Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 3)

Lebih dari delapan jam setelah menyebrangi lautan, Kolis dan Komala akhirnya sampai di sebuah pertigaan. Keduanya pun turun dari Bus dan segera mencari jasa ojek, untuk sampai di Kampung tempat tinggal Paman mereka, Latip.


JEJAKMISTERI - Selama perjalanan, meski sudah tersadar namun Komala masih banyak diam. Entah karena jiwanya yang lelah, atau karena tak ingin dirinya di titipkan ke tempat nan jauh, masuk ke dalam hutan lindung berakhir di pesisir pantai.

Hari itu, saat terik paparan sang surya mulai meredup, tibalah keduanya di sebuah Kampung dengan kondisi tanah tak rata, dan terlihat sepi. Rumah-rumah panggung dengan dinding papan beratapkan anyaman rumbia, menjadi ciri khas kediaman penduduk kampung itu.

Kolis yang sudah beberapa kali bertandang ke tempat itu, tak susah baginya untuk langsung menuju rumah pamanya, Latip. Setelah membayar jasa tukang ojek, Kolis segera berjalan melewati jalan kecil sejauh lima puluhan meter, menuju sebuah rumah tampak paling besar di antara deretan rumah lainnya.
Meski terlihat enggan, tapi Komala mau tak mau mengikuti Kakaknya dari belakang dengan gontai.
Sampai tiga kali ketukan dan ucap salam, akhirnya Kolis mendengar jawaban dan derap langkah dari dalam.

Kelegaan terpancar jelas, ketika seraut wajah berkulit sawo matang muncul setelah daun pintu papan terbuka.

"Lho, Kolis, Nduk Kom! ayo mlebu" (Lho, Kolis, Nduk Kom! ayo masuk) ajak lelaki lima puluhan tahun tak kalah girang, saat tau tamu sore itu adalah dua keponakannya dari tanah sebrang.

"Iyo Lek" jawab Kolis seraya melangkah masuk di iringi Komala dari belakang.

Bertanya kabar dan basa-basi sebentar, menjadi obrolan awal Kolis dan lelaki bertubuh tinggi namun sedikit kurus yang tak lain adalah Latip, adik kandung dari Mbah Soko.
Sedang Komala, lebih banyak menjadi pendengar dan hanya sesekali berucap saat di sapa.

Obrolan mereka sejenak terhenti manakala suara Azdan Maghrib berkumandang dari arah tempat, layak di sebut Mushola. Pasalnya, di samping kecil juga tak terdapat fasilitas untuk penunjang ibadah lainnya.

Butuh waktu beberapa menit dari kediaman Latip ke Mushola. Walau hampir tak pernah, kini Kolis mengikuti sang Paman menunaikan kewajibab sebagai seorang Muslim.
Tak heran jika Uyut Latip orang-orang Kampung memanggil, cukup di segani.

Di samping menjadi tokoh Agama, beliau juga di tuakan dari sisi kebatinan.
Selepas berjama'ah, Uyut Latip dan Kolis kembali kerumah. Kebiasaan Uyut Latip sendiri yang senang berlama-lama di Mushola, berzdikir sembari menanti waktu Isya, harus ia tunda demi sang keponakan.

Sepi dan hening suasana Kampung yang dihuni tak sampai seratus penduduk itu, ketika malam menjelang. Mungkin karena penerangan yang belum terpenuhi, juga masyarakat yang kesehariannya sebagai Nelayan, memilih beristirahat setelah beraktifitas melelahkan di tengah laut.

Belum banyak yang di ceritakan Kolis pada Uyut Latip, hanya obrolan ringan saat keduanya berjalan pulang.
Sesekali tawa kecil tersungging dari bibir Kolis maupun Uyut Latip ketika saling melempar candaan atau pujian.

Membuat Kolis sendiri merasa ringan dan sejenak melupakan beban berat yang tengah di pikulnya.
Namun, ketika langkah keduanya baru memasuki halaman berpasir, tiba-tiba Uyut Latip menghentikan ayunan kakinya di susul perubahan pada wajahnya.

"Ono molo seng tok gowo!" (Ada hal buruk yang Kamu bawa!) bisik Uyut Latip lirih.

Meski mata Kolis tak menangkap apapun, tapi ucapan Uyut Latip spontan membuatnya merinding. Ia tau jika sang Paman selalu jujur dan juga memiliki kemampuan olah batin yang tajam.

"Maksudte molo nopo, Lek?" tanya Kolis penasaran.

"Awakmu pingin weroh? sedelok" (Kamu ingin tau? sebentar) ujar Uyut Latip.
Mendengar penawaran dari Pamannya, Kolis sebenarnya ingin menolak.

Namun saat akan berucap, ia urungkan kala melihat pamannya sedang memejamkan mata sembari membaca sesuatu.
Semenit kemudian, Uyut Latip membuka matanya. Kemudian membungkukan badan dan menarik kakinya sebelah kanan mundur.

Segenggam pasir ia ambil tepat dari bawah bekas pijakan kaki kanannya pertama. Tak lama, pasir dari tangannya ia lempar ke arah halaman rumahnya sendiri yang berjarak lima meteran dari tempatnya berdiri.

"Ctarrr... Ctarrr.... Kratakkk."
Terkejut Kolis menyaksikan pemandangan di depannya. Di mana, hannya segenggam pasir putih yang di lempar oleh Pamannya, mampu memercikan api dan menimbulkan suara dentuman seperti petasan.

Lebih terkejut lagi saat Kolis melihat redanya percikan api, berganti munculnya puluhan sosok berkain putih lusuh, dan berambut rata sepunggung menggumpal acak-acakkan. Tak hanya itu, Kolis yang mulai berkeringat, langsung mundur bersembunyi di belakang tubuh Pamannya, manakala sosok-sosok itu menunjukan wajah mereka yang mengelupas di penuhi lendir.
Berbeda dengan Uyut Latip. Ia nampak tenang menatapi puluhan sosok itu tanpa ada rasa takut sedikitpun.

"Demit opo, gek seko ngendi iku, Lek?" (Setan apa, dan dari mana itu, Paman?) bisik Kolis ketakutan.

"Lho, iki ki podo ngetutke awakmu seko kono. Opo ora kroso selama nang dalan awakmu ki? (Lho, ini ni mengikuti Kamu dari sana. Apa tidak terasa selama di jalan, kamu itu?) jawab Uyut Latip masih terlihat tenang.

Sedikit terkesiap Kolis mendengar jawaban Pamannya. Sebentar ia memutar memori yang tersimpan di otaknya, tapi tetap tak terekam tentang kemunculan sosok-sosok berwajah penuh lendir itu.

Dirinya tak menampik jika mengalami kejadian aneh dan ngeri, tapi bukan tentang sosok menyeramkan yang kini ada di hadapannya.

"Tapi seng tak alami waktu nang kapal dudu iki, Lek" (Tapi yang saya alami waktu di kapal bukan ini, Paman) jawab Kolis akhirnya.

"Iyo, seng nemoni awakmu dudu iki, neng junjungane. Iki ngunu mung kongkonan kanggo golek i jejakmu karo Nduk Kom. wes ngerti to, masalahe?"

(Iya, yang menemui Kamu bukan ini, tapi junjungannya. Ini itu hanya suruhan buat mencari jejak tinggalmu dan Nduk Kom. Sudah tau kan, masalahnya?) terang Uyut Latip.
Mendengar penjelasan sekali gus pertanyaan tentang muasal permasalahannya, Kolis terdiam sejenak, lalu mengangguk.

Membuat Uyut Latip yang melihatnya menyunggingkan senyum tipis.

"Yo wes, ayo mlebu" (Ya sudah, ayo masuk) ajak Uyut Latip sebelum melangkah seakan tak ada masalah.
Sedikit ragu Kolis untuk melangkahkan kakinya mengikuti Uyut Latip.

Melihat puluhan sosok bermata putih rata tanpa telinga masih berdiri tegak di halaman.
Kolis memberanikan diri, setelah Uyut Latip menunggunya sambil mengulurkan tangan kiri dan menganggukan kepala.
Erat pegangan Kolis pada pergelangan tangan Uyut Latip.

Ia tak memperdulikan lagi bau anyir dan amis menyengat, berasal dari lendir merah kehitaman, di wajah mengelupas puluhan sosok itu.
Bau itu semakin lama semakin menyengat, sama dengan halnya Kolis yang juga semakin dekat dengan keberadaan mereka.

Namun tak terjadi apa-apa, tak bereaksi sedikitpun, ketika dirinya yang berjalan di belakang Uyut Latip melewati.
Terheran saat itu Kolis dengan apa yang baru saja ia alami. Ketakutannya akan terjadi sesuatu pasca kemunculan sosok-sosok itu, ternyata tak terjadi sama sekali.

"Iku ngono mek njogo, ora ngopo-ngopo. Misal arep ganggu, yo junjungane. Tapi mugo-mugo ora ngasi moro" (Itu semua cuma menjaga, tidak mau berbuat apa-apa. Andai mau menganggu, ya junjungannya. Tapi semoga tidak sampai datang) ucap Uyut Latip menerangkan setelah keduanya berada di dalam rumah.

"Cobo celuk en Nduk Kom, kon rene. Lek arep ngomong" (Coba panggilkan Nduk Kom, suruh kesini. Paman mau bicara) sambung Uyut Latip memberi perintah.

Tak menunggu dua kali, Kolis segera bergegas menuju kamar yang telah di sediakan dan biasa ia tempati saat datang bertandang. Di bawah cahaya redup lampu teplok, Kolis melihat Komala tengah duduk meringkuk memeluk lututnya sendiri.

Terdengar isak sesenggukan lirih ketika Kolis mendekat. Ia menduga bila Komala menangis karena terpaksa ikut dirinya di tempat sunyi nan jauh dari tempat tinggalnya, terpisah dengan Bapaknya yang sedari kecil selalu menemaninya.

"Nduk, kon metu, Lek Latip arep ngomong" (Nduk suruh keluar, Paman Latip mau bicara) pelan suara Kolis menyampaikan pesan Uyut Latip. Tetapi tak mendapat respon sedikitpun dari Komala. Ia masih tertunduk dan hanya sesenggukannya saja yang tak terdengar lagi.

Sebentar Kolis menghela nafas. Mencoba bersabar dalam menghadapi Adiknya. Ia pun segera mendekat, menghempaskan pelan pantatnya di sisi tempat Komala meringkuk.
Di ulangnya lagi pesan dari Uyut Latip dengan kalimat yang sama, bahkan di teruskan dengan kalimat-kalimat nasehat serta dukungan, namun tetap saja Komala diam membisu. Sampai akhirnya Kolis menyerah, ia beranjak, melangkah keluar dengan perasaan sedikit jengkel dan bingung.

"Yo wes nek ora gelem. Penting ojo ngasi Nduk Kom metu seko omah iki wet mulai surup" (Ya sudah kalau gak mau. Terpenting jangan sampai Nduk Kom keluar dari rumah ini dari mulai surup (petang) ucap Uyut Latip setelah mendapat penjelasan dari Kolis tentang diamnya Komala.

"Nek aku gak opo-opo Lek, misal seng metu?" (Kalau Saya tidak apa-apa paman, andai yang keluar?) tanya Kolis penasaran dengan larangan yang di sampaikan pamannya.

"Nek kendel rapopo. Seng di jogo, seng di awasi iku dudu awakmu, tapi Komala. Mergo Nduk Kom wes gowo cikale Bocah Tali Kandut seng di gadang bakal dadi junjungane poro abdi alus, termasuk seng do nang ngarep omah mau"

(Kalau berani gak apa-apa. Yang di jaga, yang di awasi itu bukan Kamu, tapi Komala. Karena Nduk Kom sudah membawa calon Bocah Tali Sambung pati yang akan di nobatkan menjadi tuan, junjungan para abdi lelembut, termasuk yang ada di depan rumah tadi) terang Uyut Latip.

"Maksudte, Lek?" (Maksudnya, Paman?)

"Hemmhhh..." Sejenak Uyut Latip terdiam setelah satu hempasan nafas melonggarkan rongga dadanya. Matanya kemudian menatap ke arah pintu sebentar, sebelum kembali menatap Kolis.

"Jal, opo wae seng di pesen Bapakmu, karo opo wae seng tok werohi wektu perjalanan rene" (Coba, apa saja yang di pesankan Bapakmu, sama apa saja yang Kamu lihat waktu perjalanan kesini) tanya Uyut Latip dengan raut serius.

Kata demi kata mulai Kolis rangkai sesuai dan sama persis dengan apa yang di ingatnya akan semua pesan dari Mbah Soko. Begitu juga dengan semua yang terjadi, yang ia lihat dan temui sewaktu dalam perjalanan tak ada yang terlewatkan. Membuat Uyut Latip sesekali termanggut-manggut, hingga tegang seperti terkejut.
Suasana sesaat terasa hening dan sunyi, setelah Kolis merampungkan ceritanya, keduanya sama-sama terdiam terhanyut pikiran masing-masing.
Selang beberapa puluh detik, akhirnya lagi-lagi sebuah tarikan nafas panjang terdengar dari diri Uyut Latip.

"Bapakmu kenekaten, Bapakmu bener-bener wong seng Amanah, ora salah biyen Mbahmu nunjuk Bapakmu dadi cagak e keluarga. Mung, sayange Bapakmu gak iso pitung, dadine yo ngene akhire"

(Bapakmu terlalu nekat, Bapakmu benar-benar orang yang bisa di percaya, tidak salah dulu kakekmu menunjuk Bapakmu jadi pilar utama keluarga. Tapi, sayangnya Bapakmu tidak bisa menimbang, jadinya ya seperti ini) ucap Uyut Latip dengan nada sendu.

"Saiki awakmu lah, Lis. Seng dadi gantine Bapakmu. Ojo mbok siak-siakne pengorbanane. Aku mung iso mbantu dungo karo omongan, mergo kahanan iki, seng iso ngrampungke yo mek Nduk Komala dewe"

(Sekarang Kamulah, Lis. Yang jadi gantinya Bapakmu. Jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Aku cuma bisa bantu Doa sama saran, karena keadaan ini, yang bisa menyelesaikan ya cuma Nduk Komala sendiri) sambung Uyut Latip.

"Maksudte ki piye, Lek? Bapak ora keno opo-opo to Lek?" (Maksudnya ini gimana, Paman? Bapak tidak kenapa-napa kan Paman?) tanya Kolis yang di landa gelisah, mendengar penuturan Uyut Latip.

"Mugo-mugo ae rabaanku keliru, Lis. Tapi nek mungguhe wong Kejawen, opo seng di pesenke awakmu, terus tok lakoni sesuai karepe, artine seng tok delok nang angen-angenmu perkoro Bapakmu, yo kuwilah kedadeane.

Mungkin saiki Bapakmu wes muleh nang panggonan apik, kumpul karo Mbah-Mbahmu" (Moga-moga saja tebakanku salah Lis. Tapi kalau kepercayaan penganut Kejawen, apa yang di amanatkan padamu, terus kamu lakukan sesuai keinginannya, artinya yang kamu lihat dalam bayangan tentang masalah Bapakmu, ya itulah yang terjadi. Mungkin sekarang Bapakmu sudah pulang di tempat bagus, berkumpul dengan kakek-kakekmu)
Panas tercabik rasanya dada Kolis mendengar penjelasan Uyut Latip.

Darahnya mendidih manakala bayangan mengerikan keadaan Bapaknya kembali melintang utuh di pelupuk matanya. Ia ingin menangis, menjerit, namun tertahan oleh amarah.

"Iki ijek rabaan Lis. Durung pesti dadi bareng-bareng di dongkne ae Bapakmu selamet" (Ini baru rabaan Lis. Belum pasti, jadi bersama-sama kita doakan saja Bapakmu selamat) ucap Uyut Latip, mencoba membesarkan hati dan harapan.

Kolis sendiri masih terdiam menunduk, terlarut dalam kegelisahan dan kesedihan, membayangkan jika hal itu benar terjadi menimpa Bapaknya. Jelas sekali baginya semua itu ulah dari keluarga Murti Rahmi.

Baru saja Kolis mengangkat wajah dan ingin membuka mulut untuk berucap, tiba-tiba di tahan oleh Uyut Latip menggunakan isyarat jari telunjuk.
Dada Kolis seketika berdebar, denyut jantungnya mengencang, manakala mengikuti isyarat dari Pamannya, telinganya mendengar suara layaknya seseorang berjalan dengan menyeret sesuatu.

Cukup lama suara itu terdengar dan seperti tengah mengitari rumah panggung Uyut Latip, yang sudah di tempati puluhan tahun. Walau pun Uyut Latip tak menikah, namun beliau tergolong orang yang rajin sehingga area sekitaran dan dalam rumah selalu bersih.

Lama semakin lama suara seretan gemresek semakin jelas dan seperti semakin ramai. Membuat Uyut Latip mau tak mau beranjak dari duduknya lantas bergegas menuju pintu depan. Sesampainya ia berhenti sejenak, seperti tengah memastikan sebelum tangannya mendorong daun pintu yang tak terkunci.

"Astaghfirullah. Demit opo iki seng teko!" (Astaghfirullah. Iblis apa ini yang datang!) seru Uyut Latip beristighfar, terkejut melihat sumber suara gemresek, yang ternyata dari gulungan rambut hitam panjang tak berujung, dan tak terlihat wujud pemiliknya.

"Enek opo, Lek?" (Ada apa, Paman?) tanya Kolis.

"Kono, awakmu jogonen Nduk Kom! ojo sampek metu-metu soko Kamare!"

(Sana, Kamu jaga Nduk Kom! jangan sampai keluar-keluar dari kamarnya!) seru Uyut Latip memberi perintah.
Walaupun masih di rundung penasaran, Kolis tetap menuruti perintah Pamannya. Ia bergegas menuju kamar yang terletak di sisi kiri berbatasan dengan ruang makan.

Getaran langkah kaki cepat yang menapak di lantai papan, membuat riuh ramai suasana rumah Uyut Latip. Bukan saja dari derap langkah Kolis, tapi juga dari dalam kamar, kamar di mana Komala berada.
Hal itu membuat Kolis yang baru saja sampai di ambang pintu berhenti sejenak.

Menajamkan pendengarannya yang menangkap samar suara orang bernyanyi lirih. Merinding tubuh Kolis saat benar-benar yakin jika suara lirih itu berasal dari dalam kamar di depannya. Sebab yakin, bila itu bukan suara Komala Adiknya.

Satu dua detik Kolis masih terpaku mematung di depan pintu. Namun ketika suara lirih bebarengan suara derap langkah kaki di lantai papan kembali ramai, ia pun berniat membuka pintu.
Sayang, walau dengan sekuat tenaga Kolis tak dapat membuka pintu papan itu.

Sementara nyanyian dan derap kaki semakin jelas, membuat rasa takut dan penasaranya berimbang menguasai.
Ketakutannya yang tinggi akan keselamatan Adiknya, akhirnya menuntun Kolis untuk mendekatkan wajahnya pada celah papan yang tak rapat.

Ingin memastikan sebentar keadaan di dalam kamar, sebelum ia berencana membuka paksa.
Wajah Kolis dalam sekejap langsung memucat, ketika mata kirinya yang mengintip dari sela papan, melihat jelas Komala tengah menari dalam redupnya cahaya kamar bersama sesosok wanita.

Semakin jelas gurat ketakutan di wajah Kolis, ketika ingatannya kembali melambung, mencoba mengenali sosok wanita yang tengah bersama Komala, yang tak lain adalah sosok wanita bergelung dengan bau tubuh khas Kapur Barus sewaktu di dalam Kapal...

"Ngalih o, Lis!" (Menyingkir, Lis!)
Tersentak Kolis mendengar seruan dari Uyut Latip. Segera dirinya mundur dan mendekat ke arah Uyut Latip yang sudah kembali duduk di tikar berlapis kain ambal.

"Lek, Nduk Kom karo wong wedok seng nemomi aku nang kapal!" (Paman, Nduk Kom sama wanita yang menemui Saya di Kapal!) ucap Kolis setelah mengatur gemuruh dadanya.

"Iyo, aku wes ngerti" (Iya, Saya sudah tau) jawab Uyut Latip, tenang.

"Terus piye, Lek?" (Terus gimana, Paman?) tanya Kolis masih begitu cemas.
Uyut Latip terdiam, sebentar menatap Kolis yang tampak pucat, sebelum mengalihkan tatapannya lurus ke depan seperti tengah menerawang.

"Iki ngunu dudu wewenangku sebenere. Tapi awakmu tak kei weroh asline ki kepiye. Nduk Kom iku saiki wes kegandulan calon bocah seng bakal di dadekne penerus leluhure mbisok. Mulo nandi wae bakal di tutke poro abdi-abdine Junjungane Rahmi"

(Ini bukan wewenangku sebenarnya. Tapi Kamu Saya beri tau aslinya bagaimana. Nduk Kom itu sudah hamil calon anak yang akan di jadikan penerus leluhurnya kelak. Karena itu, dimana saja akan selalu di ikuti abdi-abdinya junjungan sesembahan Rahmi)

"Awakmu yo kudu ngerti Lis. Ngopo kok Nduk Kom seng di pilih? mergo gawe tukar anakke Rosyid seng arep di dadekne tumbal nang Ratri, tapi di gagalke Mbahmu. Mulo Nduk Kom iku wes ketenger awet cilik.

Mulo Bapakmu milih ninggalno bondo dunyone Mbahmu seng oleh seko ngabdi nang keluargane Murti Rahmi" (Kamu juga harus tau Lis. Kenapa Nduk Kom yang di pilih? Karena buat ganti Anak dari Rosyid yang akan di jadikan tumbal oleh Ratri, tapi di gagalkan Kakekmu.

Karena itu Nduk Kom sudah di tandai dari kecil. Karena itu juga, Bapakmu memilih meninggalkan harta dunia melimpah peninggalan Kakekmu yang di dapat dari mengabdi pada keluarga Murti Rahmi) ucap Uyut Latip menjelaskan.

"Artine Nduk Kom tetep bakal dadi mantune Ratri, Lek? tetep gak iso di selametke?" (Artinya Nduk Kom tetap akan menjadi menantunya Ratri, Paman? Tetap tidak bisa di selamatkan?) sahut Kolis dengan gelisah.

"Abot, Lis. Misal iso kudu golek gantine. Nek ora kudu pilih salah sijine, Nyowone Nduk Kom, opo Nyowo bayi titipan iku" (Berat, Lis. Andai bisa harus cari gantinya. Kalau tidak harus memilih salah satunya, Nyawa Nduk Kom, atau Nyawa Bayi titipan itu)

"Pateni ae Bayine Lek!" (Bunuh saja Bayinya Lek!) timpal Kolis geram.
Uyut Latip hanya tersenyum mendengar amarah Kolis. Ia tau jika bagi Kolis nyawa Komala jelas lebih berharga di banding nyawa bayi yang ada dalam rahim Adiknya itu.

"Ora gampang. Nek misal iku kudu ngunu, seng iso gor Nduk Kom dewe. Mergo puncak e perjanjian Rahmi karo Iblis Alas Geong, nang turun telu seng bakal di upacarakne mengko pas Tanggal Telulas sasi pitu"

(Tidak mudah. Andai harus seperti itu, yang bisa hanya Nduk Kom sendiri. Karena puncaknya perjanjian Rahmi dengan Iblis Hutan Geong, di keturunan ketiga yang akan di ritualkan nanti tepat Tanggal Tiga Belas Bulan ke Tujuh)

"Lan pas acara jejer pandan, ikulah wektune kanggo nggagalne sekalian medot. Iki seng tak omongke wujud pengorbanane Bapakmu. Nduk Kom seng iso medot selawase persekutuane Rahmi karo Junjungane, mergo Bapakmu wes nukar pancer Nduk Kom seng tok guwak nang segoro"

(Dan tepat saat acara jejer Pandan (nikah batin), itulah waktunya untuk menggagalkan sekalian memutus. Ini yang Paman katakan bentuk pengorbanan Bapakmu. Nduk Kom yang bisa memutus selamanya perjanjian Rahmi dan Junjungannya, karena Bapakmu sudah menukar Pancer Nduk Kom yang kamu buang di tengah Laut) jelas dan sangat terang ucapan Uyut Latip pada Kolis.

"Tapi...."

"Brakkkk....!"

Belum sempat Uyut Latip meneruskan kalimatnya, ia di kejutkan suara keras pintu kamar Komala yang di buka.

Serentak Kolis dan Uyut Latip mengarahkan pandangan ke arah kamar. Menatap heran juga terkejut akan sosok Komala yang berdiri tegak dengan mata melotot tajam kepada ke duanya.
Namun sepersekian detik antara Komala dan Kolis serta Uyut Latip sama-sama terdiam.

Tak ada ucapan atau kalimat apapun seolah mulut mereka terkunci.
Suasana canggung itu akhirnya terpecahkan oleh langkah Kolis yang memberanikan diri bangkit dan melangkah medekati Komala. Walau dalam hatinya merasa was-was, namun melihat sang Adik yang berbeda serta perasaan tak enak terhadap Uyut Latip, Kolis pun ingin menegur.
Akan tetapi, sesampainya di depan Komala, Kolis terjingkat dan kembali harus beringsut mundur.

"Koe melu tak jogo mergo mbisok tak butuhke. Nek ora tak butuhke, wes tak cucup selembar nyowomu kui" (Kamu ikut di jaga karena kelak saya butuhkan. Kalau tak saya butuhkan, sudah saya habisi selembar nyawamu itu) tegas dan bernada sinis suara Komala kepada Kolis.

"Latip! Ojo ngasi aku kudu nglanggar janjiku biyen nang ibumu. Iki peringatan go Koe!" (Latip! Jangan sampai Saya harus melanggar janjiku dulu pada Ibumu. Ini peringatan untukmu!)
Tak hanya Kolis, Uyut Latip yang masih duduk pun tergelak hebat mendengar ucapan tegas Komala.

Namun, setelah beberapa detik Uyut Latip mengamati dalam-dalam, dirinya mengangguk pelan, yakin jika yang ada di depannya, yang baru saja bersuara keras dan tegas bukanlah Komala.
Apalagi kalimat yang terlontar, yang mana menyentuh perihal orang tuanya, semakin menegaskan bila di balik wujud sosok Komala, bersemayam sosok yang selama ini paling dirinya hindari.
Sedangkan Kolis, keberaniannya yang sudah rontok oleh sikap Komala, berdiri menyandar pada dinding papan dengan wajah pucat penuh ketakutan.

"Nyi Rahmi! aku ora bakal arep melu urusanmu, mung bocah iki kadung tekan kene, yo kudu tak lindungi. Perkoromu karo wong tuoku biyen, wes dudu urusanku" (Nyai Rahmi! Saya tidak akan ikut campur urusanmu, tapi anak ini terlanjur sampai disini, maka harus Saya lindungi. Masalahmu dengan orang tuaku dulu, sudah bukan lagi urusanku) Pelan namun tegas dan penuh makna ucapan Uyut Latip pada sosok Komala yang di yakininya dalam penguasaan Nyai Rahmi, sosok wanita pembuka persekutuan dengan Iblis Hutan Geong.

"Lancang Koe! saiki aku ngalah, tak kei kesempatan kanggo nyowomu. Neng, iling-ilingen! wani nyenggol cikal seng ono garbone bocah iki, ra bakal selamet mboh nandi paranmu!" (Lancang Kamu! sekarang Aku mengalah, Saya beri kesempatan untuk nyawamu.

Tapi, ingatlah! berani menyentuh calon yang ada di rahim anak ini, tidak akan selamat entah di manapun keberadaanmu) Sahut sosok Komala yang tengah dalam kekuasaan Nyai Rahmi.
Setelah mengucapkan kalimat bernada ancaman, Komala membalikan tubuhnya masuk ke dalam kamar.

Menyisakan wangi pandan berpadu kasturi putih, menyebar seantero dalam rumah Uyut Latip.
Hening suasana setelah Komala tak lagi terlihat. Membuat sedikit lega jiwa Kolis. Segera ia melangkah mendekati Uyut Latip. Wajahnya yang masih terlihat pucat, di usapnya beberapa kali, berusaha menghilangkan ketegangan yang menyirat di wajahnya.

"Wiwit wengi iki ati-ati dewe, Lis" (Mulai malam ini hati-hati kita, Lis) pesan Uyut Latip dengan wajah datar tanpa expresi.

"Kudu piye saiki, Lek? aku wes mumet mikirne urusan iki. Anak Bojoku mesti wes khawatir mergo aku ora muleh-muleh" (Harus gimana sekarang, Paman? Saya sudah pusing memikirkan urusan ini. Anak Istriku pasti sudah menunggu dan khawatir Saya tidak pulang-pulang)

timpal Kolis dengan gusar.

"Nek arep muleh, awakmu. Mengko telung dino neh, ngenteni Aku" (Kalau mau pulang, Kamu. Nanti tiga hari lagi, nunggu Aku) ujar Uyut Latip menimpali keluhan Kolis.

"Maksute nunggu Lek, piye?" (Maksudnya nunggu Paman, gimana?) tanya Kolis yang heran dengan ucapan Uyut Latip.

"Awakmu sesok tak tinggal telung dino. Ora kudu ngerti Lek nandi, penting jogo Adikmu ojo ngasi metu nek wes peteng.

Awakmu yo ati-ati. Masalah mangan mengko Mbah Sanir seng ngirim" (Kamu besok Lek tinggak tiga hari. Tidak perlu tau Lek dimana, penting kamu jaga Adikmu jangan sampai keluar kalau hari sudah gelap. Kamu juga harus hati-hati. Masalah makan nanti Mbah Sanir yang mengantar.) terang Uyut Latip sembari bangkit dari duduknya dan melangkah ke dalam berniat menunaikan Sholat Isya, yang sudah tertunda beberapa waktu karena kejadian-kejadian yang baru saja ia alami.

Ingin rasanya Kolis berucap menolak. Namun belum sempat mengungkapkan keberatannya, sang Paman telah berlalu.
Membayangkan dirinya yang akan sendiri tanpa Uyut Latip, langsung membuat wajah Kolis mempias. Meskipun hanya tiga hari, tapi baginya, itu sangat terlalu lama dan berat.

Malam itu, malam pertama Kolis menginab di rumah Pamannya dalam suasana berbeda, berteman rasa was-was dan ketakutan.
Kolis akhirnya mampu memejamkan mata sekira waktu telah memasuki tengah malam. Di samping hawa yang mulai dingin, juga karena rasa lelah setelah lebih satu hari semalam terkungkung di dalam Bus.
Belum puas merasakan lelapnya belaian mimpi, Kolis sudah harus terjaga oleh panggilan pelan Uyut Latip. Terkantuk-kantuk dirinya mendengarkan pesan sang Paman yang rupanya telah bersiap untuk pergi.

Dengan rasa tak menentu, Kolis pun mengiyakan ucapan Uyut Latip dan melepas kepergiannya.
Hari semakin terang saat semburat kemerah-merahan menyembul dari sisi timur laut. Merubah suasana sunyi Kampung, menjadi ramai oleh aktifitas penduduk dengan ragam keseharian masing-masing.

Hal itu sedikit menghibur Kolis, apalagi ketika beberapa warga yang sudah di kenalnya, mengajaknya sebentar bercengkrama dalam gurauan yang mengakrabkan.

Kolis baru merasakan kembali suasana tak mengenakkan setelah kedatangan Mbah Sanir, wanita umur 50an lebih, yang bakal selama tiga hari mengantar makanan.
Bukan hal Mbah Sanir atau makanannya membuat Kolis tak nyaman, melainkan sikap Adiknya yang seperti tak lagi mengenalinya.

Beberapa kali sapaan Kolis di balas dengan sikap dingin dan tatapan sinis. Tak Berbicara sepatah kata pun, juga tak menyentuh barang sedikit makanan yang terhidang.
Kejadian itu berlanjut sampai waktu menjelang senja dan setelah kedatangan Mbah Sanir kedua kalinya.

Hal yang sama Kolis lakukan ketika Mbah Sanir pulang dan berniat menawarkan hidangan yang ia susun sendiri di meja persegi tak seberapa lebar.
Satu dua hingga puluhan kali ketukan serta panggilan Kolis tak bersahut.

Membuat benaknya bertanya-tanya dan menimbulkan kegelisahan. Mengingat, waktu yang sudah menjelang Surup serta pesan-pesan dari Paman Latip.

"Nduk... Nduk..."
Lagi dan terus Kolis berusaha memanggil Komala.

Tapi tetap saja tak ada sahutan, padahal Kolis yakin jika Adiknya sedari bertemu waktu pagi belum keluar dari kamar.
Rasa panik akhirnya menuntun Kolis untuk mengintip dari cela-cela daun pintu yang merenggang.

Walau tak besar, tapi cukup untuk matanya melihat ke dalam seperti yang dirinya lakukan semalam.
Kosong, tak ada siapapun di dalam kamar. Hanya tumpukan bantal dan selimut di atas ranjang yang tertangkap matanya. Membuatnya semakin di rundung kekhawatiran.

Tak ingin terjadi apa-apa, Kolis segera bergegas mencari Komala. Di susurinya tiap ruangan dalam rumah sampai sekeliling bagian luar, tetap saja Kolis tak menemukan sosok Adiknya.
Dalam keputus asaan, Kolis kembali masuk melalui pintu belakang.

Langkah gontainya bersuara pelan ketika menapaki lima tangga naik menuju pintu kayu yang masih terbuka.
Dirinya sudah lelah, jiwanya sudah pasrah, membayangkan apa yang akan terjadi atas di langgarnya pesan dari Pamannya.

Namun, keputusasaan dan kepanikan Kolis segera berubah keterkejutan bercampur girang. Kala ia baru saja masuk melihat sosok Komala telah duduk di depan meja makan seperti baru saja selesai bersantap.

"Nduk, awakmu seko ndi?" (Nduk, Kamu dari mana?) tanya Kolis pelan, seperti berusaha menutupi rasa senangnya.

"Aku ket mau nang kamar, Kang. Gak nandi-nandi" (Aku dari tadi di kamar, Kak. Tidak kemana-mana) jawab Komala acuh.

Tertegun Kolis mendengar ucapan Komala. Ia kemudian mengingat-ingat lagi saat ia mengintip kamar Komala yang dengan jelas kosong. Namun ia mencoba menerima jawaban Adiknya. Ia tak ingin suasana seperti pagi tadi terulang, hanya duduk dengan saling diam.

"Bapak wes mati, opo awakmu wes ngerti, Kang?" (Bapak sudah meninggal, apa Kamu sudah tau, Kang?) ucap Komala tiba-tiba.
Tentu saja ucapan itu langsung membuat Kolis terperanjat. Tangannya yang hendak meraih sendok nasi, di urungkannya.

Dadanya bergemuruh, urat-uratnya menegang, menahan amarah.

"Ngomong opo, Koe!" (Bicara apa, Kamu!) tanya Kolis dengan suara keras.

"Bapak memang wes mati. Ngorbanke awak e dewe kanggo perkoro seng gak ono gunane. Nek gak percoyo jajalo tilek i kono, seng tok temoni lak kuburane"

(Bapak memang sudah meninggal. Mengorbankan dirinya sendiri demi perkara yang tidak ada gunanya. Kalau tidak percaya coba lihat saja sana, yang akan Kamu temui cuma kuburannya) sahut Komala dengan wajah tenang, semakin membakar amarah Kolis.

"Ngerti seko ngendi, Koe!?" (Tau dari mana, Kamu!?) tanya Kolis masih dengan suara tinggi.

Kali ini Komala hanya diam, sebentar menatap Kolis, sebelum berdiri dan melangkah pergi ke arah kamarnya.

Hal itu mengundang kegusaran kuat dalan diri Kolis. Jiwanya bergejolak, bergemuruh tak menentu. Hampir saja ia menuruti bisikan hatinya untuk pergi dari rumah Pamannya, guna memastikan ucapan sang Adik. Walau ia sendiri sudah mendapat rabaan dari Uyut Latip tentang nasib yang bakal menimpa Bapaknya, tapi tetap saja ia tidak terima sebelum membuktikan sendiri.
Kolis akhirnya mengurungkan niatnya untuk menikmati hidangan yang di kirim Mbah Sanir. Selera makannya memudar hilang tergerus kegelisahan atas ucapan Komala.

Ia lebih memilih masuk ke dalam kamar milik Pamannya seperti yang di pesankan padanya, setelah memastikan pintu-pintu sudah tertutup..

"Krrreaak... Krrreaaak..."
Berputar dan seperti mengelilingi rumah Uyut Latip, Burung yang biasa di sebut masyarakat luar sebagai Burung kematian.
Ada beberapa ekor jika di dengar dari suaranya yang nyaring bersahutan. Menandakan jika pantas di sebut sekawanan.

Beberapa kali terdengar mengitari atap, Burung berwarna hitam, bermata tajam dan terkadang bersuara mirip lolongan anjing malam, bertengger tepat di atas atap kamar Uyut Latip, yang di huni Kolis sementara.

"Krrreeaaak.. Krreeeaaakkk..."
Kembali, bagai lengkingan teriakan, suara burung-burung itu nyaring memecah keheningan malam yang belum begitu larut.
Hal itu membuat Kolis terhenyak.

Ia tak menduga ternyata burung tanda kematian itu tak hanya secara kebetulan lewat seperti pemikirannya, tetapi bertengger seolah mengisyaratkan sesuatu.
Hampir sepuluh menitan Kolis bernafas dalam gelisah. Meski dalam posisi berbaring namun matanya enggan terpejam.

"Srekkk... Srreekk..."
Kali ini, Kolis tak lagi hanya terhenyak. Melainkan mulai di landa rasa tercekam. Ia pun perlahan bangkit, menyandarkan punggungnya pada dinding papan seraya menajamkan pendengaran, demi memastikan suara di sisi luar kamarnya.

"Srrreeekkk... Srreekkk..."
Kali ini Kolis membenarkan dugaannya, bila suara yang kembali terdengar jelas berada di sisi luar kamar. Tak jauh, atau bahkan tepat bersampingan dan hanya tersekat oleh dinding papan antara dirinya dengan suara seperti langkah kaki bersentuhan dengan dedaunan kering. Walau posisi kamarnya lebih tinggi dari lantai tanah luar, namun suara itu sangat-sangat jelas di telinganya.
Rasa takut dalam diri Kolis semakin lama semakin kian menyusup kuat.

Dirinya tau bila itu bukanlah perbuatan seseorang yang iseng atau yang ingin berbuat jahat. Tetapi, dengan berhentinya suara burung kematian dari atap rumah, mengisyaratkan kedatangan mahluk lain yang berada di sekitaran tempat itu.

Mengingat akan hal itu, tubuh Kolis anyep. Nafasnya pelan terjeda, tertahan tekanan dalam jiwanya saat membayangkan sosok-sosok menakutkan yang pernah matanya lihat sebelumnya.
Sekilas kening Kolis mengkerut manakala suara langkah kaki serta nyanyian Burung kematian reda.

Nampak harapan untuk istirahat tenang tergambar pada wajah lelahnya setelah sampai lima belasan menit, suasana tetap hening.
Namun, baru akan mencoba terlelap dengan balutan selimut tipis bergambar bunga mekar, Kolis kembali terjaga oleh suara pintu terbuka di iringi derap langkah di dalam rumah.
Kolis menduga jika itu adalah Komala, tapi semakin lama, suara langkah kaki itu semakin jelas seperti langkah kaki yang dirinya dengar di luar.

"Nduk .. Nduk, Nduk Kom....?" panggil Kolis mencoba memastikan.
Sunyi, tak ada sahutan, langkah itu pun berhenti. Membuat rasa penasaran Kolis membesar dari rasa takutnya. Ia pun kembali bangkit, duduk sebentar, dan akhirnya memberanikan diri untuk beranjak.

"Krieetttt..."

Sepi dan gelap saat itu yang Kolis lihat, setelah membuka pintu dan berdiri selangkah keluar kamar. Sejenak Kolis diam berpikir, dan tak lama dirinya menyadari jika ada sesuatu yang kurang.
Kolispun kembali masuk ke dalam kamar dan segera kembali keluar, berjalan pelan sembari mengingat posisi lampu teplok bersumbu kain dengan minyak tanah sebagai pembakarnya.
Tak lama Kolis menemukan lampu yang tergantung di kayu balok penyangga dan menempel di dinding. Sekali sentakan pada pemantik api, cahaya redup meremang menyebar ke ruangan tak lebih berukuran 4x3 tanpa kursi.
Mata Kolis langsung mengedar, mengamati seluruh isi ruangan tempat Uyut Latip biasa bersantai dan menerima tamu. Sekilas tak ada yang aneh. Semua rapi dan seperti biasanya.

Mulai dari kain Ambal sebagai alas lantai, juga hiasan kaligrafi-kaligrafi lukisan alam serta kalender bergambar toko penjual bahan bangunan, masih di tempat semula tak berubah.

Hal itu sedikit melegakan Kolis. Ia pun merasa jika suara langkah yang dirinya dengar benar adalah Komala.
Namun, tiga tarikan nafas kemudian, di saat Kolis yang telah merasa aman membalikan badan berniat untuk kembali masuk ke kamar, tetiba saja wajahnya berubah.

Keningnya berkerut, nafasnya memanjang kala hidungnya tiba-tiba tersesapi bau wangi bunga melati.
Rasa takut kembali meraba jiwa Kolis. Dirinya tau bahwa sekeliling rumah Uyut Latip tak ada tanaman bunga apapun, sehingga ia yakin jika wangi bunga melati yang tengah merebak, bukan hal biasa.
Tetapi sampai beberapa kali Kolis mengamati dan mencoba mencari sumber bau wangi itu, dirinya tak melihat apapun. Hingga ia pun memilih masuk ke dalam kamar.
Lagi-lagi hal aneh di rasa Kolis. Di dalam kamar, yang letaknya hanya bersebelahan dengan ruang tamu, tak sedikitpun ia mencium wangi bunga melati.
Padahal ia tau, papan penyekat tak rapat, banyak celah memanjang atau pun papan berlobang. Sehingga janggal jika bau itu sama sekali tak masuk ke kamar.
Kolis akhirnya tetap memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.

Rasa lelahnya menuntun matanya untuk terpejam walau pikiran dan perasaannya masih gelisah.
Semakin malam angin pesisir semakin kencang berhembus. Hawa dingin mulai terasa menusuk, dan hal itu di rasakan Kolis. Hembusan angin yang menyapu kulit tubuhnya di rasa begitu dingin.

Sampai harus membuatnya terbangun.
Sebentar Kolis membetulkan kain selimut guna menutupi tubuhnya dan berniat memejamkan kembali matanya. Ia tak menghitung telah berapa jam tertidur, yang ia rasakan saat itu rasa lelah dan kantuknya masih terasa.

Tetapi belum sampai sepuluh detik, Kolis terjingkat kaget.
"Nduk... Nduk Kom?" panggil Kolis.
Sunyi, tak terdengar apapun, seperti menghilang suara isak tangis yang baru saja telinganya dengar.
Beberapa saat lamanya Kolis terdiam, ia meraba akan suara tangisan, yang akhirnya dirinya kira hanya halusinasinya sendiri.
Ia pun kembali berbaring dengan balutan rapat selimut, menatap langit-langit beratap Asbes, dan sejenak melambungkan memori di kepalanya, menelusuri kembali perjalanan hidupnya.

"Toolooongg... tolooonggg..." Lirih namun sangat menyayat terdengar suara rintihan dari luar jendela kamar.
Seketika itu juga Kolis melompat, dadanya berdebar, seluruh kulit tubuhnya pias, keringat pun mulai merembes dari pori-pori.

"Tolooonggg... Tolongggg, ampun... ampun, ctarrrr" Kembali suara rintihan itu sangat jelas terdengar oleh Kolis. Namun bukan... bukan seperti suara pertama. Sebab suara rintihan pertama milik suara laki-laki, dan kali ini suara seorang wanita.

Rasa takut kini benar-benar menyelimuti jiwa Kolis. Ia terdiam, hanya mampu berdiri mematung sembari menatapi jendela kamar yang tertutup.

"Crriingg... Cccrrringgg...."
"Srreekkkk... Srekkk...."

Lagi-lagi Kolis di buat semakin ketakutan. Tubuhnya mulai gemetar, jantungnya seolah tak lagi ada degupan, darahnya seakan berhenti mengalir, manakala jendela yang tengah dirinya tatapi tiba-tiba terbuka lebar.
Tak hanya itu, dari balik jendela, saat seutas siutan kabut hitam terterpa angin dingin, terdengar nyaring gemerincing layaknya besi berbenturan bergantian dengan langkah-langkah kaki yang di seret.
Saat itu Kolis ingin sekali lari atau pingsan sekalipun, agar dirinya tak melihat sesuatu di balik jendela. Di mana, beberapa wajah sayu pucat seputih kapas dengan bulatan hitam menghias kedua mata, silih berganti muncul dan menatapi dirinya.
Wajah-wajah pucat itu seperti tengah tersiksa, tatapan bola mata mereka seperti ingin meminta bantuan kepada Kolis.

Namun hal itu, semakin membuat jiwa Kolis tercekam.
Beberapa di antara wajah yang Kolis lihat, ada dua yang sangat tak asing baginya. Kedua wajah yang muncul terakhir itu, seketika membuat Kolis menangis. Ia sangat terpukul, saat dua wajah itu, memelas, merintih, meminta pertolongan padanya. Sedangkan dirinya sendiri, untuk melangkah setapak pun tak sanggup.
Puluhan menit Kolis mengalami hal menakutkan itu. Beberapa kali juga dirinya yang terpaku dalam ketakutan harus menyaksikan wajah-wajah itu kembali.

Oleh karena mereka seperti di giring, mengikuti alunan Gong yang mungkin sebagai penanda, berjalan memutari rumah Uyut Latip.

Suara Gong dan gemerincing rantai beradu akhirnya terhenti, setelah satu aroma kapur barus berpadu pandan, menyesapi hidung Kolis. Dan tak lama sesosok wanita muncul dari balik jendela seperti tengah duduk di atas keranda pikul.
Wanita itu menatap sinis ke arah Kolis.

Wajahnya seolah tak berurat meski terlihat ayu. Rambutnya di biarkan tergerai memanjang, berbalut kemben sebatas dada.

"Koe manuto nek ora pingin dadi koyo wong-wong kui. Gowonen calon manten Srenggiku metu seko omah iki! terke nang panggonane asal! Sak bare Tanggal Telulas Koe tak jamin urep mulyo!" (Kamu menurutlah kalau tidak ingin jadi seperti orang-orang itu. Bawalah calon pengantin Srenggiku keluar dari rumah ini! antarkan kembali ke tempat asalnya! Setelah Tanggal Tiga Belas Kamu Saya jamin hidup mulya) ucap sosok wanita sangat mirip dengan yang Kolis tau dan biasa di panggil, Buk Ratri.

"Nek Koe ra manut, melu nglawan, ora bedo nasibmu koyo wong tuo mu!"

(Kalau Kamu tidak nurut, ikut melawan, tidak beda jauh nasibmu seperti kedua orang tuamu!) sambung sosok itu, dengan nada culas nan menyengit.
Kolis sendiri hanya terdiam. Wajahnya yang pucat pasi, kontras dengan bibirnya yang membiru.

Jangankan untuk menyahut bicara, menggerakkan bola matanya saja agar tak melihat kebengisan yang terpancar dari wajah sosok Ratri pun ia tak mampu.
Sepersekian menit akhirnya Kolis terkulai. Tubuhnya yang basah bermandikan keringat, roboh.

Ia terkulai lemah, menyandar pada dinding, setelah sosok Ratri bersama iringan Gong dan wajah-wajah penuh kesedihan menghilang.
Sunyi, hening, suasana saat itu. Membuat Kolis cepat menguasai gemuruh dadanya serta mengatur nafasnya yang tersengal.

Hati Kolis sedikit goyah saat teringat kembali ucapan sosok Ratri. Ia membayangkan betapa menderitanya orang-orang yang ia lihat hanya sebatas wajah, termasuk wajah orang tuanya, Mbah Soko dan Mbok Selasih.
Saat-saat jiwa dan pikiran Kolis masih berkecamuk, satu bisikan lembut membuatnya terbangun. Berjalan dengan tertatih keluar dari kamar.
Langkahnya semakin terasa ringan dan mantap ketika matanya lurus menatap ke arah kamar Komala. Sesampainya di depan pintu, Kolis berhenti sejenak. Mendengarkan sayup lantunan liring tembang, yang biasa di nyanyikan untuk menidurkan anak-anak.
Kolis tak perduli lagi, tangannya segera mendorong pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Kolis sempat tertegun sejenak melihat Komala tengah duduk di ranjang sembari memeluk sebuah selendang merah muda polos.

Dari bibirnya, masih terdengar lirih bait tembang berirama slendri peloq.
Sempat ragu Kolis kala itu. Tapi ketika muncul bayangan wajah-wajah menderita termasuk wajah kedua orang tuanya, kakinya segera berayun mendekati Komala.

Liringan dari bibir Komala akhirnya terhenti sesaat, setelah Kolis duduk di tepian ranjang. Sebentar matanya melirik, sebelum menunduk menatapi selendang sembari menimang-nimang.

"Nduk, ayo tak terke bali meneh" (Nduk, ayo Saya antar pulang lagi) ucap Kolis pelan.

Tak ada sahutan dari Komala, wajahnya tetap menunduk, suara timangannya masih terdengar lirih tanpa memperdulikan Kolis.
Di ulangnya kembali oleh Kolis ucapannya untuk ke dua kali, dan untuk yang ketiga kalinya, Komala akhirnya menengadahkan kepala.

Menatap lekat-lekat ke arah Kolis, sebelum tangan kanannya menunjuk ke arah depan pintu utama sambil berucap pelan.

"Guwak disek barang seng di pendem Lek Latip, nang ngarep lawang. Mengko dewe lagek iso lungo seko kene" (Buang dulu barang yang di kubur Paman Latip, di depan pintu. Nanti kita baru bisa pergi dari sini)
Termangu Kolis mendengar nama Uyut Latip di sebut oleh Komala. Ia pun membayangkan, mengingat sosok Pamannya yang tengah pergi sampai tiga hari ke depan.

"Kudu mbok jikok disek, Kang. Nek ora, gak bakal rampung urusan iki. Opo Kang Kolis gak pingin nolong Bapak karo Ibu? opo malah Kang Kolis pingin sengsoro dadi kawulo?" (Harus Kamu ambil dulu, Kang. Kalau tidak, gak akan selesai masalah ini.

Apa Kang Kolis tidak ingin menolong Bapak sama Ibu? apa malah Kang Kolis ingin sengsara jadi pengikut?) sambung Komala berujar, seperti tau keraguan dalam diri Kakaknya.
Tanpa menjawab, Kolis bangkit dan melangkah keluar. Kebimbangannya masih bergelanyut sama kuat, antara menuruti Adiknya atau Pamannya. Hingga tanpa sadar kaki Kolis sudah menapak di depan pintu utama. Di mana di tempat itu, di bawah tangga yang hanya berjarak tiga langkah, terkubur sesuatu seperti yang di maksud Komala.
Meski masih ragu, Kolis tetap membuka pintu.

Melangkah pelan menuruni tangga dan berhenti mematung menatap suasana gelap di halaman.

"Jikuk en saiki, Kang. Ayo gek dewe lungo seko kene. Melas Bapak karo Ibu seng gek nunggu dewe"

(Ambil sekarang, Kang. Ayo segera kita pergi dari sini. Kasihan Bapak sama Ibu yang lagi menunggu kita)
Sedikit terkejut Kolis mendengar suara Komala yang sudah ada di belakangnya sembari menenteng lampu teplok gantung. Ia menoleh sebentar, menatap sang Adik yang tersenyum tipis sembari menganggukan kepala dan mengulurkan lampu bercahaya remang memudar ke padanya.
Keraguan terlihat semakin menggurat jelas pada wajah Kolis saat akan menerima lampu dari tangan Komala. Namun akhirnya, tangannya menyambut uluran tangan Komala dan menerima pemberian lampu teplok.

Kini, di depanya, tiga langkah dari tempatnya berdiri, Kolis melihat satu gundukan membulat sebesar paha orang dewasa. Entah karena memang di buat seperti itu, atau memang penglihatan Kolis yang telah mampu menembus.

Hal itu tak terlalu di pikirkan Kolis. Tugasnya kini hanya membongkar, mangambil sesuatu yang tertanam di dalamnya seperti yang di maksud Komala Adiknya.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close