RUMAH MBAH (Part 1)
Purwodadi, 1997.
JEJAKMISTERI - Aku terdiam terpaku, cuma berdiri sambil memandang ke arah pintu kamar mandi.
"Aduh.. Kok merinding lagi.." ucapku lirih sesaat setelah merasa melihat ada sekelebat bayangan masuk ke dalam sana.
Akhirnya ku urungkan niat ku untuk mandi dan langsung balik ke dalam kamar.
Untuk kesekian kalinya, aku melewatkan sesi mandi sore.
"Kok nggak jadi lis?" Tanya ibu dari dapur sambil menuang air panas ke dalam gelas.
"Males bu, dingin.." Jawabku sekenanya lalu menutup pintu.
Tapi di dalam kamar pun sama saja. Rasanya aku tak sendirian di sini.
"Hhh... Hhh... sayup terdengar suara hembusan nafas..
Cepat ku tengok... Tapi kosong. Tak ada siapa-siapa.
Namun mataku seperti tak bisa lepas memandangi sudut di samping tempat tidur. Terasa seperti ada mata yang menatapku dari situ..
Ibu datang sambil membawa segelas jamu.
"Nih, diminum dulu. Kamu kan baru sembuh. Ini jamu khusus buat orang yang habis sakit." ujar ibu sambil menyodorkan segelas jamu pekat yang rasanya super pahit.
"Aduh bu, Sulis nggak kuat kalau minum jamu pahitan begitu, mlekok bu.." pintaku memohon.
"Eh.. Nggak boleh mbandel! biar kamu cepat pulih, biar cepat masuk sekolah. Kamu sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi ujian, kamu sudah kelamaan libur." sahut ibu setengah memaksa.
Dengan berat hati segera ku minum jamu sekali tenggak.. "Hoooeekhh.." tenggorokanku berontak.
"Tahan.. Jangan sampe muntah.." kata ibu sambil meniupi ubun-ubun ku.
Ibu segera menyambut gelas yang telah kosong dari tanganku.
"Nah, gitu.. biar cepet sembuh.." Dia tersenyum lalu kembali ke dapur.
"Ya Allah, kemarin seminggu dirawat di rumah sakit, tapi rasa obatnya nggak ada yang sesadis jamu buatan ibu." Batinku mengeluh.
"Nduk.. Kamu di dalam?" terdengar suara mbah memanggil mengetuk pintu kamar.
"Iya mbah, masuk aja, nggak dikunci.." Balasku setengah teriak.
Mbah muncul dari balik pintu, lalu masuk mendekat.. "Gimana? Sudah siap mbah ruwat lagi? Kalau kamu mau, sekarang juga bisa."
"Nggak mau ah mbah, kan sudah waktu di rumah sakit, ngapain pake diruwat lagi?" balasku ketus.
"Lho, ruwat itu untuk kebaikan kamu juga, biar nggak gampang sakit.." Paksa mbah.
Aku langsung pasang muka cemberut, senjata andalan ketika sedang ngambek.
"Jangan begitu, kalau nggak mau ya sudah, tapi kalau bisa, diruwat sekali lagi, biar mantep!" rayu mbah sambil membelai rambutku.
Aku mendelik.. melirik sinis ke arah mbah. Sosok yang paling memanjakan diriku semenjak ayahku wafat ketika aku masih kecil.
Beliau yang tak mau melihat diriku dan ibuku susah, langsung memboyong kami untuk tinggal bersamanya di rumah warisan turun temurun ini.
Seettt....
Sekilas sudut mataku menangkap bayangan kecil berkelebat cepat keluar kamar!
"Mbah! liat nggak barusan? ada bayangan lewat!" Teriakku sambil menunjuk ke arah bayangan yang tadi melintas.
"Mana? Nggak ada.." Mbah menjawab sambil celingukan.
"Tadi mbaaah.. masa nggak liat? Sulis aja liat kok, masa mbah yang orang pintar malah nggak?" sahutku coba meyakinkan.
"Lah? ya karena memang nggak ada apa-apa nduk.. Kamu kok maksa gitu sih?" Jawabnya dengan nada sedikit bercanda.
Aku tak yakin kalau mbah berkata yang sebenarnya. Tapi aku tak punya apa-apa untuk membuktikannya.
Wajah mbah nampak melunak, seolah berharap agar aku juga ikut lunak dan tak terlalu tegang.
"Sudah, mungkin itu cuma perasaanmu saja, kamu kan baru sembuh, jadi mungkin rada ngelantur." Ujar mbah coba memberi alasan.
"Tapi Sulis sudah sering lihat mbaaah.. sering ada bayangan lewat, apalagi di kamar mandi, di halaman belakang juga, rasanya ada yang ngeliatin Sulis." jawabku ngeyel.
"Ah, masa iya..." Balas mbah sekenanya.
"Beneran mbaaah.. apa jangan-jangan, setiap mbah ngobati orang kesurupan, demitnya ngikut pulang ya?" sahutku lagi.
"Hahaha.. ngawur aja kamu.." Mbah membalas sambil geleng-geleng lalu beranjak pergi dari kamarku.
Tapi aku tak mengada-ada..
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya