Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BANYU TURU (Part 2 END) - Sebuah Kutukan


JEJAKMISTERI - Part II ini adalah endingnya.

Kurang lebih seminggu setelah saya mendapatkan Banyu Turu, efek gaib itu mulai muncul. Saya sebut gaib karena saya waktu itu menganggap ini bukanlah sebuah keistimewaan dari Banyu Turu seperti orang-orang pelaku spiritual sebut.

Masalahnya, Banyu Turu itu membuat khodam di dalam keris pusaka utama keluarga intens berinteraksi dengan saya. Interaksinya memang tak secara langsung khodam itu menampakkan diri. Namun lebih sering menampakkan diri di alam mimpi. Tapi hal itu tak lantas saya ceritakan kepada bapak.

Karena terus mendapatkan gangguan itu, saya akhirnya jatuh sakit selama berhari-hari. Bolak-balik saya dibawa ke dokter, tapi tak kunjung sembuh. Bapak dan ibu awalnya mengira saya hanya sakit biasa.

Akan tetapi, mereka paham saat saya mengaku jika saya tidak kuat mengemban amanah ini.
Bapak mengambil kesimpulan waktu itu, bahwa khodam di pusaka utama sudah mulai mendatangiku.

Akhirnya bapak ke kamar, mengambil keris pusaka itu dan membawanya ke kamar saya.

“Bu, jupukke banyu putih sak gelas” (Bu, ambilkan air putih segelas) Bapak menyuruh ibu.

Bapak meminta agar segelas air putih itu saya pegang.

Sementara bapak mengeluarkan bilah keris itu dari warangkanya (sarung keris). Saat dikeluarkan, seketika kamar saya menjadi sangat wangi. Pucuk bilah keris itu langsung dicelupkan di segelas air putih tadi yang sudah saya pegangi.

Mulut bapak komat kamit membaca mantra campuran bacaan arab dan bahasa jawa kuno. Ibu hanya berdiri dibelakang bapak sambil memandang wajah saya dengan mata berkaca-kaca.

Setelah pucuk keris dicelupkan, seketika air putih tadi berubah warna menjadi warna merah kehitam-hitaman. Saya diminta untuk meminum air putih itu.

“Moco sholawat sik le, ping sewelas” (Baca sholawat dulu le, 11 kali) kata Bapak.

Air putih itu rasanya seperti rendaman bermacam-macam bunga. Rasanya sangat tidak enak dan begitu pahit.

Anehnya, setelah meminum air tadi, badan saya yang suhunya sangat panas, lambat laun menjadi normal. Namun kepala saya mendadak pusing dan perut terasa mual.

Bapak kemudian bilang, dengan saya sudah menjumpai Banyu Turu, maka pusaka keluarga mulai saat itu sudah mutlak menjadi milik saya. Segala larangan yang saya langgar akan menjadi konsekuensi saya. Larangan itu tidak bisa saya jelaskan satu per satu disini.

“Barang iki ora kok juk pamer-pamerke. Utowo nggo umuk. Bahaya kanggo awakmu dewe” (pusaka ini jangan dibuat pamer. Apalagi dibuat kesombongan. Bahaya untuk dirimu sendiri) pesan Bapak saya kala itu.

Bapak juga menjelaskan mengapa saya harus menjumpai Banyu Turu itu sebelum mampu memegang pusaka keluarga. Karena selain keris pusaka itu, ada sejumlah keris lain yang memiliki khodam berhawa dan beraura panas. Salah satunya keris Keris Kyai Condong Campur.

Keris ini dulu konon di zaman Majapahit dipercaya membawa malapetaka atau pageblug.

Inilah yang menyebabkan saya harus terlebih dahulu mendapatan Banyu Turu. Jika tidak, maka bisa saja kelak akan ditaklukkan oleh Keris Kyai Condong Campur ini.

Maksud ditaklukkan disini, saya bisa menjadi pribadi yang sombong, bengis, pemarah, hingga pendendam. Nah sementara keris pusaka keluarga yang berdhapur Mahesa Lajer atau Kebo Lajer inilah yang mampu menaklukkan Kyai Condong Campur.

Di masa lampau, keris berdhapur Kebo Lajer ini memang sudah lumrah dimiliki oleh bupati, raja, bahkan dari golongan resi, hingga ksatria. Karena tuahnya mampu mengamankan dan mensucikan daerah kekuasaan dari berbagai malapetaka, wabah penyakit, mengangkat derajat dan wibawa.

Saya memang tak menyebut nama asli keris milik keluarga ini. Khawatirnya menjadi ancaman bagi keluarga saya sendiri dari orang-orang yang menginginkannya.

Singkatnya setelah mendapat penjelasan dari bapak, akhirnya saya tertidur.

Di dalam mimpi khodam itu mendatangi saya kembali. Dia menyebut akan terus mendampingi saya hingga keturunan saya. Dia bahkan mengingatkan agar saya senantiasa terus tunduk kepada hukum-hukum Allah dan sebisa mungkin untuk membantu orang yang betul-betul membutuhkan pertolongan.

Hari demi hari berjalan sepert biasa. Hingga saat usia saya menginjak 17 tahun, tepatnya saat kelas 2 SMA, kehidupan saya berubah drastis. Perubahan kehidupan saya menjadi tak lazim seiring dengan kerap hadirnya khodam yang bernama Mbah Kyai Lontar di dalam mimpi saya.

Di dalam mimpi, ia terus memberikan gambaran buruk kemungkinan yang akan terjadi dan menimpa orang-orang di sekeliling saya. Awalnya, saya acuh dengan mimpi itu. Namun lambat laun gambaran di dalam mimpi yang Mbah Kyai Lontar itu sampaikan menjadi sebuah kenyataan.

Awal ia memberikan gambaran jika kakek, ayah dari bapak saya akan berpulang. Memang kakek saat itu sedang sakit. Sakit karena usianya sudah sangat sepuh.

“Asalamu’alaikum den, simbah panjenengan tigang dinten malih badhe tindak datheng Gusti Ingkang Murbeng Gesang.” (Asalamualikum den, simbah kamu tiga hari lagi akan pergi ke Gusti Yang Menguasai Hidup) katanya dalam mimpi saya.

Dan benar saja, Kakek berpulang tepat tiga hari setelah saya mendapatkan mimpi itu.

Setelah kepergian kakek, Mbah Kyai Lontar sering mendatangi saya di dalam mimpi. Giliran memberikan kabar-kabar yang akan terjadi dan yang akan dialami orang-orang terdekat saya.

Di dalam mimpi, saya mendapat titah untuk memberikan kabar kemungkinan yang akan terjadi kepada orang-orang terdekat saya. Saya baru sadar jika titah itu salah satu bentuk pencegahan agar orang-orang terdekat saya tidak mendapat kemalangan.

Namun, ternyata awalnya susah. Saya bahkan kerap kali dinyinyiri. Disebut terlalu berhalusinasi, atau bahkan sok-sokan bisa menerawang. Padahal itu hakikatnya bukanlah sebuah penerawangan, melainkan untuk kewaspadaan.

Setelah beberapa kali kemalangan menimpa orang-orang terdekat saya seperti kecelakaan, perceraian, hingga kemalangan yang lainnya, lambat laun akhirnya mereka mulai percaya atas mimpi yang saya alami.

Terlebih saat saya memberikan informasi akan adanya bencana Gempa Bumi Jogja dan Tsunami di Pangandaran pada tahun 2006 silam. Dan kedua bencana itu betul-betul terjadi.

Namun apa yang saya alami ini justru menjadi petaka bagi saya sendiri. Karena orang-orang terdekat saya menganggap saya sebagai indigo, saya sering kali dimintai tolong untuk meramalkan. Bahkan untuk orang lain. Tentu saja saat itu saya menolak.

Karena saya tidak bisa meramal melainkan hanya diberi gambaran dari alam mimpi.

Saya akhirnya menutup rapat-rapat kekurangan ini karena takut dianggap seorang cenayang dan menyekutukan Allah. Saya lantas membiarkan orang-orang terdekat saya mendapat kemalangan tanpa saya memberikan kabar untuk pencegahan sebelumnya.

Hingga pada tahun 2013, saya bertemu dengan calon istri saya. Saya menceritakan kekurangan ini pada istri saya. Awalnya calon istri saya tak percaya. Wajar, mungkin dia tak mempercayai hal-hal yang seperti itu.

Meski begitu dia tetap menjadi pendengar yang baik jika saya bercerita mengenai kekurangan saya. Karena pada dasarnya saya tidak ingin membohongi calon istri saya jika saya memiliki kekurangan dan menjadi pewaris pusaka.

Namun calon istri saya mulai percaya saat saya membuat sebuah postingan di sosial media mengenai akan aktifnya Gunung Tangkuban Perahu yang ada di Jawa Barat, di tahun itu juga. Sebab, hanya berselang satu hari dari postingan itu, Gunung Tangkuban Perahu pun erupsi.

Tentu saja saya membuat postingan itu didasari atas mimpi yang saya alami terlebih dahulu.
Saya tidak akan mengira jika postingan itu akan membuat gaduh. Tentu saja postingan saya itu kemudian banjir komentar. Ada yang memuji bahkan ada yang menghujat.

Ada pula yang ingin mengetahui keberadaan saya untuk menanyakan perihal dasar saya membuat postingan. Atas pertimbangan, saya lantas menutup akun media sosial tersebut.

Yang membuat saya terpukul adalah apa yang saya alami ini terus berlanjut hingga akan berpulangnya Ibu saya tercinta menghadap sang khalik pada tahun 2020 lalu. Lima hari sebelum berpulang, ibu datang di alam mimpi saya dan berpamitan untuk pergi.

Ia hanya menitipkan sebuah pesan agar saya tetap menjaga sholat.
Entah sampai kapan saya harus hidup seperti ini. Entah pula ini adalah sebuah kutukan sebagai pewaris pusaka, atau memang sudah garis tangan.

Yang jelas, saya hanya memikirkan nasib anak saya yang juga akan menjadi pewaris pusaka. Betapa menderitanya anak saya nanti. Namun jika tidak diwariskan, saya masih meyakini kemalangan itu akan datang menimpa keluarga kami.

Naudzubillahi min dzalik.

---==TAMAT==---

*****
Sebelumnya
close