Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 4)


JEJAKMISTERI - Sedikit demi sedikit tanah berpasir mulai tergali tangan Kolis. Ia tak perduli dengan terpaan angin mengibas kencang saat lubang yang di galinya semakin dalam. Sampai pada kedalaman sejengkal, Kolis menghentikan menggali.

Sebentar menoleh ke belakang, dimana Komala masih berdiri menatapinya penuh harap cemas.
"Ayo, Kang. Koyo e delok neh barange kui kenek di jikok" (Ayo, Kang. Sepertinya sebentar lagi barangnya itu bisa di ambil) ucap Komala tak sabar menunggu.

Kolis hanya diam. Ia kembali menatap lekat ke dalam lubang yang masih terlihat berupa tanah berpasir. Sebentar kemudian tanganya kembali berniat menggali, namun sebelum jari-jarinya menyentuh tanah, tiba-tiba saja ia tarik kembali manakala satu bentakan keras dari arah depan mengejutkannya.
"Mandek! Ojo mbok teruske!" (Berhenti! Jangan di teruskan!)
Seketika Kolis tersurut mundur. Matanya membelalak lebar manatap ke depan.

Dimana dua sosok wanita telah berdiri di hadapannya bercahayakan sebuah obor.

"Nduk, Kom! Mbah Sanir!" seru Kolis seolah tak percaya.
Sebentar Kolis memalingkan wajahnya kebelakang. Kosong, tak ada siapapun, hanya gumpalan kabut tipis memudar yang tertangkap matanya.

"Iku mau dudu Adikmu. Iki seng asli Adikmu, mulo ojo mbok terusno lehmu ngedok lemah kui, iso dadi bahaya kabeh" (Itu tadi bukan Adikmu, Ini yang asli Adikmu, makanya jangan Kamu teruskan menggali tanah itu, bisa jadi bahaya semuanya) ucap Mbah Sanir menjelaskan.

Kolis yang masih bingung, ragu, sejenak tertegun. Kembali ia mengamati dalam-dalam sosok Komala dalam papahan Mbah Sanir, seperti ingin memastikan bila itu adalah asli Adiknya.

"Wes ojo bingung, uruken neh lemah kui, gek mlebu. Ko tak jelaske nang njero" (Sudah jangan bingung, timbun lagi tanah itu, terus masuk. Nanti Saya jelaskan di dalam) ujar Mbah Sanir sambil melangkah dengan memapah Komala masuk ke dalam rumah.
Kali ini Kolis seperti yakin.

Ia pun menuruti perintah Mbah Sanir, untuk menimbun lagi lubang tanah yang sudah sejengkal ia gali.
Kolis segera beranjak masuk, setelah dirasa cukup lubang yang ia timbun kembali.

Sampai di dalam, ia melihat Mbah Sanir sudah duduk menselonjorkan kakinya dengan punggung menyandar di dinding. Sedangkan Komala terbaring di depannya seperti tertidur pulas.

"Le, awakmu mau wes kebujuk barang alus seng pingin gowo lungo Adikmu iki metu seko kene. Untunge urung sampek mbok jikok pager jenggolo seng go njogo Adikmu lan awakmu nang kene. Nek sampek kejikok awakmu mau, kabeh dadi ciloko!"

(Nak, Kamu tadi sudah tertipu sama makhluk halus yang ingin bawa Adikmu pergi dari sini. Untung saja belum sampai kamu ambil pagar Jenggolo yang menjaga Adikmu dan Kamu selama di sini. Kalau sampai ke ambil dirimu tadi, dan semua jadi celaka!) Lirih namun tegas ucapan Mbah Sanir.

Kolis yang baru saja duduk dengan posisi bersila menunduk lesu. Puluhan pertanyaan masih berklebat di kepalanya, tanpa tau satu pun jawaban. Sesekali ia menatap Komala yang terpejam, seperti ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Adikmu mau sengojo tak adusi banyu laut. Terus seng ganggu awakmu wengi iki, kabeh tipu dayane Iblis seng pingin awakmu lungo seko kene karo Nduk Kom. Kerono ngerti Lekmu Latip lungo" (Adikmu tadi sengaja Saya mandikan air laut. Terus yang mengganggumu malam ini, semua tipu muslihatnya Iblis yang ingin Kamu pergi dari sini bersama adikmu. Karena tau Pamanmu Latip pergi) Sambung Mbah Sanir menjelaskan.

"Mbah Sanir iso ngerti perkoro iki seko ngendi, Mbah?" (Mbah Sanir bisa tau masalah ini dari mana, Mbah?) sahut Kolis memberanikan diri bertanya.

Sebentar Mbah Sanir tersenyum mendengar pertanyaan Kolis. Tangannya yang mulai keriput, mengeluarkan sesuatu dari balik baju hijau muda berlapis kebaya grambyang.

Dengan lincah tangan Mbah Sanir kemudian meracik daun sirih bercampur rempah-rempah untuk dijadikan susur kinang.

"Opo kudu ngerti awakmu?" (Apa harus tau Kamu?) ucap Mbah Sanir balik bertanya.
Mendapat pertanyaan balik, Kolis terdiam.

Ia memang tak mengenal dekat siapa sosok Mbah Sanir. Yang dirinya tau cuma sosok Mbah Sanir ini dekat dengan Uyut Latip.

"Yo tak kandani awakmu Le. Ojo gampang kosong pikiranmu, seng ngawasi awakmu karo Adikmu iki akeh, do golek lenomu, mergo Adikmu Geteh Pancer Alus.

Mulo manuto opo seng di kandakne Lek mu Latip. Wonge saiki yo ijek berjuang kanggo nylametno Adikmu seko angkorone Ratri" (Saya beri tau Kamu, Nak. Jangan mudah kosong pikiranmu, yang mengawasi Kamu dan Adikmu ini banyak, mencari lalaimu, karena Adikmu Geteh Pancer Alus. Maka nurutlah dengan apa yang di pesan Pamanmu Latip. Dia sekarang masih berjuang untuk menyelamatkan Adikmu dari angkara murkanya Ratri)

Mendengar ucapan Mbah Sanir menyebut nama Ratri, seketika ingatan Kolis tertuju pada sosok berambut panjang berpadu balutan kemben sebatas dada serta wajah tak berurat. Hal itu juga mengingatkan kalimat ancaman pada dirinya beberapa jam yang lalu.

Tak luput juga bagaimana wajah kedua orang tua Kolis yang terlihat sangat menderita, terkerat rantai di leher.

"Ojo gumun kenopo Ratri iso nemoni awakmu, iso meruhi bayangan opo wae, termasuk iso nyerupai wujudte Adikmu. Iku ngunu dudu Ratri asline, tapi Jangi, lelembut seng dadi abdi sejatine" (Jangan heran kenapa Ratri bisa menemui dirimu, bisa memperlihatkan apa saja, termasuk bisa menyerupai wujud Adikmu. Itu sebenarnya bukan Ratri aslinya, tapi Jangi, lelembut yang jadi abdi sejatinya)

Tutur Mbah Sanir seolah tau apa yang sedang di bayangkan oleh Kolis.

"Mbah Sanir artine ngerti akeh perkoro keluargane Ratri? ngerti asline masalah iki?" (Mbah Sanir berarti tau banyak tentang keluarganya Ratri? tau aslinya masalah ini?)

Kembali Kolis bertanya, ia terheran dan penasaran dengan sosok Mbah Sanir, bagaimana banyak tau tentang masalah yang tengah merundung keluarganya.

"Mbisok awakmu bakal ngerti dewe, kenopo aku iso ngerti, bahkan kenal Ratri luweh cedak ketimbang lekmu Latip. Saiki seng penting jogo Adikmu iki sampek padang. Ko nek wes tangi, ombenono banyu iki, kudu entek"

(Kelak Kamu akan tau sendiri, kenapa Saya bisa tau, bahkan kenal Ratri lebih dekat ketimbang Pamanmu Latip. Sekarang yang terpenting jaga Adikmu sampai hari terang. Nanti kalau sudah bangun, minumkan air ini, harus habis) Sahut Mbah Sanir memberi pesan.

Tenang Mbah Sanir mengeluarkan susur dari mulutnya yang telah berwarna merah. Kemudian ia bangkit dan melangkah keluar, meninggalkan Kolis yang masih terpekur di sisi Komala.
Puluhan menit telah berlalu. Kolis masih setia menunggui Komala yang masih terlelap, entah tertidur atau pingsan. Sebab dari pertama datang di papah Mbah Sanir, tak melihat mata Komala terbuka.
Suara kokok Ayam akhirnya terdengar oleh Kolis. Menandakan jika sebentar lagi hari akan bertukar. Nampak kelegaan menyirat jelas di wajah Kolis, terbebas sementara dari segala bentuk keseraman yang selalu menghantui kala malam menjelang.
Sebentar Kolis mengeliatkan tubuhnya. Merenggangkan otot-otot yang semalaman kaku seperti tertarik, sebelum bangkit dari duduknya berniat untuk mencuci muka.

Gelap dan dingin di rasa Kolis ketika pintu belakang terbuka. Ada sisa rasa takut yang tiba-tiba menguat, ketika ia menatap sumur berjarak dua puluhan langkah dari tangga belakang tempatnya berdiri.

Mata Kolis sebenarnya hanya menangkap sebuah bangunan tanpa atap serta warna warni dinding sumur plus kamar mandi, yang terbuat dari bermacam kain-kain tebal bekas Spanduk.
Namun dari itu semua, Kolis merasakan jika dari arah sumur itu ada beberapa sorot pasang mata tengah menatapnya tajam. Kolis akhirnya mengurungkan niatnya. Ia kembali masuk ke dalam dan menunda mencuci muka sampai hari benar-benar terang.
Sesampainya di ambang ruang tamu, Kolis terperanjat namun sekaligus senang, melihat Komala sudah duduk menyandar.

"Wes tangi, Nduk?" (Sudah bangun, Nduk?) sapa Kolis seraya mendekat.
Senyum tipis mengembang dari sudut bibir Komala. Meski terlihat lemah dan pucat, tetapi saat itu terlihat benar-benar sosok Komala di mata Kolis.

Tangan Kolis segera meraih botol tak seberapa besar di sisi kiri dinding, tempat Komala menyandar. Segera tanganya mengulur, menyerahkan botol berisi air putih kehijauan sesuai pesan Mbah Sanir.

"Opo iki, Kang?" (Apa ini, Kang?) tanya Komala seraya menerima botol dari tangan Kolis.

"Banyu ngombe, ben seger meneh awakmu, Nduk" (Air minum, biar segar kembali kamu, Nduk) jawab Kolis pelan.
"Opo iki banyu seko Mbah Sanir?"

(Apa ini air dari Mbah Sanir?) tanya Komala dengan tatapan serius.
Sedikit tergagap Kolis mendengar pertanyaan dan tatapan serius Adiknya. Ia juga terheran, tak menduga jika Komala seperti tau bila air itu dari Mbah Sanir.

"Iyo, Nduk. Tapi iki banyu biasa, mek kanggo mulihke keadaanmu seng pucet kui" (Iya, Nduk. Tapi ini air biasa, cuma untuk memulihkan keadaanmu yang pucat itu) jawab Kolis mengiyakan dan memberi alasan.

"Banyu biasa!? opo ngerti Kang, nek iki bener banyu biasa? Iki ngunu banyu seng kanggone mateni calon bayi nang njero wetengku. Moh aku kang kon ngombe!" (Air biasa!? apa tau kang, kalau ini benar air biasa? ini, itu air yang gunanya membunuh calon bayi di dalam perutku. Gak mau Aku Kang di suruh minum!)

Sengit dan sedikit keras suara Komala menolak air yang di berikan Mbah Sanir. Ia pun melempar botol berisi air ke arah pintu depan.
Kegusaran seketika menghias wajah Kolis.

Dirinya yang tak tau benar atau tidaknya ucapan Komala tentang kegunaan air itu, hanya diam tanpa expresi.
Tak berapa lama Komala memaksa bangkit dari tempatnya duduk menyandar. Walau tertatih lemah, dan terlihat ringisan dari wajahnya, Komala tetap beranjak melangkah menuju kamar.

Kolis yang melihat tak kuasa memaksa. Pikirannya bingung dan di penuhi dugaan-dugaan antara Adiknya dan Mbah Sanir. Sampai tubuh Komala menghilang masuk ke dalam Kamar, Kolis masih terdiam sendiri di ruang tamu, hingga fajar menyingsing.

Seperti biasa, waktu sarapan Mbah Sanir datang dengan empat buah rantang bersusun empat. Dan tepat di saat itu Kolis belum mampu beristirahat meski tubuhnya terasa sangat lelah.
Sebentar Mbah Sanir meletakan hidangan ala kadarnya di meja kayu ruang makan.

Baru saja selesai, Kolis yang baru dari kamar mandi belakang datang. Ada guratan tak enak menyirat jelas pada wajahnya kala melihat kehadiran Mbah Sanir. Apalagi mendapati raut muka dari sosok lebih sedikit tua dari Uyut Latip ini seperti memendam sesuatu, membuat Kolis semakin tak nyaman.

"Koe gagal, Le?" (Kamu gagal, Nak?) Pelan tetapi terasa menusuk ucapan Mbah Sanir yang di tujukan pada Kolis meski tanpa menatap langsung.
Kolis sendiri hanya tertunduk.

Batinnya berkecamuk antara malu dan keingintahuanya tentang tujuan Mbah Sanir menggugurkan janin dalam perut Komala.

"Sepurone, Mbah" (Mohon maaf, Mbah) lirih akhirnya bibir Kolis berucap.

"Balak paling gede iku tibone yo nang bocah seng di kandut Adikmu. Turun telu seko geteh jejer alus bakal melanggengno tetalene Rahmi karo junjungane. Mulo nek pingin nyegah, ojo sampek bocah kui lahir!"

(Petaka paling besar itu jatuhnya pada calon anak yang di kandung Adikmu. Keturunan ketiga dari darah bungsu suci, akan melanggengkan ikatan persekutuan Rahmi dengan junjungannya. Maka jika ingin mencegah, jangan sampai anak itu lahir) ucap Mbah Sanir menerangkan, yang seolah tau isi pikiran Kolis.
Atas penjelasan itu, Kolis tersulut rasa sesal. Baginya, keluarga Murti Rahmi adalah biang dari masalah dalam keluarganya, sehingga ingin dirinya bisa mengakhiri, namun ia sadar apalah dirinya.

"Ono coro meneh, ora Mbah?" (Ada cara lagi, gak Mbah?) tanya Kolis yang sudah berani mendekat dan menatap Mbah Sanir.

"Tinggal siji meneh coro seng iso gawe ngrampungke iki kabeh, sak marine lekmu Latip rampung leh tirakat. Opo kiro-kiro Awakmu sanggup?"

(Tinggal satu lagi cara yang bisa buat menyelesaikan ini semua, setelah Pamanmu Latip selesai tirakat. Apa kira-kira Kamu sanggup?) jawab Mbah Sanir dengan wajah mengurat, tanda sebuah keseriusan.

"Opo wae saiki kudu sanggup aku Mbah. Aku wes kesel karo urusan iki. Aku pingin urep tenang, tentrem bareng keluargaku" (Apa saja sekarang harus sanggup, Mbah. Saya sudah lelah dengan urusan ini. Saya ingin hidup tenang, tentram bersama keluargaku) sahut Kolis penuh kemantapan.

"Yo wes, ko bengi lakonono. Ben aku seng jogo Adikmu" (Ya sudah, nanti malam kerjakan. Biar Saya yang jaga Adikmu) timpal Mbah Sanir antusias.

BANYU PITU WERNO

"Budalo mengko nek surup sengkolo wes ketutup. Ojo mbok gagas opo wae seng tok temoni, sak durunge Awakmu intok banyu pitu kali tempuran"

(Berangkatlah nanti kalau gelap sengkala sudah tertutup. Jangan tanggapi apa saja yang Kamu temui, lihat, sebelum Kamu mendapat air tujuh sungai benturan cabang) Kolis mengangguk, mengerti dengan apa yang di ucapkan Mbah Sanir.

Tekat Kolis benar-benar bulat, tak perduli lagi seberapa bahaya dan sulitnya mencari persyaratan yaitu Air dari tujuh tempat yang berbeda dengan ketentuan terdapat benturan dari cabang sungai mengalir ke laut.

Meski area pesisir kampung itu banyak terdapat parit atau sungai kecil, namun bukan hal mudah jika sesuatu di dapatkan guna untuk sebuah ritual atau kepentingan tertentu. Di samping waktu yang di butuhkan sesingkat mungkin, juga keadaan malam sebagai salah satu syaratnya, menjadi sebuah tantangan mental yang tinggi.
Sebuah wadah atau tempat berwarna coklat kekuningan dari tanah liat, pemberian Mbah Sanir, segera Kolis kemas. Tak lupa sebuah obor dari bambu dengan sumbu kain, juga ia persiapkan untuk menemani perjalanannya malam ini.

Setelah semua siap, Kolis terlebih dulu beristirahat sembari menunggu waktu. Sedangkan Mbah Sanir, sedari mengantar makanan untuk jatah sore, memilih berdiam diri di halaman belakang, menikmati hembusan angin sore.
Ratusan detik, puluhan menit, dan beberapa jam telah berlalu.

Suasana alam sudah bertukar, dari terang dengan sengatan sang bola api dunia, menjadi gelap tanpa adanya lampu gantung langit yang sepertinya enggan untuk keluar.
Suasana sunyi sangat terasa di rumah Uyut Latip, cahaya remang dari tiga buah lampu teplok hanya mampu menerangi di sebagian tempat saja, sedang yang lain terlihat sangat gelap.
Di lihat dari luar, suasana itu sekilas seperti rumah kosong, namun di dalam, tepatnya di bagian belakang rumah, tengah duduk bersimpuh sendiri sesosok wanita tua bertubuh gempal, berikat kain batik di kepala.
Sesekali sosok wanita tak lain dan tak bukan adalah Mbah Sanir, menengadahkan kepalanya, menatap langit yang hanya terlihat hitam. Seolah sedang mencari sesuatu, atau menunggu.

Sepuluh, dua puluh, hingga tiga puluhan menit hal itu berlangsung. Namun tetap saja Mbah Sanir masih terdiam dalam keheningan.
Lain halnya dengan yang di lakukan Kolis.

Meski dirinya berada di dalam kamar, tetapi ketegangan, kegelisahan terpancar dari sorot matanya yang mengedar kesana kemari.
Sepertinya Kolis tau, bila waktu untuknya berjuang sudah dekat. Terbayang olehnya apa yang bakal ia temui dan lihat dalam perjalanannya nanti.

Memikirkan semua itu, nafas berat terhempas kuat dari dadanya, berusaha melipat gandakan mental serta keberaniannya.

"Le, Kolis, tangi! wes wektune" (Nak, Kolis, bangun! sudah waktunya.) Satu suara akhirnya menyudahi lamunan Kolis. Ia yang mengenali suara itu, segera bangkit.

Dengan bermodalkan jaket bludru lumayan tebal, Kolis melangkah menuju arah belakang.
Sesampainya, Kolis di sambut oleh wajah keriput Mbah Sanir.

"Budalo, iling-ilingen welingku. Opo wae seng motomu weruh, seng tok rasakke, ojo sampek awakmu mundur. Iku ngunu ujianmu kanggo iso intok banyu pitung werno" (Berangkatlah, ingat-ingat pesanku. Apapun yang matamu lihat, yang kamu rasakan, jangan sampai Kamu mundur. Itu adalah ujianmu untuk bisa mendapat Air tujuh warna) Ujar Mbah Sanir memberi pesan, di sambut anggukan kepala oleh Kolis.
Perlahan, setapak demi setapak kaki Kolis mulai menyusuri jalanan Kampung, menuju ke utara pesisir.

Dengan obor di tangan kanan sebagai penerang jalan berkelok-kelok, Kolis mengikis rasa takut yang sebenarnya mulai mengendap.
Sesekali Kolis berhenti, mengedarkan pandangan ke sekeliling dan juga menajamkan pendengaran berharap bisa segera menemukan satu aliran sungai yang mengarah ke Laut. Namun, sudah hampir Kiloan Meter kakinya melangkah, belum satu sumber pun ia temukan
Tanpa putus asa Kolis terus melangkah, mengabaikan kringat yang mulai menetes dari dahinya.
Harapannya akhirnya mulai menuai hasil.

Tak jauh dari tempatnya, sejurus lima meter ke kanan, telinganya mendengar gemericik air.
Semangat Kolis pun kembali membara, kakinya mengayun cepat, menghampiri sumber aliran sungai. Sesampainya, sejenak ia mengamati arus aliran sungai.

Tak lama, dirinya mengikuti arah air mengalir hingga tiba di satu titik, dimana terdapat tiga aliran saling menghubungkan.

Kolis segera mengeluarkan wadah dari tanah liat pemberian Mbah Sanir, berniat mengambil secangkir ukuran gelas bambu di tengah-tengah pusaran air.
Namun, baru saja Kolis membungkukan badan, satu bayangan tiba-tiba melompati dirinya.

Terkejut bukan main Kolis saat itu, ia segera kembali tegak, mencari bayangan hitam yang baru saja mengganggunya.
Sampai puluhan detik Kolis diam menatapi sekeliling, hanya hitamnya malam dirinya lihat. Tak ada apapun, tak ada bayangan yang baru saja sekilas muncul melompatinya.

Helaan nafas tegang, mengawali Kolis kembali membungkuk, walau dalam hati masih terasa was-was, tapi akhirnya Kolis berhasil mengisi penuh sebuah gelas terbuat dari bambu.

Tak ingin berlama-lama, Kolis segera pergi meninggalkan tempat pertamanya mengambil air syarat dan memasukan ke dalam wadah mirip bejana.
Tetapi langkah Kolis setelah meninggalkan tempat itu sedikit berbeda. Terlihat ia sesekali berhenti, sesekali berjalan cepat, sembari memalingkan wajahnya ke samping.
Hal itu Kolis lakukan sebab ia merasa jika dirinya tengah di ikuti oleh sepasang mata. Entah sosok bayangan tadi, yang muncul secara tiba-tiba, atau ada sosok lain.

Semakin Kolis merasakan sepasang mata itu dekat mengawasinya, semakin cepat juga langkahnya berayun. Sampai akhirnya, ia menemukan kembali sebuah mata air mengalir tak seberapa jauh dari tempat pertama.

Kali ini Kolis sedikit lebih waspada. Sebelum ia mengambil Air yang tepat di hadapannya terbentuk pusaran dari tiga cabang mata air, matanya mengedar terlebih dahulu.
Merasa aman, kolis pun memenuhi segelas air dengan gelas bambu dan memasukan ke dalam bejana.

Tetapi ketika baru akan melangkah, mendadak tubuh Kolis terasa dingin dan kaku.
"Lancang temen Koe njikok banyu nang kene tanpo pamit!" (Lancang sekali Kamu mengambil air disini tanpa ijin)

Semakin tergagu Kolis mendengar bentakan dari sesosok laki-laki tua bungkuk, yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Jarak yang hanya semeteran, membuatnya kaget dan takut.
Ingin Kolis berangsur mundur, namun lagi-lagi kakinya seolah terikat kuat sehingga tak mampu ia gerakkan. Membuat sosok lelaki tua bungkuk menyeringai, seakan tau ketakutan yang di alami Kolis.

"Balekne banyuku, opo pilih ganti getehmu!" (Kembalikan airku, apa pilih di ganti darahmu!)

Menggigil tubuh Kolis mendengar ucapan bernada ancaman dari sosok lelaki tua itu. Hampir saja bejana berisi air ia tumpahkan, namun sebelum tangannya melempar, satu suara lirih masuk ke telinganya.

"Ojo tok gatekno, kuatno batinmu! Saiki mlakuo terus!" (Jangan di turuti, kuatkan batinmu! Sekarang jalan terus!)
Kebimbangan seketika menyirat di wajah Kolis. Antara menuruti sosok kakek tua bungkuk, atau bisikan lirih dari suara wanita yang ia kenal, Mbah Sanir.

"Saiki cepet lungo seko kono!" (Sekarang cepat pergi dari situ)
Seperti tersengat tusukan jarum, tubuh Kolis tiba-tiba tergerak untuk melangkah. Tak perduli dengan sosok lelaki tua bungkuk yang melotot.
Terheran Kolis saat itu. Kakinya terasa ringan menapak di jalanan berpasir.

Seolah tak ada beban apapun.
Sama halnya ketika akan melewati sosok lelaki tua bungkuk, ia mampu mengabaikan bau busuk yang menyambut hidungnya.
Namun tak lama, gidikan ngeri menyusup spontan, kala matanya melihat bagian tubuh bungkuk sosok itu, penuh lubang luka bernanah dan darah.

Keanehan sebentar juga tak luput dari perasaan Kolis, saat ia tepat bersampingan, sosok itu hanya diam dan hanya melebarkan bola mata, menatap tanpa bicara.
Kelegaan menghiasi wajah Kolis setelah jauh meninggalkan tempat dimana dia mendapatkan air ke dua.

Ketakutannya berangsur menjadi semangat kembali. Rasa ingin segera mendapat air ketiga, menyemangati dirinya sendiri yang mulai sedikit lelah. Namun hingga puluhan menit ia berjalan, belum juga menemukan lagi aliran sungai.

Kolis kemudian berhenti sejenak setelah melihat sebuah batu besar tertanam, berdampingan dengan sebatang pohon khas pantai. Sebentar ia menyeka keringat di wajah, setelah menacapkan obor di pasir sisi kakannya.

Gelap dan semakin gelap, langit terlihat di mata Kolis. Ia tak dapat lagi menghitung waktu, tak perduli lagi, meski harus menuntaskan semalaman asal bisa segera mendapat tujuh air puseran.
Dalam angan Kolis, seharusnya ia tak begitu susah untuk mendapatkan persyaratan itu.

Dirinya ingat betul jika di sekitaran tempat Pamannya tinggal, banyak aliran sungai yang menyambung kelaut. Tapi malam itu, saat dirinya ingin menjadikan airnya sebagai syarat, ia merasa kesulitan.
Hampir seperempat jam Kolis beristirahat duduk di atas batu.

Tiupan angin lembut dari arah Laut, mulai melenakan tubuhnya. Tak berapa lama, matanya pun mulai terasa sayu, menandakan rasa kantuk mulai menyerang.
Hampir saja Kolis memejamkan matanya setelah turun dari atas batu dan menselonjorkan kedua kakinya.

Tapi belum sempat pelupuk matanya terkatup rapat, ia di kejutkan suara gaduh di belakangnya.
Kolis segara bangkit dan memalingkan wajah. Menatap ke arah sumber suara gaduh yang berasal dari segerombolan orang tengah memanggul keranda mayat.

Terlihat aneh bagi Kolis saat itu, dimana matanya tak menangkap sebujur tubuh pun di atas keranda yang hanya tertutupi bambu melingkar berjarak sedikit lebar.
Keanehan semakin jelas, saat gerombolan itu semakin mendekat ke arahnya dan hanya berjarak tinggal beberapa meter.

Kolis melihat para pemikul keranda dan para pengiring yang memegang beberapa obor tak lebih dari sepuluh orang, berwajah pucat pasi tanpa alis, memakai kain jarik dengan kapas putih menutup lubang hidung dan telinga, serta menebar aroma bunga bercampur pandan menyengat.

Kolis akhirnya tersadar jika gerombolan itu bukanlah manusia. Ia pun segera mundur beberapa langkah sembari terus mengamati.
Kini iring-iringan pemikul keranda berjalan tepat di depannya. Membuat dada Kolis berdebar kencang seirama derap langkah para pemikul keranda.

Tubuh Kolis semakin dingin, kaku, takkala dengan jelas mendengar suara serentak mereka satu kalimat" Jer Pati... Jer pati... Jer Pati...."
Namun diluar dugaan, mereka mengabaikan dirinya dan hanya melewati tanpa peduli akan kehadirannya.

Kolis akhirnya bisa menguasai dirinya dari rasa takut, setelah iring-iringan itu menghilang di balik kegelapan tanpa tau kemana tujuan mereka. Meski gema kalimat "Jer pati" yang tak ia mengerti maknanya, masih terdengar sayup menggema.

Cepat-cepat Kolis bergegas menyudahi istirahatnya. Memilih jalan menyimpangi arah yang di tuju iringan para pemikul keranda.
Tak berapa lama, atau sekitar tiga puluhan meter Kolis berjalan, telingannya mendengar gemercik air yang deras.

Membuatnya mempercepat langkah dengan penuh harap. Akan tetapi, ketika dirinya terasa begitu dekat dengan suara gemercik air yang terdengar semakin jelas, Kolis mendadak menghentikan langkahnya. Ia terdiam, tertegun seperti ragu untuk meneruskan langkah yang harus melewati rimbunan pohon pandan setinggi lutut untuk bisa sampai pada mata air.
Seluas mata Kolis memandang dari pantulan cahaya obor di tangannya, tak sampai matanya melihat sungai yang terdengar begitu dekat. Menandakan jika rimbunan pohon pandan di depannya luas.

Tak putus asa, Kolis pun berjalan mengitari, mencoba mencari celah yang bisa dirinya lewati. Sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah gang terapit dua buah batu besar, seperti sebuah tanda sebagai pintu masuk.
Sejenak Kolis berpikir, menimbang-nimbang antara memasukinya, atau mencari jalan lain. Bukan tanpa sebab hal itu ia lakukan, di karenakan dirinya merasakan hawa aneh yang ada di depan jalan selebar dua depa itu.
Tetapi tak lama Kolis memilih memasukinya. Melangkah perlahan, menjejak masuk ke dalam dengan perasaan was-was.

Lembab dan sangat gelap, suasana tempat yang Kolis lewati layaknya sebuah Gua. Tak ada hembusan angin atau suara serangga malam seperti suasana sebelumnya. Hening dan begitu mencekam di rasa Kolis saat ia semakin masuk ke dalam.

Akhirnya secercah kelegaan terpancar di wajah Kolis, manakala gemericik air deras berada tak jauh di depannya. Buru-buru ia menuangkan gelas bambu di antara sela bebatuan kecil, mengisinya hingga penuh dengan air jernih nan sejuk.

Selesai memasukan air dari gelas bambu ke dalam bejana, Kolis bangkit dan berniat segera meninggalkan sungai sedikit lebih besar dari dua tempat sebelumnya. Namun baru saja ia berdiri dan membalikan badan, Kolis terperanjat.

Tempat itu, dimana dirinya pertama lihat adalah rerimbunan lebat pohon pandan yang lembab dan hening, kini berubah ramai layaknya sebuah perkampungan. Di mana matanya melihat lalu lalang aktifitas puluhan orang berpakaian sedikit aneh.

Kolis sadar dan sangat tau, jika itu bukanlah alam nyata atau alamnya manusia. Tetapi jelas itu adalah perkampungan para penunggu di tempat itu.
"Koe golek opo nang kene, Le?" (Kamu mencari apa di sini, Nak?) Satu sapaan lembut dari belakang seketika menghentak lamunan Kolis.

Perlahan ia pun menoleh, memapasi tatapan sepasang mata dari sesosok wanita berwajah ayu.

"Sepurone, aku rene njalok banyu arep tak go tombo" (Mohon maaf, Saya kesini minta air untuk obat) jawab Kolis gugup.

"Banyu kui, banyu biasa. Nek gelem tak kei obat seng luweh apik ketimbang banyu kui" (Air itu, air biasa. Kalau mau Saya beri obat yang lebih bagus dari pada air itu) ucap sosok wanita ayu sembari mengulas senyum tipis dari sudut bibirnya.

Kolis terdiam, perang batin akhirnya terjadi dalam dirinya antara percaya dan tidak.
"Ojo wedi, aku ora ngapusi. Penting Koe manut aku" (Jangan takut, Saya tidak berbohong. Penting Kamu nurut Saya) ujar kembali sosok itu seraya mengusap pelan pundak Kolis.

Hal itu semakin membuat batin Kolis berkecamuk. Apalagi saat matanya kembali bersitatap, jiwa Kolis terguncang. Mengabaikan asal mula tempat itu dan harum aroma pandan yang menebar dari tubuh sosok wanita di depannya.
Hampir saja Kolis terjerat dan melupakan tujuannya.

Namun sebelum dirinya mengikuti tarikan tangan wanita bertapi kain jarit batik, satu bisikan tegas menusuk gendang telinganya.
"Ojo mbok turuto! Iku dudu menungso!" (Jangan Kamu ikuti! itu bukan manusia!) Seketika Kolis menarik tangannya dan mundur menjauh dari sosok wanita itu.

Dan tepat setelah tangannya terlepas, gemuruh angin menghembus kencang mengiringi lenyapnya keriuhan tempat itu.
Kini, Kolis kembali menyaksikan tempatnya berdiri seperti pertama masuk, rerimbunan lebat pohon pandan.

Akan tetapi, bukan itu yang membuatnya ketakutan, melainkan sosok wanita itu bukan lagi berwajah ayu, melainkan berwajah hancur penuh luka dengan bola mata putih rata menonjol ke depan seperti ingin terlepas...

Tak ingin terlalu lama berurusan dengan sosok wanita berwajah hancur, Kolis mundur dan berlari menjauh dari rimbunan pohon pandan.
Terus dan terus berlari tanpa memperdulikan ngilu di kaki, Kolis menerjang pesisir pantai berpasir.

Menjadikan kibasan api obor tak terarah hingga ia tersungkur tepat di bawah pohon rindang yang hanya terlihat seperti gumpalan awan hitam.
Udara dingin dari hembusan angin pantai, tak mampu mengeringkan keringat yang menempel di baju berbalut jaket bludru yang di kenakan Kolis. Nafasnya tersengal, degup jantungnya seolah terlepas, membayangkan kuku-kuku tajam sosok wanita yang baru saja membuatnya kalang kabut.
Hampir saja dirinya terpedaya oleh rayuannya.

Tentu saja jika hal itu terjadi maka sia-sialah usahanya yang telah sampai di tengah jalan.
Setelah beberapa menit mengatur nafas, Kolis kembali bangkit meneruskan perjalanan.
Tak perduli lagi akan bahaya yang bakal ia hadapi di depannya, sebab dari usahanya.

Selempangan kabut-kabut tipis mulai bertebaran melayang membentuk bayang-bayang. Menandakan jika malam kian larut, tetapi tetap tak membuat niat dan tekat Kolis surut. Ia terus melangkah dan melangkah menyusuri kegelapan pesisir pantai demi sesuatu yang sangat berharga baginya.

Tibalah Kolis di tempat ke empat. Kali ini, tak ada gangguan apapun. Begitu juga di tempat kelima dan ke enam yang letaknya berdekatan, dirinya tak mendapat gangguan dari makhluk apapun.
Hal itu semakin membuat yakin akan keberhasilan usahanya sehingga dengan semangat menggebu, Kolis mencari tempat terakhir, tempat ke tujuh.
Rasa lelah, ngilu, serta kejiwaan yang telah sampai di titik terendah dari keberaniannya, hampir terbayarkan kala satu kilatan air memantul tersorot obor serasa berada di depannya.

Namun saat kakinya mendekat sampai berpuluh-puluh langkah, Kolis tak juga bisa sampai dan seperti malah menjauh. Hal ini seketika menggoyahkan dan membuat bingung Kolis.

Ia berdiri mematung, menatapi kilatan air yang di pandang begitu dekat tetapi terasa sangat jauh jika di dekati. Kegusaran seketika menghantui diri Kolis. Mundur pun ia tak ingin, untuk maju ia tak tau apa yang ada di depannya.

Di tengah-tengah keraguan itu, Kolis tersentak kaget, merasakan sentuhan seperti tepukan pelan pada pundaknya.
Seraut wajah berkumis tipis dengan balutan kulit di penuhi kerutan, terpampang jelas dari sosok lelaki memakai setelan baju hitam lusuh telah berdiri di belakang Kolis.

"Golek i opo Koe, Le?" (Mencari apa Kamu, Nak?) sapa lelaki dengan raut tegas.
Bingung, takut, membaur di benak Kolis, membuatnya hanya bisa menatap sosok lelaki di depannya tanpa berucap.

"Muliho kono, Le. Percuma tok kejaro gak bakal iso mbok candak" (Pulanglah sana, Nak. Percuma di kejar pun tidak bisa Kamu dapatkan) ujar kembali lelaki tua seraya menatap lurus ke depan.
Kolis mengerti dengan maksud ucapan lelaki di hadapannya.

Namun lidahnya masih kaku untuk menyahut. Hingga sang lelaki tua mendekat, menepuk pelan pundaknya, aroma kasturi menebar dari tubuhnya.

"Aku ngerti perjuanganmu. Tapi sio-sio nek arep ngejar Tlogo Geges iku. Muliho mumpung durung do ngrubung awakmu" (Saya tau perjuanganmu. Tapi sia-sia kalau mau mengejar Tlogo Geges itu. Pulanglah sebelum mereka mengerubungi Dirimu)

"Ora, Mbah. Aku ora arep muleh sak durunge oleh opo seng tak goleki" (Tidak, Mbah. Saya tidak akan pulang sebelum mendapat apa yang saya cari) sahut Kolis memberanikan diri. Membuat lelaki tua berjenggot terdiam.
Di tatapnya dalam-dalam wajah Kolis. Seperti tengah mendalami sesuatu.

Sampai lima tarikan nafas, lelaki itu mundur hendak meninggalkan Kolis.

"Sampean sopo, Mbah?" (Kamu siapa, Mbah?) terhenyak sebentar lelaki tua yang sudah satu langkah berjalan. Kemudian ia pun membalikan badan mendengar pertanyaan dari Kolis.

"Aku dudu sopo-sopo, Le. Neng aku ngerti opo seng tok goleki. Abot kui, masio awakmu oleh, tapi bakal ono bayarane!" (Saya bukan siapa-siapa, Nak. Tapi Saya tau apa yang Kamu cari. Itu Berat, walaupun Kamu mendapatkannya, tapi akan ada bayarannya)

"Bayaran opo, Mbah?" (Bayaran apa, Mbah?)

"Nyowo!" (Nyawa!)
Meremang tubuh Kolis mendengar penjelasan lelaki itu. Ia tak menyangka jika apa yang di perintahkan Mbah Sanir merupakan salah satu pertukaran nyawa.

"Opo gak di kandani karo seng ngongkon awakmu, yen Banyu Mblulu Pitong Puseran, rancak nyowo? Awakmu kui yo ngerti sejatine kanggo ngopo bakale banyu kui?"

(Apa tidak di jelaskan sama yang menyuruh Kamu, bahwa Banyu Mblulu Pitong Puseran, memakan nyawa? Kamu apa juga tau aslinya buat apa air itu?)
Sebentar Kolis menunduk, sebelum memilih menggelengkan pelan kepalanya.

Dirinya benar-benar bingung dengan penjelasan sang lelaki yang tak ia dapatkan dari Mbah Sanir.

"Aku ora arep ngalang-ngalangi awakmu. Nek pancen arep tok tutukno, iku, mlakuo nengen terus. Mengko bakal ketemu puseran banyu terakhir seng mbok goleki.

Neng pesenku, sak marine oleh banyu kepitu kui, ojo pisan-pisan awakmu ningok memburi. Sampek tok langgar, gak bakal iso bali awakmu!" (Aku tidak akan menghalang-halangi Kamu. Kalau memang mau Kamu selesaikan, itu, jalanlah ke kanan terus. Nanti akan ketemu pusaran air terakhir yang Kamu cari. Tapi pesanku, setelah selesai mendapat air ketujuh, jangan sekali-kali Kamu menoleh kebelakang. Kalau Kamu langgar, kamu tidak akan bisa pulang!)

Setelah berucap memberitahu Kolis, lelaki itu membalikan tubuhnya dan berlalu. Meninggalkan perasaan bimbang pada diri Kolis.
Sebentar Kolis menoleh ke arah yang di tunjukan oleh lelaki itu.

Tak lama, dirinya terkejut saat akan bertanya pada sosok lelaki yang baru beberapa detik berlalu, tetapi telah lenyap. Hanya tebaran kabut-kabut putih mulai menebal terlihat oleh Kolis, serta aroma kasturi yang masih pekat tercium.

Menimbang sebentar, Kolis akhirnya memilih arah yang di tunjukan lelaki tak ia kenal itu. Ia berjalan menuju selatan, arah kanan dari tempatnya berdiri, yang berarti juga arah tempatnya pulang hanya sedikit memutar.

Sekira sepuluh menit berjalan, Kolis merasai hawa berbeda. Di awali dengan liringan angin lembut menyapu tengkuk belakang lehernya, seperti tiupan dari beberapa bibir.

Semakin melangkah jauh, tiupan itu semakin kencang. Membuat bulu-bulu halus di tubuh Kolis berdiri meremang, antara takut dan dingin.

Tak berapa lama, Kolis akhirnya mendengar deburan air bersamaan suara tawa ramai dari arah sungai.
Keraguan sebentar menyusup diri Kolis. Setelah dirinya dapat melihat pusaran air sedikit deras penuh bebatuan hitam.

Namun bukanlah itu yang menjadikan Kolis ragu, tetapi beberapa sosok wanita berkemben yang sedang bersuka ria bermain di sekitaran pusaran.
Tawa riuh dari para wanita berkulit putih dan berambut panjang itu seketika terhenti saat menyadari kehadiran Kolis.

Serentak mereka memalingkan wajah dan menatap tajam pada Kolis.
Wajah-wajah ayu mereka langsung berubah, melihat Kolis membawa obor dan sebuah bejana seolah tau apa yang akan ia lakukan. Membuat mereka menatap sinis atau tepatnya menyeringai tanda ketidaksenangan.

Sampai beberapa saat lamanya, mereka hanya diam. Tak melakukan apapun seperti yang di bayangkan Kolis. Malah sesaat kemudian, beberapa sosok wanita itu menyingkir dan berlalu dari tempat itu.

Kesempatan itu tak di sia-siakan Kolis untuk segara mengambil air ke tujuh, meski dalam hatinya bertanya-tanya tentang kepergian sosok-sosok wanita itu yang seperti ketakutan. Bau amis tiba-tiba membaui penciuman Kolis kala dirinya membungkuk akan menggayungkan gelas bambunya.

Tetapi hal itu tak mengurungkan niatnya. Kolis tetap memenuhi gelas di tangan kanannya walaupun bau amis semakin tajam.
Nafas kelegaan beberapa kali terhempas dari dada Kolis yang telah selesai dan berhasil mendapatkan air dari tujuh aliran sungai.

Kolis segera membalikan badan dan bergegas melangkah. Tapi kembali satu hal tiba-tiba saja mengejutkan dirinya, menahan kakinya, oleh sebab tiap satu langkah kakinya berayun, satu jeritan menyayat menggema di telinganya.

Kejadian itu berlangsung sampai beberapa langkah, sampai pada akhirnya Kolis berhenti.
Sunyi, hening. Tak ada jeritan, tak ada suara tawa, tetapi ketika kakinya di ayunkan, jeritan itu kembali menyayat.
Ciut nyali Kolis. Jiwanya terguncang hebat saat mengenali suara jeritan itu.

Tetapi mau tak mau dirinya tetap harus segera kembali agar bisa mengakhiri semuanya.
Bukan hal mudah bagi Kolis, walau ia telah berhasil. Di samping harus menekan batinnya agar kuat mendengar jeritan menyayat dari suara seorang wanita, dirinya juga harus bertahan dengan suara-suara memanggil dari belakangnya.
Setelah ratusan meter ia meninggalkan sungai terakhir, jeritan itu menghilang, tetapi suara tawa, memanggil, semakin kencang di belakang.

Sampai pada ketika suara itu di iringi derap-derap langkah seperti mengejar di belakang, Kolis berhenti sejenak. Ingin ia menoleh atau memalingkan wajah, untuk memastikan apa sebenarnya yang berada di belakang. Namun belum sempat, satu ngiangan pesan dari sosok lelaki yang telah membantunya, berkelebat di kepala. Membuat Kolis harus menekan kuat-kuat keingintahuannya.

"Lis... Lis, entenono Bapak. Iki Ibumu yo pingin melu, Lis..." (Lis... Lis, tunggu Bapak. Ini Ibumu juga mau ikut, Lis...)

Sama dan sangat persis suara di belakang Kolis, milik Bapaknya. Membuatnya lagi-lagi goyah dan terhenti.
Sejenak tertunduk dan berpikir Kolis. Menimbang keraguan yang menyeretnya pada ke khawatiran, bila itu benar-benar suara orang tuanya.

Kolis sempat bergumam memanggil Bapaknya lirih tanpa menoleh. Ingin memastikan dengan apa yang di khawatirkannya. Namun, sampai tiga kali panggilan, suara dari Mbah Soko hilang, berganti tawa ngikik suara wanita.

Merasa yakin di belakangnya bukanlah sosok orang tuanya, Kolis berlari. Menembus kabut-kabut tipis, melawan hembusan angin yang hampir memadamkan cahaya obor di tangan kanannya.

Tubuh Kolis akhirnya terlunglai lemah dan terduduk sejenak setelah melihat cahaya obor dari rumah milik Pamannya. Namun sedikit aneh, tak seperti biasanya Kolis melihat di halaman depan terpasang beberapa lampu dan obor berderet dan juga terlihat banyak orang-orang lalu lalang, mungkin para tetangga seperti tengah sibuk menyiapkan sesuatu.
Kolis sebentar tertegun, antara percaya bila itu benar-benar rumah Pamannya, atau masih bagian dari tipu daya para makhluk halus yang ingin mengganggunya.
Memikirkan hal itu matang-matang, Kolis kembali melangkah.

Mendekat ke arah rumah milik Pamannya yang di yakini batinnya.
Sesampainya di halaman, ia di sambut wajah-wajah heran dari tetangga-tetangga yang berada di tempat itu. Hal itu benar-benar meyakinkan Kolis bila kini dirinya telah berada di rumah Uyut Latip.

"Enek opo iki, Mbah?" (Ada apa ini, Mbah?) Ucap Kolis bertanya pada seorang lelaki paling tua di antara tetangga lainnya.
Sebentar lelaki tua itu menatap Kolis penuh rasa heran. Sebelum ia beralih menatap tiga lelaki lain yang berada di sampingnya.

"La Koe seko ngendi, Le? kok subuh-subuh ngene gek tas njedul?" (La Kamu dari mana, Le? kok Subuh-subuh begini baru saja muncul?)
Sedikit tersentak Kolis mendengar jika saat itu waktu telah masuk Subuh.

Yang berarti dirinya pergi mencari tujuh mata air, menghabiskan waktu hampir sembilan jam.

"Le, kono gek mlebu" (Le, sana cepat masuk)

"Ohh, njeh, Mbah." (Ohh, iya, Mbah)
Sahut Kolis tergagap dari lamunannya.

Bergegas Kolis melangkah meninggalkan beberapa tetangga yang duduk di bangku panjang terbuat dari bambu, yang masih terheran melihat dirinya. Begitu juga diri Kolis, masih di balut penasaran dan perasaan tak nyaman dengan keadaan rumah Uyut Latip.

Kolis memelankan langkahnya saat menaiki tangga depan. Terus berjalan dengan degupan jantung semakin tak menentu.
Setibanya di pintu, seketika tubuh Kolis dingin, sedingin tatapannya pada sebujur tubuh tertutup kain jarit batik dari kaki sampai ujung rambut.

Kolis tak melihat wajahnya, tak juga belum jelas siapa yang terbaring tanpa nafas. Namun dari postur tubuhnya, Kolis dapat memastikan jika raga tanpa nyawa itu adalah Mbah Sanir.
"Lis, Mlebu!"

Kolis memalingkan wajahnya kala satu suara berat memanggil dari ruang tengah arah ke dapur. Ia mengenal suara itu, suara yang dalam dua hari ini tak terdengar, Uyut Latip.
Kolis cepat-cepat menghambur ke ruang tengah, dimana sosok Pamannya telah duduk bersila menunggunya.

Uluran tangan kanannya di sambut wajah sendu sang Paman. Mencerminkan kedukaan dan beban terpendam seperti teramat berat.

"Lek, Aku...." (Paman, Aku....) ucap Kolis namun terputus.

"Lek wes ngerti. Saiki jupuk en banyu kui nang kamar disek.

Melu ngurusi zenajahe Mbah Sanir. Urusan liane mengko di rembuk" (Paman sudah tau. Sekarang simpan air itu di kamar dulu. Ikut urus zenajah Mbah Sanir. Urusan lainnya nanti di bicarakan) ujar Uyut Latip memotong ucapan Kolis.

Tak menunggu perintah dua kali, Kolis segera masuk ke dalam kamar dan sebentar kemudian keluar dengan pakaian berbeda. Ia mengikuti Uyut Latip dari belakang, menuju ruang tamu, dimana tubuh Mbah Sanir terbaring membujur kaku.

"Iki ora iso nunggu suwi-suwi. Kudu di langsungke saiki" (Ini tidak bisa nunggu lama-lama. Harus di langsungkan sekarang) ujar Uyut Latip pada beberapa orang yang baru selesai menata wajah membiru Mbah Sanir dengan beberapa kapas dan mengikatkan kain putih dari dagu hingga ujung kepala.
Campur aduk perasaan Kolis saat itu. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi mengingat waktu yang belum tepat, hanya kesedihan mendalam terpancar dari dua bola matanya.

"Uyut, leh nggali wes rampung, opo arep di angkati sakniki?" (Uyut, yang menggali sudah selesai, apa mau di berangkatkan sekarang?") ucap seorang lelaki 40an dari arah pintu yang di tujukan pada Uyut Latip.

"Iyo, ki yo wes rampung. Celuk en seng liyane, kon rene karo gowo bandusone" (Iya, ini juga sudah selesai. Panggil yang lainnya suruh kesini, sekaliyan bawa kerandanya) sahut Uyut Latip pada salah satu tetangga, yang baru saja memberi kabar.

Hari masih terlihat sedikit gelap, hawa dingin juga masih terasa, tetapi pemakaman Mbah Sanir memang seperti tak bisa di tunda. Entah karena apa sebabnya, tak ada yang tau pastinya, selain Uyut Latip dan tetua Kampung lainnya.

Sesampainya di tanah pemakaman, beberapa orang yang telah selesai membuat rumah abadi Mbah Sanir, beringsut mundur, manakala jasad Mbah Sanir di turunkan oleh beberapa orang, dari keranda bambu buatan warga.
Ada satu kejadian yang membuat para pelayat terkesiap dan takut.

Saat akan meletakkan jasad Mbah Sanir, tiba-tiba saja dari mulut, hidung dan telinganya menyembur darah merah kehitaman membuat terlepasnya kapas-kapas putih penutup lobang indra itu.
Hal itu membuat dua orang yang berada di dalam lubang, tetiba saja tersentak dan melompat naik.

Dari raut wajah keduanya, tak tertutupi rasa takut yang hebat dengan kejadian yang baru pertama mereka alami.
Suasana sebentar gaduh, para pelayat lain yang tak lebih dari lima belas orang, ikut begidik ngeri setelah mengetahui apa yang terjadi pada jasad Mbah Sanir.

"Ora opo-opo! tutupen meneh nganggo kapas terus tahan go lemah kui" (Tidak apa-apa! tutupi lagi dengan kapas terus tahan pakai tanah itu) seru Uyut Latip, melihat kepanikan para pelayat.
Saat itu, tak ada yang berani masuk ke dalam liang kubur.

Mereka hanya saling tatap satu sama lain, seolah menawarkan.
Sepersekian detik tak ada yang maju, Kolis akhirnya bergegas turun ke dalam liang berukuran tak lebih dua meter dengan jasad Mbah Sanir sebagai penghuninya.

Pelan tangan Kolis memasang satu persatu kapas yang sudah berubah merah kehitaman akibat tersembur darah, pada indra wajah Mbah Sanir. Tak di pungkiri, saat itu memang benar-benar berbeda hawa yang di rasakan Kolis.

Apalagi ketika tangannya meletakkan tanah pada kapas sebagai penyangga agar tak lagi lepas, Kolis merasa jika ada sesuatu seperti menarik jari-jarinya.
Setelah di rasa cukup, Kolis memasang beberapa keping papan guna menutupi tubuh Mbah Sanir yang telah terbungkus kain putih bernoda darah. Setelahnya, Kolis bergegas melompat naik, dan segera di susul beberapa cangkul yang menarik tanah menimbun kembali lubang berisi jasad Mbah Sanir.
Sebuah batu menjadi penanda rumah baru milik Mbah Sanir.

Taburan aneka bunga dan lantunan Doa yang selesai di baca Uyut Latip, menjadi acara terakhir para warga mengantar Mbah Sanir beristirahat selamanya. Tak ada isak tangis, tak ada ucapan selamat tinggal untuk Mbah Sanir, seperti pada umumnya di kala seseorang meninggal.

Hal itu di sebabkan oleh Mbah Sanir yang tak mempunyai satupun saudara atau kerabat di kampung itu. Bahkan, banyak warga yang hanya tau nama Mbah Sanir, tanpa mengetahui asal usulnya.
Namun dari sekian banyak orang yang langsung memilih pulang, Kolislah yang belum beranjak.

Ia kemudian duduk di sebelah gundukan tanah dengan tertunduk. Raut penyesalan tiba-tiba muncul pada wajahnya. Sebab dirinya ingat betul kalimat-kalimat terakhir Mbah Sanir, sebelum menyuruhnya untuk berjuang mencari tujuh air puseran.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close