BANYU TURU (Part 1) - Pewaris Pusaka
JEJAKMISTERI - Cerita ini merupakan kisah nyata. Nama dan lokasi memang diminta untuk disamarkan. Sebab salah satu pusaka yang dimiliki pemilik cerita ini memang dicari-cari oleh orang yang ingin memilikinya demi sebuah kesaktian dan kekuasaan.
Panggil saja saya Putra. Saya tinggal di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. O iya, saya sudah terbiasa hidup dengan ajaran Kejawen. Sebab, bapak saya adalah salah satu penganut ajaran itu. Meski, ibu saya adalah seorang muslim yang taat dan lahir dari keluarga jebolan pondokan.
Bapak saya adalah salah satu keturunan penguasa Loano, di Purworejo, Jawa Tengah, yakni Raden Adipati Gagak Handoko. Bapak saya menganut ajaran Kejawen dari leluhur-leluhurnya. Benda pusaka bertuah, jangan ditanya, ia punya banyak sekali.
Benda-benda pusaka yang Bapak saya miliki merupakan pemberian turun temurun. Jenisnya pun banyak. Ada keris, tombak, besi kuning, kantong macan, rantai babi, kitab istambul dan lain sebagainya.
Hanya saja, ada satu benda pusaka yang akan menjadi pusaka utama turun temurun. Benda pusaka itu berwujud keris yang katanya memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Dan saya adalah anak yang akan menerima warisan pusaka itu.
Entah hanya mitos atau apa? Namun, bagi bapak, menjual atau memaharkan benda-benda pusaka warisan leluhur adalah sebuah pantangan. Katanya, jika hal itu dilakukan, maka kemalangan akan menimpa keluarga saya hingga tujuh turunan. Apalagi jika yang dimaharkan adalah pusaka utama.
Saya sendiri sempat diberi izin melihat pusaka utama itu saat masih duduk di bangku SMP. Namun, saat itu saya tidak begitu paham dengan keris-keris bertuah. Bapak bilang, pusaka utama keris itu memiliki dhapur (bentuk) Kebo Lajer. Bilahnya lurus dan berwarna gelap.
Keris itu merupakan peninggalan dari Kerajaan Majapahit Kuno. Di dalam keris, konon dihuni oleh sesosok makhluk gaib. Bapak menyebut makhluk gaib itu dengan sebutan Mbah Kyai Lontar.
Menurutnya, sosok makhluk gaib itu sering memberikan gambaran-gambaran kejadian yang akan datang kepada si empunya keris.
Beranjak dewasa, saya mulai terus diajarkan cara untuk merawat benda-benda pusaka itu.
Apalagi, saya adalah pewaris pusaka. Sebab, saya adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga. Mendapatkan pusaka yang memiliki daya magis tinggi, tentu saya merasa senang. Maklum masih bau kencur. Pikir saya bisa buat gaya-gayaan.
Namun ternyata, tak semudah itu untuk dapat merawatnya dengan baik agar tak menjadi “senjata makan tuan” bagi keluarga. Sejumlah laku tirakat ternyata harus dijalani. Dan itu sangat berat.
Waktu itu, saya sempat menentang untuk melakukan laku tirakat. Karena anggapan saya itu bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya. Namun, apa boleh buat. Jika tidak saya lakukan, maka keluarga saya akan mendapat kemalangan.
Beruntungnya, dalam merawat benda-benda pusaka itu, Bapak tak pernah memberikan sesajen sebagai syarat. Hanya saja, laku tirakat-tirakat lain tetap harus saya jalani. Di usia saya yang ke 15, saya sudah diajarkan untuk puasa mutih.
Puasa dengan berbuka hanya menggunakan sekepal nasi putih dan segelas air putih saja. Itu saya lakukan selama tiga hari berturut-turut.
Selain puasa mutih, saya juga dianjurkan untuk untuk puasa wedal atau weton, puasa pati geni, ngebleng, ngrowot, hingga puasa purnama. Puasa purnama ini kalau dalam islam dinamakan puasa Ayyamul Bidh.
Semua tirakat itu saya lakukan. Tapi disini, saya tetap tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban lain sebagai umat muslim. Bapak saya bilang, itu tak menjadi masalah.
Karena pada dasarnya, segala sesuatu itu berasal dari Allah SWT. Tugas kita hanya meminta dan berdoa. Dengan cara apapun. Terpenting tak melakukan kemaksiatan dan menyakiti orang lain.
Laku tirakat yang paling terakhir adalah pencarian Banyu Turu (Air Tertidur). Ini adalah laku tirakat yang saya anggap paling berat. Dimana saya harus mencari atau mendapatkan Banyu Turu. Mungkin jika bukan orang Jawa akan kebingungan dengan istrilah Banyu Turu ini.
Bahkan orang Jawa pun banyak yang tidak mengetahui mengenai tirakat Banyu Turu ini. Baiklah, saya akan coba jelaskan sedikit.
Banyu Turu memang tidak familiar di tengah keseharian kita. Namun, dikalangan sebagian kecil pelaku spritiual, Banyu Turu tidaklah asing.
Banyu Turu merupakan sumber kekuatan gaib yang tidak sembarang orang bisa menemuinya.
Jika dinalar secara logika, air bisa tertidur adalah hal yang mustahil. Dimana pada umumnya, air akan terus mengalir setiap harinya dan tidak bisa berhenti sama sekali dari sumbernya.
Hanya saja, ada beberapa pelaku spiritual yang mampu mendapatkan atau sekedar menjumpainya.
Dalam kepercayaan kejawen, air sama juga dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT. Memiliki kehidupan atau nyawa.
Dalam logika singkatnya, tak mungkin menjadi sumber kehiduan jika air tidak memiliki kehidupan tersendiri. Nah, untuk dapat bertemu dengan Banyu Turu ini memang pelaku spiritual dituntut untuk menjalani laku tirakat cukup berat.
Mengurangi tidur, mengurangi makan, itu menjadi hal yang mutlak untuk dapat menjumpai Banyu Turu, selain harus melakukan laku tirakat lainnya.
Seseorang yang menjumpai Banyu Turu dan bisa mandi atau sekedar mencuci muka, dipercaya akan mendapatkan keistimewaan.
Banyak keistimewaan yang diperoleh seseorang setelah mampu mendapatkan atau menjumpai Banyu Turu. Saya tidak akan memberikan secara detail keistimewaan-keistimewaan itu disini.
Saya lanjut lagi ceritanya....
Karena waktu itu usia saya masih terbilang masih muda, untuk mencari Banyu Turu itu, saya ditemani oleh ayah. Hampir setiap malam saya keluar ke sejumlah sumber mata air untuk mencari Banyu Turu.
“Kowe kudu iso entuk banyu turu, nek ora, kowe ora bakal iso nyekel pusoko iki. (Kamu harus bisa mendapatkan Banyu Turu. Kalau tidak, kamu tidak bisa menguasai pusaka ini,” amanat Bapak waktu itu.
Hampir setahun lamanya saya tak juga mendapatkan atau menjumpai Banyu Turu itu. Tak terhitung berapa banyak sumber mata air yang sudah saya datangi waktu itu. Rasanya saya ingin menyerah begitu saja.
Namun, karena ada amanat dari bapak bahwa saya adalah satu-satunya pewaris pusaka, maka saya harus mendapatkan itu. Jika tidak, maka tentu kemalangan dipastikan akan menanti keluarga saya kelak. Karena tentu saja pusaka itu tak boleh jatuh ditangan yang bukan pewaris.
Sebelum melanjutkan mencari Banyu Turu, saya disuruh bapak melakukan tiarakat Kungkum di Kali Pethuk. Kungkum itu jika di Indonesiakan berarti berendam. Sementara Kali Pethuk adalah sungai yang saling bertemu.
Artinya, ada dua sungai yang aliran airnya bertemu untuk menjadi satu aliran air ke arah hilir.
Saat itu saya diantar oleh Bapak untuk melakukan laku tirakat itu. Saya menuruti saja. Karena toh juga ditemani sama bapak. Bapak juga akan ikut berendam.
Sebelum berendam tentu saja kami membaca sebuah mantra khas ajaran Kejawen agar kami setelah berendam mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan Banyu Turu.
Anehnya, saat kami berdua berendam di Kali Pethuk itu, kejadian aneh terjadi. Ratusan ekor ikan mendekati kami. Mengelilingi kami dan membuat air menjadi berbuih.
Tak lama, karena merasa takut, saya akhirnya menyudahi laku tirakat kungkum tadi. Sementara Bapak, masih tetap berendam dengan memejamkan mata secara khusyuk.
Tak lama dari situ, gerombolan ikan tiba-tiba menjauh dari badan Bapak. Bapak kemudian menyudahi laku tirakat itu. Kemudian mengajak saya pulang. Di perjalanan Bapak bilang bahwa sudah mendapat petunjuk.
Hanya saja, petunjuk itu tidak begitu jelas. bapak hanya diminta oleh pemberi petunjuk untuk menyuruhku mendatangi 7 sumber mata air berupa pancuran di Malam Anggoro Kasih. Malam Anggoro Kasih ini adalah Malam Selasa Kliwon.
Singkatnya, tiga hari sebelum Malam Selasa Kliwon tiba, saya diminta untuk menjalani puasa mutih lagi. Saat itu saya sudah beranjak di usia 16 tahun.
Tiba di Malam Selasa Kliwon, saya dan Bapak berangkat pukul 9 malam.
Kami mengunjungi lokasi pancuran yang lokasinya paling terjauh. Jaraknya sekitar 20 kilometeran dari rumah. Mulai dari pancuran pertama hingga ke empat, saya tak menemukan atau menjumpai Banyu Turu itu.
Sedikit untuk memberi tahu, saya memang ditemani oleh bapak untuk mencari Banyu Turu kala itu. Bapak hanya mengantar saja. Namun, untuk ke lokasi sumber mata air, saya harus melakukannya sendirian.
Kebetulan, lokasi pancuran ke lima tak jauh dari rumah saya.
Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer saja. Lokasinya ada di sebuah kaki bukit. Jaraknya dari jalan raya hanya sekitar 300 meteran. Jalannya pun hanya jalan setapak. Sepeda motor tak bisa masuk karena jalannya sempit dan licin karena hanya berupa tanah saja.
Waktu itu sekitar pukul setengah 1 malam. Bapak meminta saya untuk segera menuju lokasi pancuran.
“Isih rong pancuran maneh. Ndang cepeto selak subuh” (masih dua pancuran lagi. Cepat, keburu Subuh) kata Bapak.
“Njih pak” jawab saya.
Bapak kemudian memarkirkan kendaraan.
Sementara saya langsung menuju ke lokasi pancuran tadi dengan hanya berbekal senter saja. 300 meter jarak yang lumayan jauh bagi saya. Terlebih kondisi jalan setapak gelap gulita. Kanan dan kirinya pun masih berupa hutan.
Tentu saja saya ada rasa takut. Saya membaca bacaan ayat-ayat suci Al Quran saat menuju lokasi pancuran. Khawatirnya saya mendapat gangguan ghaib.
Pancuran ini adalah sumber mata air yang tak pernah kering, meski saat kemarau tiba. Jika di siang hari, kondisi pancuran tak begitu menyeramkan. Karena kita bisa lihat pemandangan sawah dan sungai yang berada di bawahnya.
Namun berbeda saat malam hari. Hawa mencekam menyelimuti pancuran ini. Terlebih, pancuran ini dikelilingi pohon beringin yang cukup besar dan banyak penunggunya. Termasuk ular besar yang konon di kepalanya ada mahkotanya.
Sesampai di pancuran, saya langsung menanggalkan pakaian. Saya kemudian mandi di bawah air pancuran itu. Airnya tidak dingin. Justru cukup hangat. Cukup lama saya mandi di pancuran tersebut berharap menjumpai Banyu Turu.
Namun hingga selesai mandi, tak ada tanda-tanda akan adanya Banyu Turu itu. Justru yang saya dengar, suara-suara aneh di lokasi pancuran.
Fokus saya kala itu hanya menenangkan diri. Baca-bacaan ayat suci Al Quran. Sebelum meninggalkan pancuran, saya mengambil air wudhu.
Berwudhu di setiap lokasi pancuran yang saya kunjungi memang menjadi syarat setelah menyudahi mandi. Namun saat saya berwudhu dan membasuh tangan, tiba-tiba aliran air yang tadinya cukup deras dari bambu behenti tiba-tiba.
Hanya berupa tetesan saja. Tetesan air itu sempat menetes di tangan kanan saya. Saya kemudian teringat dengan adanya ular berkepala mahkota. "Jangan-jangan, sumber mata air di pancuran itu tertutup badan ular tersebut" gumam saya dalam hati.
Sontak saya langsung lari dan memanggil-manggil bapak, dengan meninggalkan sendal di lokasi pancuran. Tiba di pinggir jalan raya, bapak yang melihatku ketakutan ddengan nafas tersengal-sengal hanya tertawa kecil sambil menghampiriku.
“Piye le? Kok ngibrit” (gimana nak, kok terbirit-birit) tanya Bapak.
“Kethoke enten ulo nutupi pancuran pak, pancurane mboten ngalir. Kula wedi pak, terus mlayu mawon” (kayanya ada ular nutupi pancuran pak, pancurannya airnya tidak mengalir. Saya takut pak, terus lari aja) jawab saya.
“Alhamdulillah, kowe wis nemoni Banyu Turune. Ayo ndang mulih. Ora usah ning pancuran liyane.” (Alhamdulillah, kamu sudah menjumpai Banyu Turu, Ayo cepet pulang. Enggak usah ke pancuran lainnya) ajak Bapak.
*****
Selanjutnya
(Mbah Kyai Lontar Mendatangiku)
Sering memberikan gambaran-gambaran kejadian masa depan hingga gambaran-gambaran berpulangnya anggota keluarga ke pangkuan Sang Pencipta.