Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATI SURI


JEJAKMISTERI - Cerita ini diangkat dari kisah nyata seorang narasumber. Nama dan tempat sudah disamarkan untuk menjaga privasinya, cerita ini ditulis dengan sudut pandang narasumber. Selamat membaca, semoga ada pelajaran yang bisa diambil hikmahnya.

Namaku adalah Acih, aku tinggal bersama ibuku yang seorang janda. Aku adalah anak yatim, ayahku sudah meninggal ketika usiaku baru 4 bulan karena tersengat aliran listrik.

Dulu, ayahku bekerja di tempat peternakan ayam yang ada di kota. Setelah ayahku meninggal, ibu menjadi tulang punggung keluarga. Beliau tak mau untuk menikah lagi, walaupun banyak orang yang datang untuk meminangnya.

Ketika usiaku menginjak 17 tahun aku mengalami kejadian luar biasa. Aku  tinggal di Desa margabakti, yang masih indah dan terpencil. Sudah banyak lelaki yang berkunjung kerumahku untuk melamar, tetapi tak satu orang pun bisa meluluhkan hatiku.

Maklum aku tinggal di desa, jadi umur segitu sudah pantas untuk menikah. Apalagi aku memiliki paras cantik sehingga banyak lelaki yang terpesona. 

Aku hanyalah lulusan SMP, itupun SMP terbuka yang hanya sekolah 3X dalam seminggu. Beruntung ada seorang relawan yang mengajar ke kampungku secara gratis.

Bukan tak ada niat untuk melanjutkan sekolahku tapi keadaan yang tak memungkinkan. Jarak yang harus ditempuh pun sangatlah jauh, bahkan belum ada transportasi yang bisa digunakan.

Warga yang ingin pergi ke kota, harus berjalan kaki melewati jalan pintas yang berbatu dan penuh semak belukar. Program pemerintah untuk pembangunan jalan belum masuk ke kampungku. Sehingga kami hanya menggunakan jalan seadanya, jalan setapak.

Listrik memang sudah ada walaupun hanya ada satu orang yang pasang listrik, dan yang lainnya ikut menggunakan. Sehingga hanya bisa satu keluarga, memasang satu lampu. Lumayanlah, daripada gelap sama sekali.

"Nyai (panggilan untuk wanita sunda), kenapa kamu belum mau menikah, bukankah umurmu sudah dewasa? Mau pilih yang bagaimana lagi? Bahkan Muhtar kemarin datang, dia kan pemuda yang baik, orangtuanya juga banyak sawahnya." Ibu menghampiriku, ketika aku sedang memasak nasi menggunakan tungku.

Aku hanya melihat sekilas, jujur rasanya jengah selalu saja ibu menyuruhku menikah. Sudah sering beliau menjodohkanku, namun aku selalu menolaknya. Apalagi sudah di iming-imingi kekayaan pasti ibu akan luluh, tapi tidak denganku.

"Sudahlah Bu, jangan dibahas lagi. Aku masih ingin membantu Ibu dan menikmati masa mudaku." Aku mencoba memberi pengertian.

"Tapi lihatlah! Onih, Wati, Minah, teman-temanmu itu sudah menikah semua. Bahkan si Icih sudah mempunyai anak, bagaimana jika Nyai menjadi perawan tua? Nyai terlalu pemilih, dan mengecewakan banyak pemuda," Ucap Ibu panjang lebar. 

"Cukup Bu! Jangan pernah mendengarkan omongan mereka. Kita jalani saja hidup ini, karena kita tak pernah meminta makan kepada siapa pun. Ibu juga jangan selalu memaksakan kehendak, cobalah mengerti keinginanku Bu!" Tanpa sadar aku membentak ibu.

Ibu menggelengkan kepalanya, karena baru sekarang aku berani membentaknya. Ibu menangis sambil mengusap dadanya.

"Ibu hanya ingin kehidupanmu menjadi lebih baik. Selama ini ibu tak bisa memberikan kehidupan yang layak." 

Dalam hatiku aku merasa sangat bersalah, namun di satu sisi aku kecewa dengan sikap ibu. Selama ini aku selalu membantunya tanpa mengeluh, tapi ibu tak pernah mau mendengarkan keinginanku.

Aku keluar rumah sambil membawa golok, aku berniat pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar sekaligus menenangkan pikiran.

Sesampainya di hutan aku merenungi semua ucapanku, aku sadar jika aku sudah keterlaluan. Aku memotong ranting pohon dengan tidak fokus, sehingga tanpa sengaja aku menebas ranting pohon yang cukup besar. Ranting itu jatuh tepat mengenai kepalaku, aku merasa pusing kemudian semuanya menjadi gelap.

***** 

Aku tersadar ketika mendengar banyak orang sedang mengaji. Ibu terlihat sedang menangis sesenggukan, disamping tubuh yang terbujur kaku.

Degg!

Aku terperanjat, karena tubuh yang terbujur kaku adalah tubuhku. Aku mencoba memanggil ibu, namun tetap saja ibu tak mendengarnya. Aku mencoba untuk menyentuh ibu, namun semuanya sia-sia. Tanganku justru tembus, dan tak bisa menyentuh apapun.

Aku begitu frustasi, aku kesana kemari sambil menangis. Apakah aku sudah mati? Aku belum bisa membahagiakan ibu, dan memohon ampun atas ucapanku tadi.

Aku melihat tubuhku dimandikan, dikafani, bahkan dimasukan ke liang lahat. Ibu beberapa kali tak sadarkan diri, dari mulutnya selalu menyebut namaku. Ibu begitu terpukul, aku baru menyadari jika kasih sayang ibu itu tiada batasnya.

Aku terus berteriak minta tolong, aku memohon ampun atas segala kesalahanku pada ibu. Alih-alih, ada yang mendengar justru tubuhku ditimbun dengan tanah.
Rasanya sangat pengap dan gelap, entah bagaimana aku merasa tak sadarkan diri. 

Aku berada di sebuah lorong gelap tiada ujung. Ada makhluk hitam besar yang mengawasiku, ia menyeret paksa tubuhku memasuki lorong itu.

Aku melihat banyak ruangan didalam lorong, banyak perempuan yang disiksa. Ada yang diikat rambutnya sedangkan tubuhnya terbalik, ada yang dipotong lidahnya, ada juga yang ditusuk kemal*annya dengan besi panas.

Berbagai siksaan yang dialami perempuan-perempuan itu. Tubuhku gemetar karena tak kuasa melihat pemandangan itu.

"Lihatlah, anak yang durhaka kepada orangtuanya. Mereka pantas untuk dihukum!" Ucap sosok hitam menggelegar sambil menunjuk suatu sudut.

Aku menoleh ke salah satu sudut yang ditunjukkan sosok tadi, benar saja banyak orang yang dicambuk. Cambuk itu terbuat dari kobaran api, aku terkulai lemas memeluk lutut. Apakah siksaan itu yang akan aku terima?

Tiba-tiba aku melihat seorang lelaki, dengan pakaian serba putih dihadapanku. Aku mencoba mencari sosok hitam tadi, tapi aku tak menemukannya.

"Bangunlah Nyi, ini bapak!" Lelaki itu membantuku berdiri.

Aku mencoba mengingat lelaki didepanku, dan aku baru ingat jika sosok itu adalah bapakku. Aku melihat fotonya di buku nikah yang ibu tunjukkan.

Aku memeluknya, aku tak bisa mengungkapkan rasa bahagiaku. Baru sekarang aku bisa melihat bapakku, bahkan bisa memeluknya. Dari dulu sosok ini yang selalu aku rindukan.

"Pulanglah Nak! Tempatmu bukan disini. Belum waktunya Nyai disini. Perbaiki sikapmu pada ibu, jangan suka menyakiti hatinya. Sayangi ibu seperti kamu menyayangi dirimu. Bapak titipkan ibu padamu, semoga nanti kita bisa berkumpul lagi dengan bahagia. Jangan lupa untuk selalu mendoakan bapak dan ibumu. Bapak sayang kalian." Ucap bapak sambil mengelus kepalaku.

Bapak menuntunku menuju ujung lorong, aku melihat cahaya yang sangat menyilaukan.  Bapak mendorong tubuhku pada cahaya itu.

Aku membuka mataku tapi gelap, aku baru menyadari jika tubuhku sudah dibungkus dengan kain kafan. Mata dan hidungku ditutupi kapas, aku berusaha membuka ikatan kafan itu.

Walau dengan susah payah aku berhasil membuka ikatan itu, aku membuka semua kapas. Aku merasa sesak karena aku berada di liang lahat, dengan papan berjejer diatas tubuhku.

Aku berusaha memukul semua papan dan berharap ada yang mendengarnya. Tenagaku sudah hampir habis, suaraku juga serak karena terus-terusan berteriak minta tolong.

Disaat aku pasrah dengan keadaan, aku mendengar derap langkah beberapa orang mendekat. Aku sekuat tenaga memukul kayu dan berteriak. Ada setitik harapan untuk bisa kembali ke rumah.

Tiba-tiba cahaya yang menyilaukan menerpa wajahku, aku melihat beberapa tetanggaku mencoba mengangkat kayu-kayu yang menindihku.

Mereka bergotong royong mengangkat tubuhku yang lemas, mereka membawaku pulang. Aku berhutang budi kepada mereka.

Sesampainya di rumah, aku disambut jerit histeris ibu. Bahkan beberapa tetangga terlihat ketakutan. Ada tetangga yang sigap membaringkan tubuhku diatas kasur dan memberiku minum.

Ibu tak lepas memeluk tubuhku dan mengucapkan beribu syukur. Beberapa perempuan menggantikan kafanku dengan baju biasa. Rasa haru telah menyelimuti kami, dan hari ini Allah telah menunjukan kekuasannya.

Setelah tenagaku pulih, aku mencoba duduk. Aku langsung menghambur memeluk ibu, ratusan kata maaf terlontar dari tubuhku. Namun ada yang aneh, suaraku menjadi bindeng. Mungkin karena lama terkubur didalam tanah, tapi aku bisa menerima dengan perubahan suaraku asal aku masih bisa bersama ibu.

Allah telah membuktikan jika menyakiti hati seorang ibu adalah dosa besar, Allah pun ikut murka. Beruntung Allah memberikan kesempatan kedua kepadaku untuk hidup.

Ibu dengan tulus memaafkanku, beliau bercerita ketika aku pergi ibu menyusulku. Beliau menemukanku dalam keadaan tak bernyawa. Ibu mengurus jenazahku, tapi setelah tiga jam ibu mendapat laporan jika salah satu tetangga mendengar gedoran dan suara dari dalam kuburanku. Ibu memberikan izin untuk membongkar makamku kembali.

Itulah pengalamanku, kini aku sudah menikah dan mempunyai anak bahkan cucu. Aku merawat ibu dengan baik sampai ajal menjemputnya. Aku hidup bahagia dengan suara bindeng akibat mati suriku.
SEKIAN

BACA JUGA : JRANGKONG

close