Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANAK TUMBAL PESUGIHAN (Part 1)


"Mir, malem ini jadi gak?" tanya Hendra.

"Emang mau ngapain?" 

"Jangan pura-pura lupa."

"Kalau bisa, ntar aku kabarin ya, Hen."

"Dih, aku dah ajak anak-anak kampus. Usahain lah Mir."

"Iya, aku usahain." Aku menyalakan motor.

"Sip, gitu dong."

"Gw balik kosan dulu, Hen." 

"Oke, Mir. Istirahat dulu, ntar malem kerja rodi."

Aku mengacungkan jempol, lalu melaju menuju kosan. 

Entah apa yang terjadi pada Hendra akhir-akhir ini. Ia seperti terobsesi dengan hal-hal berbau mistis. Mungkin karena keseringan nonton youtube horor. 

Beberapa kali ia mengajakku untuk melakukan penelusuran, tapi aku selalu menolaknya. Malam ini sepertinya aku kekurangan alasan untuk menolak. Jadi terpaksa harus menemaninya penelusuran. Rencananya, malam ini hanya pergi ke hutan di belakang kampus. 

Sesampainya di kosan, aku langsung membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Beristirahat, sekaligus mengisi energi untuk dihabiskan nanti malam. 

Langit sudah terlihat gelap. Aku masih duduk di meja belajar, menunggu Hendra datang.

"Mir, mau beli makan gak?" tanya Wildan yang tiba-tiba muncul dari balik jendela.

"Aku mau pergi sama Hendra, Dan."

"Wah pergi ke mana malem-malem. Aku kagak diajak nih?"

"Lu tanya aja ntar ke orangnya, kalau dateng. Katanya sih jam delapan, cuman ampe sekarang belum dateng juga tuh anak."

"Kebiasaan ngaret emang dia."

Selang sepuluh menit kemudian, Hendra sudah datang ke kosan. 

"Yuk, Mir. Dah siap?" tanyanya sambil berdiri di dekat pintu.

"Mau ke mana sih, Hen?" tanya Wildan yang lagi rebahan di atas tempat tidurku.

"Mau ikut, Dan?" 

"Mau ke mana dulu?"

"Ke belakang kampus?"

"Hah? Ngapain malem-malem ke sana?"

"Ngeliat pohon aja."

"Gak ada kerjaan amat!"

"Jadi, mau ikut gak?" tanya Hendra lagi.

Wildan tampak ragu. 

"Sebentar doang kok, Dan. Cuman liat-liat aja ada apa di sana." Hendra berusaha meyakinkan Wildan.

"Emang apa yang bisa diliat malem-malem di tengah hutan?"

"Apalagi kalau bukan setan."

"Nahkan! Aku dah curiga dari awal."

Wildan melirik ke arahku. "Aman gak, Mir?" tanyanya.

"Lah, mana aku tau."

"Dah ikut aja, Dan. Seru-seruan," ajak Hendra.

"Boleh deh. Bentar ya." Wildan bangkit, lalu berlari ke kamarnya.

"Jangan lama-lama, anak-anak dah nungguin," ujar Hendra.

"Iya," sahut Wildan sambil berlari.

"Yuk, Mir."

"Mau ke mana, Mir?" tanya Si Kingkong yang sedang duduk di atas pohon, dekat parkiran.

"Gak usah pura-pura gak tau," balasku melalui batin.

"Saya boleh ikut?" 

"Pergi duluan aja!"

Si Kingkong menghilang dari pandangan.

"Dah siap? Gak ada yang ketinggalan, Kan?" tanya Hendra yang duduk di kursi depan. Sementara aku dan Wildan duduk, di kursi belakang.

Hendra mengajak tiga orang temannya. Wilson yang duduk di kursi pengemudi. Andi dan Tama yang duduk di kursi tengah.

Sebenarnya jarak dari kosanku ke hutan belakang kampus tidak terlalu jauh, kalau naik motor melalui jalan dalam kampus. Namun, kalau sudah malam begini, biasanya gerbang belakang ditutup. Jadi kami terpaksa mengambil jalan memutar.

"Mir!" Kepala si Kingkong tiba-tiba muncul dari atap mobil, tepat di hadapanku. 

"Datangnya bisa biasa aja gak, Kong Guan!" ucapku melalui batin, kesal bercampur kaget. Untung tidak teriak, nanti bisa malu.

"Saya sudah ke sana."

"Ada apa aja di sana?"

"Nanti kamu lihat sendiri."

"Jadi untuk apa kamu ke sana duluan? Kalau ujung-ujungnya gak mau ngasih tau."

"Saya cuman penasaran saja," balasnya tanpa rasa bersalah.

"Apa kamu udah minta izin sama penjaga di sana?"

Si Kingkong menggelengkan kepala.
"Ah! Emang gak bisa diandelin. Dah sana pergi!"

Si Kingkong pun menghilang.

"Kenapa, Mir? Daritadi diem aja, cemberut pula," tanya Wildan.

"Gak!" balasku singkat, masih kesal dengan kelakuan si Kingkong.

"Yee ... ditanya malah nyolot."

"Paling lagi ngobrol sama makhluk astral," sahut Hendra.

"Iya, tuh di belakang Wildan, lagi nemplok di kaca."

"Yang bener, Mir?" Wildan menggeser duduknya, agak ke depan, menjauh dari jendela.

"Udah gak ada juga sih, Dan. Ngapain takut?"

"Oalah! Bilang daritadi."
Mobil mulai memasuki area hutan belakang kampus. Di dominasi pohon jati yang menjulang tinggi. Bukan hantu yang membuat area ini menakutkan, melainkan sangat kurangnya pencahayaan. Sehingga rawan sekali terjadi pembegalan.

Mobil terus melaju sampai bagian tengah. Kemudian di parkirkan tepat di pinggir jalan. 

"Yuk!" ucap Hendra sambil ke luar dari mobil.

"Yuk, Dan. Ngapain bengong!" Aku menepuk paha Wildan. Sepertinya dia ragu untuk ke luar. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin takut.

"Gelap gini, Mir," ucap Wildan saat turun dari mobil.

"Namanya juga hutan, Dan. Kalau mau terang ya penelusuran di Mall."

"Itu nongkrong namanya, bukan penelusuran."

"Nah tuh pinter."

"Daridulu!" 

Kami berkumpul sebentar, merencanakan area mana yang akan ditelusuri. 

"Kita jalan sampe ke sungai aja, terus balik lagi," cetus Tama.

"Gak kejauhan? Ini mobil di parkir di pinggir jalan, bahaya kalau lama-lama," balas Wilson.

"Kalau mau ke sungai, mending mobilnya diparkir di dalam hutan aja. Daripada ntar balik tiba-tiba ngilang tuh mobil," ucap Hendra.

"Ya udah, aku pindahin dulu." Wilson masuk ke dalam mobil, lalu memindahkannya.

"Gimana, Mir?" tanya Hendra.

"Gimana apanya?" balasku.

"Area sini aman?"

"Biasa aja sih. Gak ada yang aneh-aneh."

"Sip. Yuk, berangkat!"

Kami mulai jalan masuk ke dalam hutan. Semakin dalam, rasanya dada ini semakin sesak. Soalnya, banyak makhluk yang semakin mendekat.

"Dan, jangan jauh-jauh," ucapku.

"Kagak, Mir! Lu gak liat apa daritadi aku ngintilin lu."

"Ya mana aku liat, kan mataku di depan."

"Jangan kesana, Mir!" Si Kingkong tiba-tiba muncul.

"Kenapa?" balasku melalui batin.

"Di sana ramai. Takutnya salah satu kalian ada yang salah ucap. Nanti mereka bisa marah."

"Di dekat sungai?"

"Iya. Jangan terlalu dekat dengan pohon besar di sana." Si Kingkong kembali menghilang.

Seperti itulah tingkahnya, ngomong sedikit lalu menghilang. Jarang sekali mau menjelaskan panjang lebar. Dasar!

BERSAMBUNG
close