Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANAK KECIL DI PINGGIR PANTAI (Part 1)


Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Kami pun tiba di sebuah pantai berpasir putih.

"Wuih keren, Ya!" ucap Wildan yang baru saja turun dari mobil.

"Jangan langsung ke pantai lah. Cari makan dulu yuk!" ajak Hendra.

"Sip, aku laper juga," balasku.

Kami berjalan menuju deretan tempat makan. 

"Mir, disini gak ada yang pake gituan, Kan?"

"Kagak ada, Dan," balas Hendra.

"Ada sih, tapi ya kita jangan makan disana," balasku.

"Si Hendra sesat ih."

"Lah, penglihatanku kan gak setajam Amir."

"Yang mana Mir yang pake gituan?" tanya Wildan.

"Tuh, yang dua di pojok. Jenisnya sama yang kita liat di jalan tadi."

"Oh, iya. Ada Kuntilanaknya!" ucap Hendra.

"Telat, Hen!"

"Ya, aku kan baru liat, Dan."

Kami berjalan ke tempat makan yang agak ramai. Namun, ramai bukan karena pakai penglaris atau sejenisnya. Ini murni karena makanannya enak.

"Ini baru enak beneran!" ucap Wildan sambil menyantap Ikan Gurame Asam Manis di hadapannya.

"Huuh, bumbu Saos Padangnya juga enak ini," timpal Hendra.

"Abis ini mau kemana lagi, Hen?"

"Kita nongkrong di pantai. Semoga aja gak rame."

"Bagus kalau rame, Hen. Banyak yang bisa diliat."

"Si Wildan, mentang-mentang baru keluar dari rumah sakit. Butuh penyegaran mata," ucapku.

"Iya, sepet mataku liat botol infus mulu."
Setelah makan, kami pergi ke pantai. Aku duduk di bawah payung besar. Sementara Wildan duduk di bawah pohon kelapa.

"Menurut penelitian, buah kelapa itu 15 kali lebih mematikan daripada hiu," ucapku dengan suara keras.

"Jangan ngadi-ngadi, Mir," sahut Wildan.

"Emang buah kelapa ngapain, sampe bisa lebih mematikan dari hiu?" sambungnya.

"Coba lu bayangin aja. Tuh kelapa jatoh kena kepala. Uh... rasanya. Ah mantap!"

"Lu kalau ngomong suka seenak jidat. Ngedoain aku ketiban kelapa." Wildan bangkit dan berjalan ke arahku.

"Ya, siapa tau kangen sama suster di rumah sakit."

"Lu napa diem aja, Dra?" tanya Wildan.

Sepertinya Hendra melihat apa yang kulihat. 

"Ternyata pernah ada korbannya, Ya, Mir?" tanya Hendra.

"Korban apaan sih?" Wildan kebingungan.

"Orang kejatohan buah kelapa."

"Ah... mulai! Ini niatnya mau ngajak aku liburan. Apa penelusuran sih!" keluh Wildan.

"Kepalanya ampe retak gitu, kasian," ucap Hendra sambil menatap ke area dekat pohon kelapa. Tempat hantu itu berdiri.

"Udah deh, Hen! Lu non aktifin dulu napa mata batinnya. Ganggu suasana liburan aja!"

"Aku kan bukan si Amir, Dan!"

"Belajar makanya yang tekun." Wildan duduk di sampingku. "Lu juga, Mir. Kalau ada sesuatu bilang aja. Gak perlu sok pinter bilang menurut penelitian." Wildan menepuk pahaku.

"Lah, itu bener kok. Aku kan cek gugel. Tuh!" balasku seraya menunjukan layar ponsel.

"Dah, Ah! Aku mau keliling sambil cuci mata." Wildan bangkit.

"Tinggal cuci pake air laut, Dan," sahut Hendra.

"Perih!" Wildan berlari mendekati laut.

"Ati-ati, Dan. Jangan ampe ditarik sama Mbak-mbak pake kebaya ijo!" teriakku.

"Aku gak akan nyemplung!" 

"Mir, aku tiduran bentar, Ya," ucap Hendra.

"Lah? Ke pantai masa cuman numpang tidur."

"Capek, Cuy! Gara-gara nyetir jalannya offroad."

"Ya, Udin. Ntar aku minta si Kepala Pecah bangunin."

"Jangan gitu, Mir." Hendra mulai rebahan dan menutup matanya.

Liburan kali ini benar-benar terasa hambar. Wildan daritadi jalan-jalan tidak jelas di pinggir pantai. Sedangkan Hendra sudah tidur nyenyak, bahkan sampai ngorok. Sementara aku masih duduk sambil menatap bibir pantai.

"Tega bener dah si Amir!" Hendra bangun dari tidurnya.

"Apaan, Hen?" tanyaku bingung.

"Aku baru tidur bentaran doang ini. Iseng bener dibangunin."

"Kagak ada yang bangunin, Hen. Daritadi aku lagi liatin si Wildan doang."

"Lah terus? Ini siape?" Hendra menunjuk kakinya.

"Siape?" Aku tidak melihat apa-apa.

"Tuh bocil! Lagi megang-megang kaki aku. Geli tau!"

Aku membuka mata batin. Ternyata benar, ada seorang anak laki-laki sedang duduk di dekat kaki Hendra. Ia tampak kaget saat aku menatapnya.

"Yah, kabur, Hen." Anak kecil itu berlari ke arah pohon kelapa. Namun langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menghalangi.

"Mang Genta!" ucap Hendra. 

Mang Genta itu salah satu penjaga Hendra. Ia memegang tangan anak kecil itu, lalu mengajaknya mendekatiku. 

Aku bingung dengan maksud Mang Genta. "Kenapa, Mang?"

"Bantuin dia. Kasian sendirian aja di sini."

"Kan ada temen lainnya, Mang. Tuh lagi lari-larian."

"Iya, tapi dia kasian. Terjebak di sini, tidak bisa ke mana-mana karena nunggu seseorang yang tidak datang-datang," 

"Seseorang?" balasku seraya menatap anak kecil itu. Bajunya lusuh dan basah. Kulitnya keriput dan sangat pucat. Sudah pasti ia tewas tenggelam. Lalu, siapa orang yang ditunggunya?

BERSAMBUNG
close