Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENARI RONGENG (Part 4 END)


Kami masi berkumpul di parkiran. Mataku terus tertuju pada Manda yang sedang duduk di samping Caca. 

"Kok bisa parah banget ya, tadi," ucap Fadil.

"Iya, padahal dulu pas kita ke sini, gak sampe segitunya," balas Taka.

"Soalnya Manda dan Hendra tuh termasuk sensitif. Ditambah aku juga. Jadi aja banyak yang ngedeket. Kepo gitu," jelasku.

"Tadi pas terakhir itu, aku ngedenger banyak suara. Berasa rame gitu, Mir," ucap Hendra.

"Itu emang ada banyak banget makhluk yang datang. Dipanggil sama penari yang masuk ke badan Manda."

"Penari itu siapa sih?" tanya Erwin.

"Dia itu pemimpinnya."

"Udah lama di sini?" 

"Dari sebelum pasar ini di bangun."

"Pulang, Yuk! Dah mau jam satu," ucap Caca.

"Kasian si Manda ampe lemes gini," sambungnya.

"Ah bisa aja lu, Ca," balas Manda. Akhirnya ia berbicara juga.

"Yuk, cabut," ucap Galih.

Kami pun saling berpamitan, kemudian masuk ke dalam mobil masing-masing. Tak lama, mobil sudah meninggalkan parkiran. Rencananya Wildan akan mengantar Caca ke kosannya. Setelah itu, baru mengantar Manda.

"Kasian ya, Mir," ucap Manda.

"Kasian apa, Nda?" 

"Penari tadi."

"Sempet liat flashbacknya, Ya?" tebakku.

"Iya."

"Apa yang dirasain pas liat flashbacknya."

"Kaya marah campur sedih gitu."

Aku juga sempat melihat bayangan masa lalu Penari Ronggeng itu. Memang sangat menyedihkan. Ia beserta grup ronggengnya dibantai oleh tentara Belanda, saat pementasan disana. Mayat mereka semua ditumpuk, lalu dikubur dalam satu liang lahat. 

"Dikubur di sana?" tanya Wildan.

"Iya."

Setelah peristiwa itu, Belanda membangun sebuah gedung. Gedung yang digunakan sebagai tempat penyimpanan kuda.

"Jadi dia yang bikin pasar itu selalu kebakaran?" tanya Wildan.

"Bisa jadi," balasku.

"Kok bisa jadi."

"Soalnya disana itu makhluknya beraneka ragam, Dan. Penari Ronggeng itu memang diangkat sebagai pemimpin, karena lebih dulu ada di sana. Nah pendatang-pendatang baru ini juga gak kalah kuat sebenernya," jelasku.

"Pendatang baru?"

"Semacam Jin yang dipakai untuk penglaris dan pesugihan. Kalau malam, mereka tinggal di sana. Soalnya kan tempatnya gelap dan sepi."

"Maksud lu, di pasar ada yang pake begituan?"

"Ada, kayanya itu udah jadi rahasia umum."
Jin-jin penglaris dan pesugihan ini bekerjasama dengan Si Penari Ronggeng, agar lantai dua pasar itu tetap bisa mereka huni. Makanya setiap kali direnovasi ulang, sering terjadi kejadian aneh. Mulai dari kesurupan massal. Sampai akhirnya kebakaran.

"Apa mereka semua bisa diusir dari sana?" tanya Caca.

"Bisa sih harusnya, asal sabar aja."

"Lu bisa, Mir?" tanya Wildan.

"Kagak," balasku.

Tak terasa mobil sudah tiba di depan kosan Caca. Selanjutnya kami menuju kosan Manda.

"Si Hendra daritadi diem aja," ucap Wildan.

"Kepala aku pusing," balasnya.

"Wah ada yang ikut kali," ledek Wildan.

"Ah, lu nakut-nakutin aja."

Aku kembali mempertajam mata batin. Benar saja, ternyata ada yang mengikuti Hendra. Pocong wanita tadi. Sepertinya dia suka dengan Hendra.

"Nah pusingnya tiba-tiba ilang," ucap Hendra.

"Dah aku usir," balasku.

"Nahkan, beneran ada yang ngikutin lu, Hen," imbuh Wildan diikuti tawa.

"Iya, cewe tadi ngikutin lu."

"Si Pocong?"

"Huuh."

"Tapi beneran udah pergi, Kan? Aku gak mau dia ngikut ampe kosan."

"Udah, Hen. Santuy aja."

"Ya, ngikut sampe kosan juga gak apa-apa sih, Hen. Kan enak ada guling tambahan," ledek Wildan, membuat seisi mobil tertawa kecuali Hendra.

"Aku doain ada yang ngikut sama lu, Dan," balas Hendra.

"Ih jahat."

Mobil terus melaju, diiring dengan obrolan-obrolan absurd kami berempat. 

"Makasih ya, semua," ucap Manda sambil turun dari mobil.

"Jangan kapok-kapok ya, Nda," sahut Wildan.

"Kapok banget aku."

"Maksudnya jangan kapok-kapok traktir kita."

"Ah kirain apa."

Manda pun masuk ke dalam kosan. Kini hanya menyisakan kami bertiga. Jomblo-jomblo bahagia.

"Ke mana lagi kita?" tanya Wildan.

"Katanya di deket sini ada kuburan china, coba yuk kesana."

"Jangan ngadi-ngadi dah, Mir!"

"Lagian lu pake nanya. Ya balik ke kosan lah."

"Oh, kirain Hendra mau traktir. Soalnya aku laper abis nahan badannya tadi," sindir Wildan.

"Mie di warkop Mang Heri aja, Ya?" Sindirannya berhasil.

"Asik!" Wildan kegirangan.

Setelah makan mie, kami pulang ke kosan. Hendra memilih menginap di kosanku dan Wildan. Tiba di kosan, aku langsung berlari menuju kamar mandi.

"Mir, daritadi HP lu bunyi tuh," ucap Hendra yang sedang berbaring di atas tempat tidurku, saatku kembali ke kamar.

"Siapa malem-malem begini?" tanyaku.

"Ya mana aku tau."

"Bukannya angkat."

"Aku lagi males gerak."

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja belajar. Terlihat nama Manda di layarnya.

"Manda, Hen," ucapku.

"Ngapain dia malem-malem nelpon?" 

"Ya, mana aku tau. Coba lu tadi angkat."

"Tinggal telepon balik, ribet amat."

Aku menghubungi nomor Manda. Tersambung.

"Halo, Man. Tadi nelpon?" tanyaku.

"Iya," balasnya singkat.

"Ada apa, Ya?"

"Ini, Mir...." Ucapannya tertahan seperti ketakutan.

"Ini apa?"

"Aku liat ada orang nari di depan kosan," ucapnya.

"Dia ngikut sampe sana?" 

"Dia siapa, Mir?" tanya Hendra. Namun, aku tak membalas pertanyaannya.

"Iya," balas Manda.

"Duh, masih aja," ucapku kesal.

"Bentar ya, Nda. Yang begini harus dikasih pelajaran," sambungku lalu menutup telepon.

Aku duduk lalu memejamkan mata. Tak lama si Hitam sudah datang.

"Ada apa, Mir?" tanyanya.

"Itu usir si Penari tadi dong!" pintaku.

"Di mana?" Ia celingak-celinguk.

"Bukan di sini, tapi di rumah perempuan tadi."

"Oh, saya tidak tau rumahnya di mana."

Aku menunjukan letak kosan Manda. Si Hitam pun bergegas pergi ke sana. Memberi pelajaran yang berharga untuk si Penari Ronggeng.

"Sudah, Mir!" Kurang dari satu menit, si Hitam sudah kembali.

"Gimana?"

"Kaget dia."

"Kaget gimana?" 

"Kan dia lagi nari. Nah dia tidak sadar kalau saya mendekat. Saya colek aja badannya dari belakang. Eh dianya kaget, terus kabur," jelas Si Hitam.

"Bukannya dikasih pelajaran."

"Kasian, Mir. Begitu aja harusnya dia tidak datang lagi." 

"Oh, ya sudah."

Si Hitam pun menghilang.

"Dia siapa, Mir?" tanya Hendra saatku membuka mata.

"Si Penari Ronggeng ikut Manda ampe kosan," balasku.

"Ih, dah lu usir?"

"Udah."

"Semoga si Pocong cewe gak ngikut aku ampe sini."

"Masih ngikut tuh."

"Seriusan?"

"Tapi bohong...."

Ting!

Bunyi notifikasi pesan yang masuk ke ponselku. Ada pesan yang masuk dari Manda.

[Udah gak ada, Mir]
Tulis Manda.

[Okay]
Balasku, seraya menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Menimpa tubuh Hendra.

"Sakit, Mir."

"Lu ngapain tidur di atas. Sana, tempat lu di bawah!" ucapku sambil menunjuk karpet.

"Bilang kek, gak usah nindihin."

"Masih mending aku tindihin, daripada ditindihin sama Pocong Cewe tadi."

"Kan! Maennya begitu! Awas aja." Hendra beranjak dari tempat tidur. Lalu, berbaring di atas karpet.

Kini aku bisa mengistirahatkan tubuh yang sudah terasa lelah.

SEKIAN
close