanmu” kata Ahmad mencium ujung kepala Dinda.

Dinda mendongak, dia menatap lekat laki-laki di hadapannya. Belum pernah dia memerhatikan Ahmad setenang ini. Sekarang dia benar-benar melihat kasih sayang untuk dirinya dari sorot mata yang menua itu.

Tanpa sadar air matanya menetes, Dinda tak bisa membayangkan betapa beratnya kehidupan Ahmad. Kehilangan orang tua, istri dan anak, serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Dinda mengangguk. Jika ini semua tidak berhasil, setidaknya dia harus membuat Ahmad bahagia di ujung waktunya.

***

“Ingat nduk, sayat pada bagian ini” kata Ahmad menunjuk bagian lengannya.

“Apa Ayah tidak punya obat bius?” tanya Dinda ngeri, dia belum pernah menyayat apapun selama ini, kecuali ayam yang sudah mati untuk dijadikan makanan.

“Tidak, kalau kita beli pun, waktunya tak akan terkejar sebab sudah mepet” kata Ahmad sambil melirik ke arah jam dinding.

Dinda menghela napas, dia siapkan pisau lipat yang sudah di sterilkan oleh Ahmad. “Maafkan Dinda, ayah” ucap Dinda mulai memegang pergelangan tangan ayahnya.

Dinda sudah menggengam gagang pisaunya. Sekarang ia arahkan ditempat yang sudah di tunjukkan oleh ayahnya. Baru saja ia hendak menggoreskan, tiba-tiba tangan kanan Ahmad mencengkeramnya begitu kuat.

“Arep apa?” (Mau apa?) tanya Ahmad menatap Dinda beringas.

Dinda tersentak, mencoba menarik tangannya namun cengkraman Ahmad yang dirasuki Sengkolo benar-benar kuat.

“Arrrgggghh” erang Dinda saat Ahmad memutar tangannya. Pisau lipat yang ia genggam jatuh ke lantai. Ahmad segera mengambilnya dan melepaskan Dinda.

Dinda buru-buru bergerak mundur, menatap ke arah Ahmad tidak percaya. Bagaimana mungkin sosok itu kembali merasuki di waktu yang sudah semakin mendesak seperti saat ini.

“Aku wis ngenehi wektu amrih kowe miwah wong iki bisa ngathuk, sadurunge sira tak gawa lunga. Nanging madak arep dolanan maneh karo aku”

(Aku sudah memberi waktu agar kamu dan orang ini bisa bertemu, sebelum kamu kubawa pergi. Tapi malah mau main-main lagi denganku), geram Sengkolo dalam tubuh Ahmad.

“Utawa tak pateni wae manungsa iki ning ngarepmu?” (Atau kubunuh saja manusia ini di hadapanmu?) ucap Ahmad sambil mengangkat pisau lipat di genggamannya dan menempelkan ujung runcingnya di leher.

Dinda menggeleng, “Aku wae, aku wae” (Aku saja, aku saja) sahut Dinda segera, air mata mulai membasahi pelupuknya.

Ahmad menyeringai, kemudian mendekati Dinda. “Nah ngana kan kapenak, cah ayu” (Nah begitu kan enak, anak cantik), jawabnya.

Tepat saat Ahmad menunduk di depannya, berniat membelai pipinya, Dinda langsung mendorongnya sekuat tenaga.

Saat Ahmad tersungkur di lantai, Dinda menerjang, mengambil pisau lipat yang ada di tangan Ahmad dan mencoba untuk menorehkan luka di tangan laki-laki itu. Ahmad memberontak, namun wajahnya menyeringai, seolah menikmati permainan yang dilakukan oleh Dinda.

Dengan sekali sentak dari Ahmad, Dinda langsung terjatuh ke samping. Ahmad yang masih dikendalikan oleh Sengkolo seketika berdiri dan menjambak rambut Dinda, menyeretnya keluar kamar.

“Arrrrgggghh” teriak Dinda kesakitan.

Tidak menanggapi teriakannya, Ahmad terus menariknya dengan brutal. Beberapa helai rambut sudah rontok dari kulit kepalanya.

“Ayah sadar, jangan mau dikendalikan iblis jahanam itu” teriak Dinda.

“Percuma, bengok sakencengmu ngantya telakmu garing, wong iki ora bakal tangi” (Percuma, teriak sekencangmu sampai kerongkonganmu kering, orang ini tak akan bangun) ucapnya sambil tertawa mengejek.

Dinda mencoba melawan, tetapi rasa sakit di kepala membuatnya mau tak mau mengikuti ke mana mahkluk itu melangkah.

Kleeekk.... Pintu kamar Sukmaadji terbuka, Sengkolo yang ada di tubuh Ahmad membawanya masuk ke dalam kamar itu.

“Pecahke pengilon iku” (Pecahkan cermin itu) kata Ahmad.

Dinda menggeleng, dia tahu jika dia memecahkan tanpa membalurkan darah milik Ahmad dan dirinya, Sengkolo akan terbebas untuk selamanya.

“Ora gelem?!” (Tidak mau?!) bentak Sengkolo.

Dinda tetap menggelengkan kepalanya. Melihat penolakan itu, Ahmad melepaskan cengkeramannya di rambut Dinda.

Dinda yang menyadari itu ingin bergerak menjauh, namun dengan sigap Ahmad segera mencekiknya dan mendorong keras hingga punggungnya menabrak ranjang dengan keras.

“Hhhhkkkk” suara Dinda tercekat tak bisa bernapas.

“Wis, pancen kudu tak rampungi kabeh saiki” (Sudah, memang harus kuselesaikan semua sekarang) Kata Sengkolo.

Mata Dinda mulai berair, berusaha menggapai apapun di sekitarnya tapi sia-sia. Tak ada benda yang bisa digunakan untuk membantu melawan sosok iblis di depannya.

Kepala Dinda mulai terasa berat, pandangan matanya kabur. Napasnya benar-benar terhenti. Dia sudah pasrah jika harus mati saat ini.

Pyaaarrrr....

Terdengar suara porselen yang dilempar keras di depan Dinda, mengenai belakang kepala Ahmad. Cekikannya mengendur, seketika Dinda terbatuk.

“Pak Kusno?” ucap Dinda lirih, dengan pandangan yang masih kabur.

“Kamu tidak apa-apa Din?” kata laki-laki itu.

Dinda mencoba menghela napas dalam-dalam dan mengaturnya lebih teratur, dadanya terasa sakit. Sesekali tangannya meraba leher, untuk sedikit mengurangi rasa sakit yang tertinggal.

“Pak Hamdan?” tanya Dinda kaget, saat pandangannya sudah mulai jelas.

“Ayo kita pergi, biarkan saja dia di sana. Kita cari bantuan” ucap Hamdan lemah sambil mencoba membantu Dinda berdiri.

Dinda mematuhinya, segera bangkit berdiri, sekilas dia melihat darah mengalir dari arah belakang kepala Ahmad. Ketika Hamdan sedang menuntunnya, tiba-tiba saja ada tangan yang muncul di sisi kanan dan kiri lehernya.

Dinda yang kaget mencoba untuk menarik laki-laki itu. Namun, gerakannya kalah cepat. Tangan bersisik itu seketika memutar kepala Hamdan.

Kletaaaakkkkk....

Dinda menjerit sekencangnya, tangannya mendekap mulut. Tanpa sadar dia mundur hingga terjatuh ke lantai. Sekarang tubuh Hamdan dengan posisi mengarah ke padanya namun kepalanya berlawanan arah.

Bugggg.... seketika tubuh Hamdan jatuh ke lantai.

“Wis tak omongi aja macem-macem karo aku, nduk”(Sudah kuberita tahu jangan macem-macem dengan ku, nduk) terdengar suara menggema di sekeliling Dinda.

Masih dengan posisi terisak, Dinda berdiri. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengoleskan kedua telapak tangannya dengan darah Ahmad yang sudah mulai menggenang di lantai.

Sempoyongan Dinda berjalan ke arah cermin di sudut ruangan. “Kowe antep bakal nglakoni kuwi?” (Kamu yakin akan melakukan itu?) terdengar lagi suara Sengkolo yang bergaung ditelinga Dinda.

Dia sudah gelap mata, setengah berlari dia segera mengoleskan darah ayahnya dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke cermin itu.

Pyaarrrrr....

Benturan itu membuat kaca pecah dan kepingannya berserakan di lantai. “Jahanam, kau Sengkolo!” umpat Dinda penuh amarah.

Dengan amarah yang memuncak, dia usapkan lagi tangannya ke darah yang ada di sekitar Ahmad, lalu dia keluar menuju kamar ayahnya.

Dinda merasa ada yang aneh, kenapa Sengkolo tak menghentikannya. Padahal saat dia berusaha memecahkan cermin kemarin, demit itu sampai hampir membunuhnya.

Karena hati Dinda sedang tersulut amarah, dia tak begitu peduli, tujuannya saat ini adalah cermin yang ada di kamar Ahmad.

Sesampainya di sana, dia langsung berjalan ke arah cermin. “Pisan maneh, kowe antep bakal nglakoni kuwi?” (Sekali lagi, kamu yakin akan melakukan itu?) terdengar lagi suara Sengkolo yanh bergaung di telinga Dinda.

“Mati yo mati. Kowe pancen ngarah patiku” (Mati ya mati. Kau memang mau membunuhku) ucap Dinda datar namun matanya nyalang penuh amarah.

Tak lagi memedulikan semua suara yang kembali muncul di kepalanya. Dinda segera membalurkan darah di telapak tangannya ke cermin itu dan segera memecahkannya.

Menghela napas karena merasa semua sudah selesai, Dinda segera berjalan kembali ke kamar Sukmaadji.

Dia segera menghampiri Ahmad. Sekilas melihat tubuh Hamdan, Dinda merasakan nyeri di dadanya, tak menyangka jika hidup laki-laki itu berakhir di tangan Sengkolo.

“Ayah, bangun” panggil Dinda parau sambil mencoba mengecek denyut nadi dan napas Ahmad.

Dinda benar-benar khawatir, banyak darah keluar dari belakang kepalanya. “Nduk, apa yang terjadi? Aaarrrggggghh” ucap Ahmad sambil mengerang, mulai membuka matanya perlahan.

“Ayo pergi dari tempat ini” kata Dinda mencoba untuk membopong Ahmad dengan melingkarkan lengan laki-laki itu di pundaknya.

“Hamdan” kata Ahmad pelan saat melihat kondisi temannya yang begitu mengenaskan.

“Ayo, Ayah” pinta Dinda saat melihat Ahmad kembali merosot ke lantai.

Ahmad menangis sesenggukan, dia benar-benar tak menyangka jika tubuh yang tergeletak tak bernyawa itu adalah karibnya.

“Kenapa bisa begini?” tanya Ahmad.

“Nanti Dinda ceritakan, sekarang kita keluar dulu dari rumah ini” desak Dinda.

Ahmad terlihat menguatkan diri, kemudian dia berusaha untuk berdiri, Dinda mencoba membopong ayahnya lagi.

Mereka berdua mulai berjalan, Dinda agak kepayahan saat menuntun Ahmad. Ditengoknya langit di luar juga sudah gelap.

Meskipun Dinda sudah memecahkan cermin itu sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ratmi, entah kenapa batinnya masih merasa tidak nyaman. Seolah demit itu masih mengawasi pergerakan mereka.

Hingga saat berada di ambang pintu, Dinda tersentak. Ketakutannya kembali, sayup terdengar suara wayangan.

“Tidak, tidak mungkin” ucap Dinda sambil mengedarkan pandangannya, mencari arah sumber suara.

“Kenapa?” tanya Ahmad lemah.

“Ayo cepat, yah” jawab Dinda mencoba mempercepat langkahnya.

Hingga hal buruk pun benar-benar terjadi. Tepat beberapa meter di depannya, dia melihat sosok Sengkolo berdiri di sana.

Mereka berhenti, saling menatap satu sama lain. Mendadak gelegar guntur menyambar saling bersahutan, angin berembus kencang, rintik hujan terdengar menerpa atap rumah.

“Sengkolo” kata Dinda ketakutan.

Sengkolo bergeming, matanya masih menatap mereka berdua menelisik, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Nduk, pergi sekarang” kata Ahmad mencoba melepaskan tangan anaknya.

Dinda menggeleng, “Tidak” jawabnya singkat.

Otak Dinda berpikir keras, bagaimana mungkin sosok itu masih bisa ada di sini, padahal dia sudah melakukan semua yang diperintahkan oleh Ratmi.

“Blunek?" (Bingung?) tanya Sengkolo.

Entah bagaimana caranya, seketika tubuh Dinda menegang. Dalam satu kedipan mata, sosok yang ada di depannya sudah berubah menjadi...

“Ratmi?” tanya Dinda tidak percaya.

“Ikhii...khi...khi...” Sosok Ratmi mulai tertawa, ”Ijeh wae kowe andhel yen dedemit iki bakal nulungi?” (Masih saja kamu percaya kalau jika dedemit itu akan menolongmu?) lanjut Sengkolo dengan wujud Ratmi.

Dinda tidak percaya, jika selama ini sosok Sengkolo menyamar sebagai Ratmi. Berarti apa yang mereka lakukan semuanya sia-sia.

“Ijeh blunek?" (Masih bingung?) tanya Sengkolo lagi.

“Manungso pancen ora bisa mikir, gampang gugu yen dedemit kuwi bisa nglakoni apa wae?” (Manusia memang tak bisa berpikir, mudah percaya jika demit itu bisa melakukan apapun?) lanjutnya yang seketika berubah wujud menjadi Pak Kusno.

Dinda menelan ludah, dia benar-benar tak menyangka jika energi Sengkolo bisa semengerikan itu.

Ahmad yang ada di sebelah Dinda, mencoba bergerak, namun ia terus menahannya. Jika dalam kondisi normal, pasti dia sudah tidak akan bisa mencegah Ahmad untuk melawan Sengkolo.

“Tak gawe amrih awakmu ngilangi bendhelanku marang trah e Sukmaadji. Kudune yen kowe pengin slamet, abyurno pengilon sing ana ning omah iki ngengge getihmu”

(Aku buat supaya dirimu menghilangkan ikatanku dengan keturunan Sukmaadji. Seharusnya jika kamu ingin selamat, pecahkan cermin yang ada di rumah ini menggunakan darahmu) kata Sengkolo.

Dinda tersentak, dia paham. Selama ini dia diakali oleh demit itu. Seharusnya dia mencampurkan darahnya dan Ahmad sebelum melumurkannya ke permukaan cermin itu.

“Saiki dadi bojoku! Utawa tak pateni bapakmu kaya manungsa cubluk kae” (Sekarang jadi istriku! Atau aku bunuh ayahmu seperti manusia bodoh itu) ucap Sengkolo yang mulai berjalan mendekat.

Dinda dan Ahmad terkesiap, semerbak aroma bunga mawar mulai tercium. “Amet ruhku kanggo ijol e, culke anakku” (Ambil nyawaku sebagai gantinya, lepaskan anakku) pinta Ahmad lemah.

Sengkolo tak menjawab, dia terus memandang mereka. “Kusno miwah bojone wis tak pateni, nek kowe pengin nusul, tak arah patimu bengi iki uga” (Kusno dan istrinya sudah kubunuh, kalau kamu ingin menyusul, aku bunuh kamu malam ini juga) kata Sengkolo.

Dinda menggeleng berulang, mencoba bergerak mundur dan menarik tubuh Ahmad. Seolah sedang terhipnotis, mata Ahmad tampak kosong menatap ke arah depan.

Tak mau terjadi apa-apa dengan ayahnya, sekuat tenaga Dinda menarik Ahmad agar kembali masuk ke dalam kamar.

Akan tetapi Dinda menyadari ada sesuatu yang aneh. Tiba-tiba tubuh Ahmad mengejang pelan, kemudian kepalanya meneleng ke arah Dinda.

Jantung Dinda berdegup kencang, seketika bulu romanya bergidik. Sosok laki-laki yang sedang dipapahnya itu tiba-tiba saja menyeringai mengerikan. Tanpa diduga, Ahmad mendorongnya dengan keras hingga dia terjatuh menubruk dinding kamar.

Dinda terengah menahan sakit, sekilas dia melihat Ahmad berjalan menuju ke arah cermin yang sudah pecah. Dia tahu jika saat ini tubuh Ahmad kembali dikuasai oleh Sengkolo.

Kini Dinda bisa melihat dengan jelas, ayahnya sedang mengambil pecahan cermin yang ada di lantai. Awalnya dia mengira kalau Ahmad akan menggunakan benda itu untuk melukainya.

Namun, setelah beberapa saat, Ahmad hanya berdiri memandangnya dengan seringai menyeramkan. Kemudian dia mulai mengangkat tangan kanannya.

Dinda yang melihat itu dan menyadari sesuatu, Sengkolo merasuki Ahmad bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk melukai fisiknya.

Dengan gerakan secepat yang dia bisa, Dinda segera menerjang Ahmad. Brrrrrukkkk... sontak keduanya terjatuh ke lantai.

“Aaarrrrrghh” erang Dinda saat mendapati kaca yang dipegang oleh Ahmad menggores lengannya.

“Ayah, sadar! Jangan mau dikendalikan iblis itu” kata Dinda mencoba untuk menghentikan pergerakan Ahmad.

Ahmad tak menjawab, dia terus menyeringai dan mencoba untuk melukai dirinya sendiri. Bukkkkk.... sekali lagi Dinda merasakan kesakitan luar biasa pada tubuhnya.

Ahmad dengan kekuatan besar mendorongnya sampai tersungkur ke lantai. Napas Dinda terengah, tubuhnya mulai melemas.

“Wong iki sing jaluk dipateni!" (Orang ini yang minta untuk dibunuh!) katanya.

Dinda hanya terisak, dia sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Harapannya agar Pak Kusno dan Mbok Marni segera kembali ke rumah ini juga sudah pupus.

“Kudune menawa sagotrah iki ora macem-macem karo aku, nyukup wong iki sing bakal dadi ingonanku. Nanging kowe kabeh ora gableg adab!”

(Harusnya kalau keluarga ini tidak main-main denganku, cukup orang ini yang akan menjadi peliharaanku. Tetapi kalian semua tidak punya adab!) tambahnya menjelaskan.

Dinda mengerang, tanpa ampun Ahmad menekan luka sayatan di tangannya dengan kuat. Air mata Dinda berlinang, dia sudah benar-benar tak sanggup menghadapi semuanya.

Belum sempat Dinda berusaha untuk melapaskan diri. Ahmad sudah berdiri dan menariknya, “Ayah... sadar” isak Dinda.

Buuukkkk.... Dinda seketika dilempar hingga tubuhnya menabrak Dinding. Ahmad kembali berjalan, menarik sprei di atas kasur.

Dinda tersentak heran, apa yang akan dilakukan demit itu. Dilihatnya Ahmad naik ke atas kasur dan langsung mengikat sprei itu di tiang kelambu.

Dinda berusaha untuk bergerak, mencoba mencegah Sengkolo yang ingin membunuh ayahnya. Kini kain sprei itu sudah Ahmad lilitkan di lehernya, ia sudah memanjat ke atas tiang.

“Jangan, tolong hentikan” pinta Dinda sesenggukan.

“Menawa kowe gelem melu aku, tak eculke bocah iki” (Kalau kamu bersedia ikut denganku, akan kulepaskan bocah ini) jawab Sengkolo yang ada di tubuh Ahmad.

Dinda terus terisak, dia benar-benar tidak mau nyawa ayahnya hilang sia-sia. Ahmad belum pernah merasakan kebahagiaan selama hidupnya.

“Tulung eculke dhek-e, gawa ruhku” (Tolong lepaskan dia, bawa sukmaku) kata Dinda pasrah.

Sesaat setelah mengatakan itu, sosok Ahmad yang ada di atas seketika menjatuhkan diri ke bawah. Dinda yang sigap langsung mencoba menolong ayahnya.

Setelah membaringkannya, Dinda memandangi laki-laki itu. Air matanya mengalir deras. Di sisi lain, dia merasa bersyukur akhirnya bisa melihat orang yang selama ini sudah dinantikannya.

“Ayah, terima kasih sudah ada untuk Dinda walaupun sesaat. Titip salam rindu untuk Pak Kusno dan Mbok Marni, serta Adit ya. Semoga kebaikan dan kebahagiaan selalu menyertai kalian” kata Dinda parau.

Sekali lagi dia menatap wajah Ahmad, batinnya benar-benar hancur. Andai dia tak dilahirkan di dunia ini, mungkin semuanya tidak akan pernah terjadi. Andai dia tidak pernah menuruti egonya untuk mengetahui semuanya.

Tetapi semua sudah terlambat, memang sejak awal dedemit itu hanya mengincarnya bukan Ahmad atau yang lainnya.

Dinda beranjak, melangkah gontai menuju kamarnya. Ingin rasanya bertemu lagi dengan orang-orang yang dia cintai: Adit, Bu Nawang, Pak Kusno dan Mbok Marni.

Tetapi mereka seolah sudah semakin jauh, kini hanya menyisakan dirinya seorang. Tak ada yang bisa menolongnya, tak akan ada yang melindunginya lagi.

Sesaat dia memandang foto wanita yang melahirkannya. “Bu, Dinda kangen” kata Dinda yang seketika menangis dalam diam.

Sesaat setelahnya, Dinda kembali melangkah keluar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, saat ini dia hanya menunggu waktu kematiannya.

Tanpa arah dia terus melangkah, hingga dia berhenti di depan sebuah lukisan besar. “Eyang, sebentar lagi Dinda menyusul kalian. Tugas Dinda sudah selesai kan?” ucapnya parau.

Sambil mengusap air matanya, Dinda meneruskan langkahnya. Entah datang dari mana, seolah dia tahu apa yang harus dilakukan berikutnya.

Saat kembali ke kamar Sukmaadji, matanya terus tertuju kepada Ahmad yang masih terbaring. Ingin rasanya kembali memeluk laki-laki itu.

“Saiki wektune, cah ayu” (Sekarang waktunya, anak cantik) terdengar suara Sengkolo menggaung di telinganya.

Dinda tersentak, dia tahu demit itu tidak mungkin melepaskannya lagi. Segera dia mengambil pecahan cermin yang masih ada sisa darah milik Ahmad. Kembali berjalan menuju kamarnya. Di tempat itu lah, dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Sesampainya di kamar, Dinda segera membersihkan ranjangnya dan berganti pakaian. Bukan ingin menghormati Sengkolo, tapi jika nanti ada yang melihat jasadnya, setidaknya mereka tidak akan terlalu ketakutan.

Ia baringkan tubuhnya, sesaat dia memejamkan mata kemudian mengangkat tangan kirinya. Craatttt... darah memercik deras.

Seketika Dinda merasakan sakit yang luar biasa. Pelan tapi pasti, kesadarannya menghilang. Hingga saat napasnya mulai tersengal, ada sebuah cahaya muncul di depan matanya.

“Ayo, nduk” ucap Sengkolo, seolah menarik tangan Dinda.

Setelah itu semua menjadi gelap. Di atas tempat tidur, Dinda menghakhiri hidupnya. Bukan keinginannya tetapi hidupnya memang sudah digariskan untuk menghentikan ikatan ghaib yang sudah dilakukan oleh keluarga Sukmaadji.

***

Derasnya air hujan dan suara gemuruh guntur yang saling bersahutan tidak membuat langkah sepasang suami istri itu terhenti.

Mereka terus saja melangkah bahkan tanpa mempedulikan kondisi mereka yang sudah renta. Rasa khawatir terus saja muncul di hati mereka tatkala baru saja ada sebuah pertanda yang muncul setelah puluhan tahun tak terlihat.

“Pak...” panggil Mbok Marni, tetapi Kusno tidak menanggapinya. Matanya tetap terpaku pada rumah yang menyimpan banyak kenangan di dalamnya. Bagai sebuah gulungan film yang diputar begitu cepat, ingatan demi ingatan muncul dibenak laki-laki tua itu.

Mengusap pelupuknya yang basah karena genangan air mata bercampur air hujan. Kusno kembali melangkah dan buru-buru membuka pintu. Namun saat dirinya melihat ke dalam, seketika langkahnya terhenti...

“Kita sudah terlambat Bu...” ucap Kusno yang langsung bersandar pada dinding sampai tubuhnya merosot ke lantai.

Melihat ada seseorang yang datang, Ahmad menoleh ke arah sumber suara. “Pak Kusno” kata Ahmad.

“Dinda di mana, Mad?” tanya Mbok Marni celingukan mencari keberadaan cucunya.

Ahmad terdiam, tak menjawab. Pak Kusno yang sudah tahu hanya bisa melenguh. Jika Ahmad bisa selamat, berarti cucunya yang sudah tidak ada di dunia ini.

“Mad, Dinda ke mana?!” tanya Mbok Marni dengan suara lebih keras, dia masih belum percaya jika tidak melihat secara langsung bahwa cucunya telah tiada.

“Maafkan aku, Bu” kata Ahmad menunduk, air matanya keluar membasahi pipinya.

Dada Mbok Marni terasa begitu sesak, napasnya memburu, “Mad, Dinda ke mana?” ulangnya sekali lagi.

Ahmad menggeleng, dia menggenggam tangan wanita tua itu. Namun seketika Mbok Marni melepaskannya.

“Aku tanya, di mana cucuku?!!" jerit Mbok Marni hilang kendali.

Pak Kusno segera berdiri, dia memeluk erat tubuh istrinya. Tangisnya pecah, “Dinda di kamar” jawab Ahmad lirih.

Sontak, Pak Kusno dan Mbok Marni menoleh ke arah Ahmad dan langsung masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ambang pintu kamar, badan Mbok Marni mengejang, tatapannya lurus ke arah ranjang.

“Nduk?” ucapnya parau dan menghambur memeluk tubuh Dinda.

Pak Kusno hanya bisa melihat pemandangan itu dan menyenderkan tubuhnya ke pintu. “Dia memilih pergi, Mad?” tanya Pak Kusno parau.

Ahmad yang tak bisa menjawab hanya mengangguk. Dia sendiri tidak menyangka kalau Dinda memilih pergi meninggalkannya, memilih untuk mengakhiri ini semua dengan caranya sendiri, demi menyelamatkan nyawanya.

“Nduk, bangun, ini Simbok. Simbok sudah pulang” ucap Mbok Marni parau. Dia terus menggoyang-goyangkan tubuh Dinda.

“Dinda masih hidup, tapi aku tidak tahu sampai kapan kondisinya akan seperti ini” ucap Ahmad sesekali menyentuh bagian belakang kepalanya yang masih terasa pening.

“Apa maksudmu?” tanya Pak Kusno.

“Nadi dan napas Dinda masih ada, tapi dia tidak mau bangun. Harusnya dengan luka seperti itu tidak akan membuatnya koma” kata Ahmad tidak berani menatap mata Pak Kusno.

“Kau tahu kenapa? Sebab bagian dari jiwanya sudah dibawa pergi oleh dedemit terkutuk itu!” kata Pak Kusno yang langsung melangkah menuju Dinda. Sedangkan Ahmad hanya berdiri mematung tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

“Apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya Ahmad.

“Tidak ada, jika itu semua kemauan Dinda. Dia tidak akan pernah kembali lagi” kata Pak Kusno sendu.

Seketika Ahmad lunglai, tubuhnya merosot ke lantai. Tangisnya pecah, hatinya benar-benar hancur saat mengetahui jika anak semata wayangnya sudah memilih untuk pergi meninggalkan mereka semua.

***

Ahmad sedang berdiri di taman belakang rumahnya. Suasana nampak begitu tenang, dengan embusan angin menerpa kulitnya.

Dia pandangi sekelilingnya, tak menemukan seorang pun. Entah kenapa sejak tadi dia tertarik dengan bunga mawar yang mulai mekar.

Ahmad melangkah, mendekati tanaman itu. Sesekali dia menghirup aroma bunga itu, hal yang selalu mengingatkannya dengan sosok Ajeng.

“Yah...” terdengar suara wanita tepat dari arah belakangnya.

“Nduk” jawab Ahmad saat mengetahui suara itu milik Dinda.

Ahmad melangkah mendekati anaknya, tanpa menunggu lama dia langsung mendekap erat. “Kenapa nduk, kenapa kamu tega pergi meninggalkan ayah sendiri” kata Ahmad sesenggukan.

Dinda tidak melepaskan tubuh Ahmad, “Semua sudah digariskan. Apa yang Dinda lakukan saat ini untuk menyelamatkan keluarga kita. Sejak awal Eyang sudah memberitahu Dinda” kata Dinda tersenyum.

Ahmad melepaskan pelukannya, ia memandang Dinda lekat-lekat. Anaknya benar-benar terlihat cantik, dengan kebaya berwarna hijau.

“Pulang nduk, pulang” kata Ahmad sendu.

Dinda tersenyum, kemudian membelai pipi Ahmad. “Jaga diri Ayah, titip Pak Kusno dan Mbok Marni. Sampaikan permintaan maaf Dinda untuk Adit. Dinda sayang Ayah” ucap Dinda.

Seketika kabut tebal datang, membuat pandangan Ahmad kabur. Berkali-kali dia memanggil nama Dinda namun seolah sosok itu sudah pergi entah kemana.

“Dinda!” teriak Ahmad dengan napas memburu.

Kesadarannya mulai kembali, dia tahu itu semua hanyalah mimpi. Dinda anak semata wayangnya memang sudah pergi meninggalkannya. Memilih untuk hidup di dunia yang berbeda.

Tok...tok..tok

“Mad, ada tamu” kata Mbok Marni dari arah luar kamar.

“Siapa Bu?” tanya Ahmad sambil menyeka keringat yang ada di dahinya.

“Kamu lihat sendiri” kata Mbok Marni yang langsung melangkah pergi.

Terlihat ada tiga orang laki-laki duduk di kursi ruang tamu. Ahmad tidak mengenali mereka semua.

Segera Ahmad duduk. “Maaf, ada yang bisa saya bantu?” ucap Ahmad sopan.

“Saya Gunawan, ini Adit anak saya dan temannya, Arif” kata Gunawan.

“Adit?” pikir Ahmad.

“Saya tidak tahu kalian siapa, maaf tapi saya sedang tidak ingin diganggu” kata Ahmad sambil beranjak dari kursinya.

“Hamdan yang meminta saya untuk datang ke tempat ini beberapa waktu lalu” ucap Gunawan.

Ahmad terdiam, dia tahu apa yang akan dilakukan oleh ke tiga orang ini. “Hamdan sudah meninggal” ucap Ahmad parau.

“Saya tahu, tujuan saya ke sini untuk mencari Dinda” kata Gunawan lugas.

Ahmad kembali terdiam, awalnya dia ingin mengusir mereka. Tapi teringat dengan mimpi barusan lantas dia memandang Adit.

“Kamu Adit?” tanya Ahmad.

Adit mengangguk, “Dinda berpesan, untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Adit, calon suaminya” lanjut Ahmad.

“Sekarang Dinda dimana, Pak?” tanya Adit yang sudah hampir berdiri, namun dicegah oleh Arif. Sejak tadi laki-laki itu memperhatikan Ahmad dengan tatapan aneh.

Ahmad tampak mempertimbangkan sesuatu, beberapa kali dia menghela napas dalam-dalam. “Dinda ada di kamarnya” ucap Ahmad yang langsung meminta mereka untuk mengikutinya.

Seketika Adit bersemangat, hingga saat masuk ke dalam kamar Dinda, tubuhnya mematung, dia langsung berlari ke arah Dinda yang masih terbaring kaku di atas tempat tidur.

“Din, kamu kenapa? Pak, Dinda kenapa? Apa yang terjadi padanya?” tanya Adit panik.

Ahmad membisu, tidak menjawab pertanyaan Adit. “Pak, Dinda kenapa?” Adit mengulang pertanyaannya dengan nada lebih keras.

“Adit!” tegur Gunawan, seketika laki-laki itu diam.

“Kita bicara di luar” kata Ahmad segera keluar dari kamar.

***

“Tidak mungkin, tidak mungkin Dinda mau melakukan itu semua” ucap Adit tidak percaya.

“Nak, sudah” kata Mbok Marni mencoba menenangkan Adit.

“Rif, tolong. Dinda, Rif” kata Adit memohon agar Arif mau membantunya.

Arif hanya menggeleng, “Dia pergi atas kehendaknya. Tidak mungkin membawanya kembali ke dunia ini” Arif menjawab datar.

Seketika tangis Adit pecah, dia benar-benar tak menyangka. Kenapa Dinda bisa melakukan ini semua. Tanpa ada yang bisa mencegah, segera Adit pergi ke kamar Dinda. Mereka semua membiarkan, bahkan Ahmad yang sudah kehilangan harapan hidup hanya bisa tersenyum getir.

“Pak Kusno, saya mau ke kamar” ucap Ahmad yang langsung berdiri. Sementara Pak Kusno yang tidak tega dengan keadaan menantunya hanya bisa menuruti keinginannya.

***

Beberapa bulan berlalu, semua sudah tampak normal. Bahkan Ahmad sudah memulai kembali kesibukannya untuk melanjutkan usaha yang dimiliki oleh keluarga Sukmaadji.

“Pagi, Mbok” ucap Ahmad saat mendapati Mbok Marni tengah sibuk memasak.

“Mad, tumben sudah bangun. Biasanya manja pengen dianterin ke kamar sarapannya” ejek Mbok Marni.

“Huss, jangan gitu, mbok. Nanti bisa dimarahin Dinda kalau dia tahu” ucap Ahmad.

Mbok Marni hanya terkekeh, “Pak Kusno ke mana?” tanya Ahmad.

“Itu di taman, ngurusin kebunnya yang baru” kata Mbok Marni.

Lantas Ahmad segera beranjak keluar, “Pak Kusno, bisa kemari sebentar” panggil Ahmad.

“Kenapa, Mad?” tanya Pak Kusno heran. Semenjak kejadin pulang dari lembah pati perangai Pak Kusno sedikit berubah.

Dulu sosoknya yang suka berkelakar, kini menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. “Kemarin saya dapat kabar dari Ki Dayat, katanya Aryo sudah bisa berjalan. Dia meminta pertanggungjawaban Pak Kusno agar segera menengoknya dan mencarikan jodoh” kata Ahmad.

Pak Kusno terkekeh, dia benar-benar beruntung. Jika saja Aryo tidak ikut mungkin nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Meski dengan kondisi luka parah namun Aryo tetap berjuang mencari pertolongan.

“Sampaikan ke si Dayat, pekan depan saya ke sana” kata Pak Kusno segera berbalik. Namun Ahmad mencegahnya.

“Bisa kita bicara di dalam Pak?” tanya Ahmad serius.

Pak Kusno mengerutkan dahinya, segera mengikuti Ahmad. “Mbok, sini duduk, ada yang ingin saya sampaikan” ucap Ahmad.

Lantas kedua orang itu duduk, “Ada apa Mad?” tanya Pak Kusno.

Sesaat Ahmad diam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Semalam aku bermimpi bertemu Ajeng. Dia...” perkataan Ahmad terhenti.

“Dia kenapa Mad?” desak Mbok Marni.

“Dia meminta untuk mengikhlaskan Dinda” kata Ahmad tidak berani menatap mata kedua orang itu.

Deg... Seketika degup jantung Pak Kusno seperti terhenti. Seolah dia paham apa yang akan dilakukan oleh Ahmad.

“Aku ingin alat bantu hidup Dinda dilepas, sudah terlalu lama dia tersiksa” kata Ahmad dengan nada bergetar.

Mbok Marni diam, matanya berkaca-kaca. “Pak?” tanya Mbok Marni kepada Pak Kusno, berharap suaminya tidak setuju dengan keputusan Ahmad.

“Jika memang itu yang terbaik, lakukan Mad, aku pun tidak tega melihat cucuku tersiksa seperti itu. Jika memang kematian sejati jauh lebih baik, lakukan” ucap Pak Kusno langsung berdiri. Setetes air mata jatuh di pipi keriputnya.

Mbok Marni yang mendengar itu hanya bisa menangis sesenggukan. Dia menyesal telah meninggalkan cucunya saat itu. Andai saja dia tidak pergi, mungkin sekarang Dinda masih ada di sampingnya.

***

Cuaca terasa begitu sejuk, angin berembus pelan menerpa wajah orang-orang itu. Ahmad terlihat berjongkok di samping tubuh anaknya.

Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tak tumpah. Untuk terakhir kalinya dia mendekat ke arah telinga anak perempuannya. Bukan membisikkan sesuatu, melainkan mengumandangkan adzan untuk yang terakhir kali, untuk melepas kepergiannya.

“Terima kasih sudah hadir di hidup Ayah nduk” ucapnya dalam hati, sesaat setelah selesai melantunkan iqomah untuk jasad putrinya.

Sedang di atas liang lahat, tampak Pak Kusno memegangi Mbok Marni agar kuat berdiri. Adit yang dipapah oleh Arif, berusaha kuat menahan rasa kehilangannya.

Akhirnya, dengan keputusan berat. Ahmad melepaskan alat bantu medis yang ada di tubuh Dinda. Dia sudah mengikhlaskan semuanya.

Pasti berat, sesaat harus bertemu namun kemudian segera kembali dipisahkan oleh kematian. Inilah patah hati terbesar seorang ayah. Harus merelakan kepergian gadis kecil satu-satunya berpulang dengan cara yang berbeda.

Mulai sekarang, pulang ke rumah takkan pernah lagi sama hangatnya. Rumah itu akan kehilangan detaknya. Dalam doa dan rindu yang berjarak, mereka akan tetap dan senantiasa merindukan Dinda.

-TAMAT-

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mengikuti cerita ini sampai akhir. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun alur cerita.

Wasalam
close