Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 5)


JEJAKMISTERI - "Awakmu gak salah, seng salah ki aku, Lis" (Kamu tidak salah, yang salah itu Saya, Lis)

"Aku gak ngerti nek leh ku intuk banyu jebule ngorbanke Mbah Sanir, Lek. Ngerti ngunu, aku gak mangkat" (Saya tidak tau kalau sebab Saya mendapat Air ternyata mengorbankan Mbah Sanir, Lek. Tau begini Saya tidak berangkat) ungkap Kolis penuh sesal.

"Iki memang dadi jalukane Mbah Sanir. Dadi dewe seng ijek urep, khususe awakmu, ojo di siak-siakne le ngorbanke nyowo kanggo nglereni polahe Rahmi sak anak turune!" (Ini memang jadi permintaan Mbah Sanir. Jadi kita yang masih hidup, khususnya Kamu, jangan di sia-siakan pengorbanan nyawa untuk menghentikan sepak terjangnya Rahmi dan seluruh keturunannya!)
Sedikit geram suara dari Uyut Latip.

Matanya menatap ke langit, membayangkan bagaimana semua ini terjadi akibat dari persekutuan Murti Rahmi.

"Saiki seng penting jogo Adikmu. Tanggal Telulas wes cedak" (Sekarang yang terpenting jaga Adikmu. Tanggal Tiga Belas sudah dekat) sambung Uyut Latip wajahnya berubah tegang.

"Opo gunone banyu seng tak jikok seko pitung gon, Lek? Mbah Sanir seng akon wes ora ono" (Apa gunanya Air yang saya ambil dari tujuh tempat, Lek? Mbah Sanir yang menyuruh sudah tidak ada) sahut Kolis dengan pertanyaan yang mengganjal pikirannya.

"Dewe muleh sek, gak apik crito nang kuburane seng bersangkutan" (Kita pulang dulu, tidak baik cerita di makamnya yang bersangkutan) ajak Uyut Latip sembari melangkah dan di ikuti Kolis dari belakang.
Hari itu langit seakan ikut berduka.

Mendung-mendung tipis menyebar menenggelamkan paparan menyengat Matahari yang seharusnya sudah menampakan ujungnya.
Di bawah kesejukan alam, dua lelaki berjalan beiringan meninggalkan tanah makam umum.

Meninggalkan jasad Mbah Sanir yang sudah terpendam pulang ke asal, tanpa teman, kerabat, maupun tetangga.
Sesampainya di halaman, Uyut Latip dan Kolis di sambut seorang wanita setengah baya dengan berlari kecil keluar dari dalam rumah.

Wajah wanita itu tampak panik dan tegang, nafasnya tak teratur saat menghampiri Uyut Latip.

"Enek opo, Mi? kok keweden ngunu!?"(Ada apa, Min? seperti ketakutan begitu!?) tanya Uyut Latip.

"Anu, Yut! iku, ponak ane sampeyan ngamuk!"

(Anu, Yut! itu, keponakan Sampeyan marah!) jawab wanita tetangga Uyut Latip dengan gugup.
Tak membuang waktu, Kolis yang mengerti dengan ucapan wanita itu langsung berlari mendahului Uyut Latip. Ia tau jika yang di maksud adalah Komala. Namun belum tau apa yang sudah di lakukannya.

Beberapa jeritan terdengar oleh Kolis saat tiba di pintu depan. Segera ia bergegas ke dapur, dimana jerit ketakutan berasal.
Sesampainya Kolis di dapur, suasana seketika hening. Tak ada jeritan, tak ada teriakan.

Yang ada, dua sosok wanita tengah berpelukan di sudut dengan wajah pucat terbasahi keringat.
Tetapi saat mata Kolis menatap di samping pintu, ia pun terperanjat. dimana matanya menangkap hal aneh pada seorang wanita yang tak lain adalah Komala tengah duduk bersimpuh menghadap sebuah tampir anyaman bambu berisi berbagai macam aneka bunga sisa dari acara pemakaman Mbah Sanir.

"Nduk, Kom! awakmu ngopo kui!?" (Nduk, Kom! Kamu ngapain itu!?) seru Kolis melihat Komala yang duduk membelakanginya tengah meraup bunga.

Sebentar Komala memalingkan wajah. Menatap sinis dengan seringaian, menjadi jawaban atas seruan Kolis.

"Jarke disek, Lis. Ojo tok parani" (Biarkan dulu, Lis. Jangan Kamu dekati)

Kolis terdiam mengurungkan niatnya untuk mendekati Komala, setelah Uyut Latip yang baru datang mencegahnya. Ia hanya bisa menatapi dengan perasaan ngilu, manakala Komala menyuapkan bunga-bunga khusus untuk acara kematian ke dalam mulutnya.

Suap demi suap bunga-bunga itu masuk mulut dan perut Komala. Tak ada rasa jijik sama sekali, bahkan sebegitu lahapnya hingga tak bersisa selembarpun, aneka macam bunga di atas tampir.
Selesai memakan habis, Komala bangkit, berjalan lenggak lenggok bak seorang sinden menuju ke dalam kamarnya kembali. Satu senyum sinis kembali mengembang saat ia tepat bersampingan dengan Kolis dan Uyut Latip yang berdiri di ambang pintu.

Anggukan dan hempasan nafas panjang, menghantar kepergian dua wanita tetangganya yang sedari tadi ketakutan. Mereka yang seharusnya membantu Uyut Latip membereskan sisa-sisa kesibukan pemberangkatan jenazah Mbah Sanir, harus pulang lebih cepat di karenakan ulah Komala.

Kolis sendiri terlihat lesu. Tak hanya kesedihan, ia juga merasakan kelelahan setelah semalaman berkutat dengan kengerian. Namun dirinya enggan untuk beristirahat, meski Uyut Latip beberapa kali menyuruhnya.

Ia lebih memilih membantu Pamannya, merampungkan sisa pekerjaan yang di tinggalkan tetangganya.

"Lek, terus piye banyu seng tak jikok mau bengi?" tanya Kolis sembari duduk di sebelah Pamannya, setelah semua rapi.

"Banyu kui durung saiki le nggunakne. Mengko pas nang tanggal telulas, pas rituale Ratri nyambung tetalen" (Air itu belum sekarang menggunakannya. Nanti, saat tanggal tiga belas, saat ritual Ratri menyambung ikatan perjanjian) jawab Uyut Latip.

"Maksudte piye to, Lek? aku malah bingung" (Maksudnya gimana sih, Lek. Saya malah bingung) ujar Kolis belum mengerti.

"Mbah Sanir kui asline wes ngerti nek awakmu iso intok banyu pitong sumber, dewekne bakal dadi ijole.

Banyu kui salah sijine syarat kanggo mbatalke rituale Ratri seng arep ndadekne Jasmoro karo Komala peneruse. Mulo pinter Jasmoro nandur janine disek nang rahime Nduk Kom. Mbah Sanir karo Bapakmu podo. Podo-podo ngorbanke nyowo kanggo ngancurke Murti Rahmi"

(Mbah Sanir itu aslinya sudah tau jika kamu mendapatkan air dari tujuh sumber, dirinya akan menjadi penebusnya. Air itu salah satunya syarat untuk membatalkan ritualnya Ratri yang akan menjadikan Jasmoro dan Komala sebagai penerusnya.

Maka pintarnya Jasmoro menanamkan janinnya terlebih dahulu di rahim Nduk Kom. Mbah Sanir dan Bapakmu sama. Sama-sama mengorbankan nyawa untuk bisa menghancurkan Murti Rahmi) ucap Uyut Latip menjelaskan.

"Nek hubungane Mbah Sanir karo keluargane Murti Rahmi, nopo, Lek?" (Kalau hubungan Mbah Sanir dengan keluarga Murti Rahmi, apa Lek?) tanya Kolis masih bingung.

"Asline cedak. Bahkan iseh ono gandeng geteh antarane Mbah Sanir karo Ratri" (Aslinya dekat. Bahkan masih ada ikatan darah antara Mbah Sanir dengan Ratri) jawab Uyut Latip.

"Kabeh iki di awali goro-goro warisan omah, antarane Rahmi karo kakange, Broto. Memang asal mulane seng serakah Broto. Omah prabon peninggalan wong tuone di hak i dewe. Seko kunu lah Rahmi dendam, sampek akhire muja Iblis alas Geong. Gak sitik nyowo seng dadi korbane, mulai bojone dewe, keluargane Broto, lan wong liyo seng di kehendaki, termasuk wong tuoku, seng artine yo Mbahmu dewe. Mbah Sanir kui, keluarga terakhire Broto seng lolos seko Srenggine pati Rahmi"

(Semua ini di awali dari perkara warisan rumah, antara Rahmi dan kakaknya, Broto. Memang asal mulanya Broto lah yang serakah. Rumah Prabon peninggalan orang tuanya di hak i sendiri. Dari situlah Rahmi dendam, sampai akhirnya bersekutu dengan Iblis hutan geong. Tak sedikit nyawa yang jadi korbannya, mulai suaminya sendiri, keluarga Broto, dan orang lain yang di kehendaki, termasuk orang tuaku, yang artinya Kakek/Nenekmu sendiri. Sedangkan Mbah Sanir, Keluarga terakhirnya Broto yang lolos dari jerat kematian Rahmi)

DENDAM RAHMI (1970-an)

"Tidak bisa! Aku akan tetap menjual Rumah ini!" Satu suara keras dengan di barengi gebrakan meja, membuat beberapa orang yang duduk di sekitarnya, terjingkat.

"Maaf, Pak Broto. Jangan buru-buru emosi! Kita musyawarahkan semua masalah ini dengan baik-baik dan secara kekeluargaan" sahut salah seorang lelaki setengah baya, berseragam dinas, yang duduk di hadapan laki-laki berkumis tebal, Pak Broto.

"Tetap saja, Pak Kades. Apapun hasil dari musyawarah ini, setuju tak setuju, mau atau tidak mau, Rumah ini akan saya jual" Broto, menjawab dengan sedikit menurunkan tensi suaranya.

"Jangan begitu, Pak Broto. Bagaimanapun juga, Rahmi adalah Adik kandungmu" sahut kembali, sosok lelaki berseragam yang di panggil Pak Kades.

"Tak apa, Pak Kades. Jika Kang Broto memang ingin menjual Rumah Prabon ini, Saya rela, Saya Ikhlas!" ujar seorang Wanita berhijab hitam yang sedari datang hanya diam, sedikit ketus. Membuat suasana di ruang tamu, sesaat hening.
Satu tarikan nafas panjang dari sosok Pak Kades, berbenturan dengan dengusan sengit Broto, sebelum tanganya mengeluarkan sebuah Map dari tas hitamnya.

"Silahkan, Pak Broto dan Mbak Rahmi. Tanda tangan di sini" Perintah Pak Kades sembari menunjukan letak kolom, yang harus di tanda tangani.

"Saya harap, setelah ini tak ada lagi gugatan atau laporan sengketa dalam bentuk apapun!" sambung Pak Kades, setelah memasukan selembar kertas perjanjian yang sudah di tanda tangani Broto dan Rahmi, kedalam map.
Senyum lebar penuh kemenangan, seketika menggema di ruangan itu. Broto berkali-kali memuji dua lelaki berseragam, sepeninggalan Rahmi.

"Pak Kades, Pak Bekel. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Bapak berdua. Tanpa bantuan Bapak, aduh... Saya pasti tak akan bisa mendapatkan Rumah itu" ucap Broto, yang di iringi gelak tawa.

"Sama-Sama Pak Broto. Sudah kewajiban Saya dan Pak Bekel, untuk membantu Pak Broto" sahut Sasongko atau Sang Kades.
Sementara Pak Bekel, hanya menyunggingkan senyum penuh makna. Beberapa kali matanya terlihat mengerling, memberi satu isyarat yang di mengerti Sasongko.

"Apa Pak Broto, jadi mencalonkan diri sebagai anggota dewan?" tanya Sasongko, dengan wajah serius.

"Tentu... Tentu, Pak Kades. Saya sudah mendapat restu dari salah satu Partai. Bahkan, ada satu Partai lagi yang siap mendukung Saya" sahut Broto, dengan semangat yang menggebu.

"Untuk itulah tujuan utama Saya, mendapatkan Rumah Prabon. Biasalah Pak Kades... Tambahan modal..." sambung Broto, di barengi gelak tawa ceria.

"Yang penting Pak Broto, tidak lupa dengan janji-janjinya" ujar Sasongko dengan nada mengingatkan.

"Pasti akan Saya tepati! Pak Kades dan Pak Bekel, gak usah khawatir. Malah, Saya ingin nantinya Sampean berdua masuk dalam tim sukses Saya, setelah urusan penjualan Rumah selesai... Bagaimana?" jawab Broto di barengi dengan sebuah penawaran.

Sejenak Sasongko dan Pak Bekel, saling pandang. Namun, sebentar kemudian, wajah keduanya nampak berbinar seraya menerima tawaran Broto dengan mantap...

*****

Di sisi lain, Rahmi. Yang baru saja sampai di rumahnya sendiri, terlihat gontai dan lesu, saat menghempaskan tubuhnya di sofa. Matanya memandang lurus ke depan dengan kilatan amarah terpancar.

Rasa nyeri dalam dadanya seketika menyeruak, manakala bayangan kejadian beberapa bulan, minggu dan baru saja, kembali menari-nari dalam pikiranya.
Sejenak wajah Rahmi berpaling, kala suara sepeda motor milik Suaminya, memasuki halaman depan, yang tak seberapa luas.

Rohmadi, Laki-Laki yang sudah mendampingi Rahmi selama 15 tahunan, dan sudah di karuniai dua orang Anak, tampak heran melihat wajah murung Istrinya.
Setelah mengucap salam yang di jawab lirih oleh Rahmi, Rohmadi menaruh tas cangklek hitam yang selalu menemaninya saat mengajar, dan bergegas kembali menemui Rahmi.
Di tatapnya lekat-lekat wajah Rahmi. Ada keraguan yang tiba-tiba muncul, saat Rohmadi ingin melontarkan kalimat pertanyaan yang sejak awal dirinya pulang, dan melihat wajah suram Istrinya, sudah bergelanyut di benak.

"Sudah selesai semuanya Mas. Hancur!" ucap Rahmi mendahului, tanpa menoleh ke arah suaminya.
Rohmadi terdiam, wajahnya menciut dengan kening berkerut.

"Maksudmu, Dek?" sahut Rohmadi, bingung.

"Aku sudah menyerah! Aku sudah menyerahkan Rumah Prabon pada Kang Broto" Bergetar suara Rahmi menjawab, dan dengan wajah memerah.
Rohmadi tertegun, setelah mendengar penuturan Rahmi. Wajahnya menunduk, dengan mata menatap meja bertilam kain putih, seakan tengah mencerna ucapan dari Istrinya.

"Ya sudah, Dek. Ikhlaskan saja" ucap Rohmadi pelan.

"Tak semudah itu Mas! Meskipun Aku sudah menandatangani surat perjanjian, tapi hatiku masih tidak terima" sahut Rahmi sengit bernada berat.

"Aku menandatangani surat itu, karena Aku capek! Setelah berbulan-bulan tanpa penyelesaian" sambung Rahmi kembali, masih dengan expresi memendam amarah.

"Untuk saat ini, sementara ini, Aku mengalah bukan kalah!" Kembali satu suara tegas Rahmi, sembari bangkit dan melangkah, meninggalkan Rohmadi, yang masih duduk termangu.
Tarikan nafas panjang Rohmadi terdengar begitu berat. Dirinya hafal betul dengan sifat Istrinya. Bisa berbuat nekat bila tersentuh sesuatu yang membuatnya tersinggung, apalagi sampai sakit hati.

Raut wajah Rohmadi semakin mempias penuh kekhawatiran, saat Rahmi keluar dari kamar dan berlalu tanpa pamit serta tak berkata apapun. Rohmadi yakin, jika kepergian Rahmi kali ini, bukan hanya sekedar main atau belanja, tapi lebih kepada urusan sengketa WARISAN!

"Apa kamu sudah pikir mateng-mateng, Mi? Resikonya? Biayanya?" ucap seorang wanita berambut sebahu, yang baru saja di datangi Rahmi.

"Sudah, Sul. Aku sudah memikirkannya. Aku gak akan menyesal apapun yang terjadi, di kemudian hari!" sahut Rahmi, dengan suara geram penuh amarah.
Satu helaan nafas panjang dari lawan bicara Rahmi, Sulia, mengawali sejarah panjang nan kelam perjalanan hidup Rahmi.

Kedamaian, ketentraman yang selama ini menaungi kehidupannya, seakan sirna. Dirinya yang di kenal wanita kuat, baik, dan pekerja keras, sepertinya luntur masuk dalam dilema sebuah masalah klasik.

Hingga akhirnya, ia memilih, memutuskan dengan tekad bulat, sebuah penyelesaian dengan caranya sendiri....

*****

Sore itu, di saat suara Adzan dari beberapa Masjid terdengar bergantian, memberi isyarat para hamba-hamba untuk menunaikan kewajiban, Rahmi dan Sulia tak lagi menghiraukannya.
Keduanya terlihat sedikit terburu-buru, menyusuri jalanan desa yang masih asri dengan hamparan sawah-sawah menghijau di kanan kiri.
Rahmi yang berada di belakang, membonceng Sulia, seperti tak tertarik sama sekali dengan pemandangan alam sore itu. Pikirannya masih berkutat dalam balutan amarah, dendam, yang sudah ia tahan dan menumpuk di dada, setelah berbulan-bulan lamanya. Membuatnya melupakan bila dirinya adalah seorang Istri, dari seorang Suami yang taat dalam Agama, juga seorang Ibu dari kedua Anaknya.

Tiga puluh menit sudah berlalu, namun Sulia yang menjadi driver motor milik Rahmi, juga sebagai penunjuk jalan, masih terus memacu dan mengarah ke ujung utara.
Sebuah keberanian yang luar biasa, dua orang wanita yang rela menempuh jalanan sepi, dan terkenal akan keangkeran di setiap balik rerimbunan sela-sela hamparan sawah, demi sebuah urusan duniawi yang tak berpangkal.

"Kita hampir sampai, kamu nanti gak boleh ragu, atau membatalkan jika sudah masuk dan bertemu dengan Mbah Sali. Kalau kamu ada keraguan, takut, lebih baik dari sekarang kita pulang!" ucap Sulia sambil memelankan laju kendaraan.

"Gak, Sul. Aku gak ragu atau pun takut. Kamu tenang saja!" jawab Rahmi mantap, tegas, di sela gemuruh angin terpaan laju motor.
Sulia akhirnya kembali menarik tuas gas, setelah mendengar tekad Rahmi yang tak surut. Ia pun tak lagi segan-segan melewati jalanan sunyi, penuh kubangan, menembus semilir angin senja, di area sebuah hutan tipis.
Sepuluh menit kemudian, Sulia membelokkan kendaraan, dan menghentikannya, di sisi sebuah persimpangan kecil yang hanya bisa di lalui dengan berjalan kaki. Rahmi yang baru pertama melihat dan datang ke tempat itu, hanya menurut dan mengikuti Sulia dari belakang.
Puluhan meter, Rahmi berjalan beriringan dengan Sulia. Menembus jalanan redup dan sedikit becek, untuk bisa sampai pada sebuah rumah kecil, atau tak lebih dari di sebut sebuah gubuk.
Langkah kaki keduanya terhenti tepat di depan lima tangga kayu yang mengarah ke atas. Dimana terdapat sebuah pintu papan bersusun penuh celah, sebagai akses utama untuk masuk ke dalam gubuk.
Sunyi dan hening, sebentar terasa menyentuh jiwa Rahmi. Namun dari semua itu, tak di pungkiri oleh Rahmi bila ada ketidak nyamanan mulai menghinggapi.

"Krriieeettt...."

"Lho ono tamu, tibake?" (Lho ada tamu, rupanya?)

Rahmi & Sulia sedikit terperanjat kaget, mendengar suara pintu terbuka, di susul suara serak seorang lelaki tua berbaju batik lusuh, dengan paduan blangkon berbahan kain hitam terlipat, membalut kepala, menutupi rambut putihnya.

"Njeh, Mbah. Niki kulo Suliah" (Iya, Mbah. Ini saya Suliah) sahut Suliah memperkenalkan diri.

"Ohh, koe to. Yo kene mlebu, nang njobo wes surup" (Ohh, Kamu to. Ya sini masuk, di luar sudah petang) Ajak lelaki tua, dengan wajah datar.

Tanpa menyahut dan menunggu ajakan kedua kali, Sulia dan Rahmi segera menaiki lima tanggga kayu dan melangkah masuk mengikuti sosok pemilik gubuk.
Sesampainya di dalam, tubuh Rahmi seketika merinding.

Pias di wajahnya begitu jelas melihat isi dalam gubuk yang tak lebih luas dari ruang tamu rumahnya. Dimana, di setiap sudut ruang berdinding papan, tertutupi kain hitam menjuntai di atas sebuah tungku kecil yang mengeluarkan kemeluk asap putih, dengan aroma khas wangi kemenyan

"Ono perlu opo, Nduk. Kok surup ngene nekat mlebu rene?" (Ada kepentingan apa, Nduk. Sudah petang seperti ini nekat masuk kesini?) tanya sosok lelaki tua, sembari meletakkan tiga buah dimar lampu, di lantai papan bertilam kain tebal lusuh, sebagai penerangan.

"Niki, Mbah. Rencang kulo, wonten masalah. Bade nyuwun bantuan kaleh simbah, kangge ngrampungake masalae meniko" (Ini, Mbah. Teman saya, ada masalah. Mau minta bantuan sama Simbah, buat menyelesaikan masalahnya itu) jawab Sulia, menjadi wakil bicara Rahmi.

"Opo masalae, Nduk?" (Apa masalahnya, Nduk?) tanya sang lelaki tua kembali.
Saat itu, Sulia pun langsung memberi isyarat pada Rahmi, agar dirinya sendiri yang menceritakan semua permasalahannya.

Satu tarikan nafas, mengawali cerita panjang Rahmi. Ia begitu detail menceritakan dari awal konflik, hingga ujung akhir yang membuat dirinya nekad datang ke tempat sangat jarang orang tau itu.
Sang lelaki tua berperawakan tinggi kurus, yang mendengarkan begitu seksama, sebentar menganggukan kepala beberapa kali. Matanya yang cekung, sesaat menatap Sulia dan Rahmi bergantian. Sebelum tatapannya lekat, bersarang pada tubuh bersimpuh Rahmi.

"Nek ngunu, opo saiki jalukanmu? opo seng kudu tak lakoni kanggo ngewangi ngrampungke urusanmu? tapi sak durunge, ilingo! yen kabeh seng tok karepke iku bakal kewujud, mesti ono penitene!" (Kalau begitu, apa sekarang maumu? apa yang harus saya lakukan untuk membantu menyelesaikan urusanmu? tapi sebelumnya, ingat! kalau semua yang kamu inginkan itu bisa terwujud, pasti ada imbalannya!) ucap sosok lelaki tua tegas, setelah mengetahui permasalahan yang di hadapi Rahmi.

"Njeh, Mbah. Kulo siap kangge penitene nopo mawon, asal nopo seng dadi kekarepane kulo kelaksanan" (Iya, Mbah. Saya siap untuk imbalannya apa saja, asal apa yang menjadi keinginan saya terlaksana) jawab Rahmi tanpa ragu, membuat sosok lelaki tua yang di panggil Mbah Sali, tersenyum tipis.
Perbincangan terus berlanjut dengan semua tujuan dan apa yang di mau Rahmi. Terkadang, kenekatan Rahmi yang di ungkapkan, membuat Sulia sedikit terperanjat.

Ia tak menduga, jika sahabat karibnya sedemikian berambisi. Tak hanya ingin memberi pelajaran pada kakaknya sendiri, namun kini terkandung maksud lain, yang dirinya baru tau.

Setelah semua keinginan telah mendapat kesanggupan Mbah Sali, dan Rahmi pun menyanggupi semua syarat, malam itu menjadi awal terjadinya sebuah perjanjian. Di buka dengan sebuah ritual yang wajib bagi Rahmi, dasar dari beberapa ritual selanjutnya.

"Mi, awakmu kok nekat tenan? iki ora dolanan lho, Mi!" (Mi, kamu kok nekad sekali? ini bukan main-main lho, Mi!)
Sulia, yang mengetahui tujuan ganda Rahmi, dan sebelum Rahmi memulai ritual awal, bersempat diri mencoba mengingatkan.

Namun hal itu, hanya di tanggapi sebuah senyum sinis keputus asaan, yang tersudut di bibir Rahmi.
Tak lama, Rahmi pun beranjak meninggalkan Sulia, setelah satu isyarat dari Mbah Sali, yang menyuruhnya untuk masuk ke sebuah pintu bertutup kain hitam, mengarah ke belakang pondok.

Sesampainya di belakang, di tempat berukuran 2x2 meter tanpa penyekat sekeliling, Rahmi sejenak tertegun.
Ada sedikit rasa risih, saat Mbah Sali memberi penjelasan rentetan ritual awal yang harus ia jalani.

Salah satunya, ia harus menari dengan keadaan tanpa tertempel sehelai benang, setelah membersihkan diri dengan segentong air bertabur bunga yang telah siap di hadapannya.

"Wes siap, Nduk?" (Sudah siap, Nduk?) tanya Mbah Sali pelan, namun sempat membuat tubuh Rahmi sedikit terjingkat.
Tak ada jawaban saat itu dari mulut Rahmi, tapi dari anggukan pelan kepalanya, sudah cukup mengisyaratkan persetujuan tanpa bisa di tarik kembali.

Perlahan, di iringi suara nyanyian serangga malam, Rahmi melepas satu persatu pakaian yang menempel di tubuhnya. Mempertontonkan bagian-bagian vital pada lelaki tua yang tak seharusnya.

Dingin, di rasa menusuk tulang Rahmi, saat guyuran demi guyuran air bertabur kembang, membasahi kulit tak berbungkus apapun miliknya. Matanya terpejam, bibirnya tergerak, mengikuti kalimat-kalimat sebuah mantra, yang di lafadkan Mbah Sali.

Tak berapa lama, tepat setelah guyuran air dan gumaman kalimat mantra berakhir, Rahmi merasakan sapuan angin lembut seperti meraba. Tubuhnya sedikit tersengat, ketika sapuan angin itu terus menerus terasa menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Siap-siappo, Nduk. Delok neh, seng bakal ngewangi awakmu rawuh!" (Siap-siaplah, Nduk. Sebentar lagi, yang akan membantumu datang!) ujar lirih Mbah Sali di telinga Rahmi.
Dan tak lebih dari lima tarikan nafas, setelah Rahmi mendengar bisikan lirih suara Mbah Sali, satu hempasan angin beraroma wangi kembang kuburan, seketika mengejutkan Rahmi.
Tubuhnya terasa panas, kaku, serta sesak di bagian dada yang menembus ke punggung belakang. Seketika itu Rahmi merasakan kembali perubahan aneh di tubuhnya.

Tak hanya perasaan ringan di bagian sendi serta bagian tubuh lainnya. Ia juga merasa bila otot-otot yang menjalar, seperti lentur tergerak dengan sendirinya. Dan tepat saat itu juga, telinga Rahmi samar mendengar suara gemerincing bersambut alunan musik kenong, yang membuat tangan dan kakinya bergerak mengikuti.
Rahmi sadar, bila apa yang tengah di lakukannya sama persis dengan apa yang di gambarkan Mbah Sali. Sehingga ia pun terus mengikuti tanpa menolak.
Lama Rahmi menari mengikuti tiap alunan musik kenong bergemerincing, namun tak terlihat siapa penabuhnya. Ia terus berlenggak lenggok, sampai akhirnya, saat di rasa telah menghabiskan sebuah tembang, tubuh Rahmi terdiam bersamaan suasana yang kembali hening.

"Bukak en mripatmu, Nduk. Awakmu wes rampung. Wes ono seng bakal ngewangi.

Saiki, awakmu wes dadi temantene Pasung Pati, wes nduweni bojo meneh, seko sak jroning kawah peteng ing jagad lelembut!" (Buka matamu, Nduk. Kamu sudah selesai. Sudah ada yang akan membantumu. Sekarang, kamu sudah menjadi pengantin Pasung Pati, sudah mempunyai suami lagi, dari tempat kegelapan yang maha luas bangsa lelembut!)

Kali ini, tak lagi lirih, tak lagi pelan, suara Mbah Sali yang terdengar di telinga Rahmi. Suara itu tegas, menggema, membuatnya segera membuka mata, seperti perintah yang di ucapkan Mbah Sali.

Harum semerbak tercium memenuhi rongga hidung Rahmi, sesaat sebelum matanya terbuka. Setelahnya, decak kagum bersamaan bola matanya yang membeliak, menandakan sesuatu yang aneh tengah Rahmi alami. Betapa tidak, yang kini terpampang di depannya, di sekelilingnya, adalah sebuah taman indah dengan aneka tanaman bunga berwarna-warni. Bukanlah kawasan hutan tipis, yang hanya bercahaya redup dari obor dimar, dengan hiasan rerimbunan serta suara serangga malam.

Rasa kagum Rahmi sesaat terhenti ketika matanya menangkap sesosok lelaki tampan bertelanjang dada, yang tengah berjalan ke arahnya. Menyadari jika dirinya saat itu masih dalam keadaan tanpa busana, membuat Rahmi gugup.

Namun, di saat bersamaan, Rahmi juga merasakan sesuatu yang aneh menjalar melewati urat-urat sarafnya. Semakin lama, hal itu semakin membuat Rahmi seperti orang lumpuh, hingga akhirnya ia pun jatuh tersimpuh tepat di hadapan sosok lelaki bertubuh tegap, dengan berhias ikat kepala manik-manik.

"Mi, kamu sudah bangun?" tanya Sulia, ketika melihat Rahmi membuka mata.
Rahmi yang saat itu dalam posisi terbaring bertutup selembar kain jarik batik, terlihat bingung. Ia hanya terdiam, mengedarkan mata sayunya, menyapu seisi ruangan.

"Wes, Nduk. Wes rampung ritual awalmu. Tangi, mulih o" (Sudah, Nduk. Sudah selesai ritual pertamamu. Bangun, pulanglah)
Suara berat Mbah Sali akhirnya yang membuat Rahmi tersadar penuh. Ia kemudian bangkit, cepat-cepat mengenakan pakaiannya.

Tak berapa lama, dengan sudah kembali rapi, Rahmi berpamitan pulang. Tapi sebelum meninggalkan tempat yang tak pernah ia tau tanpa adanya Sulia, tempat yang kini telah mengubah jalan hidupnya, tempat yang akan menjadi persinggahan terakhirnya kelak, beberapa pesan dari Mbah Sali, menjadi langkah pertama bagi Rahmi menapaki satu perjalanan panjang, bercahaya hitam.
Satu keanehan, seketika di rasakan Sulia dan Rahmi, manakala keduanya lepas dari jalan kecil menuju simpang tempat mereka memarkirkan kendaraan awal.

Hampir saja Sulia berbalik arah ingin kembali ke tempat Mbah Sali, jika tak di cegah oleh Rahmi. Bukan tanpa alasan Sulia merasa ketakutan. Sebab, ia tau betul, jika di sekitar tempat itu, yang sudah beberapa kali ia datangi bahkan sebelum membawa Rahmi, ia tak pernah melihat satupun rumah yang berdiri.
Namun kali ini, matanya jelas dan terang melihat sekeliling tempat itu telah berdiri puluhan pondok berjejer di sepanjang jalan. Tak hanya itu, hilir mudik dari beberapa sosok layaknya sebuah perkampungan, semakin membuat Sulia ketakutan. Tapi hal berbeda justru di rasa Rahmi. Ia seolah begitu akrab dan mengenal tempat itu. Bahkan, tak kala dirinya yang berjalan di depan, saat berpapasan dengan sosok-sosok manusia berwajah pucat pasi, mereka selalu menunduk, seolah menaruh rasa hormat.
Hal itu semakin mengundang rasa heran di samping takut dalam diri Sulia. Ia tak menyangka jika Rahmi, walau ia tau adalah seorang pemberani, namun melihat kejadian saat itu, dirinya seperti melihat sosok berbeda pada diri Rahmi.

"Sudah, kamu tenang saja, Sul. Ini tak seperti yang kamu pikirkan" ucap Rahmi, seperti tau apa yang tengah di pikirkan Sulia.

"Kamu benar-benar berhasil, Mi. Tak kusangka tekadmu melebihi yang aku bayangkan" sahut Rahmi sembari meraih stang Motor yang masih terpakir di sebelah persimpangan.
Buru-buru Sulia menghidupkan mesin dan segera menarik tuas gas. Meninggalkan tempat yang aneh dan menakutkan baginya. Ia terus berfokus ke depan, ke jalanan yang di terangi cahaya obor di sepanjang kanan kiri.

Tanpa memperdulikan tatapan sosok-sosok wanita bertapi kain jarik, dan juga para lelaki yang bertelanjang dada ketika melewatinya.
Sulia merasakan dan sadar betul, bila saat itu dirinya dan Rahmi berada bukan di alam mereka. Namun, ketika hal itu ia ungkap, Rahmi selalu diam.

Ia seakan tak menghiraukan semua ucapan Sulia. Hingga tiba di ujung jalan perkampungan aneh itu, lagi-lagi Sulia di kejutkan satu pemandangan menakutkan. Dimana, tepat di depannya, puluhan wanita dan lelaki tanpa busana berbaris di bawah sebuah gapura bertiang susunan batu bata yang tinggi menjulang.

"Teruskan, Sul. Ingat pesan Mbah Sali! jangan menoleh apalagi berbalik sebelum melewati Gapura itu"
Sulia, yang sudah di selimuti rasa takut, akhirnya meneruskan perjalanan setelah mendengar ucapan Rahmi.

Dirinya sendiri yang sudah lama mengenal sosok Mbah Sali pun percaya, jika apa yang sudah di pesankan olehnya, pantang untuk di langgar.
Meski telah terbiasa dengan hal-hal mistis, Sulia baru kali ini merasakan hal menakutkan sampai membuat tubuhnya seolah mati rasa.

Bahkan, saat tepat melewati barisan sosok-sosok berkulit putih pucat pasi, ia merasakan dadanya terasa sesak. Entah karena bau wangi bunga kamboja yang berasal dari tubuh mereka, atau karena rasa takutnya yang luar biasa.

Sulia akhirnya sedikit bernapas longgar, saat telah melewati beberapa meter gapura tinggi dengan dua buah obor besar yang terpasang di dua tiang kanan dan kiri. Ia yang tak kuasa lagi menahan rasa tegang, sejenak menghentikan laju kendaraan.

Menarik nafas dalam-dalam, sebelum turun serta membalikan badan. Hal yang sama di lakukan oleh Rahmi, dirinya yang berdiri di sisi Sulia, bersamaan menatap ke arah belakang.
Hal aneh dan mengejutkan lagi-lagi di alami oleh Sulia, saat matanya hanya melihat kegelapan berkabut dan rerimbunan hutan tipis di belakangnya. Tak ada lagi gapura, tak tampak lagi sosok-sosok berwajah pucat layaknya mayat, seperti yang baru saja ia lewati.

"Kenapa kamu heran, Sul? bukankah kamu sudah beberapa kali datang kesini dan lebih dulu tau tempat ini serta kenal Mbah Sali? tapi, kok kamu seperti bingung dan ketakutan gitu?" ucap Rahmi yang lebih merasa heran oleh sikap Sulia.

"Aku memang mengenal Mbah Sali dan tempat ini sudah sejak lama. Tapi, baru kali ini aku di perlihatkan sesuatu yang ada di tempat ini. Dan satu lagi yang masih membuatku bingung, apakah ini karena ritualmu, Mi?" jawab Sulia dengan piasnya.

"Sudah, Sul. Jangan bahas itu lagi. Lebih baik kita sekarang pulang. Sepertinya, ini sudah tengah malam. Dan Aku mohon, apa yang sudah Aku lakukan, hanya kamu saja yang tau! sampai kapanpun!" sahut Rahmi pelan dan tegas.

Sulia hanya terdiam, tertegun, dan sedikit terhenyak, mendengar penuturan Rahmi. Ia sama sekali tak menyahut ucapan Rahmi. Tapi lebih memilih kembali mengemudi, sebab dirinya juga menyadari jika malam sudah terasa jauh tenggelam...

"Dari mana kamu, Dek?"
Pertanyaan itulah yang pertama terdengar di telinga Rahmi, sesampainya ia di rumah.

"Dek, Aku tau kamu sedang ada masalah, tapi mbok ya kasih kabar, kasian Rosyid sama Ratri nungguin dari tadi"

Lagi, suara pelan Rohmadi, mengiringi kesibukan Rahmi yang sedang berganti pakaian. Ia mendengar, tapi belum sepatah katapun menanggapi. Barulah, ketika Rahmi telah selesai, ia pun mendekat dan duduk di samping Rahmadi.

"Aku cari hiburan, Mas. Cari obat sumpek pikiranku" ucap Rahmi pelan, tanpa merasa bersalah.
Rohmadi terdiam, bukan karena ucapan alasan, melainkan ada satu hawa aneh yang ia rasakan dari tubuh Rahmi.

Sejenak ia menatap wajah sang istri, sangat terlihat berbeda. Wajah yang sore tadi ia lihat murung bersungut, kini tampak cerah bersinar. Namun, justru dari situ, Rohmadi merasakan kejanggalan.

"Kamu kenapa, Mas? kok liatinnya seperti itu?" tanya Rahmi, menyadari bila sang suami tengah menatap dirinya dengan sorot berbeda.
Saat Rohmadi ingin menyahut, saat itulah terdahului satu teriakan melengking dari kamar sebelah, tempat di mana kedua anaknya terbaring.

Buru-buru Rohmadi dan Rahmi menghampiri kamar itu. Keduanya terperanjat kaget, ketika melihat sang anak lelaki, Rosyid, menggigil di sudut kamar dengan menunduk serta mata terpejam penuh ketakutan.

"Rosyid! kamu kenapa, Nak?" ucap Rohmadi seraya menghambur dan memeluk anak lelakinya yang berumur sepuluh tahun.
Tak lama, Rosyid yang mengetahui kehadiran Bapaknya, segera memeluk erat. Ia sebentar menghentikan isak tangisnya.

Kemudian berkata pelan sambil menunjuk ke arah ranjang sebelah.
Baru lah Rohmadi yang saat itu merasa bila pangkal jeritan hanya ketakutan dari Rasyid yang belum ia tau sebabnya, terjawab saat matanya beralih mengikuti telunjuk Rasyid.

Di ranjang kecil, yang terletak bersebelahan dengan ranjang milik Rasyid, Rohmadi melihat tubuh kecil Ratri anak keduanya, mengejang tanpa jeda. Matanya melotot, giginya bergantik, seraya mendengus seperti seekor kerbau yang sedang marah.

Rohmadi cepat menghampiri tubuh mungil Ratri. Rasa paniknya tak terbendung. Lantunan Istighfar menyambung deras keluar dari bibirnya, namun hal itu justru membuat suara dengusan dari Ratri semakin kencang bergemuruh.

Rahmi yang hanya terpaku, seketika tersadar dengan keadaan saat itu. Akan tetapi, ia bukan mendekat ke arah Rasyid maupun Ratri yang dalam pelukan Rohmadi, melainkan ia menuju belakang, ke salah satu ruangan kosong, tempat biasa ia menyimpan barang-barang bekas tak terpakai.

Di situ, di ruang penuh sarang laba-laba dan berdebu, Rahmi sejenak berdiri mematung. Menundukan kepala, memejamkan kedua matanya sambil menggerakan kedua bibirnya.
Tak sampai sepuluh tarikan nafas Rahmi melakukan itu, ia kembali membuka matanya.

Menatap lurus ke depan, tepat pada satu sosok makhluk bertanduk, yang telah berdiri di hadapannya.

"Koe ojo pisan-pisan nyalahi tetalenmu karo aku! Nek ora pingin amise geteh alus rencak, dadi gantine!"

(Kamu jangan sekali-kali menyalahi perjanjianmu denganku! Kalau tidak ingin amisnya darah halus murni, jadi penggantinya!).
Geram di sertai dengusan, suara sosok bermata merah menyala pada Rahmi.

Saat itu Rahmi pun tersadar, bila dirinya telah melakukan satu kesalahan, yang telah dirinya perbuat sendiri.

"Iki dadi pengilingmu!" (Ini jadi pengingatmu!) ujar kembali sosok bertanduk dengan hiasan manik-manik melingkari, selaras dengan tubuhnya yang terbalut bulu hitam nan lebat, sebelum menghilang.

Rahmi cepat-cepat membalikan tubuh, setelah wujud sosok itu berganti kepulan asap kabut memudar. Ia segera kembali ke dalam kamar anaknya, tapi sebelum itu, dirinya menyempatkan diri untuk mengambil segelas air sebagai satu alasan di hadapan Rohmadi.

Sesampainya Rahmi di kamar, ia langsung merengkuh tubuh kecil Ratri yang tengah dalam belaian Rohmadi. Sekilas, wajah kecil pucat Ratri memandang tajam ke arah Rahmi. Ia seperti ingin menolak uluran segelas air dari tangan ibunya.

Namun saat gelas tersentuh tangan Rohmadi, ia segera meneguk sampai bersisa hanya beberapa tetes.
Kejadian itu di rasakan aneh oleh Rohmadi. Ia seperti melihat ada ketakutan dalam diri kedua anaknya.

Meski selama ini Rohmadi tau, jika kedua anaknya memang sedikit lebih dekat kepadanya dari pada Rahmi, namun melihat sorot mata Rosyid terutama Ratri saat itu, Rohmadi meyakini ada hal lain yang di rasakan mereka.
Pagi itu, Rahmi terbangun sedikit terlambat dari biasanya.

Ia sadar jika semalam memang dirinya baru bisa memejamkan mata, saat waktu tak berjarak jauh dengan suara Adzan subuh. Tapi hal itu seperti tak berpengaruh apa-apa pada dirinya, yang biasa akan panik, tergesa-gesa ketika mengetahui ia terlambat, sebab satu pekerjaan yang menuntutnya untuk datang di waktu pagi, sebagai seorang pedagang bumbu masak di sebuah pasar tetangga desa.
Tak mendapati siapapun di rumah, Rahmi segera berberes diri. Kemudian bersiap, namun bukan untuk berdagang.

Hal itu terlihat dari jalan yang ia lalui. Sebuah jalan yang lebih sepi, dan jarang dirinya lewati.
Sekitar tiga puluh menitan Rahmi berkendara, tanpa berpapasan dengan siapapun. Tak lama kemudian, ia berhenti tepat di pinggir jalan depan sebuah rumah tembok berhalaman luas.

Rumah dengan bangunan bergaya lawas dan sedikit termodif pada bagian teras depan, terlihat berbeda bagi Rahmi. Hal itu terjadi semenjak rumah peninggalan orang tuanya, yang kini tengah ia pandangi, menjadi sengketa antara dirinya dengan Broto, sang kakak kandung.

Tapi itupun Rahmi kalah, tersingkir, dan tak lagi memiliki hak untuk ikut campur dengan apa yang bakal di lakukan kakaknya, terhadap rumah Prabon tersebut.

Memikirkan hal itu, kesedihan menggurat jelas di wajah ayunya. Namun sekejab, parasnya berubah, tatapannya menjadi tajam, nyalang memerah, menandakan letupan amarah, yang sekian lama tertumpuk di benak.

"Kamu bisa menguasai! tapi tak akan pernah bisa memiliki, Kang!" gumam Rahmi penuh rasa geram, sebelum kembali menaiki Motornya, dan meninggalkan bangunan penuh kenangan di masa kecilnya.
Rahmi terus memacu kendaraannya. Menyusuri jalanan hitam pinggiran kota, melawan teriknya sang penguasa langit di waktu siang. Namun lagi-lagi itu bukan jalan yang mengarah ke rumahnya, akan tetapi menuju ke sebuah pasar kota yang sangat ramai dengan kesibukannya.

Setelah selesai membeli beberapa barang kebutuhan, Rahmi pun segera beranjak pulang. Ia terlihat lega, saat dirinya memasuki rumah yang di bangun bersama sang suami, Rohmadi, masih sepi. Menandakan jika sang suami dan kedua anaknya belum kembali.

Rahmi dengan segera mengemasi semua barang-barang yang baru saja ia beli, dengan sengaja berbelanja di pasar yang bukan tempat dirinya berjualan mencari nafkah. Entah oleh sebab apa, namun melihat apa yang ia beli, bukanlah satu keanehan.

Tarikan nafas lega seketika terhembus dari hidung Rahmi, saat suami dan kedua anaknya yang tak berselisih lama datang, tepat setelah ia merapikan semuanya. Hal itu tentu tak menjadi satu pertanyaan dan kecurigaan sang suami.

Sebab bila Rohmadi mengetahui apa yang sedang dirinya persiapkan, bukan tak mungkin bakal menjadi satu masalah besar baginya.
Waktupun terus bergulir, paparan cahaya panas dari sang surya mulai meredup, menjadi tanda bahwa hari merangkak senja.

Membuat hilir mudik para kawula muda di desa Krajan (samaran), mulai meramaikan jalanan. Sudah tak mengherankan satu kebiasaan di desa itu, antara yang muda dan para orang tua berbanding balik. Jika waktu senja para orang tua berangkat ke sawah maupun ladang, tapi anak-anak mereka memilih berkumpul, bergerombol, di tiap-tiap tempat yang sudah mereka tentukan.
Berbeda halnya dengan yang di lakukan Rahmi sore itu. Ia yang baru saja menyelesaikan kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga, terlihat berkemas.

Tanpa menunggu Rohmadi dan kedua anaknya yang biasa berada di Madrasah saat sore, Rahmi segera bergegas pergi.
Rahmi lagi-lagi menyusuri jalanan sepi yang ia lewati siang tadi. Namun kali ini ia terlihat berbeda, mulai dari wajah hingga laju kendaraannya, seperti tergesa dan berburu dengan waktu. Hingga tak berapa lama, akhirnya Rahmi sampai di tempat yang ia tuju, tempat yang sangat dirinya cintai, tempat yang sudah memberikan dirinya banyak hal, tempat di mana bakal mengawali dari rangkaian kengerian dan kesadisan yang terlahir dari rasa sakit hati, hingga harus menjadikan Rumah Prabon peninggalan orang tuanya, sebagai Neraka tersembunyi.

*****

"Srekkk... Srekkk... Srekkk...."
Langkah Rahmi saat kakinya mulai menapaki halaman berumput tipis. Wajahnya datar, matanya menyorot penuh keberanian, meski saat itu langit mulai gelap.
Ia terus saja mengayunkan kakinya menuju area belakang.

Melewati sisi kiri rumah, yang berbatas dengan jalan tembus ke arah desa sebelah.
Rahmi baru menghentikan langkah, ketika kakinya tepat berdiri di ambang pintu belakang. Ia tau dan sangat hafal, jika hanya pintu belakang yang bisa ia lewati untuk bisa masuk ke dalam rumah.

Dan tak lama hal itupun terbukti, saat dengan mudahnya ia membuka daun pintu kayu, yang sudah terlihat kusam.
Hening dan gelap, suasana di dalam rumah yang hampir lima tahun tak berpenghuni setelah Ibu Rahmi meninggal. Membuat kesan seram dalam rumah itu, sangat jelas di kala waktu malam. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Rahmi.
Dalam pikiran Rahmi saat itu hanya ingin segera menyelesaikan salah satu ritual persekutuannya. Agar dirinya bisa segera membalas sakit hati, dan tak kehilangan tempat dimana ia di lahirkan.

Setapak demi setapak Rahmi melangkah. Menyusuri, melewati, ruang demi ruang gelap tanpa cahaya. Ia begitu gesit dan sangat mengenal di tiap sudut, hingga memudahkannya untuk sampai di salah satu ruangan sedikit lebar yang menjadi tujuannya.

Di tempat itu, Rahmi mulai mengeluarkan bungkusan yang ia tenteng sedari rumah. Ia memeriksa satu persatu, meraba, guna memastikan.
Sebentar Rahmi menghidupkan tiga buah lilin yang ia bawa. Menjadikan ruangan seperti sebuah kamar sedikit terang.

Ia kemudian duduk bersila, menghadap satu cawan berukuran sedang dan sebuah tungku. Kepulan asap seketika menyebar, berasal dari tujuh buah dupa yang baru saja ia bakar dan ia letakkan di dalam tungku. Tak lama, bau menyengat aroma dupa itu, berbaur dengan wangi bunga tiga warna yang Rahmi tabur di atas cawan.
Rahmi sejenak menunduk, memejamkan mata, seraya bergumam lirih membaca bait-bait kalimat yang di ajarkan Mbah Sali.
Gemuruh deru angin menjadi sebuah tanda.

Juga menjadi akhir bibir Rahmi melafadkan untaian kata bermakna sebuah mantra. Setelahnya, Rahmi pun segera membuka mata, menatap tajam pada kepulan asap dupa, sebelum mengedar ke sekililing.
Tepat di saat suara gemuruh angin berhenti, mata Rahmi mendapati beberapa sosok telah berada di ruangan itu. Ia sebentar terperanjat, kaget, melihat apa yang telah ia lakukan, mampu mengundang makhluk-makhluk menakutkan yang selama ini belum pernah dirinya lihat secara langsung.

Ada sedikit kengerian dalam hati Rahmi ketika ia mengalihkan pandanganya ke arah sudut kanan ruangan bercahaya lilin itu. Dimana, ia melihat tiga sosok berwajah hancur mengelupas berdiri dan tengah menatapinya dengan tajam.

Perasaan ngeri itu bukan karena Rahmi takut dengan bentuk mereka, melainkan dengan wajah-wajah mereka yang seperti tak asing dan sangat dirinya kenal.

"Wektumu ngamorko sak lebure, Nduk!" (Waktunya kamu menyatu, Nduk!)
Rahmi tersentak, ia menengadahkan wajahnya ke atas sebentar, setelah mendengar seruan perintah tak berwujud.

"Baik, Mbah!" sahut Rahmi yang tersadar bila itu suara dari Mbah Sali yang memberi tahunya, bila harus segara menyelesaikan ritual.
Buru-buru Rahmi meraih secarup bunga di atas cawan. Menyuapkan ke dalam mulut dan mengunyahnya.

Sebentar kembali ia memejamkan mata, dan tak lama, kunyahan aneka bunga tersembur dari mulutnya menyebar seantero ruangan.
Hal itu langsung membuat suasana lagi-lagi bergemuruh. Memunculkan hawa panas serta aroma anyir menyengat, menyambut kemunculan sesosok wanita bergaun putih panjang lusuh, dengan juntaian rambut acak-acakan, yang tepat bersimpuh di hadapan Rahmi sambil melototkan dua bola matanya.

Setelah ritual malam itu, kehidupan Rahmi kembali seperti semula. Ia juga telah mulai pada profesi biasanya sebagai seorang pedagang.
Seperti halnya pagi itu, tepat hari ketiga. Rahmi telah bersiap dengan barang dagangan bertumpuk di keranjang belakang Motor nya.

Ia pun segera berangkat mengais rezeki setelah berpamitan dengan Rohmadi serta dua anaknya.
Suasana pedesaan yang masih sedikit gelap dan berhawa dingin, tak menghalangi niat Rahmi untuk menembusnya.

Setibanya ia di pasar antar Desa, Rahmi melihat suasana sudah begitu riuh ramai. Ia pun segera menggelar dagangannya di lapak yang sudah dirinya huni bertahun-tahun, dan sempat ia tutup selama tiga hari.

Hari itu, adalah hari pertama Rahmi berjualan setelah ia melakukan persekutuan dengan Iblis. Dan di mulai dari saat matahari menyembul, keanehan di rasakan Rahmi.
Lama semakin lama, keanehan itu membuat Rahmi riang.

Pasalnya, hari-hari biasa ia berjualan biasanya akan sampai pada waktu siang untuk bisa mendapat untung. Bahkan, terkadang harus menjual barang dagangannya sedemikian murah agar bisa laku supaya minimal bisa mengembalikan modal.

Tapi pagi itu, dirinya tak butuh waktu berjam-jam untuk bisa menjual habis barang daganannya.
Sontak, hal itu mengundang perhatian beberapa teman dan penjual lainnya sekitar tempat Rahmi berjualan. Ada sebagian yang menganggap hal itu hanya kebetulan nasib baik Rahmi, tapi tak sedikit yang mulai menaruh rasa curiga.
Rasa heran juga tak luput dari benak Rohmadi. Dirinya yang belum sempat berangkat ke tempatnya mengajar, namun sudah mendapati sang Istri telah pulang dengan keranjang kosong.

"Cepet banget, Dek. Jam segini sudah pulang?" tanya Rohmadi mencoba memastikan.

"Lha, orang jualan kalau barang dagangan habis, ya pulang to Mas!" jawab Rahmi sedikit ketus.

Mendengar jawaban Istrinya yang tak seperti biasa, Rohmadi hanya diam.

Ia memang merasakan betul, bila dalam tiga hari terakhir, mendapati adanya perubahan pada diri Istrinya.

"Ya sudah, Dek. Aku berangkat dulu, anak-anak juga sudah siap" Pamit Rohmadi yang telah siap dengan tas hitamnya, serta dua anaknya yang juga telah berseragam rapi.

"Iya"
Singkat dan dingin, jawaban yang keluar dari bibir Rahmi. Ia bahkan terkesan acuh pada kedua anaknya, membuat Rohmadi hanya bisa menarik nafas panjang sambil berlalu.
Selepas kepergian Suami dan Anaknya, Rahmi terduduk diam di ruang tamu.

Matanya menyorot nanar ke jalan depan rumahnya, seperti tengah mengolah pikiran.
Hal itu berlangsung hingga beberapa puluh menit lamanya, dan baru tercairkan saat sebuah Motor berpenumpang dua lelaki berhenti di halaman rumahnya.

"Buk, Rahmi. Maaf, pagi-pagi mengganggu. Tadinya kami mencari Ibu di Pasar, tapi kata pedagang sebelah Ibu, Buk Rahmi sudah pulang, makanya kami langsung ke sini" ucap salah satu lelaki setelah mengucap salam dan berbasa basi sebentar.

"Iya, saya juga baru pulang. Kalau boleh tau, ada apa Pak Bekel mencari saya? jika menyangkut urusan Rumah Prabon sudah bukan lagi urusan saya!" jawab Rahmi sedikit sinis.

"Benar, Buk. Tapi ini selaku pihak yang akan membeli, ingin bertemu Ibu dahulu" ujar Pak Mirat, atau biasa di panggil Pak Bekel.
Mendengar hal itu, Rahmi langsung mengalihkan pandangannya pada seorang lelaki yang duduk di samping Pak Bekel.

"Apa Pak Sugir yang mau membeli rumah itu?" tanya Rahmi pada lelaki yang ia tau bertempat tinggal di Desa sebelah.

"Rencana begitu, Mbak Rahmi" jawab Sugir, salah satu orang mapan di Desa Gading Sari (samaran), yang ingin membeli Rumah Prabon.

Ia pun kemudian menjawab panjang lebar alasan membeli serta tujuannya datang menemui Rahmi. Di samping memastikan tak ada lagi sengketa, ia juga sudah berencana untuk memindahkan barang-barang di dalam Rumah, yang sebagian dirinya dengar adalah milik Rahmi.

Untuk itu, ia meminta ijin pada Rahmi untuk mengemasinya.

Rahmi sendiri tak keberatan dengan semua rencana dari Sugir. Selintas, tak terlihat sedikitpun amarah maupun penyesalan di wajah Rahmi, membuat Pak Bekel yang sedari awal mengamati, merasa heran akan perubahan sikap Rahmi, bertolak dengan beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, setelah sang tamu berpamitan dan beranjak pergi, seringai sinis seketika menghias dari sudut bibir Rahmi.

***

Menjelang sore, suasana sedikit riuh, tak biasa terlihat di Rumah Prabon peninggalan orang tua Rahmi.
Beberapa lelaki berpakaian rapi tampak berdiri sembari memperhatikan tiap-tiap sudut bangunan dengan wajah serius. Terkadang, salah satu dari lelaki itu berteriak, mengarahkan empat orang berpakaian kotor yang keluar masuk rumah seraya membawa barang-barang dari dalam.
Hal itu berlangsung cukup lama, dan sempat menarik perhatian warga yang kebetulan melintasi jalan depan rumah itu.

Para warga beranggapan, bila status rumah itu telah aman dari sengketa dan sudah berpindah tangan.
Namun, tanpa mereka tau, tanpa mereka sadari, jika sore itu adalah lonceng pertama sebuah tragedi kematian.

"Ohh... Ya, Pak Broto. Tadi pagi saya sama Pak Wirat sudah menemui Mbak Rahmi. Dan sudah setuju, jika barang-barang miliknya, saya kemasi. Jadi, bila barang-barang milik bapak sudah tak ada lagi, saya minta tolong pada pekerja bapak buat sekalian mengemas barang milik Mbak Rahmi" ucap seorang lelaki berkemeja polos pada lelaki berkumis tebal, Broto.

"Tentu, silahkan Pak Sugir. Tapi kalau tak salah, barang-barang milik Rahmi cuma ada di satu kamar saja. Itupun tak banyak" sahut Broto, pada Sugir.

Selesai berucap, Broto kemudian mengajak Sugir masuk dengan di temani Pak Wirat.

Ketiganya kemudian berjalan menuju satu ruangan berpintu kayu motif bagian tengah.
Tak lama, Broto memanggil dua anak buahnya untuk membuka pintu guna memeriksa isi di dalamnya.

Satu keanehan seketika di rasa Broto, saat dengan mudahnya pintu yang dirinya tau biasa terkunci, terbuka. Dan keanehan itu menjadi rasa keterkejutannya, manakala mendapati dalam kamar kosong, hanya berisikan sebuah lemari kayu lapuk.

"Kenapa, Pak. Kok seperti bingung?" tanya Pak Wirat, seperti mengetahui kekagetan Broto.

"Ndak apa-apa, Pak Bekel. Cuma heran, barang-barang Rahmi kok sudah tidak ada? padahal, kunci rumah ini dan semua yang ada di dalamnya, tak pernah aku sentuh atau mengambilnya" jawab Broto masih dengan kening berkerut.

"Sudahlah, nanti akan saya tanyakan pada Rahmi" sambung Broto yang tak ingin larut dalam rasa herannya.

Broto akhirnya mengajak Sugir dan Pak Wirat keluar dari kamar. Namun sebelum itu, ia memerintahkan dua anak buahnya untuk tetap mengeluarkan lemari lapuk, yang menjadi satu-satu barang milik Rahmi di dalam kamar itu.

Ketiganya melangkah keluar, berniat untuk melanjutkan kesepakatan yang baru tercapai secara lisan.
Akan tetapi, baru saja langkah ketiganya mencapai lantai teras, satu jeritan melolong mengejutkan mereka.

Buru-buru mereka serentak membalikan badan dan segera menghampiri sumber suara, yang ternyata berasal dari kamar tempat dua orang yang ingin memindah lemari milik Rahmi.
Seketika, wajah Broto, Pak Wirat dan Sugir berubah panik memucat, menyaksikan genangan darah di lantai yang berasal dari kepala dan tubub salah satu pekerja Broto.

"Ada apa, Sar! Kenapa Angga?" seru Broto penuh kepanikan pada salah satu pekerjanya yang dirinya perintahkan untuk memindahkan lemari.

"Gak tau, Pak, Tadi dia terpeleset dan jatuh. Saya kira gak apa-apa, tapi kok malah seperti ini keadaannya" jawab anak buah Broto.
Kepanikan langsung menyelimuti seluruh orang yang ada di tempat itu.

Tiga orang pekerja dan di bantu Pak Bekel, segera mengangkat tubuh bersimbah darah milik salah satu pekerja Broto serta membawanya keluar. Namun, hal itu telah terlambat sebab tubuh lelaki 35an sudah tak lagi bernyawa.

Sontak saja kejadian itu menggemparkan warga sekitar. Mereka yang melihat langsung mayat Angga, pekerja Broto, seolah tak percaya dengan penyebabnya. Apalagi menilik matanya yang melotot seperti ketakutan, membuat asumsi orang-orang pun beragam.

Suasana sedikit tenang setelah mayat Angga di bawa untuk di serahkan pada keluarganya. Terlihat hanya beberapa orang yang masih tertinggal di rumah itu, salah satunya Pak Wirat.

Ia menerima tugas dari Broto untuk menemani tiga pekerja yang akan membersihkan kondisi rumah, termasuk darah Angga.
Hari semakin gelap, Adzan Maghrib telah selesai berkumandang, menandakan waktu siap berganti warna dengan alam yang juga berubah cuaca.

Menyadari hal itu, Pak Wirat bersegera menyuruh tiga orang pekerja yang masih terlihat sedih bercampur takut untuk menyelesaikan perintah Broto.
Kemudian, ketiganya masuk dengan bermodalkan lampu Patromax dan senter di kepala.

Saat tiba di kamar tempat meninggalnya Angga beberapa jam lalu, hawa aneh langsung di rasakan Pak Wirat dan ketiga orang pekerja yang masih berbaju kotor.
Mereka terdiam, membisu, dan hanyut dalam pikiran masing-masing.

Merasai keanehan dalam kamar terutama pada lantai yang akan mereka bersihkan. Sangat jelas di mata ke empatnya saat itu, yang terbantu dari cahaya lampu dan senter tak ada lagi genangan darah yang mengotori. Yang ada, hanya bekas tapak-tapak kaki tak beraturan.

"Pak!" seru salah satu dari ketiga pekerja pada Pak Wirat seakan menegaskan keadaan.
Pak Wirat sendiri hanya berpaling dan menatap ketiga pekerja tanpa berkata apa-apa. Ia yang juga melihat hal itu, mulai tersusupi rasa takut.

"Sudah, kita tinggalkan saja!" Ajak Pak Wirat akhirnya, setelah berpikir sejenak.

Mereka akhirnya berjalan meninggalkan Rumah itu dengan perasaan bercampur. Antara bingung, sedih dan juga rasa takut.

Namun, dari ke empatnya, hanya Pak Wirat yang merasakan keanehan hingga menimbulkan kecurigaan atas semua rentetan kejadian di rumah Prabon itu.

*****

Rasa duka mendalam benar-benar di rasakan keluarga Angga malam itu. Setelah prosesi pemakaman jenazahnya, seperti biasa warga sekitar berduyun-duyun datang untuk ikut mendoakan, tak terkecuali Rohmadi yang di anggap salah satu orang yang mengerti tentang Agama.

Dari mulai awal, terjeda sebentar acara doa, hingga akhir acara, sebagian orang masih terus membicarakan kematian Angga yang di anggap sedikit aneh. Akan tetapi semua itu hanyalah sebatas pembicaraan tanpa tau kebenarannya.

Hal itu sedikit mengganjal dalam pikiran Rodian. Oleh sebab kematian Angga yang di anggap aneh, tepat di dalam kamar bekas Rahmi dan dirinya sewaktu masih hidup bersama kedua orang tua Rahmi atau pada masa Rahmi baru melahirkan Rosyid.

Rohmadi terus saja memikirkan kejadian itu, hingga saat dirinya pulang bersama beberapa tetangganya. Ia terlihat banyak diam, saat mereka membicarakan sembari berjalan beriringan.
Tak lama, setelah beberapa tetangganya telah sampai di rumah masing-masing, Rohmadi mempercepat langkah untuk segera sampai di rumahnya. Ia bertujuan untuk menayakan perihal kejadian itu pada Rahmi yang ia anggap tau. Sebab saat kejadian, Rohmadi menduga Rahmi ada di Rumah Prabon yang telah di ambil alih oleh Broto kakaknya.

Namun baru saja ia menginjak halaman rumahnya, mendadak langkah Rohmadi terhenti.
Sejenak ia berdiri mematung. Menatap lurus ke arah sudut kiri rumahnya, tempat sebuah bayangan berkelebat tertangkap bola matanya.

Rohmadi akhirnya memutuskan untuk menghampiri. Berjalan mengendap, menapaki halaman berpasir dengan perasaan tegang. Tapi saat tiba di sudut tempat matanya melihat sekelebat bayangan, Rohmadi tak menemukan apa-apa.

Yang ada hanya rerimbunan bunga pagar hasil tanamannya sendiri berpenerangan redup dari sorotan lampu yang tergantung di sudut atas.
Beberapa puluh detik Rohmadi masih terus mengamati sekeliling. Ia baru membalikan badan saat memastikan tak ada apapun.

Akan tetapi, ketika kakinya menginjak ambang pintu, tetiba saja hidungnya membaui satu aroma wangi khas bunga kuburan.
Ia pun tersentak, mendapati wangi itu semakin pekat seperti bersumber di dekatnya.

Rohmadi kemudian mencoba mencari sumber wewangian yang sangat di kenalnya itu. Menuntunnya untuk mengikuti hingga tanpa sadar kembali menyusuri sisi kiri rumahnya.
Rohmadi baru tersadar dan seketika terkejut saat matanya menangkap sesuatu terseret di tanah tepat di ujung belakang bangunan rumahnya. Wajah Rohmadi pun spontan memucat saat mengetahui jika sesuatu yang terseret itu adalah untaian rambut hitam memanjang.

Meski tersusupi rasa takut, Rohmadi tetap mencoba mencari ujung dari rambut berbau wangi bunga kamboja itu. Dalam hati, tak henti-henti Rohmadi berdoa, sebab dirinya yakin jika sang pemilik rambut bukanlah manusia.

Rohmadi terus mengikuti suara gemresek yang di timbulkan juntaian rambut hitam menyapu tanah. Sampai beberapa langkah kemudian, tetiba untaian rambut itu berhenti, membuat Rohmadi seketika ikut menghentikan langkahnya.

Sejenak Rohmadi terdiam menatapi rambut itu dan mengarahkan pandangan mencoba mencari ujungnya. Namun sampai sejauh matanya melihat, ia tak menemukan sosok pemilik rambut itu. Yang terlihat hanyalah gelap di ujung tanpa terlih apapun.

Hal itu semakin membuat dirinya penasaran dan nekat ingin melihat, mengabaikan rasa takutnya yang ia tahan dengan Doa.
Akan tetapi, saat kakinya ingin melangkah mendekat serta menyusuri sepanjang juntaian rambut itu, harus tertahan oleh satu sentuhan tangan dan seruan dari belakang.

"Kamu ngapain di sini, Mas?"

Terjingkat Rohmadi mendengar seruan di belakangnya.
Ketegangan yang menyelimutinya, sejenak mengendur kala ia memalingkan wajah dan mendapati Rahmi telah berdiri di belakangnya.

"Dek, Aku... Aku tadi..." sahut Rohmadi tergagap.

Melihat hal itu, Rahmi segera menarik lengan Rohmadi. Tanpa mampu menolak, Rohmadi akhirnya mengukuti. Namun sebelum melangkah lebih jauh, Rohmadi sempat memalingkan wajah, memastikan kembali helaian rambut memanjang yang tak ia ketahui ujung maupun pemiliknya.
Lagi-lagi Rohmadi tersentak. Ia sebentar menghentikan langkah, saat matanya melihat rambut itu terseret melayang oleh sesosok bayang putih yang tak jelas rupa dan bentuknya, seperti menembus ke dalam rumahnya.

"Mas, ada apa! apa yang kamu lihat?" tanya Rahmi sedikit ketus.

"Dek, Aku seperti melihat sesuatu. Aku merasa ada bahaya di rumah kita" Cepat Rohmadi bergegas menuju ke dalam rumah, setelah menyingkap tangan Rahmi yang mengendur di lengannya.

Namun, sesampainya Rohmadi di dalam, ia tak menemukan hal aneh. Ia kemudian memeriksa seluruh ruangan, dari sudut ke sudut, tapi tetap saja tak ada yang ganjil. Bahkan ketika ia masuk ke dalam kamar anaknya, keduanya terlihat sangat pulas dalam pangkuan mimpi.

"Sebenarnya kamu ini kenapa, Mas? dari sepulang tadi kok aneh?" ucap Rahmi kembali yang baru saja menyusul masuk.

"Bener, Dek. Aku tadi melihat... Ahh, Aku sulit menjelaskannya" jawab Rohmadi bingung.

"Lihat apa? Kamu kayaknya yang aneh, Mas. Dari tadi Aku di rumah gak melihat apa-apa dan juga tidak merasakan kalau ada bahaya" sahut Rahmi sedikit mengeraskan suaranya.

"Tapi, Dek!"
"Sudahlah, Mas! Aku mau istirahat"

Kali ini Rohmadi hanya terdiam. Ia menyadari bilapun hal itu diteruskan akan menjadikan perdebatan. Meski dalam hatinya, masih begitu yakin dengan apa yang baru saja ia lihat.
Rohmadi akhirnya memutuskan untuk menyusul beristirahat di dalam kamar.

Berbaring di sisi Rahmi yang seperti sudah terlelap membelakangi. Hal itu memunculkan gemuruh rasa sesak di dada Rohmadi. Sebab dalam beberapa hari ini, ia melihat sikap Rahmi sangat jauh dari sebelumnya.
Rahmi yang sekarang di mata Rohmadi, sangat acuh, tidak perduli dan seolah menganggap dirinya tak ada. Bukan saja pada dirinya, melainkan juga pada kedua anaknya. Pikiran Rohmadi semakin lama semakin terhanyut dalam keresahan. Membuatnya lelah tanpa berujung, hingga tanpa terasa matanya perlahan terkatup.

Dingin dan lembab, tiba-tiba di rasakan menyapu kulit Rohmadi. Ia yang kembali membuka mata setelah entah berapa menit, jam, terlelap, berniat untuk membungkus tubuhnya dengan selimut.
Sesaat, tangan Rohmadi yang ingin menarik selimut, terhenti.

Ia tertegun sebentar sembari menajamkan telinganya yang baru saja tersusupi lamat-lamat suara gamelan dari arah belakang rumah.
Suara itu semakin lama di rasa Rohmadi semakin jelas. Membuatnya seketika bangkit dan beranjak dari ranjang.

Rasa tak percaya Rohmadi akhirnya menuntun kakinya melangkah mencari sumber suara.
Perlahan, ia menyusuri lorong dalam rumah yang mengarah ke belakang. Sesampainya ia di ruang dapur, Rohmadi berhenti. Matanya mengedar, menatapi tiap sudut ruangan, namun hanya tumpukan serta deretan alat-alat dapur yang tertangkap netranya.
Sekilas rasa ragu menyembul pada wajah Rohmadi. Ia beranggapan bila suara itu hanya halusinasinya kala tertidur. Tapi tak berapa lama, suara Gamelan itu kembali mengalun masuk ke dalam gendang telinga. Membuatnya spontan terkejut, kaget, dan sempat menyurutkan kakinya dua langkah kebelakang.
Kalimat Istighfar langsung meluncur dari bibir Rohmadi menutupi rasa takutnya.

Ia begitu yakin bila suara yang sangat jarang terdengar kini seperti berada di belakang rumahnya. Rohmadi sedikit tau tentang suara itu. Walau ia tak bisa menebak langsung dan pasti, tapi satu keyakinan yang telah seluruh masyarakat di tempatnya percaya, jika suara Gamelan itu adalah tanda kemunculan makhluk BARONGGO. Bahkan, menurut beberapa sesepuh yang ia dengar, bila kemunculan Baronggo mengartikan adanya seseorang yang telah mengikat janji atau bersekutu dengannya.

Berpikir sampai di situ, Rohmadi langsung membalikan tubuh seraya terus berucap Istighfar. Ia sebentar melihat ke dalam kamar anaknya, memastikan keduanya yang masih terlelap, kemudian buru-buru masuk ke dalam kamar.

Tapi saat ia sampai di bibir ranjang, satu hal kembali mengejutkan dirinya.

"Dek,"
Kalimat khas panggilanya seketika meluncur saat matanya tak melihat sosok Rahmi terbaring di sisi kiri ranjang.
Rasa cemas langsung menyeruak dalam batin Rohmadi.

Ia khawatir jika istrinya ikut mendengar suara Gamelan yang masih samar terdengar. Sebab yang ia tau, bila Makhluk Baronggo sangat menyukai wanita telah bersuami.
Rohmadi akhirnya memutuskan untuk mencari keberadaan Rahmi. Ia berjalan ke arah depan, namun kosong.

Kemudian, kembali menuju belakang tempat sumber suara itu berada.
Tetapi belum sampai kakinya menginjak lantai dapur, telinganya tak lagi mendengar suara Gamelan. Malah berganti suara tapak langkah dan derit ranjang dari arah kamarnya.

Buru-buru Rohmadi membalikan tubuh. Berjalan cepat menuju kamar guna memastikan. Dan tepat apa yang ada di benaknya, bila suara derit itu adalah sang istri yang sudah terbaring.
Kelegaan sekilas menggurat di wajah Rohmadi.

Kecemasaannya memudar seiring degupan jantung yang telah teratur. Tapi setelahnya, saat tubuhnya ikut membaring di sisi Rahmi, kapur barus bercampur wangi pandan tetiba saja tercium pekat di hidung. Hal itu berlangsung beberapa menit lamanya, membuatnya terduduk mencoba mengendus, mencari sumber aroma.
Seakan tak percaya, Rohmadi yang menemukan sumber aroma wangi pandan dan Kapur barus berasal dari tubuh istrinya, berusaha merapatkan tubuh. Tapi bau itu seketika menghilang, bersamaan dengan tubuh Rahmi yang berbalik kearahnya.

"Mau ngapain, Mas!" ucap Rahmi saat sadar tubuh Rohmadi merapat ketubuhnya.

"Nggak, Dek. Aku tadi cuma kepikiran kamu, pas Aku cari gak ada" jawab Rohmadi memberi alasan.

"Aku tadi ke kamar mandi terus sebentar lihat anak-anak" sahut Rahmi.

"Sudahlah, Aku mau tidur. Sudah larut!" sambung Rahmi seraya membalikan badan, mengacuhkan Rohmadi yang masih terbengong.

Malam itu, akhirnya Rohmadi terlelap dalam benak penuh kejanggalan. Tanda tanya besar masih membekas lekat di pikirannya, sampai terbawa pada waktu ia melaksanakan dua Rokaat Subuh serta dalam Doa-Doanya.

Pagi menjelang, seperti beberapa hari belakang, Rohmadi masih teracuhkan oleh Rahmi. Ia yang lebih dulu berangkat menuju Pasar, tak menyempatkan diri untuk sekedar berpamitan.

Tatapan penuh arti dari kedua mata Rosyid dan Ratri terkadang membuat nyeri dadanya, saat mereka menyaksikan kerenggangan antara dirinya dan Rahmi. Tapi hal itu selalu ia tutupi dengan berbagai macam alasan.

Ia tak ingin membebani kedua anaknya dengan urusan yang tak seharusnya di ketahui.
Semakin hari, kejayaan semakin menaungi diri Rahmi. Dalam kurun waktu hanya tujuh hari selepas kejadian tewasnya Angga, Rahmi tak hanya mampu mempekerjakan dua orang pembantu, tapi ia juga berniat membuka usaha baru di pasar kota.
Hal itu jelas mengundang banyak reaksi dan kecurigaan yang membesar dari para sesama pedagang. Begitu juga dengan para tetangga yang melihat perbedaan jauh antara Rahmi yang dulu dan Rahmi yang sekarang.

Mulai dari penampilan fisik hingga sosialisasi bermasyarakatnya yang tak lagi terjaga.
Dari sekian banyak orang yang merasakan perbedaan Rahmi, Rohmadi lah yang paling merasakan. Selain nafkah lahir yang tak lagi terurus, kebutuhan biologisnya pun terabaikan.

Sering Rohmadi bertanya tentang perubahan sikap Rahmi, manakala keduanya berada di rumah dalam keadaan senggang. Namun itu malah memicu pertengkaran dengan akhir Rohmadi yang mengalah. Bukan karena ia menerima sikap Rahmi, tapi lebih memikirkan keadaan anak-anaknya.

Ada satu alasan yang menguatkan dirinya untuk tetap bertahan dalam suasana tak nyaman rumah tangganya. Rohmadi berkeyakinan dan selalu mengatakan pada dirinya sendiri, bila sang Istri masih terpengaruh emosi dan kekesalan setelah kalah dalam urusan Warisan, serta bakal kembali lagi seperti Istrinya yang dulu.
Akan tetapi, persepsi baiknya itu harus Rohmadi kubur dalam-dalam.
Malam itu, sebagai seorang yang masih terbilang muda dan normal, Rohmadi ingin mendapatkan hak biologisnya dari Rahmi.

Ia yang tengah berada di dalam kamar anaknya seperti biasa menemani sebelum tidur, segera bergegas setelah memastikan kedua anaknya terlelap.
Langkah mantap Rohmadi seketika tertahan, saat matanya tak menangkap sosok Rahmi di ranjang.

Padahal beberapa menit yang lalu, dirinya masih mendengar suara Rahmi tengah menghitung hasil usahanya di ruang tamu kemudian berjalan menuju kamar.
Sebentar menunggu, Rohmadi memutuskan mencari. Ia berjalan menuju ruang tamu, namun tak menemukan.

Langkah Rohmadi akhirnya mengarah ke belakang, berharap menemukan Rahmi di tempat itu.
Akan tetapi, baru satu langkah kaki Rohmadi menapak di lantai dapur, seketika tubuhnya terasa dingin.

"Suara itu!" gumam Rohmadi lirih.

Saat itu ingin Rohmadi segera pergi dari ruang dapurnya. Ia menyadari akan kemunculan suara tetabuhan itu, seketika terbayang rasa ketakutan dengan suara ketukan alat tetabuh yang di dengar berbeda dari sebelumnya.

Tapi Rohmadi mencoba sejenak bertahan. Ia tertegun dalam kebisuan, meresapi alunan Gamelan yang kini beriring Pelog bukan lagi Kenong.
Iringan tetabuhan semakin lantang dan begitu berirama dalam pendengaran Rohmadi.

Membangkitkan satu rasa penasaran hingga mengalahkan rasa takutnya.
Perlahan Rohmadi mengayunkan langkah. Setapak demi setapak mendekat ke depan pintu. Ia sangat yakin, jika tetabuhan itu, berasal dari halaman belakang rumahnya.

Rohmadi sebentar terdiam sesampainya di depan pintu. Kemudian, penuh keberanian merapatkan wajahnya pada daun pintu kayu, yang terdapat celah-celah kecil di antara papan bersusun tegak.
Hening, gelap, saat matanya mampu menangkap suasana di luar.

Hal itu membuatnya bimbang, dengan perasaan yakin juga pendengarannya.
Tak puas dengan hanya melihat dari celah kecil, Rohmadi akhirnya memutar tiga kancing sebagai pengait pintu.
Suara kriett saat pintu terbuka, mengawali keterkejutan dan ketakutan Rohmadi.

Seketika tubuh Rohmadi membeku. Kakinya terpaku di ambang pintu dengan mata seolah tertahan untuk menatapi pemandangan di depannya.
Rohmadi tau, sangat yakin bila apa yang di lihatnya bukan hal lazim. Apa lagi saat suara Gamelan beriring Pelog kembali mengalun, sembari memunculkan satu penari tanpa busana di tengah-tengah kerumunan sosok-sosok aneh, Rohmadi merasa dirinya telah masuk ke dalam alam lain.
Beberapa menit melihat hal mengerikan itu, Rohmadi berjuang menggerakan kakinya untuk kembali masuk.

Tapi baru akan bergerak, Rohmadi bersempat menahannya.

"Rahmi! Kamu..."
Lirih dan seperti berbisik suara Rohmadi yang baru saja akan beranjak, tertahan oleh sosok penari yang tak lain adalah Rahmi. Lekat pandangan Rohmadi ke arah Rahmi yang tengah berlenggak lenggok.

Mengabaikan sosok-sosok berbola mata juling tengah mengerumuni tarian Rahmi, yang beralih menatap kepadanya.
Selepas satu putaran tembang, suasana terasa sunyi. Lantaran alunan Gamelan, berhenti tepat bersamaan tarian Rahmi.

Rohmadi kemudian melihat Rahmi menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan satu sosok bermata merah nyalang dan bertanduk.
Pemandangan itu, seketika membuat tubuh Rohmadi gemetar. Jiwanya goncang, tulang-tulang di tubuhnya seperti lunglai lemas, melihat sang istri ternyata telah bersekutu dengan Iblis.
Gema tawa dari sosok di hadapan Rahmi, sekali lagi menggetarkan jiwa Rohmadi. Ia tersungkur mundur, sambil berusaha menjauh. Sebelum tubuhnya berangsur masuk ke dalam rumah, mata Rohmadi terakhir sempat melihat tubuh polos sang Istri di pikul oleh sosok-sosok wanita dan laki-laki berkulit pucat pasi, menuju sebuah tandu berhias untaian manik-manik berkilau.

Dimana, di tempat asing itu juga, mata Rohmadi menangkap sosok makhluk yang selama ini hanya ia tau dari ciri-cirinya saja, BARONGGO.

Satu kekuatan dengan lantunan Doa, seketika membangkitkan Rohmadi. Ia segera berlari menjauh setelah menutup rapat pintu belakang rumahnya.
Rasa tercekam membuat Rohmadi langsung membaringkan tubuh dan berlindung di balik selimut.

Di samping rasa takut, satu kemarahan menelusup, menusuk dalam relung hatinya. Membuatnya menangis, menyesali dengan apa yang sudah ia lihat.
Lelehan air mata dan keringat Rohmadi, sejenak terhenti oleh satu sentuhan lembut menyusup dalam selimutnya.

Perlahan, sentuhan itu bagai satu kekuatan seperti menarik tubuhnya. Rohmadi berpaling, terlentang, menatap sosok Rahmi yang telah berada di depan, duduk di sisi ranjang.
Letupan amarah seketika menguap dari sorot bola mata Rohmadi.

Saat jari-jari Rahmi menyusur dan mengusap wajahnya bersama senyuman mengembang. Aroma wangi dan Arus juga tak luput tercium pekat di hidung Rohmadi dari tubuh sang Istri.

"Mas, maafkan Aku. Ini saya lakukan demi anak-anak kita, kehormatan kita. Aku ingin kelak Rosyid dan Ratri tak seperti kita, di hina dan di rendahkan! untuk itu Aku melakukan semua ini, agar Aku bisa membalas sampai pada keturunan-keturunannya!" pelan namun terdengar tegas, ucapan Rahmi di telinga Rohmadi.
Mendengarnya, amarah Rohmadi semakin memuncak. Namun hal aneh seketika terjadi pada seluruh tubuhnya.
Mata Rohmadi melotot, mengerang berat, seakan ingin berteriak keras, tapi seperti tertahan di kerongkongan.

Bukan hanya itu, tubuh Rohmadi seakan lumpuh, lemas tak berotot, dan tidak sedikitpun mampu untuk di gerakan.
Menyaksikan itu, bukan merasa iba. Rahmi justru tersenyum seraya mengusapkan kembali tangannya ke seluruh tubuh Rohmadi.

"Mas, kuminta kamu rela berkorban. Aku akan tetap merawatmu, sampai tiba waktunya" ucap Rahmi pelan sambil mengusap lembut darah dan nanah yang tetiba saja keluar dari bagian vital Rohmadi.

*****

Pagi menjelang, aktivitas sedikit berbeda terjadi di rumah Rahmi. Ia yang biasa hanya mengurus barang dagangan, kali ini tersibukan kebutuhan dua anaknya.
Meski ada rasa senang dari wajah dua bocah lugu itu, namun dari pancaran mata keduanya, menyirat rasa tak nyaman.

Pasalnya, sedari bangun tak melihat sosok Rohmadi, yang biasa menemani mereka.

"Ibu, Bapak kemana?" tanya Rosyid yang sudah tak bisa membendung rasa penasarannya.

"Bapak lagi sakit, makanya kalian berdua harus bisa belajar mandiri" jawab Rahmi sembari menata dua piring di atas meja.

"Sakit kenapa, Buk?" sahut Rosyid kembali.


"Sakit kepala, sama badannya menggigil. Sudah, cepat makan nanti Ibu yang antar ke Sekolah" Suruh Rahmi pada dua Anaknya.
Rosyid hanya terdiam, sedangkan Ratri menunduk seperti menyimpan sesuatu di balik kemurungan wajahnya.

Suap demi suap di lalui dua bocah tanpa keceriaan. Beberapa menit kemudian, keduanya bergegas melangkah ke depan yang ternyata telah di tunggu sang Ibu.
Sepulang mengantar Rosyid dan Ratri, Rahmi meneyempatkan diri memutar arah pulang, melewati jalan lain yang sedikit jauh.

Hingga tiba di persimpangan, ia berhenti sejenak. Menatap sinis ke arah rumah peninggalan orang tuanya yang telah menelan satu nyawa.
Selang beberapa saat, Rahmi pun melanjutkan perjalanan. Melaju pelan, sepelan sang mentari yang sudah muncul sempurna siap menebar sengatan ke bumi.

Wajah Rahmi sedikit menciut, kala ia tinggal beberapa meter dari rumahnya, matanya melihat sesosok lelaki berperut buncit dengan setelan batik, berdiri di halaman.

"Ada apa Kang, pagi-pagi sudah kesini?" sapa Rahmi setelah ia sampai dan baru mematikan motornya.

"Ohh... kebetulan ada kamu, Rahmi. Aku kira kamu di pasar" sahut lelaki berkumis yang tak lain adalah Broto.
Rahmi tak menyahut. Ia yang baru turun dari motornya, segera melangkah dan membuka pintu.

Namun, belum sempat bibirnya berucap guna mempersilahkan masuk sang Kakak, Broto terlebih dahulu menolak.

"Aku ke sini hanya sebentar, hanya ingin tau kabarmu sekeluarga. Dan satu lagi, aku mau kamu membantuku untuk menjual Rumah itu.

Mungkin kamu sudah mendengar kejadian kemarin yang sempat membuat heboh, sampai akhirnya rumah itu gagal terjual. Juga jangan lupa, untuk mendukungku dalam pencalonan nanti" ucap Broto sembari menyunggingkan senyum antusias.

Rahmi terdiam. Matanya menatap lurus pada wajah sombong Kakaknya. Ia tau, bahkan menangkap ada sesuatu tersembunyi dari ucapan Broto. Tapi, sampai Broto berlalu dari hadapannya, melangkah menuju mobil hitam yang terparkir di sisi jalan depan rumahnya, mulut Rahmi terkunci.

Ia tak menyahuti permintaan Broto. Namun dalam hati, sulutan api amarah seketika berkobar. Tercermin dari sunggingan seringai tipis di sudut bibir, bersamaan sorot tajam dua bola matanya.

*****

Kilatan bersambung guntur bergemuruh, menandai cuaca sore. Tak lama, awan hitam yang saling berkejaran akhirnya berkumpul di langit barat. Mengawali suasana gelap dan tumpahan air bening yang membasahi bumi.

Seketika hawa dingin menyelimuti, menyapu kulit setiap penduduk Desa, tak terkecuali tubuh lemah Rohmadi. Lamanya curahan hujan deras, meninggalkan kesejukan menusuk, beriring gemericik tetesan air dari atap genting rumahnya setelah mereda.

Dirinya yang baru saja mengawali satu penderitaan, mencoba bertahan dalam gigil kedinginan. Matanya mengedar, mencari dan berharap kemunculan Istrinya, agar bisa membantu menutupi tubuhnya dengan selembar selimut. Akan tetapi, sampai beberapa lama, tak ada siapapun yang muncul untuk membantu.
Rohmadi saat itu juga, ingin sekali melihat kedua anaknya. Sedari pagi hingga malam, ia tak melihat bahkan mendengar suara mereka. Hal itu mengundang kekhawatiran dalam benak. Tapi memikirkan keadaannya sendiri, ia hanya mampu menangis dalam hati, seraya mengutuk Rahmi.
Entah berapa menit, jam, ia terhanyut dalam kesedihan. Sampai akhirnya terbuyarkan oleh satu suara derap langkah, membangkitkan harapannya terlepas dari hawa dingin. Bola mata Rohmadi seketika bergeser kesamping.

Melirik ke pintu, setelah memastikan jika langkah kaki yang terdengar menuju ke kamarnya.
Tak berapa lama, derit pintu terbuka mengawali mata Rohmadi melihat sosok wanita masuk yang tak lain adalah Rahmi. Sapaan aroma wangi kamboja, sejenak menyengak penciuman Rohmadi ketika lenggokan tubuh Istrinya mendekat. Membuat jantungnya berdegup kencang, menahan amarah bercampur takut.
Lembut terpancar dari tatapan Rahmi. Tapi sangat mengerikan di rasa oleh Rohmadi. Apalagi, semenit kemudian, ketika juluran jari-jari tangan kiri Rahmi menyentuh, mengelus pelan kening dan wajahnya, ketakutan Rohmadi seolah meletup.

"Malam ini, akan ku mulai Mas. Kamu tenang saja, pengorbananmu tak akan sia-sia" bisik Rahmi pelan di telinga kiri Rohmadi.

Hawa dingin yang tadinya di rasa menyusup sampai ke tulang-tulang oleh Rohmadi, seketika berubah. Kini, perlahan dan sedikit demi sedikit, buliran bening keluar dari pori-pori kulitnya.

Menandakan jika suasana dirinya telah berganti panas setelah mendengar kalimat yang sangat di mengerti olehnya.
Rahmi sendiri, setelah berbisik membalikan tubuhnya dan melangkah keluar. Sebentar kemudian, ia kembali seraya membawa sebuah bejana berbentuk tampir, berisi penuh perlengkapan sesaji.
Rahmi duduk bersimpuh. Meletakkan sesaji di sudut kamar sebelah kiri dan menata beberapa batang dupa yang ia letakan di tengah-tengah untaian bunga tiga warna.

Selembar kain putih, kemudian Rahmi hamparkan hingga menutupi sebagian sesaji, sebelum satu persatu batang dupa ia bakar.
Kemeluk kepulan asap dupa, lantas memenuhi ruang kamar. Membuat Rohmadi yang sejak awak melihat dengan melirik semua yang di kerjakan Rahmi, merasakan dadanya sedikit tersesak oleh harum dupa yang sebenarnya ia tak suka.
Kembali Rahmi berdiri setelah berhasil membakar seluruh dupa. Berjalan perlahan mendekati lemari di sebelah ranjang tempat Rohmadi terbaring. Satu pemandangan aneh, memunculkan ketakutan tersendiri dalam jiwa Rohmadi. Manakala ia melihat Rahmi menanggalkan satu persatu pakaiannya. Hingga sampai Rahmi tak lagi bertutup sehelai benang, Rohmadi mendadak merasakan satu terpaan angin panas membalur sekujur tubuh.

Tak sampai di situ, di saat Rohmadi mengerang lirih, memejamkan matanya demi melawan hawa panas, tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh bagian vitalnya. Sontak, Rohmadi pun membuka mata, terperangah dengan sosok Rahmi yang sudah berada di sampingnya dengan balutan kain kemben sebatas dada.
Rohmadi lagi-lagi tersentak tanpa daya, kala sentuhan di alat vitalnya berasal dari elusan tangan Rahmi yang menelusup ke dalam satu-satunya kain sarung membalut antara lutut dan sebatas perut dengan corak kotak-kotak.

Ringis kesakitan sejenak menghias wajah Rohmadi saat di rasakan sesuatu mengalir dan keluar dari alat vitalnya. Namun hal itu tak membuat Rahmi yang berubah dingin, menghentikan tangannya. Sampai akhirnya, kala Rohmadi merasakan sakit luar biasa, barulah Rahmi berhenti dan mengeluarkan tangannya.
Lumuran darah dan nanah yang tergenggam di tangan Rahmi sangat jelas di mata Rohmadi, meski ia masih terengah-engah dalam kesakitan. Dirinya tau, bahwa darah dan nanah itu dari dalam tubuhnya.

Namun ia belum mengerti untuk apa Rahmi mengambilnya.
Tapi, tak berselang lama, batin Rohmadi meronta, melihat apa yang akan di lakukan oleh Rahmi. Sepintas Rohmadi berusaha menggerakan seluruh tubuhnya, mencoba untuk mencegah Rahmi yang saat itu tengah mengambil selembar kain putih yang ia hamparkan di atas sesaji. Akan tetapi sekuat apapun Rohmadi berusaha, hanya sia-sia. Kini ia hanya bisa meneteskan air mata, sembari melihat tangan Rahmi menuliskan sebuah nama di kain putih sambil bergumam melantunkan bait mantra.
Seketika itu. Dendang suara Rahmi terhenti tepat setelah ukiran sebuah nama selesai tergores pada kain putih dengan tinta darah dan nanah.

Suasana pun berganti hening, mengiringi tangan Rahmi yang menggulung kain putih dan meletakaknnya di atas batang dupa berjejer yang telah mengepulkan asap wangi.
Beberapa saat, gulungan kain itu terbungkus kepulan asap dupa yang kemudian menjadi kobaran api kecil membakarnya.

Namun aneh, meski sedikit lama gulungan kain itu terbakar, tapi Rahmi seperti tak merasakan panas pada tangannya yang memegang di dua ujung. Hingga kobaran mereda dan kain menjadi abu hitam, suasana kamar kembali menjadi riuh oleh suara gema tetabuhan gamelan bersahutan.

Walaupun tak ada nyanyian sebagai pengiring, tapi Rohmadi merasakan sesuatu berbeda.
Hal itu pun akhirnya terjawab dengan kemunculan satu sosok bertubuh gemuk dan bermata hitam. Sosok itu berdiri di hadapan Rahmi. melototkan bola mata hitamnya dan membuka mulut yang tak berahang.

Rasa ngeri dalam diri Rohmadi semakin memuncak, yang tak hanya melihat kengerian pada wajah sosok itu. Ia pun teringat dengan satu kejadian, dimana saat sebelum ia tercelakai, sempat melihat juntaian rambut hitam memanjang tanpa tau sosok pemiliknya.

Dan kini, dengan sangat jelas, matanya melihat wujud dari pemilik rambut panjang beraroma kapur barus itu.

"Nyangkur nyowo wiwiti wengi iki. Ora keno wurung kelawan badale geteh lan nanah!" (Mengambil nyawa di mulai malam ini. Tidak boleh gagal karena telah menumbalkan darah dan nanah!)

Satu ucapan dari bibir Rahmi, seketika menandai kepergian sosok itu. Menjadi kepulan asap hitam tipis, yang keluar menembus atap. Tepat di saat itu, Rohmadi merasakan tubuhnya seperti tertarik. Urat dalam tubuhnya mengencang. Membuatnya melototkan mata sembari menganga.

Rasa sakit teramat luar biasa kembali di rasakan Rohmadi. Tubuh tanpa daya miliknya, seketika mengejang kuat, otot-otot tubuhnya menonjol, berasa ingin keluar menembus kulit.
Puluhan menit Rohmadi mengalaminya. Napasnya tersengal, geramannya tertahan di tenggorokan, sebelum akhirnya satu hentakan bagai sebuah sengatan listrik, menjalari hingga mengangkat sedikit tubuhnya dan sebentar kembali terhempas.
Rohmadi benar-benar merutuk, namun lagi-lagi hanya lelehan air mata yang bisa mewakili. Sesaat, setelah mengalami hal luar biasa itu, atau tepat di sela-sela dengusan nafas tak teraturnya, tiba-tiba telinga Rohmadi berdengung hebat. Ia pun memalingkan wajah ke samping kanan dan kiri demi menahan rasa sakit pada gendang telinganya, sampai pada satu suara jeritan melengking terdengar nyaring, mengakhiri dengungan pada indra pendengarannya.
Setelah sedikit mampu mengatur nafas, Rohmadi terhenyak diam bermandikan keringat. Perlahan ia memejamkan mata, mencoba untuk tak percaya pada apa yang baru saja ia alami. Tapi hal itu gagal, sebab kini, bukan lagi jerit menyayat dari suara wanita yang entah milik siapa menghias telinganya. Melainkan, tawa ngikik dari sebelah tempatnya berbaring yang tak lain adalah tawa Rahmi.

"Terima kasih, Mas. Maafkan Aku bila ini membuatmu kesakitan. Tapi ini kulakukan demi harga diri keluarga kita, demi anak-anak kita kelak, supaya tak ada lagi yang berani merendahkan!"

Tak mampu menyahut, hanya lelehan air mata yang deras dari Rohmadi saat ucapan Rahmi membisik di telinga kirinya. Ia kemudian perlahan memalingkan kepalanya. Memberanikan diri menatap wajah Rahmi, yang telah berada di tepian ranjang sisi kiri.

Putih dan begitu dingin saat itu wajah Rahmi tampak di mata Rohmadi. Seperti menggambarkan satu kebengisan terkandung di dalamnya. Membuat Rohmadi tak mampu berlama-lama melihat.
Selang beberapa saat, Rohmadi memaksa matanya terpejam.

Ia ingin melupakan rasa sakit dan kengerian yang baru saja ia alami. Doa-Doa terus ia lantunkan meski dalam hati. Berharap ia mampu dan mendapat pertolongan dari Sang Pencipta. Semakin lama, Rohmadi pun terlelap.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close