Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 6)


JEJAKMISTERI - "Seko kui lah Mbah Sanir wani ngorbanke nyowo, nunggu wektu apik, nang Tanggal telulas sasi pitu seng wektune kari sakminggu neh"

(Dari situlah Mbah Sanir berani mengorbankan nyawa, menunggu waktu baik, pada Tanggal Tiga Belas Bulan Ke Tujuh yang hanya tinggal seminggu lagi) Ujar Uyut Latip meneruskan ceritanya.

"Terus kepiye carane le medot tetalene kui, Lek? opo hubungane karo aku seng kon golek banyu pitung sumber?"
(Terus bagaimana caranya memutus perjanjiannya itu, Lek? apa hubungannya dengan saya yang di suruh mencari Air tujuh sumber?) tanya Kolis kembali, seperti ingin memastikan

"Awakmu kui bakal di dadekne wali kanggo Komala. Podo karo wektu Rahmi ngritualke Ratri, seng akhire ngorbanke kakange Ratri dewe, Rosyid sak keluarga"

(Kamu itu nanti akan di jadikan wali untuk Komala. Sama dengan waktu Rahmi meritualkan Ratri, yang pada akhirnya mengorbankan kakak Ratri sendiri, Rosyid beserta keluarganya)

"Nek leh medot, mek enek pilhan loro. Pilih anak seng di kandung Nduk Kom ojo ngasi lahir, opo Nduk Kom dewe seng numbali, ngorbanke awake dewe, pas mengko nang waktu ijab batin karo Jasmoro"
(Kalau untuk memutus, cuma ada pilihan dua. Pilih anak yang di kandung Nduk Kom jangan sampai lahir, apa Nduk Kom sendiri yang menumbalkan, mengorbankan dirinya, tepat di saat akad batin dengan Jasmoro) Sambung Uyut Latip.
Begitu rumit, begitu berat, di rasa Kolis memikirkan cara unyut mengakhiri semua.
Ia pikir setelah usahanya mendapatkan air tujuh sumber bisa tuntas, tapi ternyata itu baru awal permulaan.

Tarikan nafas berat Uyut Latip berulang-ulang terdengar, wajahnya datar, pandangannya kosong lurus kedepan, seperti tengah berfikir hal yang sama dengan Kolis.

"Nek awakmu arep muleh tilek keluarga, mulih o, Lis. Komala ben nang kene, tak jogone sak mampuku.

Penting pas Tanggal Telulas awakmu sak keluarga ojo ngasi turu, golek o wong seng iso nulung seko balak Srenggi pati. Mergo awakmu bakal di golek i tekan ngendi wae dino kui"
(Kalau kamu mau pulang pada keluargamu, pulanglah, Lis. Komala biar disini, Saya jaga semampuku. terpenting tepat tanggal tiga belas Kamu sekeluarga jangan sampai tidur, carilah orang yang bisa menolong dari malapetaka Jerat kematian. Karena Kamu akan di cari sampai di manapun saja hari itu)

Terkesiap Kolis mendengar penuturan Uyut Latip kali ini. Sangat tak ingin dirinya menyeret keluarganya dalam urusan besar dan tak main-main, sampai nyawa yang bakal menjadi taruhan.

"Aku gak arep nyangkutke anak bojoku, Lek. Aku arep muleh nek urusan iki rampung" (Saya tidak akan menyangkut pautkan anak istriku, Lek. Saya akan pulang kalau urusan ini selesai) Sahut Kolis tegas setelah berpikir dalam-dalam.

"Nek pancen ngunu karepmu, mulai wengi iki dewe jogo, supoyo Adikmu ora metu seko omah iki. Kadung Lek wes gagal golek bantuan"

(Kalau memang begitu keinginanmu, mulai malam ini kita jaga, supaya Adikmu tidak keluar dari rumah ini. Terlanjur Paman sudah gagal mencari bantuan) ungkap Uyut Latip mengakhiri penjelasanya dan menutup dengan hempasan nafas berat.
Kolis yang sudah paham mengangguk pelan.

Kemudian mengiyakan perintah untuk istirahat, meninggalkan Paman Latip yang masih belum beranjak.
Namun, tanpa keduanya sadari, dari balik pintu kamar depan, sepasang mata dan telinga terus mengawasi dari celah-celah papan, juga merekam obrolan mereka. Wajahnya begitu serius, matanya sering melotot, acap kali mendengar sebuah nama di sebut, seakan tak terima dengan apa yang di bicarakan Uyut Latip pada Kolis.
Wajah sosok di balik pintu itu nampak merah padam dengan semua rencana yang di utarakan Uyut Latip. Geraham giginya gemeretak mengencang, bersamaan urat-urat terlihat menonjol, menandakan kemarahan. Tetapi ia tak kuasa untuk keluar saat itu, hanya bergumam sengit penuh ancaman di barengi tatapan tajam menyalang.

***

Hari itu alam benar-benar sendu. Langit muram tanpa kehadiran sang bola angkasa penebar panas. Menjadikan sebagian warga kampung memilih berdiam diri di rumah masing-masing. Entah karena ikut berduka atas kematian Mbah Sanir, atau memang karena alasan lain.

Memasuki waktu senja, suasana Kampung lebih cepat gelap dari biasanya, akibat dari mendung-mendung yang tadinya tipis menyebar, mulai berkejaran saling bergulung menyatu. Tak lama, tetesan-tetesan air bening tercurah dari atas, membasahi bumi bersama kilat-kilat bersambutan dengan gelegar petir.
Kolis yang terlelap cukup lama pun terbangun. Merasai hawa dingin sebentar, dan memutuskan untuk bangkit dari ranjang beralas karpet tanpa kasur.

Perlahan ia melangkah keluar, mengedarkan bola mata, mencari-cari sosok Uyut Latip.
Namun dari ujung ke ujung tiap-tiap ruangan, tak di temuinya sosok Paman. Kolispun akhirnya terduduk di ruang makan, berniat mengisi perutnya yang sedari pagi belum terisi nasi barang sebutir pun

Sepotong ikan laut goreng dengan sambal pedas, menjadi teman nasi putih dalam piringnya. Sepuluk demi sepulukan, Kolis memindahkan nasi beserta lauk ke dalam perut dan segera meneguk segelas air dingin setelah mengakhiri pulukan terakhir makanannya.

Tetapi yang di tunggunya tak juga muncul, entah pergi sebab hujan belum bisa kembali, atau memang terganjal satu urusan penting.
Sampai waktu surup tiba dan hujan telah berganti rintik gerimis, Uyut Latip belum juga kembali. Hal itu membuat sidikit gelisah jiwa Kolis.

Entah mengapa, semenjak dirinya melihat Komala seperti orang kerasukan memakan bunga setampir, Kolis merasa ngeri dan takut.
Selagi kolis termenung, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki dari ruang tamu. Mengira itu adalah Uyut Latip, Kolis bergegas menyambut.

Namun takkala ia sampai, bukan sosok Pamannya terlihat, tetapi sosok Komala tengah menghidupkan lampu teplok yang menempel di dinding papan.
Seketika perasaan Kolis berubah, rasa takutnya mulai menyusup melihat sang Adik berjalan mendekat sembari melantunkan tembang tak ia mengerti maknanya. Semakin Komala dekat, semakin kuat rasa takut membalut jiwanya. Apalagi, semakin lama lantunan tembang yang keluar dari bibir Komala, semakin terdengar menyayat kental berbau mistik.

"Tak jalok awakmu cukup dadi waliku ae, Kang. Ora usah melok perkoro seng durung tok ngerteni pestine. Bakal tak jamin awakmu selamet, tentrem bali nang omahmu"

(Saya minta Kamu cukup jadi waliku saja, Kang. Tidak usah ikut urusan yang belum Kamu pahami pastinya. Akan Saya jamin Kamu selamat, tentram pulang ke rumahmu)
Pelan atau seperti bisikan, ucapan Komala saat berada di depan Kolis. Meski tak seperti waktu pagi sorot matanya, tetapi bagi Kolis masih cukup menakutkan.

"Nek panggah di teruske, panggah ngalangi aku rabi karo Mas Jasmoro, malah dadi geger geden!" (Kalau tetap di teruskan, tetap menghalangi Saya nikah dengan Mas Jasmoro, malah akan terjadi keributan besar) sambung Komala.

"Mbok awakmu sadaro, Nduk. Jasmoro sak keluargane kui meh ndadekne awakmu sambung tali karo Iblis. Dadi ra ono kebahagiaan seng koyo tok pingini. Percoyo o aku, Nduk!"

(Kamu itu sadarlah, Nduk. Jasmoro dan keluarganya itu mau menjadikan Kamu sebagai penyambung ikatan dengan Iblis. Jadi tidak ada kebahagiaan yang seperti Kamu inginkan. Percayalah Kakakmu, Nduk!)
Jengah, Kolis akhirnya bersuara. Walau tak di pungkiri masih terbersit rasa takut, tetapi tak kuat Kolis membayangkan keadaan Adiknya kelak, bila benar terjadi pernikahan dengan Jasmoro.
Bukan ucapan jawaban dari Komala. Melainkan tatapan sinis menggambarkan kesadisan, juga seringai sengit menyungging dari bibir tipis Adiknya.

Saat itu dalam benak Kolis tersembul penglihatan berbeda. Satu sisi, ketika berbicara ia melihat benar-benar sosok Komala, tetapi ketika menyeringai, yang dirinya lihat adalah sesosok wanita tua berwajah angker.

"Krieeettt...."
"Lis, ngopo awakmu?" (Lis, Kenapa Kamu)

Tersentak Kolis mendengar sapaan dari Uyut Latip yang baru saja masuk ke dalam rumah. Juga sedikit bingung ketika tak lagi melihat sosok Komala yang baru sebentar saja melangkah pergi ke kamarnya.

Padahal ia yakin jika baru sejangkah dua jangkah Komala pergi, namun kini tak terlihat.
Penasaran membawa Kolis mendekati kamar Komala. Di tatapnya seksama daun pintu yang tertutup, seolah tak tersentuh tangan membukanya.

"Enek opo jane, Lis?" (Ada apa sebenarnya, Lis?) tanya Uyut Latip kembali merasa heran melihat sikap Kolis.

"Gak opo-opo, Lek. Cuma aku ki mau bar omong-omong mbek Nduk Kom, pas Lek Latip teko, kok terus lungo"

(Gak apa-apa, Lek. Cuma Saya tadi habis berbicara dengan Nduk Kom, waktu Lek Latip datang, kok terus pergi) jawab Kolis masih dengan raut bingung.

"Wegah ngomong karo Aku, Paling?"

(Gak mau bicara sama Saya, Mungkin?) sahut Uyut Latip tak serius menanggapi dengan sambil berlalu masuk ke dalam kamar pribadinya.
Kolis yang kembali sendiri, masih merasakan hal aneh. Ia pun belum beranjak dari depan kamar Komala.

Sedetik kemudian Kolis membungkukan badan, mengintai dari celah-celah, mencoba meyakinkan dirinya jika sang Adik benar-benar telah di dalam.
Terang dan sangat jelas mata Kolis melihat isi dalam kamar Komala, di mana matanya menangkap sesosok wanita sedang duduk di tepian ranjang,

tengah menyisir rambutnya yang hitam nan panjang.
Sekilas Kolis tampak biasa, tetapi tak lama, tepat saat wajah sosok yang dirinya kira adalah Komala, balik menatap dirinya, Kolis tersurut mundur dengan wajah memucat.
Buru-buru Kolis melangkah mendekat ke kamar Uyut Latip.

Sesampainya, langsung menceritakan apa yang di lihatnya pada sang Paman yang kebetulan baru keluar dari kamar dengan setelan pakaian kesepuhan Agama.
Kening Uyut Latip sempat mengkerut, mendengar cerita singkat Kolis.

Ia pun segera berjalan ke kamar Komala bersama Kolis yang mengekor di belakang.
"Tok... Tok... Tok...Nduk, Nduk, Kom?"
Sunyi, tak ada sahutan, tak ada jawaban apapun dari dalam, seolah kamar itu tak berpenghuni.
Uyut Latip mencoba kembali, mengetuk seraya memanggil nama Komala. Namun sama, tetap kehenginan yang menjadi jawabannya.
Selagi keduanya saling tatap dengan pikiran masing-masing, dari belakang terdengar derap langkah yang di susul satu sapaan pelan. Serentak keduanya menoleh, menatapi Komala yang muncul dan sudah berdiri di belakang mereka.

"Nduk, seko ndi awakmu!?" (Nduk, dari mana Kamu!?) tanya Uyut Latip, menutupi keterkejutannya.

"Seko kamar mandi, Lek. La arep nggolek i opo sampeyan karo Kang Kolis nang ngarep kamarku?"

(Dari kamar mandi, Lek. Lo.... mau mencari apa Sampeyan sama Kang Kolis di depan kamarku) jawab Komala dengan mimik heran.

"Gak golek i opo-opo. Lek arep pamit, arep nang Mushola. Awakmu karo Kolis ojo lungo-lungo seko omah"

(Gak nyari apa-apa. Paman mau pamit, mau ke Mushola. Kamu sama Kolis di rumah jangan keluar-keluar) sahut Uyut Latip memberi penjelasan.

Berbeda dengan Kolis, wajahnya menggurat keresahan. Bukan hanya karena ia bakal di tinggal oleh sang Paman, tetapi juga dengan sosok wanita di dalam kamar Komala.
Kolis tertegun, mematung di depan pintu depan setelah kepergian Uyut Latip yang akan memimpin acara doa untuk Mbah Sanir di Mushola. Ia berpikir keras tentang siapa sosok wanita sangat mirip Adiknya, sedangkan Komala sendiri, baru muncul dan mengaku dari belakang.
Sampai beberapa menit tak menemukan jawaban, Kolis beranjak ke ruang dapur. Berniat membuat segelas kopi untuk menghangatkan tubuhnya.
Rintik hujan kembali menetes, menyambut gelap cakra yang mulai terbuka dengan senandung keheningan suasana alam perkampungan. Menenggelamkan buaian para warga yang berdiam diri di rumah, menghanyutkan arus pikiran Kolis dalam lamunan berteman segelas kopi.

"Le... Le... Le...."
Tiga kali, sebuah suara memanggil. Meski pelan namun jelas di telinga Kolis.
Perlahan Kolis bangkit, mencari sumber suara yang tak asing dan seperti dari arah belakang rumah.

Gelap, dingin, dan hanya rintik air hujan yang Kolis temui. Tak menemukan sosok siapapun, tak menemukan apapun kecuali hembusan angin di sertai kabut putih tipis meski seluas matanya mengedar.

Merasa ada ketidakberesan, Kolis cepat-cepat masuk. Namun belum sampai pintu tertutup rapat, suara itu kembali memanggilnya.
"Le... Le... Le... Reneo...." (Nak... Nak... Nak... Kesini....)

Tak elak, Kolis kembali membuka pintu, kembali melangkah keluar, dan berdiri di ambang tangga halaman belakang.
Lagi-lagi hanya angin dan pekat malam yang terpampang di hadapannya. Kolis hampir saja beranjak masuk, sebelum kilat-kilat membelah kegelapan dan menerangi sedikit halaman, di saat itulah bola mata Kolis melotot seolah tak percaya mendapati satu sosok tengah berdiri di sudut kanan halaman.

"Mbah Sanir!" seru Kolis.

Urung Kolis beranjak dari tempatnya. Kakinya terpaku bersama kepalanya yang tak bisa ia palingkan. Kolis seperti di paksa untuk tetap berdiri di tempat itu, menatapi sosok Mbah Sanir yang perlahan mendekat.

"Le, banyu ngombene endi?" (Nak, Air minumnya mana?)

Kolis tergagu, tak mengerti dengan kalimat yang di ucapkan sosok Mbah Sanir. Tubuhnya bagai mati rasa melihat sosok masih utuh dengan kain putih penuh bercak darah, yang dirinya kuburkan pagi tadi. Tak hanya itu, dari lubang hidung dan telinganya juga masih menempel kapas putih yang sudah berubah warna, hanya pada dua bola matanya saja kapas yang tertanggal.

"Le, tulungen aku, gowonen rene banyu ngombene" (Nak, tolonglah Saya, bawakan kesini air minumnya)

Lirih suara yang di ulang dari sosok Mbah Sanir. Tetapi semakin membuat tubuh Kolis menebal tanpa bisa menjawab bahkan bergerak.

"Ojo wedi, Le. Aku gak bakal ngapak-ngapakne Koe, asal gowonen rene banyu ngombeku!"

(Jangan takut, Nak. Saya tidak akan apa-apain Kamu, asal bawakan kesini air minumku!)
Setelah mengucapkan hal itu, sosok Mbah Sanir perlahan mendekati Kolis. Namun baru saja kakinya yang terbungkus kain putih ingin menapak satu tangga, tubuhnya terjengkang ke belakang.

Seketika sosok Mbah Sanir menjerit, merintih sebentar, sebelum bangkit mengeluarkan geraman marah.
Melihat semua itu, Kolis akhirnya sedikit demi sedikit mulai mampu menguasai kesadarannya.

Hal itu di karenakan dirinya yakin jika selama tubuhnya tidak turun dari rumah panggung Pamannya, maka lelembut apapun tak bisa memasuki bahkan menyentuhnya, kecuali hanya satu sosok, Ratri.

Setelah benar-benar sadar, Kolis buru-buru masuk dan menutup pintu. Mengabaikan panggilan sosok Mbah Sanir yang masih berdiri di halaman belakang, di bawah rintikan hujan.
Kolis kemudian menyandarkan tubuhnya sambil berselonjor.

Melegakan dadanya yang bergerak naik turun begitu cepat, demi menahan rasa takut.
Beberapa menit lamanya, akhirnya sengalan nafas Kolis kembali normal. Bersamaan itu, suara sosok Mbah Sanir juga menghilang, tetapi berganti suara gemerincing seperti besi beradu.

Mendengar itu, Kolis segera memeluk lututnya erat-erat. Menutup matanya seraya berdoa dalam hati, berharap Uyut Latip segera kembali.
Namun harapan Kolis rupanya belum tersampaikan. Sebab bukan Uyut Latip yang muncul seperti harapannya, tetapi sebuah derap-derap kaki bergerak berirama, mengikuti alunan gamelan beriring pelog pegon yang tetiba muncul, terdengar sangat dekat dengan dirinya.
Merasa tak tahan meski ketakutan, Kolis perlahan mengangkat kepalanya.

Sebuah bayangan terlihat dari pancaran lampu teplok tengah berlenggak lenggok layaknya sinden menari. Begitu lihai mengikuti irama tetabuhan, meski tanpa iringan nyanyian.
Bola mata Kolis akhirnya terbuka lebar, mulutnya ternganga, ketika sosok yang tengah berlenggak lenggok mendekatinya. Menebar wangi melati, serasi dengan wajahnya yang putih bersih tak bernoda.
Sosok itu terus saja menari di depan Kolis. Memainkan selendang merah terlilit di perut yang terkadang terkibas oleh jentikan jari-jari tangannya. Sosok wanita berwajah tak beralis itu kini semakin mendekat ke arah Kolis. Gerak kaki dan tangan serta pinggul, tetap seirama dengan Gong gamelan, yang terkadang terjeda dengan sengaja.

Saat jarak antara Kolis dan sosok wanita itu tinggal dua jengkal, tiba-tiba saja ia berhenti menari bersamaan dengan hilangnya suara tetabuhan.
Kini, keheningan begitu mencekam di rasa Kolis.

Tubuhnya begitu dingin, anyep, seperti tak ada darah sedikitpun yang mengalir. Membuatnya hanya pasrah di hadapan sosok berkemben dan bersanggul, dengan hiasan tiga konde menancap di atasnya.

"Aku gak arep jikok nyowomu wengi iki. Nanging aku arep njikok opo seng kudu dadi nduweku!"
(Saya bukan mau mengambil nyawamu malam ini. Tetapi Saya mau mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!)

Sinis dan sengit suara sosok wanita itu menempel di telinga Kolis. Kecantikan yang melekat dan sempat terlihat memancar dari wajahnya, seketika berubah dengan seringai sadis seolah memperlihatkan kebengisan pemiliknya.

Puas melihat ketakutan Kolis, sosok itu berjalan pelan. Sangat pelan hingga tak terdengar jejaknya seperti melayang. Mengarah ke kamar Komala yang sudah terbuka entak sejak kapan.
Hampir satu jam Kolis terdiam dengan kondisi tubuhnya yang pucat pasi dan begitu dingin.

Hanya lelehan air mata tanpa terusap, menjadi luapan jerit keputus asaan dalam jiwa Kolis.
Beruntung dugaan Kolis kali ini benar, saat mendengar suara langkah dan derit pintu terbuka adalah kepulangan Uyut Latip.

Sempat terkejut dan mengucap Istighfar Uyut Latip, melihat keadaan Kolis. Buru-buru di papahnya tubuh anyep tanpa daya, dan di baringkannya di atas ambal kain lusuh berlapis karpet ruang tamu.
Belum sempat berucap apapun, Uyut Latip berlalu ke belakang.

Sebentar kembali dengan sebuah gelas berisi air putih di tangan kanannya.
Sejenak bibir Uyut latip bergerak teratur seperti tengah membaca Doa tertentu. Kemudian, secara pelan-pelan meminumkannya pada Kolis.

Sejuk di rasa tenggorokan Kolis saat teraliri air bening yang sudah di bacakan Doa. Tak berapa lama, tubuhnya pun berangsur-angsur menghangat seperti sedia kala.

"Kenek opo meneh Awakmu, Lis?" (Kenapa lagi Kamu, Lis?) tanya Uyut Latip saat melihat kondisi Kolis sudah membaik.

"Aku di temoni Arwahe Mbah Sanir, Lek. Dekne nembong njalok banyu ngombe. Sak bare kui, enek seng luweh ngeri, seng gawe aku iso ngene iki, ono wong wedok ayu nari-nari nang kene. Tariane, tabuhane, podo persis koyo wong tayuban"

(Saya di temui Arwahnya Mbah Sanir, Lek. Dia ngomong minta air minum. Setelah kejadian itu, ada yang lebih ngeri, yang membuat Saya bisa seperti ini, ada sesosok wanita cantik menari-nari di dalam sini. Tariannya, tetabuhannya, sama persis seperti kesenian Tayub) jawab Kolis yang sudah mampu duduk namun masih terlihat pucat.

"Opo wong wedok kui nganggo selendang abang, tapenan jarek? gelungan karo ono kondene telu jejer?"

(Apa sosok wanita itu memakai selendang merah, berkemben kain jarit dan bersanggul dengan tiga tusuk konde berjejer?) sahut Uyut Latip, bertanya dengan cepat seperti ada sesuatu yang di khawatirkan.

"Iyo, Lek" (Iya, Lek) jawab Kolis pelan, mengiyakan ciri-ciri dari sosok wanita yang belum dirinya ketahui sosok siapa.
Uyut Latip seketika bangkit. Bergegas melangkah buru-buru ke kamar yang di huni Komala setelah mendengar jawaban Kolis.

Namun hanya sebentar. Uyut Latip pun tak lama keluar dengan wajah merah menegang.

"Ciloko! Nduk Kom lungo!" (Celaka! Nduk Kom Pergi!) Seru Uyut Latip dengan panik.
Kolis yang keadaannya masih lemah, ikut tersentak. Ia bangkit dan masuk ke dalam kamar Komala.

Hasilnya tak beda dengan apa yang di ucapkan Uyut Latip. Kamar Komala telah kosong, bahkan yang tersisa hanya dua lembar pakaian sedikit usang.

"Tak susule Komala, Lek. Mbok urung adoh lungone"

(Saya susul Komala, Lek. Mungkin belum jauh perginya) ucap Kolis tiba-tiba terbersit pikiran untuk menyusul.
Tetapi baru saja ia akan melangkah, Uyut Latip lebih dulu menahannya.

"Ora usah. Ora bakal kekejar, sio-sio ae awakmu nyusul" (Tidak usah. Tidak akan terkejar, sia-sia saja Kamu menyusul) ujar Uyut Latip, mencegah kepergian Kolis.

"Terus saiki kudu piye, Lek?" (Terus sekarang harus bagaimana, Lek?) sahut Kolis dengan cemas.

"Dewe jek nduwe wektu seminggu. Sementara iki Komala ora opo-opo. Tapi nek wektu seminggu dewe gagal, wes gak iso ketulung meneh!" (Kita masih punya waktu seminggu. Sementara ini Komala tidak apa-apa. Tapi kalau waktu seminggu kita gagal, sudah tidak bisa tertolong lagi!)

Terdiam Kolis mendengar penjelasan Uyut Latip. Pikiranya kalut, antara ngeri, takut, dan rasa sayangnya terhadap seorang Adik, membaur dalam benak.
Terbayang kembali olehnya pesan-pesan dari Mbah Soko, Bapaknya, bila ia harus menyelamatkan sang Adik satu-satunya.

Terpikir juga olehnya pengorbanan orang-orang yang ingin mengakhiri kesadisan keluarga Murti Rahmi, yang telah memakan banyak nyawa, termasuk keluarganya.

Sampai di situ, Kolis pun bertekad untuk meneruskan perjuangan yang telah dirinya mulai separuh jalan, apapun resikonya.

"Piye carane supoyo aku iso nolong Komala, Lek?" tanya Kolis dengan sungguh-sungguh.

Sejenak Uyut Latip diam tertegun. Kemudian menatap lekat-lekat wajah Kolis, setelah menghempas nafas berat.

"Gak sido bali, awakmu?" (Tidak jadi pulang, Kamu)
Kolis menggeleng tanpa ragu, meyakinkan keberanian dan juga menunjukan tekadnya.

"Sisok mangkato bali meneh nang omah e Bapakmu. Gowo banyu pitong sumber. Temoni Mbah Waris, mergo mek Mbah Waris seng iso ngerti Potro Jenggolo, panggonan seng bakal ngo acara ritual nang Tanggal Telulas"

(Besok berangkatlah pulang lagi ke rumah Bapakmu. Bawa air tujuh sumber. Temui Mbah Waris, karena hanya Mbah Waris yang bisa melihat dan tau Potro Jenggolo, tempat yang akan di jadikan untuk acara ritual pada Tanggal Tiga belas) ucap Uyut Latip kembali.

"Insya Allah Lek engko nyusul. Sak bare Lek nemoni Mbah Nawi, kanggo mbantu urusan iki"
(Insya Allah Paman nanti nyusul. Setelah selesai Saya menemui Mbah Nawi, untuk ikut membantu urusan ini) sambungnya.

Kolis kembali hanya diam menunduk. Ia paham dengan ucapan sang Paman, namun tak paham resiko yang bakal ia hadapi tujuh hari ke depan.

Waktu baru saja merangkak pagi. Tetesan embun belum sepenuhnya sirna oleh paparan sinar semburat merah. Namun hal itu tak menghalangi niat Kolis

Siuran angin pantai sesekali menerpa wajah lelahnya. Terasa sejuk tetapi tak mampu menghapus lelehan amarah, kecemasan, yang merundung jiwanya.
Setelah hampir dua jam Kolis membonceng sepeda motor milik salah satu warga atas perintah Uyut Latip, tibalah ia di loket salah satu Bus yang akan membawanya kembali ke tempat dimana semua malapetaka berawal.
Sejenak berbasa-basi, Kolis pun mengawali perjalanannya ketika Bus berukuran panjang nan besar dengan rute Antar kota Antar Propinsi datang menghampiri.

Mendapat posisi di tengah, Kolis memilih duduk bersampingan langsung dengan dinding kaca Bus, bersebelahan dengan seorang penumpang remaja berpakaian layaknya santri.
Saling sapa dan obrolan ringan tak lama terjadi antara keduanya.

Hal itu sedikit mengurangi rasa bosan dan mencairkan ketegangan dalam pikiran Kolis. Sampai pada Bus masuk ke Pelabuhan, keduanya masih tampak asyik dengan bumbu candaan, hingga berakhir ketika harus turun dari dalam Bus, guna masuk ke kapal untuk menikmati pelayaran.

Empat Jam Kolis termenung sendiri menikmati pelayaran di pinggiran kapal. Menatapi birunya air laut tanpa ada setitik keceriaan sedikitpun seperti penumpang-penumpang yang lain.
Sampai tibalah sebuah suara tanda kapal akan berlabuh, membuat seluruh penumpang berduyun-duyun mendatangi kendaraan tumpangan masing-masing. Tak terkecuali diri Kolis, yang kembali pada tempat duduknya semula di dalam Bus.
Saat itu semuanya seperti biasa, tak ada yang aneh, tak ada yang janggal, tak ada yang berubah.

Tetapi setelah Bus berhenti sebentar di sebuah rumah makan, dan melanjutkan kembali perjalanan, disitulah Kolis mulai merasakan hal aneh.
Beberapa kali Kolis menguap, matanya terasa pedih dan berat untuk terjaga.

Satu menit dua menit, Kolis masih berusaha menahan sembari berucap mengajak bicara teman sebangkunya. Namun sekali sampai ketiga kalinya tak ada sahutan, Kolis merasa janggal. Apalagi saat itu dirinya melihat dengan jelas, jika teman sebangkunya itu masih terjaga.

Merasa penasaran, Kolis mengulang kembali. Tetapi sama, tak jawaban. Dan tak lama, Kolis merasakan suasana di dalam Bus begitu hening dan sunyi. Tak ada suara percakapan, obrolan, musik bahkan suara deru mesin. Hal itu membuat Kolis bingung, kemudian rasa bingung itu berubah menjadi ketegangan berbalur rasa takut saat ia menatap keluar dari kaca di sampingnya.
Entah jalan mana di tempuh Bus yang membawanya kala itu. Suasananya begitu sepi, tak satupun terlihat gedung, rumah penduduk atau satu dua kendaraan sepanjang pengamatannya. Yang ada hanya hamparan tanah kosong seluas matanya memandang.
Sekira sepuluh menitan kemudian, Kolis merasa Bus itu memasuki kawasana hutan dengan pepohonan angkuh tinggi menjulang. Hawa lembab seketika menjalar, mengiringi suasana gelap di sekitaran.
Kolis segera memalingkan wajah, niat ingin bertanya pada teman sebangkunya. Tetapi urung, sebab dirinya melihat teman dan seluruh penumbang bersikap aneh. Mata mereka terjaga, tetapi tatapan mereka kosong, wajah memucat dan diam bagaiakan patung.
Hanya desahan nafas mereka yang terdengar pelan bersahutan, membentuk irama yang semakin membuat jantung Kolis berdegup tak beraturan.

Kolis benar-benar tak berdaya saat itu, suara lantangnya pada sang Sopir seolah nyanyian yang menidurkan, sedang seluruh penumpang lainnya, termasuk teman sebangkunya bagai onggokan mayat-mayat hidup yang terduduk.

Tak tahan dengan keadaan dalam Bus, Kolis kembali memalingkan wajahnya menatapi suasana luar, dan kembali pemandangan asing terlihat, bukan hamparan tanah kosong, bukan hutan rimba sangat lebat, tetapi sebuah pedesaan yang aneh.

Rumah-rumah yang berdiri di sisi kanan kiri jalan berbentuk joglo, berukir gambar kepala bermacam binatang dengan seluruh halaman rumah terdapat sebuah patung tegak gambaran sesosok wanita bermahkota.

Di saat bersamaan, Kolis merasakan betul bila Bus berjalan seperti merayap. Seolah-olah memberi kesempatan bagi dirinya untuk bisa dengan seksama menatapi setiap detail perkampungan aneh tersebut. Dari satu kampung ke kampung di depannya, semua sama. Tak ada bangunan tembok, bertingkat, atau kendaran lalu lalang. Yang ada hanya sebuah pasar tradisional dengan ragam pengunjung berpakaian hampir sama. Dari puluhan bahkan ratusan orang-orang yang tertangkap mata Kolis, tak satupun berwajah cerah. Kesemuanyan berkulit putih pucat, sangat kontras dengan rambut mereka yang lebat dan hitam legam.
Mereka acuh, tak menghiraukan ke hadiran Bus yang dirinya tumpangi sedang melintas di jalanan beraspal mulus tanpa lubang di sisi pasar.

Mereka tetap berlalu lalang, meneteng perbelanjaan di tempat sejauh satu kilo meteran berpintu gerbang dengan tulisan jawa kuno berwarna merah darah.
Deru memburu nafas Kolis saat itu. Ia sadar bila tempat itu bukanlah tempat biasa.

Ia sadar jika saat itu dirinya tengah berada bukan di alam Manusia. Baginya semua itu seperti mustahil, tetapi lagi-lagi terasa nyata manakala matanya kembali menatap suasana luar dengan pemandangan masih sama.

Selepas melewati Pasar aneh itu, Kolis di hadapkan pemandangan lebih mengerikan pada beberapa gapura layaknya pintu masuk ke sebuah Desa. Dimana pada tiap-tiap gapura, bertiang potongan tangan dan kaki-kaki Manusia. Sedangkan pada daun-daun pintunya, tersusun puluhan potongan kepala-kepala terbasahi lelehan darah kental berwarna merah kehitaman.
Kolis akhirnya tak tahan, ia menjerit, berteriak ketakutan. Tetapi suaranya bagai angin hampa, tak terdengar dan menghilang.

Namun saat dua telapak tangannya mengatup pada wajahnya yang basah berkeringat, satu sentakan terasa panas menghantam bagian telinga kirinya.

"Kang... Kang....!"
Kolis terkejut. Tergagap dengan keadaan sekeliling. Sejenak ia tergagu sambil mengedarkan pandangan. Semua berubah, semua sama seperti awal dirinya berangkat. Hanya kini Bus itu berhenti di suatu tempat yang perlahan dirinya ingat letak tempat itu tak jauh dari kediaman orang tuanya.

"Bang... Abang turun sini kan?" satu suara dengan logat khas sebuah suku, semakin menyadarkan Kolis.

"I--Iya... Tapi kok cepat kali, Bang?" jawab Kolis mengikuti logat yang sama, seakan tak percaya.

"Abang itu tidur pulas kali, sampai waktu makan pun tak mau bangun. Ini tadi kalau bukan si Adek yang bangunin, mungkin kebawa Abang sama Kami!" ujar kembali laki-laki gempal, salah satu Kru Bus yang di tumpangi Kolis.

Kolis terdiam sambil menatap remaja 17an yang sedari awal duduk di sampingnya. Sang Remaja hanya tersenyum mendapat tatapan bingung Kolis. Tetapi ketika Kolis akan keluar turun dari Bus dan melewatinya, sang pemuda membisikan sesuatu.

"Seng Sampeyan delok nang njero ngimpi mau, iku asli enek gon e. Lan sampeyan bakal mlebu, bakal ngerti sekabehane" (Yang Sampeyan lihat di dalam mimpi tadi, itu asli ada tempatnya. Dan sampeyan akan masuk, akan tau semuanya)

Kolis sejenak terhenti, mendengar bisikan remaja berkulit putih dengan sebuah kalimat tak di mengerti olehnya, tetapi sanggup mengejutkannya. Kolis lalu menatap dalam-dalam sang Remaja yang mengganggukan kepala masih dengan ulasan senyum.

Seperti mengetahui tentang apa yang ingin di tanyakan Kolis.
Sampai Bus berlalu dan menghilang dari pandangan, Kolis masih terpaku. Mengingat kembali kejadian saat dirinya tertidur sangat panjang di dalam Bus. Hingga tanpa sadar,

sepasang mata dari balik pagar besi sebuah bangunan besar layaknya gudang, tengah menatapinya dengan seksama.
Lunglai langkah Kolis menyusuri jalan tanah berbatu koral.

Sesekali harus melompat menghindari kubangan lobang penuh lumpur ciri khas jalan menuju kampung orang tuanya sejak dulu.
Meski waktu hampir memasuki senja dan cuaca tak terlalu panas, namun keringat tetap membasahi kemeja kotak-kotak lengan pendek, yang melekat di tubuh Kolis.

Hamparan sawah-sawah milik warga, menjadi pemandangan selama perjalanannya dan sedikit menjadi penenang jiwanya.
Memasuki gapura tembok setinggi dadanya, Kolis berhenti sejenak. Melepas rasa lelah dengan hempasan nafas berulang-ulang.

Setelah di rasa cukup, Kolis menenteng tas hitam di pundak barang bawaan satu-satunya, dan kembali melangkah meneruskan perjalanan. Namun belum sampai sepuluh langkah, satu suara menyeru dan menghentikan langkah Kolis.

"Kang Kolis, Kang!"

"Mas Ilham" sahut Kolis menjawab seruan seorang lelaki yang datang dari sisi kanan, tepatnya dari jalan kecil mengarah ke pertengahan sawah.
Lelaki muda yang di panggil Ilham kemudian menghampiri Kolis. Berbasa-basi dan berjabat tangan sebentar, sebelum keduanya berjalan beriringan.

Obrolan-obrolan berbagi pengalaman terdengar selama perjalanan keduanya. Tetapi tak lama, suasana berubah saat Kolis menanyakan tentang kabar Bapaknya, membuat Ilham tiba-tiba berhenti sambil menatap Kolis penuh tanda tanya.

"Lha opo gak ngerti tenan awakmu ki?" (Lha apa tidak tau beneran Kamu ini?) ucap Ilham.
Kolis terdiam dengan perasaan bingung sambil membalas tatapan Ilham.

"Ora tenan, Mas. Nek ngerti gak takok to aku" (Beneran tidak, Mas. Kalau tau ndak tanya Saya) jawab Kolis mulai cemas.

Sebentar Ilham termenung, seperti ingin meyakinkan dirinya yang ragu atas ucapan Kolis. Sampai akhirnya Ilham terangguk dengan wajah sedih seraya menepuk pundak Kolis pelan.

"Yo wes, ayo tak kei ngerti" (Ya sudah, ayo Saya kasih tau)

Kolis menurut, mengikuti langkah Ilham. Namun, perasaannya mulai tak enak ketika Ilham bukan menuju rumahnya, melainkan menyimpang ke arah yang ia tau adalah tempat pemakaman umum.
Sesampainya di gerbang masuk, Ilham menunjuk ke salah satu lokasi.

Dimana terlihat sebuah payung hitam masih tertancap di atas sebuah gundukan tanah.
Seketika dada Kolis sesak, wajahnya memerah sekaligus memucat, menyadari jika yang di tunjuk Ilham adalah makam Bapaknya.
Terasa berat kaki Kolis menapaki jalan kecil area makam.

Tangisnya tak mampu lagi ia tahan, kala matanya melihat sebuah patok kayu bertuliskan nama Handoko Bin Sasongko, nama kecil atau nama asli Bapaknya.

"Dino iki pas pitung dinone Bapakmu, Lis. Syukur awakmu teko kene gak telat"

(Hari ini tepat tujuh harinya Bapakmu meninggal, Lis. Syukur Kamu datang kesini tak sampai terlambat)

Kolis segera mendongkakkan kepalanya mendengar suara serak tak asing dari sisi kanan makam.

Seraut wajah tua dengan tatapan datar, dari orang yang menjadi salah satu jujugannya, tetiba saja sudah berdiri tegak, dan tengah memandangi makam Bapaknya.

"Mbah Waris" ucap Kolis lirih di sela isak kesedihannya.

"Nek wes Dongakne, marem le mu tilek, melu bali aku" (Kalau sudah mendoakan, puas berada disini, ikut pulang Saya) sahut lelaki tua yang bakal menjadi panutan Kolis.

"Njeh, Mbah" (Iya, Mbah)

Sekitar sepuluh menit, Kolis beranjak dari rumah abadi Mbah Soko. Dirinya mengekor di belakang Mbah Waris berjalan keluar. Menghampiri Ilham yang masih setia menunggu, kemudian juga turut mengikuti, meninggalkan area makam umum yang mulai berangsur gelap.

***

"Bapakmu ninggale wektu awakmu lungo ngeterke Komala. Wes tak cegah, ojo nekat, neng Bapakmu kui ora keno di luk nek wes kadong karep" (Bapakmu meninggalnya sewaktu kamu pergi mengantarkan Komala. Sudah Saya cegah jangan nekat, tapi Bapakmu itu tidak bisa di larang kalau sudah punya keinginan) ujar Mbah Waris sesampainya di rumah.

"Ninggale Bapak kenopo, Mbah?" (Meninggalnya Bapak kena apa, Mbah?) tanya Kolis menanyakan tentang meninggalnya Mbah Soko.

"Yo podo koyo seng mbok ngerteni. Apik nang motone wong biasa, tapi asline ngunu ngeri, mergo tarung karo ingon-ingone Ratri seng uduk lawane Bapakmu!"

(Ya sama seperti yang kamu lihat. Baik dimata orang biasa, tapi aslinya mengerikan, karena bertarung dengan peliharaan Ratri yang bukan tandingan Bapakmu!) jawab Mbah Waris terlihat geram.

Mendengar ucapan itu, Kolis mengulas balik ingatannya sewaktu di laut. Di saat dirinya membuang sesuatu atas pesan Bapaknya sendiri, yang kemudian memunculkan bayangan tubuh sang Bapak, tercabik penuh darah bersama jeritan-jeritannya yang menyayat.

Gemuruh di dada Kolis seketika berjejalan setelah membayangkan semuanya. Marah, sudah barang tentu. Tetapi harus di tahannya, karena hanya sia-sia dan membahayakan nyawanya saja bila ia gegabah.

"Wes, rasah tok pikir. Seng penting saiki piye carane Adikmu iso selamet!" (Sudah, tidak usah Kamu pikir. Yang penting sekarang bagaimana caranya supaya Adikmu bisa selamat!) tegas Mbah Waris seperti tau isi pikiran Kolis.

"Di kon nglakoni opo karo Latip, awakmu?" (Di suruh melakukan apa sama Latip, Kamu?) sambung Mbah Waris.
Satu sesenggukan kemudian mengawali cerita Kolis pada Mbah Waris. Dari mulai perjalanannya sampai kembali lagi, tak satupun yang terlewat.

Tak ada expresi terkejut ataupun tegang di wajah Mbah Waris. Lelaki tua itu tetap terlihat tenang, meski ada siratan kesedihan setelah mendengar sampai selesai cerita Kolis.

Seteguk dua teguk kopi masuk ke tenggorakan Kolis sebelum tangannya mengeluarkan sebuah botol dari tasnya yang berisi air dari tujuh sumber. Ia pun segera menyerahkan air itu, sesuai amanah dari Uyut Latip.
Termangu Mbah Waris menatapi isi air dalam botol yang sedikit berubah keruh. Tak lama, ia pun beranjak masuk ke dalam kamar pribadinya dan kembali dengan membawa selembar kain hitam polos.

"Gowonen mori ireng iki. Awakmu ijek nduwe tugas meneh, sak durunge Tanggal Telulas sasi iki"

(Bawalah kafan hitam ini. Kamu masih punya tugas lagi, sebelum Tanggal Tiga Belas Bulan ini) ucap Mbah Waris seraya mengulurkan kain kafan hitam selebar map.
Kolis tetap menerimanya walau belum mengetahui maksud dari ucapan dan perintah dari Mbah Waris.

Namun setelah satu hisapan rokok kretek yang baru di hidupkan, Mbah Waris baru memberitahukannya.

"Iku kanggo wadah lemah kuburan korbane Rahmi seng ijek ono gandeng geteh. Jumlahe 6, tutupan kepitune, lemah kuburane Bapakmu"

(Itu untuk tempat tanah kuburan korbannya Rahmi yang masih ada ikatan darah. Jumlahnya 6, dan yang ketujuhnya, tanah kuburan Bapakmu sendiri) terang Mbah Waris.
Terhenyak kali ini Kolis. Ia membayangkan begitu berat dan sudah barang tentu penuh kengerian tugasnya itu.

Membuatnya serasa ingin menolak, tetapi urung ketika mengingat pengorbanan Bapaknya.

"Tapi aku gak ngerti Mbah, kuburane sopo wae seng enem kui? terus di kubur nandi wae, aku yo gak ngerti?" (Tapi Saya tidak tau Mbah, Kuburan siapa saja yang enam itu? terus di kubur di mana saja, Saya juga gak tau? jawab Kolis sedikit tergetar.

"Mengko tak kei ngerti kuburane sopo-sopo. Masalah nggone, Ilham mengko seng ngeter-ngeterke. Seng paling adoh yo siji tok, kuburane Rosyid, kakang kandunge Ratri dewe"

(Nanti Saya beri tau kuburannya siapa-siapa. Masalah tempatnya, Ilham nanti yang mengantar. Yang paling jauh cuma satu saja, kuburannya Rosyid, kakak kandung Ratri sendiri)

Sedikit lega Kolis mendengar penjelasan Mbah Waris. Setidaknya ia tak sendiri, akan ada Ilham yang menemaninya walaupun sebatas mengantar.

Setelah mengucapkan itu, Mbah Waris mempersilahkan Kolis beristirahat. Tetapi Kolis menolak. Dirinya berkeinginan untuk tidur di rumah peninggalan Bapaknya yang memang letaknya tak terlalu jauh.

Entah dari mana keinginan kuat Kolis untuk tetap tidur di rumah sederhana yang menjadi kediaman hingga akhir hidup Bapaknya, sampai-sampai tak mengindahkan nasehat serta peringatan dari Mbah Waris.
Kolis pun akhirnya tetap menuruti keinginan kuatnya.

Setelah beberapa pesan sempat ia dengar dari Mbah Waris dan dirinya simpan dalam benak.
Setapak demi setapak dengan suasana gelap dan sunyi, mengiring langkah Kolis menuju rumah sederhana peninggalan Mbah Soko. Sempat terbersit keraguan melihat keadaan, karena selama dalam perjalanan, tak satupun warga yang ia jumpai, padahal malam belum begitu larut.
Namun dorongan kuat untuk meneruskan langkah kembali bergelanyut erat. Membuatnya menghilangkan keraguan dan memupus rasa takut.

Sesampainya di halaman, Kolis terheran dengan keadaan rumah tak seperti yang Mbah Waris ceritakan. Sebab kini di hadapannya, Kolis melihat sebuah rumah yang terawat. Lampu-lampu menyala, bersih dan rapi sama seperti saat masih di huni Bapaknya dan Komala.

Kolis memantapkan diri melangkah masuk halaman dan berhenti sejenak di depan pintu. Rasa heran kembali menyeruak, kala tangannya mendorong pintu tetapi seperti terkunci dari dalam.
Tak berapa lama jantung kolis berdegup mengencang, mendengar derap gemresek layaknya langkah kaki beralas dan bersentuhan dengan tanah, dari dalam rumah.
Kolis sempat bingung sebelum berganti takut, ketika hidungnya mencium wangi pandan berpadu kenanga dari arah dalam.
Tetapi semua itu terganti keterkejutan, manakala pintu terbuka dan memunculkan sesosok wanita di hadapannya.

"Nduk Kom!?" ucap Kolis berseru kaget.

"Kang Kolis, ayo mlebu" (Kang Kolis! ayo masuk) sahut sosok Komala menunjukan expresi yang sama.
Kolis tertegun sejenak, matanya terus menatapi sosok Komala, seakan tak percaya. Namun ketika seulas senyum tersungging dari sudut bibir Adiknya, Kolis pun melangkah masuk.
Wangi, dan sedikit berubah tatanan di dalam rumah Bapaknya di Rasa Kolis. Tetapi hal itu seperti tak mempengaruhi jiwanya, sehingga melupakan salah satu pesan dari Mbah Waris.

"Kapan teko kene, Kang?" (Kapan sampai disini, Kang?) tanya Komala setelah menyuguhkan segelas kopi seraya duduk di hadapan Kolis.

"Sore mau, tapi mampir disek nang kuburane Bapak, terus kon mampir gone Mbah Waris" (Sore tadi, tapi mampir dulu di kuburan Bapak, terus di suruh mampir tempat Mbah Waris) jawab Kolis datar.

"Berarti wes ngerti to, Bapak ninggal? terus kon ngopo mampir gone Mbah Waris!?"

(Berarti sudah tau kan, kalau Bapak meninggal? terus di suruh apa mampir tempat Mbah Waris!?) tanya Komala sedikit ketus.
Hal itu mengundang pertanyaan dalam diri Kolis. Bukan hanya raut ketidaksukaan yang di tunjukan Komala saat mendengar nama Mbah Waris di sebut, tetapi juga gelagat aneh lain tertangkap mata Kolis.

"Gak kon ngopo-ngopo. Mek nakokne kabar karo nyritakne ninggale Bapak" (Tidak di suruh ngapa-ngapain. Cuma menanyakan kabar dan menceritakan meninggalnya Bapak) jawab Kolis menutupi.

"Lha awakmu ngopo kabur seko gone Lek Latip? terus ket kapan manggon kene dewe?" (Lha Kamu kenapa kabur dari rumah Lek Latip? terus sedari kapan menempati di sini sendiri?) sambung Kolis, balik bertanya.

Kali ini pertanyaan Kolis sedikit membuat wajah Komala berubah, namun kembali biasa, setelah hembusan nafas dari bibirnya menerpa wajah sang Kakak.

"Aku gak betah, Kang. Kepikiran bapak terus. Ngenggoni kene yo ket aku teko"

(Saya tidak betah, Kang. Kepikiran Bapak terus. Saya menempati rumah ini, ya dari Saya datang) jawab Komala datar tanpa beban.
Sebenarnya jawaban Komala dirasa janggal oleh Kolis. Tetapi entah mengapa, Kolis seolah tak ingin berdebat dengan Adiknya.

"Yo wes, Kang. Di entekne kopine, terus istirahat. Aku yo meh istirahat" (Ya sudah, Kang. Di habiskan Kopinya, terus istirahat. Saya juga mau istirahat) ucap Komala sambil berdiri dan berpamitan.

Belum sempat Kolis menjawab, Komala sudah berlalu. Meninggalkan seribu pertanyaan pada diri Kolis, dan juga aroma wangi bunga semerbak, menusuk hidung.

Hawa dingin dan suasana hening seharusnya menumbuhkan rasa nyaman untuk beristirahat. Di tambah rasa lelah, tentu semakin membuat nyenyak terpulaskan oleh rengkuhan alam mimpi.
Tetapi tidak bagi Kolis. Meski lelah, penat, merajai syaraf otot di tubuhnya, namun matanya seperti terganjal tak mau terpejam.
Semakin malam, suasana semakin di rasa berbeda. Terkadang tubuhnya merasai siutan angin dingin, tak lama berganti hawa panas mendera.

Sampai pada akhirnya Kolis harus terbangun, terduduk di tepian ranjang bekas tempat tidur Bapaknya, kala terbisingkan oleh suara tawa ngikik seperti tepat berada di samping kamarnya.
Sepuluh dua puluh detik telinga Kolis masih terus tersusupi tawa itu.

Tawa dari suara wanita seolah sedang mengejek keberadaannya di kamar itu, tanpa memperlihatkan wujudnya.
Kolis terdiam, jiwanya mulai merasa takut, tapi mentalnya telah terbiasa, sehingga dirinya mampu menahan.

Selang satu menitan suara tawa itu menghilang, terganti bau busuk bangkai menyengat, menyebar seantero dalam kamar.
Kali ini mau tak mau Kolis terbangun, berdiri dan melangkah pelan mencari sumber bau yang menyesakan dadanya.

Semakin Kolis mencari, semakin pekat bau itu. Membuat perutnya teraduk kuat seperti ingin mengeluarkan isi di dalamnya.
Tak tahan dengan keadaan itu, Kolis melangkah cepat menghampiri pintu dan berniat keluar.

Tetapi baru saja tangannya menyibak kain tipis bergambar bunga yang menjadi penutup kamar, ia di sambut satu sosok berdiri tegak dengan membelakangi.
Hampir seluruh bagian tubuh belakang sosok itu tertutupi rambut hitam lebat.

Hanya juntaian kain putih lusuh menutup kedua tangannya yang terlihat bersama kuku-kuku runcing berwarna hitam legam.
Kolis segera mundur, tubuhnya gemetar mendapati bahwa dari rambut sosok itulah bau busuk bangkai yang menyengat.

Tetapi tak sampai tiga langkah, tubuh Kolis terduduk di lantai tanah. Rasa ketakutannya semakin kencang saat satu wajah keriput bermata putih rata, tiba-tiba berada sejengkal dari wajahnya.
Wajah berbadan tertutup rambut tebal itu menyeringai, tertawa melengking sebelum melayang, merayap ke atap kamar.
Tiba di sudut kiri, kepala berwajah tua itu merangkak turun. Bola matanya yang putih rata terus menatap tajam pada Kolis, seperti mangsa yang ingin di telan.

"Koe durung wayahe tekan kene! Koe durung wayahe ketemu aku! tapi Koe nekat!"
(Kamu belum saatnya sampai disini! Kamu belum saatnya bertemu denganku! tapi Kamu nekat!) Berat dan kasar suara yang keluar dari tenggorokan sosok itu.

Namun aneh terdengar oleh Kolis, sebab suara itu seperti suara laki-laki, sedang saat tertawa, suara yang keluar lengkingan suara wanita.

"Koe ojo kemendel arep nggolek i Wajuh Pitung Sab. Ora gampang koyo omongane nyowo tuo kae, masio koe gowo banyu pitung sumber puseran segoro!"

(Kamu jangan sok berani mau mencari Tanah kuburan Tujuh Warna. Tidak mudah seperti ucapan nyawa tua bangka itu, walaupun Kamu membawa Air tujuh sumber pusaran segoro!) Papas mempias wajah Kolis, mendengar ucapan sosok itu yang mencium semua tentang rencananya dengan Mbah Waris.

Seketika Kolis berpikir sia-sia semua usahanya, bila mana sang Iblis telah tau, tentu nyawanya kini yang akan melayang. Namun sampai puluhan detik berlalu, sosok itu masih diam, tak bergerak maju atau mundur, sama seperti keadaannya.

Selang beberapa saat, sosok itu kembali merayap ke atap. Berputar mengitari ruang kamar, sebelum menghilang menjadi kabut-kabut tipis.
Tubuh Kolis yang terhenyak, sedikit demi sedikit mulai mampu bergerak. Kemudian bangkit berdiri berniat untuk keluar.

Akan tetapi lagi-lagi langkahnya tertahan. Kali bukan sosok mengerikan atau juntaian rambut beraroma bangkai, melainkan sosok Komala yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.

"Kang, pisan iki manuto omonganku. Aku gak pingin Kang Kolis nasipe koyo Bapak. Jikuk en banyu seng Kang Kolis gowo, guwak en. Lan Siji meneh, ojo turuti kongkonane Mbah Waris"

(Kang, satu kali ini turutilah ucapanku. Saya tidak mau Kang Kolis bernasip sama seperti Bapak. Ambil Air yang Kang Kolis bawa, buang! Dan Satu lagi, jangan ikuti petintah Mbah Waris) ucap sosok Komala.

"Kudune awakmu seng sadar. Bapak ngorbanke nyowone kanggo nylametke awak e dewe! Mbah Waris dudu sopo-sopone dewe, wong apik dadi gak bakal njrumuske. Seng bakal njrumuske kui Jasmoro!"

(Harusnya Kamu yang sadar. Bapak mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan kita! Mbah Waris bukan siapa-siapanya kita, beliau orang baik jadi gak akan menjerumuskan. Justru yang akan menjerumuskan itu Jasmoro!) sahut Kolis tegas.

Komala terdiam dengan mata melotot tajam, saat mendengar nama Jasmoro di sebut. Kemudian ia berpaling, berlalu meninggalkan Kolis yang masih terpaku.
Suasana kembali hening sepeninggalan Komala. Kolis yang awal ingin keluar dari rumah, mengurungkan niatnya dan memilih duduk menyendiri di ruang tamu.
Sekian puluh menit termenung, Kolis pun akhirnya tertidur. Pulas dan nyenyak, tak terganggu oleh suara apapun sampai malam berganti pagi
Satu sentuhan di lengan, segera mengakhiri buaian mimpi Kolis.

Ia terbangun dengan tergagap kala matanya mendapati sosok Mbah Waris dan Ilham sudah berada di hadapannya.

"Po gak adem awakmu turu nang kene lawange gak di tutup, Kang?" (Apa gak dingin Kamu tidur disini dengan pintu tak di tutup, Kang?) Ilham, yang merasa heran bertanya.

Tetapi seperti tak di gubris oleh Kolis. Ia sibuk dengan kesadarannya, juga dengan keadaan dalam rumah yang berbeda tak seperti semalam ia lihat.

"Kang!? di takoni kok malah koyo bingung ngunu" (Kang!? ditanya kok malah diam kayak bingung gitu) ulang Ilham yang heran melihat sikap Kolis.

"Lis, raup disek kono. Ben pikiranmu gamblang" (Lis, cuci muka dulu sana. Supaya pikiranmu gamblang)

Akhirnya Kolis beranjak tanpa berucap mendengar perintah dari Mbah Waris. Setelahnya, baru ia terkejut manakala berjalan kembali masuk, melihat seluruh isi dalam rumah begitu berantakan.
Sangat jauh dengan yang dirinya lihat semalam.

Apalagi ketika rasa penasarannya menuntun kakinya menuju kamar bekas Bapaknya, Kolis ternganga. Ia benar-benar seperti tak mempercayainya, melihat kondisi kamar berantakan tak terurus.

Ranjang kayu yang semalam sempat ia berbaring di atasnya, ternyata sudah menjadi onggokan sampah kayu lapuk. Bahkan kasur kapuk dan lemari tua, berserak tak berbentuk lagi. Membuat Kolis termangu, terdiam, bingung tak mengerti.

Sebentar kemudian Kolis bergegas saat teringat Komala. Segera Ingin memastikan dengan menuju kamar Adiknya. Tetapi kondisi kamar Komala tak jauh beda, berantakan tak terurus.

"Wes, Lis. Rasah mbok golek-golek i meneh, Percumah"

(Sudah, Lis. Tidak usah Kamu cari-cari lagi, Percumah) ujar Mbah Waris yang sudah berdiri di belakang Kolis, tepat di ambang pintu kamar Komala.

"Maksudte percumah piye, Mbah? Nduk Kom nandi saiki terusan?"

(Maksudnya percuma gimana, Mbah? Nduk Kom di mana sekarang ini?) tanya Kolis dengan wajah tegang.

"Yok, nang ngarep wae, ra penak nang kene leh omong-omong" (Yok, di depan saja, tidak enak disini ngobrol-ngobrolnya) sahut Mbah Waris, mengajak Kolis ke depan.

Sesampainya, Kolis terduduk lesu di samping Ilham, menghadap pada Mbah Waris. Sejenak ketiganya serentak berdiam diri hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Mbah Waris menarik nafas dalam-dalam, dan menghempaskannya seraya menatap ke arah Kolis.

"Seng tok temoni mau bengi dudu Komala Adikmu" (Yang Kamu temui tadi malam bukan Komala Adikmu) ucap Mbah Waris.
Mendengar itu, Kolis masih diam. Tak ada expresi kaget atau terkejut pada wajahnya.

Mungkin dirinya sudah menduga atau mentalnya yang sudah teruji dengan hal-hal berhubungan alam lain beserta penghuninya.

"Asline sopo, Mbah? terus Komalane dewe nandi?" (Aslinya siapa, Mbah? terus Komalanya sendiri dimana?) tanya Ilham yang ikut penasaran.

"Opo mau bengi kui seng jenenge Murti Rahmi, Mbah? dalange masalah iki kabeh!?" (Apa tadi malam itu yang namanya Murti Rahmi, Mbah? dalang dari malapetaka ini semua!?) sahut Kolis dengan nada geram.

"Dudu. Rahmi, Ratri, bakal muncul nang tanggal telulas. Seng mbok temoni iku abdi batine Ratri, ingon warisane Rahmi, Ibu e. !"(Bukan. Rahmi, Ratri, akan muncul tepat di Tanggal Tiga Belas. Yang Kamu temui itu abdi dalam Ratri, peliharaan warisan dri Rahmi, Ibunya) jawab Mbah Waris.

"Wes, rasah mikir kui. Siapke awakmu, Lis. Mengko bengi di mulai" (Sudah, tidak usah memikirkan itu. Nanti malam di mulai) sambung Mbah Waris.

"Wajuh pitung sab, opo kui seng arep di mulai mengko bengi, Mbah?"

(Wajuh Tujuh Sab, apa itu yang akan di mulai nanti malam, Mbah?) tanya Kolis yang tiba-tiba teringat ucapan sosok berambut panjang, semalam.
Urat wajah Mbah Waris seketika tertarik menegang, mendengar Kolis mengucapkan kalimat sanepo yang jarang di ketahui orang.

Sebentar wajahnya berpaling, menatapi halaman luar seperti tengah memikirkan sesuatu.

Satu hisapan rokok kemudian, Mbah Waris kembali menatap Kolis dan Ilham bergantian. Rautnya semakin datar, dengan sorot mata menggambar kecemasan.

"Awakmu wes krungu sanepo kui. Artine Jangi wes ngerti opo seng bakal tok lakoni. Ati-ati, bakal akeh seng nglang-ngalangi niatmu. Ojo sampek awakmu nglanggar pesenku koyo mau bengi"

(Kamu sudah mendengar kalimat itu. Artinya Jangi sudah tau apa yang akan kamu lakukan. Hati-hati, akan banyak yang menghalang-halangi niatmu. Jangan sampai Kamu melanggar pesanku seperti tadi malam) ucap Mbah Waris menerangkan.
Ada rasa malu saat itu dalam diri Kolis, mengingat dirinya semalam tak menggubris pesan Mbah Waris. Beruntung hanya ketakutan tak sampai mencelakai dirinya, tetapi tetap saja Kolis merasa menyesal karena tertipu oleh ingon Ratri.

"Ilham, kancani Kolis. Bantu sak mampumu" (Ilham, temani Kolis. Bantu semampumu) seru Mbah Waris pada Ilham, anak angkatnya.

"Njeh, Pak" (Iya, Pak) jawab Ilham menyanggupi.

"Saiki awakmu sementara manggon karo Ilham, Lis. Nggo jogo-jogo karo ben kepenak sewaktu-waktu enek keperluan.

Omah iki mengko nek wes rampung urusan iki, di dandani neh. iku pesene Bapakmu"
(Sekarang Kamu sementara tinggal sama Ilham, Lis. Buat jaga-jaga dan biar gampang sewaktu-waktu ada keperluan.

Rumah ini nanti, kalau sudah selesai urusan ini, di perbaiki. Itu pesan Bapakmu) terang Mbah Waris mengakhiri obrolan di rumah sederhana peninggalan Handoko atau Mbah Soko, anak kedua dari Sasongko yang pernah menjadi pembela Broto saat perebutan Rumah Warisan dengan Rahmi.

Namun terpaksa berkhianat pada Broto, di karenakan ancaman dan iming-iming harta dari Rahmi.

*****

Hari itu tak banyak yang bisa di lakukan Kolis. Sejak tiba di rumah pondokan tempat tinggal, atau tepatnya tempat tirakat Ilham, Kolis hanya beristirahat.

Terlihat kegelisahan menyirat dari pancaran bola matanya. Mengingat mulai malam nanti dirinya bakal melakukan satu ritual sangat sakral dan menentukan. Bukan hanya mental dan nyali yang akan dipersiapkan, terlebih nyawanya sendiri dan banyak nyawa lainnya, menjadi taruhan jika dirinya gagal.
Menjelang sore, Kolis masih terlihat berbaring di atas ambal kain beralas tikar di dalam kamar berukuran 3x3 yang biasa di huni Ilham. Kecemasan masih terus menghantui, sementara waktu di rasa olehnya begitu cepat.

Berkali-kali tangannya mengepal, menepuk pelan dadanya, seperti tengah menguatkan dan meyakinkan dirinya sendiri. Kemudian, setelah itu ia bangkit dan duduk di serambi depan, menatapi hamparan tanah kosong yang entah siapa pemiliknya.

Tepat di saat itu dari jalan kecil penghubung rumah pondok dan jalan utama Desa yang masih bersemak di kanan kirinya, terdengar deru mesin sepeda motor. Tak lama, dari balik ujung rimbunan semak muncul Ilham mengendarai motor tua berwarna hitam.

Rautan wajah Ilham tak jauh berbeda dengan Kolis. Meski ia telah lama ikut dan menjalani tirakat atas arahan Mbah Waris, tetapi untuk kali ini bukanlah urusan sepele. Bukan Jin yang merasuki seseorang, bukan makhluk halus penunggu barang atau tempat, bukan pula perkara mengusir arwah penasaran yang akan ia lakukan seperti biasanya. Tetapi kali ini, yang akan dirinya lakukan adalah bersentuhan dengan Iblis persekutuan Manusia, Meski dirinya hanya sekedar membantu.

"Wes siap awakmu, Kang?" (Sudah siap Kamu, Kang?) tanya Ilham setelah masuk dan selesai bersantap bersama Kolis.
Hening sejenak. Kolis terdiam, tertunduk, seakan bingung untuk menjawab.

"Kudu siap, Kang. Kudu kuat! Nang tanganmu Kang. Masalah iki arep rampung opo mundak dowo"

(Harus siap, Kang. Harus kuat! di tangamu Kang. Masalah ini mau selesai apa malah panjang)
Seketika wajah Kolis terangkat. Bagai lecutan panas kalimat yang di ucapkan Ilham.

Menyulut kembali tekadnya untuk menghentikan sekaligus menyelamatkan Adiknya dari kesadisan keluarga Murti Rahmi.

"Siap, Mas! Aku kudu kuat, aku kudu gowo Adikku selamet koyo seng di weling Bapak!" (Siap, Mas! Saya harus kuat, Saya harus bawa Adikku selamat seperti pesan Bapak!) tegas suara Kolis, membuat Ilham tersenyum.

"Kuburane sopo seng pertama dewe parani, Mas?" sambung Kolis bertanya.

"Kuburane Broto, Kakang kandunge Rahmi!" (Kuburanya Broto, Kakak kandungnya Rahmi) jawab Ilham tegas.

"Tapi awakmu ati-ati tenan, Kang. Sak liane gangguan seko ingone Ratri koyo seng di ngendikakne Bapak, Kuburane Broto enek Jegek e, demit seng seneng nyesatke dalan"

(Tapi Kamu harus hati-hati Kang. Selain gangguan dari perewangannya Ratri seperti yang di bilang Bapak, kuburanya Broto ada JEGEKnya, makhluk halus yang suka menyesatkan jalan) sambung Ilham memperingatkan.

"Adoh seko deso kene kuburane Broto kui, Mas?" (Jauh dari Desa sini kuburannya Broto, Mas?) tanya Kolis.

"Lumayan Kang. Sak jam numpak montor, mergo kuburane Broto di pisah, di dewekne nang Rahmi biyen ceritane"

(Lumayan Kang. Satu jam dengan menaiki sepeda motor, karena kuburan Broto di pisah, di sendirikan oleh Rahmi dulu ceritanya) jawab Ilham sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya.

"Iki mau Bapak pesen, nek wes oleh lemah kuburane Broto, nggon ngarep patok e, kon mbakari dupo iki. Awakmu gowo, aku tak siap-siap Kang" (Ini tadi Bapak pesan, kalau sudah mendapatkan tanah kuburan Broto, di depan nisannya suruh bakari dupa ini. Kamu bawa, Saya akan siap-siap Kang) ucap Ilham sembari menyerahkan sesuatu dari dalam jaketnya, yang ternyata tujuh buah dupa sepanjang jengkalan tangan orang dewasa.
Tanpa menunggu jawaban dan setelah tujuh dupa di terima Kolis, Ilham beranjak keluar kamar mempersiapkan diri.

Ia tersadar jika hari telah surup, yang artinya Senjo Sengkolo mulai terbuka dan tak lama akan segera berangkat ke sebuah tempat wingit, di kenal banyak orang sebagai Serut Muter. Dimana, di dalam satu gundukan berserut rumput-rumput kaku dan tajam, terkubur sendiri jasad Broto yang mati secara mengerikan di tangan Adik kandungnya, Murti Rahmi.
Bermodal lampu pelon dengan tutup kaca semprong, Kolis dan Ilham berangkat. Menyusuri jalan selebar dua meteran yang gelap dan sunyi.

Walau suara deru mesin motor tua milik Ilham tergolong keras, tetapi tak akan membuat bising warga sekitar. Sebab jalan menuju Serut Muter jauh dari pemukiman Warga. Hanya hamparan sawah berseling hutan belukar, terpampang di kanan kiri sebagai pemandangan.

Membuat siapapun pastinya enggan untuk melewatinya, apalagi jika malam menjelang.
Memasuki hampir seperempat perjalanan, Kolis mulai merasakan hawa berbeda. Tubuhnya tetiba saja merinding, tengkuknya dingin bukan karena terpaan angin malam.

Melainkan dari tatapan-tatapan mata beberapa sosok, seperti dirasakan mulai mengikutinya di belakang.
Setelah keluar dari ujung persawahan, sekira lima ratusan meter, Ilham memperlambat laju kuda besinya. Dan berhenti tepat di depan dua buah pohon jati besar menjulang, seperti sebuah pintu gerbang.

"Kang, uripno lampumu, seko kene dewe kudu mlaku" (Kang, hidupkan lampumu, dari sini kita harus jalan kaki) ucap Ilham lirih.

"Opo ijek adoh Mas?" (Apa masih jauh Mas?) tanya Kolis di sela-sela tangannya menghidupkan lampu yang ia tenteng.

"Ora Kang. Paling sekitar telungatus meteran" (Tidak Kang. Mungkin sekitar tiga ratus meteran) jawab Ilham sambil merogoh saku jaket, mengambil sebatang rokok kretek dan menyalakannya.

Setelah lampu menyala, Ilham segera mengajak Kolis melangkah. Menapaki jalan kecil beralas tanah di penuhi dedaunan kering, dengan rerimbunan semak sedikit lebat di samping kanan kirinya.

Sepuluh dua puluh langkah keduanya berjalan biasa saja. Tetapi entah langkah yang keberapa, Ilham yang berada di depan Kolis tiba-tiba berhenti. Menoleh sebentar sambil mengerutkan kulit keningnya.

"Nopo Mas?" (Kenapa Mas?) tanya Kolis heran.

"Gak opo-opo Kang" (Tidak apa-apa Kang) jawab Ilham menutupi dan segera kembali melangkah.

Namun Empat, Lima langkah kemudian barulah Kolis tau penyebab Ilham berhenti. Ia pun segera sadar akan hal aneh yang sedang mereka alami.

Dimana suara langkah kaki yang seharusnya ada empat, miliknya dan Ilham, tetapi terdengar ada langkah kaki lain di belakangnya.

"Ojo tok gagas Kang. Engko marakne dewe kesasar" (Jangan Kamu urusin Kang. Nanti malah membuat kita tersesat) bisik Ilham lirih tanpa menoleh.

Mendengar hal itu, Kolis urung memalingkan wajahnya ke belakang. Ia pun terus mengikuti Ilham, meski suara langkah kaki lain di belakangnya jelas masih mengikuti.
Hingga sampai di penghujung belukar, Ilham kembali berhenti yang di ikuti Kolis.

Mata keduanya menatap lurus ke depan, di sebuah tanah tanpa belukar membentuk gundukan membulat.
Sepintas tempat itu terlihat hitam. Berkabut tipis di atasnya, bagaikan kepulan asap. Tetapi ketika Kolis mendekat, mengarahkan cahaya lampu ke pinggiran Serut, terlihat rumput-rumput kaku berdaun tajam, tumbuh rapat memenuhi tanah Serut.
Namun selain dari tumbuhan rumput itu, mata Kolis juga melihat satu bayangan sepasang kaki hitam legam di belakang sisi samping kirinya.
Kolis terpaku.

Tubuhnya kembali merinding, kulitnya menebal, merasai hembusan nafas dari sosok yang baru dirinya lihat bagian kakinya.

Hal serupa juga di alami Ilham, walau punya keberanian luar biasa, tetapi untuk sekali ini, nyalinya menciut, menyadari jika sosok yang tepat berada di sampingnya, bukanlah sosok Jegek atau sosok sembarangan.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close