Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANAK TUMBAL PESUGIHAN (Part 3)


Aku menutup mata.

"Kong kalau kamu gak balikin anaknya. Andi bisa meninggal!" ucapku pada Si Kingkong.

Si Kingkong terdiam. Matanya berubah menjadi merah, diikuti bulunya yang menjadi merah. Ia memperbesar ukuran tubuh berkali-kali lipat. Bahkan melebihi ukuran tubuh si Genderuwo Merah.

"Titip anak ini." Si Kingkong meminta anak perempuan itu berdiri di dekatku.

"Lepaskan dia! Atau saya geprek!" Ancam si Kingkong.

"Emang kamu tau artinya geprek?" ledekku.

"Diam, Amir. Saya lagi serius! Lagian saya sudah sering liat kok kamu makan makanan yang digeprek!"

"Oh... dah pinter sekarang."

"Sst!"

Si Kingkong mengepalkan tangannya, tanda bersiap untuk bertarung. Begitu pula si Genderuwo Merah, sudah siap menyambut tantangan si Kingkong.

BRUG!

Hanya dalam hitungan detik, mereka sudah mulai adu pukul. Sayang di sini tak ada yang jualan popcorn. Padahal pertarungan ini sangat seru, layaknya pertandingan gulat.

BRUG!

Benturan keras terjadi. Membuat anak perempuan itu bersembunyi di balik tubuhku. Selain itu, Kuntilanak yang sedang mandi pun berhamburan, masuk ke dalam hutan.

"Lama kali ah!" komentarku.

"Aku masih bermain-main dengan boneka lucu ini!" sahut Si Kingkong.

Seandainya aku jadi Genderuwo Merah, pasti akan kesal mendengar ledekan si Kingkong. Namun sayang, si Kingkong sudah mengikatnya terlebih dulu. 

"Tolong lepaskan saya!" rengek Genderuwo Merah itu.

"Makanya jangan macam-macam!" ucap Si Kingkong yang sudah menyusutkan ukuran tubuhnya.

"Kalian boleh bawa anak itu, tapi lepaskan saya."

"Janji tidak akan macam-macam?"

"Saya janji."

Si Kingkong melepaskan ikatannya. Si Genderuwo Merah itu langsung lari ke dalam hutan.

"Udah, Dek. Jangan megangin tangan saya terus. Pegel!" Aku meminta anak perempuan itu untuk menjauh.

"Udah bisa berdiri, Kan?" tanyaku saat membuka mata.

Wilson dan Hendra membantu Andi berdiri. 

"Tadi itu diapain sih, Mir? Sampe segitunya?" tanya Hendra.

"Diinjek sama dipeluk si Genderuwo Merah," balasku.

"Padahal aku kagak ngapa-ngapain," ucap Andi.

"Ya, dia ngerasa keganggu aja sama kehadiran kalian. Apalagi kalau ngobrolnya berisik. Ini tempat kan biasanya sepi."

"Bener. Lagian orang gak ada kerjaan mana yang datang ke sini tengah malem," sahut Wildan.

"Kita, Dan.... K-I-T-A!" balas Hendra.

"Yu! Ntar ada yang marah lagi repot," ucapku.

Kami semua pergi meninggalkan tempat itu. Sesampainya di mobil, Andi mengeluh lemas. Padahal kami berjalan tidak terlalu jauh. Ia pun duduk di dekat mobil dan meminta minum. 

Hendra mengambil minum di mobil, kemudian menyerahkannya. Namun, Andi malah menangis.

"Huhuhuhu... pulang, pulang." Andi merengek seperti anak kecil minta mainan.

"Pulang, Ayah! Takut...," imbuhnya.

"Kenapa itu Mir?" tanya Hendra.

"Kesurupan," balasku singkat.

Kulihat makhluk apa yang masuk ke dalam tubuh Andi. Ternyata, si Anak Perempuan tadi. 

"Adek jangan ganggu kakaknya, Ya!" pintaku.

"Tolong, aku takut. Mau pulang," balasnya.

"Adek? Anak kecil, Mir?" tanya Hendra.

"Iya, anak kecil."

Terpaksa aku harus mengambil tindakan. Mencari biang kerok dari kerusuhan ini. Siapa lagi kalau bukan si Kingkong.

"Kong!" panggilku.
Tring!

Si Kingkong muncul. "Ada apa, Mir?" tanyanya.

"Kenapa kamu gak bawa anak ini?" tanyaku.

"Dia cuman minta pulang. Sebaiknya kalian antar," balasnya enteng.

"Kenapa tidak kamu saja yang antar."

"Aku sedang ada urusan lain." 

Si Kingkong menghilang, entah ke mana. 

Kutatap anak perempuan yang sedang merasuki Andi. Tubuhnya mungil, mungkin umurnya sekitar 4-5 tahun. Rambutnya agak panjang. Kulitnya pucat sekali.

Ia mengenakan baju yang sudah lusuh dan banyak robekan. Di bajunya terdapat banyak noda merah, darah. Hampir seluruh anggota tubuhnya dipenuhi lebam kehitaman. Apa yang terjadi padanya? Jiwa penasaranku seperti meronta-ronta ingin mengetahuinya.

"Adek, tenang dulu, jangan nangis. Nanti kakak anter pulang," rayuku agar ia berhenti menangis.

"Emangnya lu tau rumahnya, Mir?" tanya Wildan.

"Stt, diem dulu, Dan."
"Beneran, Kak?" Ia sudah agak lebih tenang.

"Iya, tapi adek ke luar dulu dari badan kakaknya."

Anak perempuan itu tersenyum, lalu ke luar dari tubuh Andi. Andi pun tersadar. Segeraku pinta Hendra dan Wilson membawanya ke dalam mobil. Soalnya aku masih harus mengurus anak ini agar tidak ikut.

"Adek namanya siapa?"

"Puput." 

"Adek inget rumahnya di mana?" tanyaku melalui batin.

Ia menggelengkan kepala.

"Adek kok bisa ada di sana?"

"Dibawa sama monster besar."

"Boleh kakak pegang tangannya?"

Puput mengulurkan tangannya. Saatku sentuh, terlihat sebuah gambaran. Ia sedang bermain di pinggir sungai. Di dekatnya ada seorang pria dewasa sedang mengamatinya. 

"Siapa itu?" tanyaku.

"Ayah."

Sebuah gambaran kembali muncul. Kini ada sosok tinggi besar berdiri di dekat Puput. Kemudian, sosok itu mendorongnya hingga tercebur ke sungai. Tak hanya didorong, sosok itu juga menariknya hingga tenggelam.

Tubuhnya terbawa arus sungai yang deras. Benturan demi benturan harus ia rasakan. Hingga tubuh mungilnya sudah tak kuat lagi. Puput pun meninggal.

Namun, ada sebuah misteri yang belum terungkap. Bagaimana bisa Qorinnya terjebak di pohon besar itu? Apakah....

"Ayahnya pelaku pesugihan," ucap Si Kingkong yang tiba-tiba muncul. 

"Jadi, anak ini ditumbalkan?" tanyaku.

"Iya. Menyedihkan bukan? Anak sekecil itu harus diperlakukan sangat kejam oleh jin-jin pesugihan. Makanya saya bebaskan."

"Kenapa kamu gak bilang dari awal!"

"Kamu terlalu fokus melihat Kuntilanak yang sedang mandi. Sampai tidak fokus pada apa yang ada di pohon besar itu."

"Terus bagaimana nasib anak ini? Kenapa gak kamu cari tempat untuknya. Daripada dia mengikuti temanku."

"Saya hanya menitipkannya sebentar, sambil menunggu yang lain."

"Maksudnya yang lain?"

"Nanti juga kamu tau."

Si Kingkong kembali menghilang. 

"Adek, boleh ikut sebentar. Tapi jangan nakal, Ya?" ucapku.

"Iya, Kak."

"Ayo, Mir!" panggil Wildan dari balik jendela mobil.

Aku pun masuk ke dalam mobil. 

"Udah aman, Mir?" tanya Hendra.

"Udah kok," balasku.

"Gak ada yang ngikutkan?" tanya Andi.

"Gak ada. Paling ada satu doang yang ikut."

"Hah? Seriusan?" ucap Wilson.

"Waduh, jangan sampe dah dia ngikuti di mobil gw," imbuhnya.

"Udah ada di dalem mobil kok."

"Waduh, tolong usir dong!"

"Dan, ke luar sono!" Aku mengusir Wildan.

"Loh kok gw? Dia ngikut sama aku?" protes Wildan.

"Kagak."

"Terus napa aku yang disuruh keluar?"

"Berarti lu setannya, Dan," sahut Hendra disertai tawa.

"Parah lu, Mir!" Wildan kesal.

"Dah yuk, balik!" ucap Tama.

Brum! Dep!

Mobil gagal dinyalakan. Wilson kembali mencobanya, tapi tetap gagal. 

"Wah, gak lucu sih kalau mobilnya mogok di sini," ucap Wildan.

"Kedinginan kali," ucap Tama.

"Masa sih? Kan bentaran doang tadi," sahut Wilson.

Brum! Dep!

Mobil kembali gagal menyala. 

"Coba lu periksa mesinnya!" Hendra meminta Wilson mengecek mesinnya.

"Temenin," balas Wilson.
Wilson dan Hendra pun turun dari mobil. Mereka membuka kap mobil untuk mengetahui apakah ada yang rusak. 

Sepertinya masalahnya bukan pada mesinnya. Melainkan ulah si Genderuwo Merah yang sudah berdiri di belakang Hendra dan Wilson.

BERSAMBUNG
close